(dikutip
dari buku: Ibadah-ibadah diperselisihkan, Syaikh Ali Jum'ah, Duha Khazanah)
Apa
hukumnya seorang muslim mengikuti tarekat shufi? Kenapa tarekat-tarekat ini
banyak dan bermacam-macam? Jika tasawuf itu cuma zuhud, zikir, dan ‘suluk’
(perilaku) yang baik menuju kepada Allah, lalu kenapa seorang muslim tidak
mencukupkan diri dengan Al Quran dan Sunnah untuk mengenal etika-etika dan
perilaku jiwa itu?
Tasawuf adalah metode pendidikan
spritual dan perilaku yang membentuk seorang muslim hingga mencapai tingkat ihsan,
yang didefinisikan oleh Nabi Saw, “Bahwa kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya. Maka, jika kamu tida melihat-Nya, sesungguhnya
Dia melihatmu.”[1]
Jadi, tasawuf adalah program pendidikan yang memokuskan perhatian kepada
pembersihan jiwa manusia dari seluruh penyakit-penyakitnya yang menjauhkan
manusia dari Allah Swt dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan karakter dan
perilaku dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
Allah, hubungan antarmanusia, dan dengan ego diri. Tarekat tasawuf adalah
lembaga yang melaksanakan pembersihan jiwa dan pelurusan perilaku tersebut. Dan
Syaikh adalah custodian atau ustadz yang bertugas melakukan hal itu
besama penuntut atau murid.
Jiwa manusia pada tabiatnya
merupakan tempat yang di dalamnya terhimpun sekumpulan penyakit-penyakit (ego)
seperti sombong, ‘ujub (bangga diri/congkak), angkuh, egois, kikir,
marah, riya’ (pamer), dorongan maksiat dan melanggar, hasrat memuaskan
diri dan membalas dendam, benci, dengki, menipu, tamak, dan loba. Allah Swt berfirman
dalam mengungkapkan perkataan istri al-Aziz (penguasa Mesir), “Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf (12):
53). Oleh karena ini, orang-orang pertama dari para pendahulu kita bersikaf
arif dan cerdas memandang pentingnya pendidikan karakter dan membersihkan
pribadi dari penyakit-penyakit ego agar dapat berjalan selaras dengan
masyarakat dan beruntung di dalam melangkah menuju kepada Tuhannya.
Tarekat tasawuf mesti dilengkapi
dengan beberapa syarat, antara lain:
Pertama, berpegang teguh dengan Al
Quran dan Sunnah, karena tarekat tasawuf itu adalah metode Al Quran dan Sunnah.
Setiap apa saja yang menyalahi Al Quran dan Sunnah, maka bukan bagian dari
tarekat, bahkan tarekat sendiri menolak perkara itu dan melarangnya.
Kedua, tarekat tidak mempersiapkan
ajaran-ajaran yang terpisah dari ajaran-ajaran syariat, tetapi justru intinya.
Tasawuf mempunyai tiga fenomena pokok yang seluruhnya dilandaskan di atas
ajaran Al Quran al-Karim, yaitu:
1. Memokuskan perhatian terhadap
keadaan jiwa, mengawasinya, dan membersihkannya dari unsur tercela.
Allah Swt berfirman,“Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS.
Al-Syams (91): 7 – 10).
2. Banyak berzikir dan mengingat
Allah Swt Allah Swt berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah
(dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab
(33): 41).
Nabi Saw bersabda, “Senantiasa
basahkan Lidahmu dalam berzikir mengingat Allah.”[2]
3. Zuhud terhadap dunia dan tidak
bergantung dengannya, dan cinta terhadap akhirat. Allah Swt berfirman,
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini,
selain dari main-main dan senda gurau belaka [kesenangan-kesenangan duniawi itu
hanya sebentar dan tidak kekal]. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS.
Al-An’am (6): 32)
Adapun tentang syaikh yang
mendiktekan pelajaran zikir-zikir kepada para murid; membantu mereka di dalam
membersihkan karakter-karakter mereka dari sifat tercela dan menyembuhkan hati
mereka dari penyakit-penyakit, maka dia adalah seorang ‘pelayan’ atau
ustadz yang dapat melihat metode mana yang lebih sesuai dengan penyakit hati
pada pribadi ini, atau kondisi tertentu itu, dengan murid, atau penuntut ini.
Merupakan sunnah Rasulullah Saw
memberikan nasihat kepada setiap manusia tentang apa yang mendekatkan dirinya
kepada Allah sesuai dengan kondisi dan konstruksi mental jiwa yang
berbeda-beda. Seseorang datang kepada Beliau dan bertanya,
“Wahai Rasulullah,
sampaikanlah kepadaku tentang perkara yang menjauhkan diriku dari kemarahan
Allah.” Nabi Saw menjawab, “Jangan marah!”[3]
Seorang laki-laki yang lain lagi
datang kepada Beliau Saw dan berkata,
“Sampaikanlah kepadaku tentang
perkara yang aku jadikan pegangan.” Nabi Saw berkata kepadanya, “Senantiasalah
basahkan lidahmu dalam berzikir kepada Allah.”[4]
Demikian juga, kehidupan para
sahabat —semoga Allah meridhai mereka—. Di antara mereka ada yang memperbanyak
shalat malam, ada yang memperbanyak membaca Al Quran, ada yang memperbanyak
jihad, ada yang memperbanyak zikir, dan ada yang memperbanyak sedekah.
Ini semua tidak berarti meninggalkan
urusan dunia sama sekali. Hanya saja ada ibadah tertentu, yang diperbanyak oleh
orang yang menempuh jalan kepada Allah. Di atas fondasi dan dasar itu, kita
juga menyaksikan pintu-pintu surga pun banyak dan beragam. Akan tetapi, pada
akhirnya semua itu hanya tempat masuk yang banyak dan berbeda-beda, sedangkan
surga itu sendiri satu.
Nabi Saw bersabda, “Bagi setiap
ahli (orang yang menekuni) suatu amal ada pintu dari pintu-pintu surga yang
dinamakan dengan amal tersebut. Dan, bagi orang-orang yang berpuasa ada pintu
yang mereka akan dipanggil dari sana. Pintu itu disebut al-Rayyan.”[5]
Demikian juga tarekat-tarekat
menjadi banyak dan beragam pintu-pintu masuk dan metode-metode sesuai dengan
syaikh dan muridnya sendiri. Di antara mereka ada yang lebih mengutamakan dan
memperhatikan puasa, dan ada yang mengutamakan Al Quran lebih banyak dengan
tanpa mengabaikan puasa. Dan begitulah seterusnya.
Keterangan yang telah dikemukakan di
atas menjelaskan tentang tasawuf yang benar, tarekat yang shahih, dan syaikh
yang konsisten dengan syariat dan Sunnah. Dan kita pun mengetahui faktor
beragamnya tarekat karena beragamnya pola pendidikan dan terapi, serta
berbeda-bedanya metode yang menyampaikan kepada tujuan. Namun, semuanya satu
dalam tujuan, karena Allah Swt yang menjadi tujuan semuanya.
Tidak
ketinggalan kami tekankan bahwa keterangan tersebut tidak sejalan dengan
kebanyakan orang-orang yang mengklaim dirinya bertasawuf. Yaitu, mereka yang
justru mengotori wajah tasawuf dari kelompok orang-orang yang tidak ada agama
dan tidak memiliki kesalehan; orang-orang yang berjoget-joget pada acara-acara
peringatan dan maulid-maulid dan mereka melakukan perbuatan orang-orang yang
jadzab (hilang kesadaran) dan pelaku khurafat. Maka, ini semuanya bukan tasawuf
dan sama sekali tidak termasuk tarekat-tarekat tasawuf. Sesungguhnya tasawuf
yang kami ajak untuk mengikutinya tidak ada hubungannya dengan
fenomena-fenomena negatif dan buruk yang dilihat oleh orang-orang. Dan, tidak
boleh bagi kita untuk mengenal tasawuf dan memberikan kesimpulan terhadapnya
dari sebagian orang-orang yang bodoh yang mengaku-ngaku bertasawuf. Akan
tetapi, semestinya kita bertanya kepada para ulama yang memberikan pujian
terhadap tasawuf, sehingga kita mengerti sebab pujian mereka terhadapnya.
Terakhir, kita memberikan jawaban
kepada orang yang bertanya, “Kenapa kita tidak belajar saja etika-etika
perilaku dan pembersihan jiwa itu dari Al Quran dan Sunnah secara langsung.”
Ini adalah ungkapan yang lahirnya mengandung rahmat, sedangkan sisi batinnya
dari orang yang melontarkannya mengandung siksa. Karena, sesungguhnya
kita tidak mempelajari rukun-rukun shalat, perkara-perkara sunnatnya, dan
perkara-perkara makruh di dalamnya dengan membaca Al Quran dan Sunnah. Akan
tetapi, kita mempelajari semua itu dari bidang ilmu yang disebut ilmu fikih.
Para ahli fikih telah mengarang buku-buku dan menyimpulkan seluruh hukum-hukum
itu dari Al Quran dan Sunnah. Lalu bagaimana seandainya muncul di tengah-tengah
kita orang yang mengatakan bahwa kita harus mempelajari fikih dan hukum-hukum
agama dari Al Quran dan Sunnah secara langsung. Sedangkan, kamu tidak akan
menjumpai seorang alim pun yang mempelajari fikih dari Al Quran dan Sunnah
secara langsung.
Demikian juga, terdapat
perkara-perkara yang tidak disebutkan di dalam Al Quran dan Sunnah.
Perkara-perkara itu mesti dipelajari dari syaikh dan berlangsung secara verbal;
tidak layak dengan mencukupkan diri padanya dengan Al Quran, seperti ilmu
tajwid. Bahkan, di dalam perkara-perkara itu harus konsisten mengikuti
istilah-istilah khusus dengan badannya. Misalnya mereka mengatakan, “Mad Lazim
itu enam harakat.” Siapakah yang menjadikan mad itu sebagai Mad Lazim? Mereka
adalah ulama-ulama bidang ini. Begitu juga, ilmu tasawuf adalah bidang ilmu
yang diletakkan oleh para ulama tasawuf sejak era Junaid al-Baghdadi Ra dari
abad ke-4 hingga masa kita sekarang.
Manakala kehidupan zaman sudah
rusak dan moral menjadi rusak, sebagian tarekat-tarekat tasawuf juga rusak,
sehingga mereka bergantung dengan fenomena-fenomena yang bertentangan dengan
agama Allah. Lalu orang-orang pun mengira bahwa inilah tasawuf. Allah Swt akan
membela tasawuf dan para pengikutnya; Dia akan memelihara mereka dengan
Kuasa-Nya. Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah
membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj
(22): 38)
Semoga apa yang telah kami kemukakan
cukup menjadi penjelasan tentang makna tasawuf, tarekat, syaikh, dan sebab
beragamnya tarekat. Demikian juga, tentang persoalan kenapa kita mempelajari
perilaku dan pembersihan karakter dari bidang ilmu yang dinamakan tasawuf itu;
kenapa kita mengambilnya dari para syaikh dan tidak secara langsung
mengambilnya dari Al Quran dan Sunnah. Kita memohon kepada Allah Swt semoga
berkenan membuka mata kita terhadap perkara-perkara agama kita. Dan Allah
Swt Mahatinggi dan lebih mengetahui.
[1]
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. I, hlm. 27; Bukhari, Shahih Bukhari, vol. I, hlm.
27; dan Muslim, Shahih Muslim, vol. I, hlm. 37.
[2]
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. IV, hlm. 188; Turmudzi, Sunan Turmudzi, vol. V,
hlm. 485; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, vol. II, hlm. 1246; Ibnu Hibban, Shahih
Ibnu Hibban, vol. III, hlm. 96; dan Hakim, al-Mustadrak, vol. I, hlm. 672.
[3]
HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol. V, hlm. 2267; dan Turmudzi, Sunan Turmudzi,
vol. IV, hlm. 371.
[4]
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. IV, hlm. 188; Turmudzi, Sunan Turmudzi, vol. V,
hlm. 485; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, vol. II, hlm. 1246; Ibnu Hibban, Shahih
Ibnu Hibban, vol. III, hlm. 96; dan Hakim, al-Mustadrak, vol. I, hlm. 672.
[5]
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. II, hlm. 449; Bukhari, Shahih Bukhari, vol. II,
hlm. 671; dan Muslim, Shahih Muslim, vol. II, hlm. 808. Teks hadis dari riwayat
Imam Ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar