Minggu, 08 Juli 2012

Pendekatan Hukum dalam Penanggulangan Gerakan Ekstrim

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].
 
PENANGGULANGAN GERAKAN EKSTRIM  DAN KEKERASAN MASSA
 
Beberapa tahun terakhir muncul gejala yang menghawatirkan berupa tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat ekstrim yang dilakukan secara berkelompok oleh orang-orang yang menganut pandangan garis keras dengan merugikan dan mendiskriminasikan kelompok lain atas nama agama atau atas nama kelompok. Di dunia Islam, kecenderungan yang serupa juga terjadi di hampir semua negara-negara anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI), seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkik, Nigeria, dan sebagainya. Akan tetapi, dari data survei global yang dilakukan oleh PEW Reseacrch Center tahun 2010 diperoleh gambaran bahwa tingkat kekerasan di Indonesia melebihi kecenderungan yang terjadi di negara-negara lain.
 
Bahkan tingkat toleransi kepada gerakan Osama bin Laden di Indonesia dan Nigeria tergolong paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara mayoritas Islam lainnya. Berdasarkan hasil Survei yang dipublikasikan tanggal 2 Desember 2010, negara dengan tingkat toleransi yang lebih tinggi daripada Indonesia hanya Nigeria. Warga Muslim Indonesia yang toleran terhadap gerakan Osama bin Laden mencapai 25%, sementara Nigeria mencapai  28%, di samping Mesir sebagai negara ketiga yang mencapai 19%, dan Pakistan 18%.
 
Dari data survei tersebut, dapat diketahui bahwa apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah fenomena khas Indonesia, tetapi melanda semua negeri dengan penduduk mayoritas Muslim. Proses radikalisasi terjadi karena ketidakberdayaan menghadapi hegemoni kekuatan barat yang terus mendominasi dunia Islam seperti yang tercermin dalam kasus pendudukan tanah Arab oleh Israel yang terus menerus mendapat dukungan Amerika Serikat dan Eropah. Terbentuk perasaan umum di kalangan bangsa Arab yang kemudian mempengaruhi cara berpikir umat Islam di dunia bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh kekuatan dunia yang didominasi oleh negara-negara Amerika Serikat dan Eropah Barat. Adalah keputusasaan itulah yang dengan mudah membawa orang pada kesimpulan simplisistis bahwa jalan mulia yang tersedia hanyalah kekerasan dan tindakan radikal dan ekstrim.
 
Lebih jauh daripada itu, radikalisasi  yang terjadi di Indonesia justru lebih meluas daripada di negara lain yang sama-sama dihinggapi rasa tidak berdaya itu. Bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia dengan tradisi budayanya yang penuh toleransi, sejak reformasi selama 13 tahun terakhir, justru mengalami radikalisasi yang lebih keras dan meluas. Sebabnya ialah karena pada waktu yang sama, pelbagai suku bangsa dan kelompok-kelompok yang tersegmentasi satu sama lain di Indonesia mengalami perubahan cepat dan tidak biasa dari sistem kekuasaan yang bersifat otoritarian ke sistem demokrasi yang bebas dan terbuka. Liberalisasi politik, liberalisasi ekonomi, dan liberalisasi kebudayaan berkembang sangat pesat selama era reformasi dan demokrasi ini dengan tidak berhasil diimbangi secara tepat oleh tegaknya sistem hukum (rule of law) dan etika (rule of ethics). Infra struktur hukum dan etika tidak berhasil ditata dengan benar dan terintegrasi, sehingga gelombang kebebasan di semua bidang berkembang menjadi-jadi dan tanpa kendali yang efektif dan terarah.
 
Dalam keadaan demikian, gelombang radikalisme dan ekstrimisme mudah sekali berkembang, menikmati kebebasan secara semaunya tanpa kendali, termasuk radikalisme dan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama atau kelompok. Untuk mencegah hal demikian, tentu kita dapat dan harus melakukan upaya-upaya preventif melalui pendidikan dan penyadaran atau pun penataan sistem yang kondusif sehingga kekerasan dapat dicegah.
 
Tersedia banyak ragam pendekatan yang dapat dilakukan secara integral dan simultan, karena kekerasan kelompok memang tidak mungkin dapat diatasi hanya dengan pendekatan sektoral, termasuk dengan hanya melakukan upaya penegakan hukum. Untuk menanggulanginya secara tuntas diperlukan pendekatan sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, di samping pendekatan hukum. Pendek kata, diperlukan tidak hanya tindakan yang bersifat represif dan korektif, tetapi juga bersifat preventif dan bahkan preemptif. Misalnya, ormas-ormas keagamaan dapat didorong untuk mengembangkan kegiatan dakwah yang berorientasi damai, pembinaan akhlaq, pencerahan epmikiran, dan bimbingan ke arah kesadaran amaliyah. Ide lain lagi misalnya adalah penanggulangan melalui pendekatan pendidikan karakter, dan lain sebagainya.
 
Namun demikian, upaya-upaya pencegahan yang demikian tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Semua langkah-langkah yang bersifat preventif membutuhkan waktu yang lama baru membuahkan hasil yang diharapkan. Karena itu, sebagai negara hukum, pendekatan hukum harus digerakkan agar sistem norma hukum dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan secara efektif. Perlu dipastikan bahwa sistem norma hukum dan etika beserta penegakannya dapat benar-benar bekerja efektif sebagaimana mestinya. Kekerasan atas nama apapun, dan untuk motif dan tujuan apapun tidak boleh dibiarkan. Yang boleh melakukan tindak kekerasan dan daya paksa, hanyalah aparat dan aparatur negara. Itupun harus dilakukan dengan syarat dan tatacara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan di antar sesama warga masyarakat dan warga negara, sama sekali tidak diperbolehkan terjadinya tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak antara satu sama lain.
 
KEBEBASAN BUKAN UNTUK KEKERASAN, PERMUSUHAN, DAN KEBENCIAN
 
Kebebasan (freedom) dan kemerdekaan (independence) merupakan nilai-nilai yang diagungkan dalam UUD 1945. Kebebasan individual setiap warga negara merupakan pilar bagi tersusunnya kemerdekaan kolektif sebagai bangsa. “There is no independence without freedom”. Namun, kebebasan harus diimbangi oleh keteraturan sehingga dapat menghasilkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika kebebasan tidak diimbangi oleh keteraturan, maka yang dihasilkan adalah kekacauan, bukan keadilan dan kesejahteraan.
 
Dari kebebasan yang teratur itu harus dapat dihasilkan persaingan dan kerjasama, kreatifitas dan solidaritas, bukan kebencian dan saling permusuhan. Karena itu, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berorganisasi harus dijamin sepanjang tidak dimaksudkan untuk menebar kebencian dan pemusuhan. Dengan demikian, aneka jenis dan bentuk organisasi, bebas dibentuk dan dikembangkan, asalkan berorientasi damai (peacefull association), bukan organisasi yang berorientasi kekerasan dan penyebar kebencian dan permusuhan. Organisasi apapun juga, termasuk yang mengatasnamakan agama atau kelompok primordial lainnya, dimaksudkan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan, dan dengan maksud untuk mengembangkan kegiatan damai, bukan tindak kekerasan.
 
Pada pokoknya, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa setiap orang berhak untuk bebas menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, dan demikian pula bebas dalam beragama sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya masing-masing[2]. Setiap orang juga berhak untuk berkelompok, berkumpul, atau berorganisasi sesuai dengan kehendak bebasnya masing-masing[3]. Namun, dalam pelaksanaan kebebasan itu, hak dan kebebasan orang lain tidak boleh diganggu karena tuntutan kehendak untuk melaksanakan hak dan kebebasan sendiri. Karena itu, dalam Pasal 28J ayat (1) ditegaskan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
 
Bahkan, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan pula bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Artinya, tidak karena kebebasan menjalankan agama, seseorang atau sekelompok orang dapat dibenarkan melakukan tindak kekerasan yang merugikan hak dan kebebasan orang lain. Kebebasan orang untuk menjalankan agama dan atas nama agama atau kelompok tetap harus dilakukan dengan menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
 
Selain itu, pengertian kita tentang kebebasan berkelompok dan berorganisasi juga ada batasnya, yaitu bahwa organisasi atau kelompok itu dibentuk untuk maksud dan tujuan damai, bukan untuk tujuan kekerasan dan permusuhan. Yang dijamin kebebasannya menurut ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 adalah organisasi damai atau ‘peacefull association”, bukan organisasi yang dibentuk untuk maksud dan tujuan permusuhan dan dengan melalui tindakan atau kegiatan-kegiatan kekerasan.
 
Dengan demikian, perkumpulan orang, perhimpunan orang, atau pun kerumunan orang dijamin keberadaannya menurut UUD 1945 sepanjang perkumpulan, perhimpunan, ataupun kerumunan itu tidak dimaksudkan dan/atau tidak melakukan tindakan permusuhan dan tindakan kekerasan yang merugikan hak dan kebebasan orang lain. Jika syarat demikian tidak terpenuhi, maka perkumpulan, perhimpunan, ataupun kerumunan orang yang demikian itu tidak dijamin keberadaannya sehingga dapat diambil tindakan sebagaimana mestinya oleh aparatur negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Pendek kata, kebebasan berpendapat dan berorganisasi setidak-tidaknya haruslah memenuhi syarat-syarat (i) bertujuan damai dan dilakukan dengan cara-cara damai; (ii) tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain yang dijamin oleh UUD 1945; dan (iii) tujuan dan tindakan yang dilakukannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, seperti mengakibatkan orang lain merasa terhina, mencuri dan merusak kekayaan orang lain, menilmbulkan permusuhan dan konflik dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Siapa saja yang mengekspresikan kebebasannya untuk mengemukakan pendapat secara lisan atau tulisan harus memenuhi criteria dan syarat-syarat tersebut.
 
Jika tidak, maka sekiranya ada pihak yang merasa dirugikan atas penggunaan hak kebebasan berpendapat itu, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan ataupun mengadukan yang bersangkutan kepada pihak yang berwajib. Demikian pula, para pengurus organisasi apapun juga dijamin untuk mengembangkan organisasinya sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip tersebut di atas, jika syarat-syarat dimaksud tidak dipenuhi, maka jaminan kebebasan bagi organisasi yang bersangkutan dengan sendirinya menjadi hilang, sehingga kepadanya dapat dikenakan pelbagai kemungmkinan tindakan, seperti pelarangan, pembekuan, atau pun pembubaran.
 
FUNGSI HUKUM PREVENTIF DAN KOREKTIF
 
Hukum dapat mencakup persoalan pembuatannya (law and rule making), penerapannya (law application and  administration), atau pun penagakannya (law enforcement). Di dalam ketiga ranah itu, tercakup (i) elemen subjek aparat dan institusi (aparatur), (ii) elemen substansi aturan atau norma peraturan perundang-undangan, dan (iii) budaya hukum (legal culture) yang berkaitan pula dengan persoalan tingkat perkembangan peradaban berbangsa dan bernegara (level of civilization).
 
Sekiranya keseluruhan elemen dan aspek-aspek hukum tersebut dapat bekerja dengan baik, maka niscaya hukum kita dapat berfungsi efektif, baik untuk mencegah (preventif) maupun menindak (repressif, kuratif, atau pun restoratif). Penindakan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga kuratif; Bahkan penindakan tidak hanya bersifat represif dan kuratif, tetapi seharusnya juga bersifat restoratif atau memulihkan.
 
Sebenarnya, untuk meningkatkan fungsi pencegahan, kita memang perlu memperkuat dan menata sistem hukum dengan baik. Jika hukum dan aparatur hukum kita tertata dengan baik, tentu dapat dicegah segala kemungkinan terjadinya tindak kekerasan massa yang mengatasnamakan agama dan/atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, dalam praktik di lapangan, kita sering mendapati bahwa dalam penindakan dan penegakan hukum itu juga mengandung dampak pencegahan yang bersifat pendidikan (education), penjeraan (deterrence), dan penyadaran (conscientisastion).
 
Oleh karena itu, upaya penindakan yang adil dan pasti (legal certainty) juga berfungsi untuk mencegah agar perbuatan serupa tidak dilakukan lagi oleh pelaku yang bersangkutan (special deterrence) ataupun oleh masyarakat pada umumnya yang menyaksikan adanya peristiwa pelanggaran hukum semacam itu (general deterrence). Oleh karena itu, apa yang kita maksud dengan pencegahan kekerasan terorganisasi, sebenarnya juga terdapat dalam upaya penindakan sekaligus itu secara sekaligus.
 
Dengan demikian, untuk mengatasi kondisi hukum negara yang dinilai lemah dalam menghadapi kekerasan massa yang terjadi, kita memang harus melihatnya mulai dari upaya penataan sistem norma hukum dan penataan sistem kelembagaan hukum, baik yang berlaku dalam rangka upaya pembaruan hukum maupun dalam penegakan hukum. Namun, oleh karena luasnya permasalahan tersebut, kita harus menentukan pilihan yang paling mudah, murah, dan segera dalam menghadapi pelbagai masalah yang timbul dalam masyarakat, yaitu dengan cara penindakan. Janganlah mengatasi masalah di depan mata dengan membuat undang-undang baru, tetapi pergunakan sajalah undang-undang yang sudah ada untuk menindak segala pelanggaran yang terjadi dalam masyarakat.
 
Negara dengan pelbagai perangkat sistem hukumnya yang ada – betapapun banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya -- tidak boleh dibiarkan dianggap tidak hadir dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Idealnya, tentu saja, kita seharusnya memperkuat hukum untuk mencegah kekerasan massa yang mengatasnamakan agama atau kelompok yang menjadi topik diskusi kali ini dengan melakukan langkah-langkah mulai dari hulu sampai ke hilir. Dari hulu kita harus memperbaiki sistem norma hukum yang tercermin dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, dan demikian pula membenahi pelbagai mekanisme kelembagaan yang terkait dengan proses-proses pembuatan hukum. Namun upaya pembenahan di tingkat hulu demikian tentu akan memakan waktu yang lama dan tidak mudah.
 
Oleh sebab itu, untuk menghadapi permasalahan yang terjadi di depan mata, sudah semestinya dilakukan upaya penindakan dan penegakan hukum yang konkrit dan segera. Jangan hadapi masalah hukum dengan membuat hukum baru, tetapi tegakkanlah hukum yang sudah ada. Kita tidak boleh mengikuti kebiasaan yang salah sebagai akibat cara berpikir yang biasa berkembang dalam sistem ‘civil law’ yang selalu mengutamakan pembentukan peraturan tertulis dengan menomerduakan pembentukan hukum oleh hakim seperti dalam tradisi ‘common law’ yang biasa melihat hukum sebagai buatan hakim (judge-made law). Meski negara kita menganut tradisi ‘civil law’, tetapi peran hakim tetap harus dipandang penting, dan bahkan dewasa ini harus dinilai semakin penting. Hukum tidak hanya dibuat oleh legislator, tetapi juga terbentuk dalam praktik penegakan hukum. Karena itu, penegakan hukum sangat penting, karena pada akhirnya hukum yang dibuat baru mempunyai arti jikalau sudah dipraktikkan di lapangan dengan jaminan sistem sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
 
Di samping itu, dengan tindakan menegakkan hukum itu secara konkrit, kita dapat memperoleh berlipat manfaat sekaligus, yaitu (i) tegaknya kewibawaan hukum dan kepercayaan terhadap hukum, (ii) penjeraan khusus kepada para pelaku, (iii) penjeraan umum bagi masyarakat luas, (iv) pendidikan kesadaran hukum bagi masyarakat luas mengenai prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dan (v) diperolehnya pengalaman konkrit dari lapangan yang dapat memberikan bahan bagi upaya perbaikan sistem hukum di masa mendatang.
 
PENANGGULANGAN KEKERASAN BERKELOMPOK
 
Dalam praktik di era demokrasi dewasa ini, kita biasa menyaksikan kerumunan-kerumunan orang berdemonstrasi di jalan-jalan untuk mengekspresikan kebebasannya untuk berpendapat. Ekspresi kebebasannya itu sendiri tentu dijamin oleh UUD 1945. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaannya terjadi hal-hal yang melanggar peraturan perundang-undangan, seperti mengakibatkan rumah dan mobil orang menjadi rusak, terbakar, atau ada orang yang terluka, maka hal-hal demikian berada di luar lingkup jaminan konstitusional akan kebebasan itu sendiri. Pelanggaran hukum tetaplah merupakan pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan secara tersendiri. Demikian pula jika timbul tindak kekerasan atas nama agama ataupun kelompok yang sudah berada di luar koridor kebebasan berekspresi, maka tindak kekerasan semacam itu sudah berada di luar lingkup jaminan konstitusional akan kebebasan berorganisasi dan berkumpul sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
 
Karena itu, untuk menghadapi perhimpunan, perkumpulan, atau pun kerumunan-kerumunan orang yang melakukan tindak kekerasan, baik yang mengatasnamakan agama atau pun kelompok tertentu, aparatur negara sudah seharusnya bertindak tegas dan terarah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya, setiap aparat dan aparatur penegak hukum dapat dibenarkan untuk berpikir dan bertindak normatif dan idealistis. Sikap normatif mengedepankan cara kerja yang bersifat ‘rule-driven’ untuk menjamin kepastian hukum. Sedangkan sikap idealistis mengutamakan hasil atau tujuan akhir dari proses penindakan itu, yaitu menang atau kalah, terbukti atau tidak terbukti, dipidana atau dibebaskan. Kedua sikap ini akan mendorong cara berpikir yang bersifat prudensial dan penuh kehati-hatian. Terkadang cara kerja demikian ini tepat sasaran, tetapi terkadang dipandang terlalu makan waktu dan bertele-tele, sehingga menumbuh-suburkan penyimpangan dan penyalahgunaan dengan hasil yang hanya menjamin kepastian yang belum tentu berkeadilan.
 
Karena itu, para penegak hukum ada baiknya juga mempertimbangkan cara kerja yang bersifat ‘mission driven’ yang tidak kaku tetapi tetap dalam koridor aturan yang berlaku. Orientasinya pun sebaiknya tidak hanya idealistis tetapi juga mekanistis. Penegakan hukum dan keadilan pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian proses hukum atau suatu mekanisme kerja melalui mana cita-cita keadilan ditegakkan. Cara pandang idealis lebih berorientasi hasil, sedangkan cara pandang mekanis lebih mengutamakan prosesnya. Tegaknya keadilan itu harus mengikuti alur mekanisme atau prosesnya yang tersendiri.
 
Proses tidak hanya berfungsi sebagai (i) jalan menuju keadilan, tetapi juga berfungsi sebagai (ii) sarana penyalur penyelesaian konflik, (iii) sarana penyerap rasa kecewa, kemarahan, dan bahkan permusuhan. Sebagai penyalur penyelesaian konflik, proses hukum dapat meredam konflik, meredam kemarahan, menyerap kebencian, kekecewaan, dan permusuhan pihak-pihak yang terlibat. Karena itu, aparat penegak hukum haruslah melengkapi diri dengan pendekatan-pendekatan yang bersifat pragmatis dan tidak melulu idealistis dengan mengabaikan realitas kebutuhan di lapangan.
 
Yang penting diproses dulu atau ditindak dulu, sedangkan urusan hasilnya biarlah belakangan. Tindakan pertama dimulai dari aparat kepolisian untuk melakukan fungsi pengamanan, penyelidikan, dan penyidikan. Tindakan kedua dilakukan oleh aparat kejaksaan yang melakukan fungsi penyidikan dan penuntutan serta eksekusi. Tindakan yang dapat dilakukan terhadap perkumpulan, perhimpunan, atau pun kerumunan orang yang menyebar kebencian dan kekerasan dapat berupa tindakan pre-emptif, dan dapat pula berupa tindakan adjudikatif. Melalui tindakan pre-emptif, kerumunan, perkumpulan, atau perhimpunan yang bersangkutan dapat saja ditindak lebih dulu dapat bentuk pembubaran fisik sehingga tidak lagi berkerumun atau pun pembubaran kelembagaan dengan tetap member kesempatan kepada yang bersangkutan untuk membela diri di forum pengadilan. Sedangkan melalui tindakan adjudikatif, perkumpulan atau organisasi yang bersangkutan dibubarkan dengan mengajukannya secara resmi sebagai perkara ke forum pengadilan sebagaimana mestinya.
 
FORUM PENGADILAN
 
Dalam masyarakat dengan budaya berperkara (litigative culture) yang masih rendah, terlepas dari terbukti atau tidaknya suatu tuduhan hukum, terdapat pandangan umum yang berkembang, yaitu bahwa berurusan dengan kepolisian dan pengadilan itu sudah merupakan ‘aib yang tersendiri. Bahkan, secara lebih ekstrim sebenarnya akhir dari proses peradilan itu sendiri biasanya ada di penjara, yang sejak tahun 1960-an telah kita ubah sebutannya menjadi lembaga pemasyarakatan. Maksudnya tidak lain adalah bahwa lembaga penjara itu sebagai lembaga koreksi (correctional institute) adalah lembaga terakhir tempat memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para narapidana agar kembali menjadi warga masyarakat yang baik sebagaimana umumnya warga masyarakat lainnya. Artinya, apabila seseorang sudah menjalani masa hukumannya di LP, dengan sendirinya ia harus dianggap sudah bersih kembali, yaitu sama bersihnya dengan warga masyarakat baik-baik lainnya.
 
Namun dalam kenyataan praktik, budaya hukum yang demikian itu masih belum dapat diterima luas dalam masyarakat. Budaya berperkara yang rasional dan impersonal juga belum dapat diharapkan dalam waktu dekat. Tentu, persepsi negatif tentang proses peradilan yang demikian itu, sedikit demi sedikit perlu dan harus kita kikis melalui proses penyadaran. Proses penyadaran dapat ditimbulkan oleh efek dari tindakan-tindakan konkrit penegakan hukum dalam praktik. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus lah bersungguh-sungguh membangun sistem peradilan yang dari waktu ke waktu semakin dapat dipercaya, sehingga forum pengadilan dapat dijadikan andalan untuk menyelesaikan segala jenis konflik dan masalah hukum secara adil dan terpercaya.
 
Sebagai jaminan kepercayaan itu, maka pilar pentingnya adalah prinsip kemerdekaan peradilan. Peradilan dan aparat pengadilan yang terdiri atas hakim dan panitera harus dijamin dan diberdayakan independensi, integritas, netralitas dan imparsialitas, professionalitas, serta proporsionalitasnya dalam bekerja. Setiap kali ada masalah, aparatur pemerintahan eksekutif, tidak perlu menanggung sendiri beban pengambilan keputusan final atas sesuatu masalah hukum, khususnya yang terkait dengan persoalan aksi-aksi kekerasan massa yang mengatasnamakan agama atau kelompok yang dimaksud dalam kerangka acuan diskusi ini.
 
Bagaimana pun juga forum yang diadakan oleh pemerintah atau pun lembaga perwakilan rakyat bersifat politik. Karakteristik forum politik adalah berlakunya prinsip ‘majority-rule’ yang seringkali atau biasanya selalu mengabaikan ‘minority-rights’. Yang menentukan subtstansi keputusan dalam setiap forum politik adalah suara kelompok dominan yang biasanya bersifat hegemonik. Oleh karena itu, perdebatan substantive yang bersifat rasional seringkali tidak dapat dilakukan dengan tenang dan dingin dalam forum-forum semacam itu. Karena itu, peradaban umat manusia yang tumbuh dan berkembang dalam waktu yang sudah sangat lama mengajarkan kepada kita untuk membangun forum pengadilan, tempat kita segala perbedaan kepentingan dan pertentangan pendapat dapat diperdebatkan secara substantif, bebas, adil dan terbuka.
 
Setiap pihak dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk membela diri, mempertahankan pandangannya masing-masing. Di hadapan para pihak, ada hakim yang berindak sebagai menengah yang mencarikan solusi terbaik dan paling adil bagi semua. Jaksa penuntut umum atas nama Negara dapat secara bebas mengadakan perdebatan resmi berhadapan dengan advokat yang membela orang-orang atau pihak terdakwa. Pendek kata, para pejabat pemerintah tidak perlu memonopoli penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat. Biarlah dan berikanlah kesempatan kepada proses hukum agar berjalan sebagaimana mestinya. Kalau anda dihadapkan pada keharusan membubarkan sesuatu organisasi, bertindaklah, bubarkan dengan keyakinan yang rasional, professional, dan berintegritas, dengan memberikan peluang kepada yang bersangkutan untuk membela diri di pengadilan.
 
Pilihan apakah sebaiknya diambil tindakan dengan membubarkan dulu baru yang bersangkutan dipersilahkan melakukan upaya hukum ke pengadilan, atau bubarkan organisasi yang bersangkutan melalui pengadilan, tergantung sifat institusi perkumpulan, perhimpunan, atau kerumunan yang hendak  dibubarkan itu. Terhadap kerumunan tentu tidak tepat jika tindakan dilakukan harus ke pengadilan lebih dulu, karena prosesnya akan menjadi berbelat belit. Akan tetapi, organisasi yang sudah sejak lama ada dan sudah biasa melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap oleh masyarakat sebagai tindak kekerasan, tentu lebih tepat jika dibubarkan melalui proses peradilan lebih dulu.
 
Apakah aksi-aksi kekerasan yang dimaksud memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman pidana atau tidak, atau apakah pengurus organisasi yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum di pengadilan, sepenuhnya merupakan persoalan pembuktian di forum pengadilan. Menang dan kalah bukanlah soal yang utama. Penuntut umum, atas nama negara, mungkin saja menang tetapi mungkin juga kalah. Akan tetapi, apapun hasilnya, yang penting proses peradilan itu sendiri sebagai suatu mekanisme formal yang tersedia dalam setiap negara hukum modern dapat bekerja dengan efektif untuk memberikan pendidikan yang menjerakan. Penjara atau sekarang dinamakan dengan LP (Lembaga Pemasyarakatan), bukanlah tujuan penegakan hukum. Tujuan penegakan hukum dan keadilan di negara kita tidak boleh hanya dipersepsi sebagai upaya balas dendam (retributive), tetapi yang lebih penting adalah merupakan upaya perbaikan, penyembuhan dan bahkan pemulihan (corrective, curative, and restorative).
 
PENDEKATAN PEMBINAAN
 
Harus juga diakui bahwa kesadaran hukum masyarakat kita juga sangat rendah. Ide-ide yang terkandung dalam pelbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang ada juga seringkali tidak mencerminkan realitas sistem nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, hukum menjadi tidak akrab dengan masyarakatnya, dan demikian pula masyarakat tidak akrab dengan norma hukum. Dalam keadaan demikian, sangatlah sulit untuk mengharapkan hukum dapat dengan mudah ditegakkan oleh aparatur hukum sehingga dapat dirasakan adil oleh masyarakat. Oleh karena itu, upaya penegakan hukum itu haruslah diimbangi oleh upaya pembinaan masyarakat secara intensif. Sosialisasi hukum dan penyadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya dalam hukum haruslah terus menerus dilakukan, sehingga aparatur hukum dapat dengan ‘legitimate’ memaksakan berlakunya sesuatu norma hukum dalam praktik.
 
Sekarang disinilah letak persoalan yang paling serius dalam sistem dan dunia hukum kita di Indonesia. Hukum kita buat dari pengaruh asing, sedangkan masyarakat yang hidup dengan sistem nilainya sendiri dipaksa untuk mengikuti segala norma hukum yang berasal dari luar kesadarannya sendiri. Anehnya lagi, para pembuat hukum tidak merasa bertanggungjawab, setidaknya secara moral, mengenai pentingnya sosialisasi dan pendidikan hukum itu sendiri. Akibatnya hukum hanya tertuang di atas kertas, sedangkan pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, di samping upaya penegakan hukum, kita perlu meningkatkan usaha pendidikan dan pembinaan hukum masyarakat secara luas dan bersengaja.
 
Khusus terhadap gerakan-gerakan radikal dan kelompok-kelompok yang biasa melakukan tindak kekerasan, diperlukan usaha sungguh-sungguh untuk melakukan pembinaan yang bersifat lintas-budaya (cross-cultural) dan lintas kelompok berupa:
 
1)      Pertemuan antar pimpinan organisasi dengan aparat pemerintahan secara berkala atau sewaktui-waktu;
 
2)      Pendidikan dan pelatihan mengenai masalah-masalah tertentu, seperti pendidikan Pancasila dan UUD 1945;
 
3)      Kegiatan-kegiatan sosial bersama dalam rangka peranserta masyarakat dalam pembangunan nasional;
 
4)      Kunjungan-kunjungan studi banding ke daerah lain ataupun ke negara lain.
 
Di masa Orde Baru, kita memiliki banyak institusi yang menangani kegiatan-kegiatan semacam itu. Instansi dan institusi yang menangani hal itu adalah (i) Direktorat Jenderal Sosial Politik, Departemen Dalam Negeri, (ii) Kepala Staf Sosial Politik ABRI, dan (iii) BP7. Bahkan, ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai jaringan perangkat vertical di seluruh Indonesia, sehingga upaya pembinaan masyarakat menjadi sangat efektif sampai ke kecamatan dan bahkan desa-desa.
 
Sekarang di zaman reformasi, ketiganya tidak ada lagi. Yang ada hanya di lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang telah berubah menjadi Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa. Kiranya sekarang sudah saatnya kita mengadakan evaluasi kembali mengenai perlunya mengembangkan kelembagaan khusus yang menangani pembinaan kesadaran hukum masyarakat tersebut. Sangat masuk akal apabila usul Pimpinan MPR kepada Presiden mengenai perlunya dibentuk lembaga tersendiri yang akan menangani usaha sosialisasi empat pilar berbangsa, yaitu (i) Pancasila, (ii) UUD 1945, (iii) NKRI, dan (iv) Bhinneka Tunggal Ika dapat pula diintegrasikan dengan ide pelembagaan upaya pembinaan kesadaran hukum yang saya maksudkan disini.
 
CATATAN AKHIR
 
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menanggulangi pelbagai gerakan radikal dan ekstrim yang melanggar hukum, di samping diperlukan langkah-langkah pembinaan yang bersifat preventif dengan cara melembagakan kegiatan pembinaan kesadaran hukum masyarakat secara bersengaja, juga diperlukan upaya-upaya yang menggerakkan sistem penegakan hukum secara rasional. Dalam proses penegakan hukum itu juga terdapat elemen pembinaan yang bersifat mendidik dan bersifat preventif, sehingga aparat penegak hukum tidak perlu ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
 
Para penegak hukum tidak perlu selalu berorientasi hasil (menang-kalah, terbukti-tidak terbukti) dan bersikap retributive dan represif untuk melampiaskan kebencian, menyalurkan kemarahan, dan bahkan balas dendam dalam proses penegakan hukum. Proses penegakan hukum juga dapat dipandang sebagai proses pendidikan dan pembudayaan sikap hidup tertib dan berkeadilan dengan tegaknya sistem hukum yang disepakati bersama. Jika terjadi pelanggaran, sudah dengan sendirinya proses peradilan harus difungsikan untuk memberikan efek mendidik baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi masyarakat luas pada umumnya. Karena itu, untuk menanggulangi pelbagai kemungkinan tumbuh dan berkembangnya tindak kekerasan oleh kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi radikal, hukum harus ditegakkan, meskipun hukum itu sendiri belum sempurna.
 
Hukum yang tidak sempurna itu harus disempurnakan melalui praktik. Apalagi dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman sejak tahun 1970 telah lama diadopsi ada prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa sesuatu perkara hanya karena alasan bahwa undang-undangnya tidak ada atau tidak sempurna. Adalah tugas hakim dalam praktik untuk menyempurnakan hukum itu melalui putusan yang dimuatnya demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, para hakim juga tidak boleh kaku dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Hakim harus menegakkan keadilan, bukan sekedar menegakkan peraturan. Itulah esensi dari ide penegakan hukum dalam arti yang sebenarnya. (*penulis adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dipaparkan dalam seminar “Dengan Memperkuat Empat Pilar Kebangsaan, Kita Cegah Gerakan Radikalisme di Indonesia”)
[1] Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan.
 
[2] Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang bebes memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; dan Pasal 28E ayat (2) menyatakan. “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Kebebasan beragama tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang sudah sudah berlaku sejak tahun 1945, yang bunyinya, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
 
[3] Pasal 28E ayat (3) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar