PENANGGULANGAN GERAKAN EKSTRIM DAN KEKERASAN MASSA
Beberapa tahun terakhir muncul gejala yang menghawatirkan berupa
tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat ekstrim yang dilakukan secara
berkelompok oleh orang-orang yang menganut pandangan garis keras dengan
merugikan dan mendiskriminasikan kelompok lain atas nama agama atau atas
nama kelompok. Di dunia Islam, kecenderungan yang serupa juga terjadi
di hampir semua negara-negara anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI),
seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkik, Nigeria, dan sebagainya. Akan
tetapi, dari data survei global yang dilakukan oleh PEW Reseacrch Center
tahun 2010 diperoleh gambaran bahwa tingkat kekerasan di Indonesia
melebihi kecenderungan yang terjadi di negara-negara lain.
Bahkan tingkat toleransi kepada gerakan Osama bin Laden di
Indonesia dan Nigeria tergolong paling tinggi dibandingkan dengan
negara-negara mayoritas Islam lainnya. Berdasarkan hasil Survei yang
dipublikasikan tanggal 2 Desember 2010, negara dengan tingkat toleransi
yang lebih tinggi daripada Indonesia hanya Nigeria. Warga Muslim
Indonesia yang toleran terhadap gerakan Osama bin Laden mencapai 25%,
sementara Nigeria mencapai 28%, di samping Mesir sebagai negara ketiga
yang mencapai 19%, dan Pakistan 18%.
Dari data survei tersebut, dapat diketahui bahwa apa yang terjadi
di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah fenomena khas Indonesia, tetapi
melanda semua negeri dengan penduduk mayoritas Muslim. Proses
radikalisasi terjadi karena ketidakberdayaan menghadapi hegemoni
kekuatan barat yang terus mendominasi dunia Islam seperti yang tercermin
dalam kasus pendudukan tanah Arab oleh Israel yang terus menerus
mendapat dukungan Amerika Serikat dan Eropah. Terbentuk perasaan umum di
kalangan bangsa Arab yang kemudian mempengaruhi cara berpikir umat
Islam di dunia bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh kekuatan dunia
yang didominasi oleh negara-negara Amerika Serikat dan Eropah Barat.
Adalah keputusasaan itulah yang dengan mudah membawa orang pada
kesimpulan simplisistis bahwa jalan mulia yang tersedia hanyalah
kekerasan dan tindakan radikal dan ekstrim.
Lebih jauh daripada itu, radikalisasi yang terjadi di Indonesia
justru lebih meluas daripada di negara lain yang sama-sama dihinggapi
rasa tidak berdaya itu. Bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia
dengan tradisi budayanya yang penuh toleransi, sejak reformasi selama 13
tahun terakhir, justru mengalami radikalisasi yang lebih keras dan
meluas. Sebabnya ialah karena pada waktu yang sama, pelbagai suku bangsa
dan kelompok-kelompok yang tersegmentasi satu sama lain di Indonesia
mengalami perubahan cepat dan tidak biasa dari sistem kekuasaan yang
bersifat otoritarian ke sistem demokrasi yang bebas dan terbuka.
Liberalisasi politik, liberalisasi ekonomi, dan liberalisasi kebudayaan
berkembang sangat pesat selama era reformasi dan demokrasi ini dengan
tidak berhasil diimbangi secara tepat oleh tegaknya sistem hukum (rule
of law) dan etika (rule of ethics). Infra struktur hukum dan etika tidak
berhasil ditata dengan benar dan terintegrasi, sehingga gelombang
kebebasan di semua bidang berkembang menjadi-jadi dan tanpa kendali yang
efektif dan terarah.
Dalam keadaan demikian, gelombang radikalisme dan ekstrimisme mudah
sekali berkembang, menikmati kebebasan secara semaunya tanpa kendali,
termasuk radikalisme dan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama atau
kelompok. Untuk mencegah hal demikian, tentu kita dapat dan harus
melakukan upaya-upaya preventif melalui pendidikan dan penyadaran atau
pun penataan sistem yang kondusif sehingga kekerasan dapat dicegah.
Tersedia banyak ragam pendekatan yang dapat dilakukan secara
integral dan simultan, karena kekerasan kelompok memang tidak mungkin
dapat diatasi hanya dengan pendekatan sektoral, termasuk dengan hanya
melakukan upaya penegakan hukum. Untuk menanggulanginya secara tuntas
diperlukan pendekatan sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya,
di samping pendekatan hukum. Pendek kata, diperlukan tidak hanya
tindakan yang bersifat represif dan korektif, tetapi juga bersifat
preventif dan bahkan preemptif. Misalnya, ormas-ormas keagamaan dapat
didorong untuk mengembangkan kegiatan dakwah yang berorientasi damai,
pembinaan akhlaq, pencerahan epmikiran, dan bimbingan ke arah kesadaran
amaliyah. Ide lain lagi misalnya adalah penanggulangan melalui
pendekatan pendidikan karakter, dan lain sebagainya.
Namun demikian, upaya-upaya pencegahan yang demikian tentu
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Semua langkah-langkah yang
bersifat preventif membutuhkan waktu yang lama baru membuahkan hasil
yang diharapkan. Karena itu, sebagai negara hukum, pendekatan hukum
harus digerakkan agar sistem norma hukum dapat benar-benar berfungsi dan
difungsikan secara efektif. Perlu dipastikan bahwa sistem norma hukum
dan etika beserta penegakannya dapat benar-benar bekerja efektif
sebagaimana mestinya. Kekerasan atas nama apapun, dan untuk motif dan
tujuan apapun tidak boleh dibiarkan. Yang boleh melakukan tindak
kekerasan dan daya paksa, hanyalah aparat dan aparatur negara. Itupun
harus dilakukan dengan syarat dan tatacara yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan di antar sesama warga
masyarakat dan warga negara, sama sekali tidak diperbolehkan terjadinya
tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak antara satu sama lain.
KEBEBASAN BUKAN UNTUK KEKERASAN, PERMUSUHAN, DAN KEBENCIAN
Kebebasan (freedom) dan kemerdekaan (independence) merupakan
nilai-nilai yang diagungkan dalam UUD 1945. Kebebasan individual setiap
warga negara merupakan pilar bagi tersusunnya kemerdekaan kolektif
sebagai bangsa. “There is no independence without freedom”. Namun,
kebebasan harus diimbangi oleh keteraturan sehingga dapat menghasilkan
keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika kebebasan tidak diimbangi oleh
keteraturan, maka yang dihasilkan adalah kekacauan, bukan keadilan dan
kesejahteraan.
Dari kebebasan yang teratur itu harus dapat dihasilkan persaingan
dan kerjasama, kreatifitas dan solidaritas, bukan kebencian dan saling
permusuhan. Karena itu, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat,
dan kebebasan berorganisasi harus dijamin sepanjang tidak dimaksudkan
untuk menebar kebencian dan pemusuhan. Dengan demikian, aneka jenis dan
bentuk organisasi, bebas dibentuk dan dikembangkan, asalkan berorientasi
damai (peacefull association), bukan organisasi yang berorientasi
kekerasan dan penyebar kebencian dan permusuhan. Organisasi apapun juga,
termasuk yang mengatasnamakan agama atau kelompok primordial lainnya,
dimaksudkan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan, dan dengan
maksud untuk mengembangkan kegiatan damai, bukan tindak kekerasan.
Pada pokoknya, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa setiap orang
berhak untuk bebas menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun
tulisan, dan demikian pula bebas dalam beragama sesuai dengan keyakinan
dan hati nuraninya masing-masing[2]. Setiap orang juga berhak untuk
berkelompok, berkumpul, atau berorganisasi sesuai dengan kehendak
bebasnya masing-masing[3]. Namun, dalam pelaksanaan kebebasan itu, hak
dan kebebasan orang lain tidak boleh diganggu karena tuntutan kehendak
untuk melaksanakan hak dan kebebasan sendiri. Karena itu, dalam Pasal
28J ayat (1) ditegaskan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara”.
Bahkan, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan pula bahwa “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”. Artinya, tidak karena kebebasan
menjalankan agama, seseorang atau sekelompok orang dapat dibenarkan
melakukan tindak kekerasan yang merugikan hak dan kebebasan orang lain.
Kebebasan orang untuk menjalankan agama dan atas nama agama atau
kelompok tetap harus dilakukan dengan menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Selain itu, pengertian kita tentang kebebasan berkelompok dan
berorganisasi juga ada batasnya, yaitu bahwa organisasi atau kelompok
itu dibentuk untuk maksud dan tujuan damai, bukan untuk tujuan kekerasan
dan permusuhan. Yang dijamin kebebasannya menurut ketentuan Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945 adalah organisasi damai atau ‘peacefull association”,
bukan organisasi yang dibentuk untuk maksud dan tujuan permusuhan dan
dengan melalui tindakan atau kegiatan-kegiatan kekerasan.
Dengan demikian, perkumpulan orang, perhimpunan orang, atau pun
kerumunan orang dijamin keberadaannya menurut UUD 1945 sepanjang
perkumpulan, perhimpunan, ataupun kerumunan itu tidak dimaksudkan
dan/atau tidak melakukan tindakan permusuhan dan tindakan kekerasan yang
merugikan hak dan kebebasan orang lain. Jika syarat demikian tidak
terpenuhi, maka perkumpulan, perhimpunan, ataupun kerumunan orang yang
demikian itu tidak dijamin keberadaannya sehingga dapat diambil tindakan
sebagaimana mestinya oleh aparatur negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendek kata, kebebasan berpendapat dan berorganisasi
setidak-tidaknya haruslah memenuhi syarat-syarat (i) bertujuan damai dan
dilakukan dengan cara-cara damai; (ii) tidak merugikan hak dan
kebebasan orang lain yang dijamin oleh UUD 1945; dan (iii) tujuan dan
tindakan yang dilakukannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan,
seperti mengakibatkan orang lain merasa terhina, mencuri dan merusak
kekayaan orang lain, menilmbulkan permusuhan dan konflik dalam
masyarakat, dan lain sebagainya. Siapa saja yang mengekspresikan
kebebasannya untuk mengemukakan pendapat secara lisan atau tulisan harus
memenuhi criteria dan syarat-syarat tersebut.
Jika tidak, maka sekiranya ada pihak yang merasa dirugikan atas
penggunaan hak kebebasan berpendapat itu, maka pihak yang merasa
dirugikan dapat melaporkan ataupun mengadukan yang bersangkutan kepada
pihak yang berwajib. Demikian pula, para pengurus organisasi apapun juga
dijamin untuk mengembangkan organisasinya sepanjang tidak melanggar
prinsip-prinsip tersebut di atas, jika syarat-syarat dimaksud tidak
dipenuhi, maka jaminan kebebasan bagi organisasi yang bersangkutan
dengan sendirinya menjadi hilang, sehingga kepadanya dapat dikenakan
pelbagai kemungmkinan tindakan, seperti pelarangan, pembekuan, atau pun
pembubaran.
FUNGSI HUKUM PREVENTIF DAN KOREKTIF
Hukum dapat mencakup persoalan pembuatannya (law and rule making),
penerapannya (law application and administration), atau pun
penagakannya (law enforcement). Di dalam ketiga ranah itu, tercakup (i)
elemen subjek aparat dan institusi (aparatur), (ii) elemen substansi
aturan atau norma peraturan perundang-undangan, dan (iii) budaya hukum
(legal culture) yang berkaitan pula dengan persoalan tingkat
perkembangan peradaban berbangsa dan bernegara (level of civilization).
Sekiranya keseluruhan elemen dan aspek-aspek hukum tersebut dapat
bekerja dengan baik, maka niscaya hukum kita dapat berfungsi efektif,
baik untuk mencegah (preventif) maupun menindak (repressif, kuratif,
atau pun restoratif). Penindakan tidak hanya bersifat represif, tetapi
juga kuratif; Bahkan penindakan tidak hanya bersifat represif dan
kuratif, tetapi seharusnya juga bersifat restoratif atau memulihkan.
Sebenarnya, untuk meningkatkan fungsi pencegahan, kita memang perlu
memperkuat dan menata sistem hukum dengan baik. Jika hukum dan aparatur
hukum kita tertata dengan baik, tentu dapat dicegah segala kemungkinan
terjadinya tindak kekerasan massa yang mengatasnamakan agama dan/atau
kelompok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan
tetapi, dalam praktik di lapangan, kita sering mendapati bahwa dalam
penindakan dan penegakan hukum itu juga mengandung dampak pencegahan
yang bersifat pendidikan (education), penjeraan (deterrence), dan
penyadaran (conscientisastion).
Oleh karena itu, upaya penindakan yang adil dan pasti (legal
certainty) juga berfungsi untuk mencegah agar perbuatan serupa tidak
dilakukan lagi oleh pelaku yang bersangkutan (special deterrence)
ataupun oleh masyarakat pada umumnya yang menyaksikan adanya peristiwa
pelanggaran hukum semacam itu (general deterrence). Oleh karena itu, apa
yang kita maksud dengan pencegahan kekerasan terorganisasi, sebenarnya
juga terdapat dalam upaya penindakan sekaligus itu secara sekaligus.
Dengan demikian, untuk mengatasi kondisi hukum negara yang dinilai
lemah dalam menghadapi kekerasan massa yang terjadi, kita memang harus
melihatnya mulai dari upaya penataan sistem norma hukum dan penataan
sistem kelembagaan hukum, baik yang berlaku dalam rangka upaya pembaruan
hukum maupun dalam penegakan hukum. Namun, oleh karena luasnya
permasalahan tersebut, kita harus menentukan pilihan yang paling mudah,
murah, dan segera dalam menghadapi pelbagai masalah yang timbul dalam
masyarakat, yaitu dengan cara penindakan. Janganlah mengatasi masalah di
depan mata dengan membuat undang-undang baru, tetapi pergunakan sajalah
undang-undang yang sudah ada untuk menindak segala pelanggaran yang
terjadi dalam masyarakat.
Negara dengan pelbagai perangkat sistem hukumnya yang ada –
betapapun banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya -- tidak boleh
dibiarkan dianggap tidak hadir dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Idealnya, tentu saja, kita seharusnya
memperkuat hukum untuk mencegah kekerasan massa yang mengatasnamakan
agama atau kelompok yang menjadi topik diskusi kali ini dengan melakukan
langkah-langkah mulai dari hulu sampai ke hilir. Dari hulu kita harus
memperbaiki sistem norma hukum yang tercermin dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait, dan demikian pula membenahi pelbagai
mekanisme kelembagaan yang terkait dengan proses-proses pembuatan hukum.
Namun upaya pembenahan di tingkat hulu demikian tentu akan memakan
waktu yang lama dan tidak mudah.
Oleh sebab itu, untuk menghadapi permasalahan yang terjadi di depan
mata, sudah semestinya dilakukan upaya penindakan dan penegakan hukum
yang konkrit dan segera. Jangan hadapi masalah hukum dengan membuat
hukum baru, tetapi tegakkanlah hukum yang sudah ada. Kita tidak boleh
mengikuti kebiasaan yang salah sebagai akibat cara berpikir yang biasa
berkembang dalam sistem ‘civil law’ yang selalu mengutamakan pembentukan
peraturan tertulis dengan menomerduakan pembentukan hukum oleh hakim
seperti dalam tradisi ‘common law’ yang biasa melihat hukum sebagai
buatan hakim (judge-made law). Meski negara kita menganut tradisi ‘civil
law’, tetapi peran hakim tetap harus dipandang penting, dan bahkan
dewasa ini harus dinilai semakin penting. Hukum tidak hanya dibuat oleh
legislator, tetapi juga terbentuk dalam praktik penegakan hukum. Karena
itu, penegakan hukum sangat penting, karena pada akhirnya hukum yang
dibuat baru mempunyai arti jikalau sudah dipraktikkan di lapangan dengan
jaminan sistem sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran
terhadapnya.
Di samping itu, dengan tindakan menegakkan hukum itu secara
konkrit, kita dapat memperoleh berlipat manfaat sekaligus, yaitu (i)
tegaknya kewibawaan hukum dan kepercayaan terhadap hukum, (ii) penjeraan
khusus kepada para pelaku, (iii) penjeraan umum bagi masyarakat luas,
(iv) pendidikan kesadaran hukum bagi masyarakat luas mengenai
prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dan (v) diperolehnya pengalaman
konkrit dari lapangan yang dapat memberikan bahan bagi upaya perbaikan
sistem hukum di masa mendatang.
PENANGGULANGAN KEKERASAN BERKELOMPOK
Dalam praktik di era demokrasi dewasa ini, kita biasa menyaksikan
kerumunan-kerumunan orang berdemonstrasi di jalan-jalan untuk
mengekspresikan kebebasannya untuk berpendapat. Ekspresi kebebasannya
itu sendiri tentu dijamin oleh UUD 1945. Akan tetapi apabila dalam
pelaksanaannya terjadi hal-hal yang melanggar peraturan
perundang-undangan, seperti mengakibatkan rumah dan mobil orang menjadi
rusak, terbakar, atau ada orang yang terluka, maka hal-hal demikian
berada di luar lingkup jaminan konstitusional akan kebebasan itu
sendiri. Pelanggaran hukum tetaplah merupakan pelanggaran hukum yang
harus dipertanggungjawabkan secara tersendiri. Demikian pula jika timbul
tindak kekerasan atas nama agama ataupun kelompok yang sudah berada di
luar koridor kebebasan berekspresi, maka tindak kekerasan semacam itu
sudah berada di luar lingkup jaminan konstitusional akan kebebasan
berorganisasi dan berkumpul sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Karena itu, untuk menghadapi perhimpunan, perkumpulan, atau pun
kerumunan-kerumunan orang yang melakukan tindak kekerasan, baik yang
mengatasnamakan agama atau pun kelompok tertentu, aparatur negara sudah
seharusnya bertindak tegas dan terarah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya, setiap
aparat dan aparatur penegak hukum dapat dibenarkan untuk berpikir dan
bertindak normatif dan idealistis. Sikap normatif mengedepankan cara
kerja yang bersifat ‘rule-driven’ untuk menjamin kepastian hukum.
Sedangkan sikap idealistis mengutamakan hasil atau tujuan akhir dari
proses penindakan itu, yaitu menang atau kalah, terbukti atau tidak
terbukti, dipidana atau dibebaskan. Kedua sikap ini akan mendorong cara
berpikir yang bersifat prudensial dan penuh kehati-hatian. Terkadang
cara kerja demikian ini tepat sasaran, tetapi terkadang dipandang
terlalu makan waktu dan bertele-tele, sehingga menumbuh-suburkan
penyimpangan dan penyalahgunaan dengan hasil yang hanya menjamin
kepastian yang belum tentu berkeadilan.
Karena itu, para penegak hukum ada baiknya juga mempertimbangkan
cara kerja yang bersifat ‘mission driven’ yang tidak kaku tetapi tetap
dalam koridor aturan yang berlaku. Orientasinya pun sebaiknya tidak
hanya idealistis tetapi juga mekanistis. Penegakan hukum dan keadilan
pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian proses hukum atau suatu
mekanisme kerja melalui mana cita-cita keadilan ditegakkan. Cara pandang
idealis lebih berorientasi hasil, sedangkan cara pandang mekanis lebih
mengutamakan prosesnya. Tegaknya keadilan itu harus mengikuti alur
mekanisme atau prosesnya yang tersendiri.
Proses tidak hanya berfungsi sebagai (i) jalan menuju keadilan,
tetapi juga berfungsi sebagai (ii) sarana penyalur penyelesaian konflik,
(iii) sarana penyerap rasa kecewa, kemarahan, dan bahkan permusuhan.
Sebagai penyalur penyelesaian konflik, proses hukum dapat meredam
konflik, meredam kemarahan, menyerap kebencian, kekecewaan, dan
permusuhan pihak-pihak yang terlibat. Karena itu, aparat penegak hukum
haruslah melengkapi diri dengan pendekatan-pendekatan yang bersifat
pragmatis dan tidak melulu idealistis dengan mengabaikan realitas
kebutuhan di lapangan.
Yang penting diproses dulu atau ditindak dulu, sedangkan urusan
hasilnya biarlah belakangan. Tindakan pertama dimulai dari aparat
kepolisian untuk melakukan fungsi pengamanan, penyelidikan, dan
penyidikan. Tindakan kedua dilakukan oleh aparat kejaksaan yang
melakukan fungsi penyidikan dan penuntutan serta eksekusi. Tindakan yang
dapat dilakukan terhadap perkumpulan, perhimpunan, atau pun kerumunan
orang yang menyebar kebencian dan kekerasan dapat berupa tindakan
pre-emptif, dan dapat pula berupa tindakan adjudikatif. Melalui tindakan
pre-emptif, kerumunan, perkumpulan, atau perhimpunan yang bersangkutan
dapat saja ditindak lebih dulu dapat bentuk pembubaran fisik sehingga
tidak lagi berkerumun atau pun pembubaran kelembagaan dengan tetap
member kesempatan kepada yang bersangkutan untuk membela diri di forum
pengadilan. Sedangkan melalui tindakan adjudikatif, perkumpulan atau
organisasi yang bersangkutan dibubarkan dengan mengajukannya secara
resmi sebagai perkara ke forum pengadilan sebagaimana mestinya.
FORUM PENGADILAN
Dalam masyarakat dengan budaya berperkara (litigative culture) yang
masih rendah, terlepas dari terbukti atau tidaknya suatu tuduhan hukum,
terdapat pandangan umum yang berkembang, yaitu bahwa berurusan dengan
kepolisian dan pengadilan itu sudah merupakan ‘aib yang tersendiri.
Bahkan, secara lebih ekstrim sebenarnya akhir dari proses peradilan itu
sendiri biasanya ada di penjara, yang sejak tahun 1960-an telah kita
ubah sebutannya menjadi lembaga pemasyarakatan. Maksudnya tidak lain
adalah bahwa lembaga penjara itu sebagai lembaga koreksi (correctional
institute) adalah lembaga terakhir tempat memasyarakatkan kembali
(resosialisasi) para narapidana agar kembali menjadi warga masyarakat
yang baik sebagaimana umumnya warga masyarakat lainnya. Artinya, apabila
seseorang sudah menjalani masa hukumannya di LP, dengan sendirinya ia
harus dianggap sudah bersih kembali, yaitu sama bersihnya dengan warga
masyarakat baik-baik lainnya.
Namun dalam kenyataan praktik, budaya hukum yang demikian itu masih
belum dapat diterima luas dalam masyarakat. Budaya berperkara yang
rasional dan impersonal juga belum dapat diharapkan dalam waktu dekat.
Tentu, persepsi negatif tentang proses peradilan yang demikian itu,
sedikit demi sedikit perlu dan harus kita kikis melalui proses
penyadaran. Proses penyadaran dapat ditimbulkan oleh efek dari
tindakan-tindakan konkrit penegakan hukum dalam praktik. Oleh karena
itu, aparat penegak hukum harus lah bersungguh-sungguh membangun sistem
peradilan yang dari waktu ke waktu semakin dapat dipercaya, sehingga
forum pengadilan dapat dijadikan andalan untuk menyelesaikan segala
jenis konflik dan masalah hukum secara adil dan terpercaya.
Sebagai jaminan kepercayaan itu, maka pilar pentingnya adalah
prinsip kemerdekaan peradilan. Peradilan dan aparat pengadilan yang
terdiri atas hakim dan panitera harus dijamin dan diberdayakan
independensi, integritas, netralitas dan imparsialitas,
professionalitas, serta proporsionalitasnya dalam bekerja. Setiap kali
ada masalah, aparatur pemerintahan eksekutif, tidak perlu menanggung
sendiri beban pengambilan keputusan final atas sesuatu masalah hukum,
khususnya yang terkait dengan persoalan aksi-aksi kekerasan massa yang
mengatasnamakan agama atau kelompok yang dimaksud dalam kerangka acuan
diskusi ini.
Bagaimana pun juga forum yang diadakan oleh pemerintah atau pun
lembaga perwakilan rakyat bersifat politik. Karakteristik forum politik
adalah berlakunya prinsip ‘majority-rule’ yang seringkali atau biasanya
selalu mengabaikan ‘minority-rights’. Yang menentukan subtstansi
keputusan dalam setiap forum politik adalah suara kelompok dominan yang
biasanya bersifat hegemonik. Oleh karena itu, perdebatan substantive
yang bersifat rasional seringkali tidak dapat dilakukan dengan tenang
dan dingin dalam forum-forum semacam itu. Karena itu, peradaban umat
manusia yang tumbuh dan berkembang dalam waktu yang sudah sangat lama
mengajarkan kepada kita untuk membangun forum pengadilan, tempat kita
segala perbedaan kepentingan dan pertentangan pendapat dapat
diperdebatkan secara substantif, bebas, adil dan terbuka.
Setiap pihak dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk membela
diri, mempertahankan pandangannya masing-masing. Di hadapan para pihak,
ada hakim yang berindak sebagai menengah yang mencarikan solusi terbaik
dan paling adil bagi semua. Jaksa penuntut umum atas nama Negara dapat
secara bebas mengadakan perdebatan resmi berhadapan dengan advokat yang
membela orang-orang atau pihak terdakwa. Pendek kata, para pejabat
pemerintah tidak perlu memonopoli penyelesaian konflik yang terjadi
dalam masyarakat. Biarlah dan berikanlah kesempatan kepada proses hukum
agar berjalan sebagaimana mestinya. Kalau anda dihadapkan pada keharusan
membubarkan sesuatu organisasi, bertindaklah, bubarkan dengan keyakinan
yang rasional, professional, dan berintegritas, dengan memberikan
peluang kepada yang bersangkutan untuk membela diri di pengadilan.
Pilihan apakah sebaiknya diambil tindakan dengan membubarkan dulu
baru yang bersangkutan dipersilahkan melakukan upaya hukum ke
pengadilan, atau bubarkan organisasi yang bersangkutan melalui
pengadilan, tergantung sifat institusi perkumpulan, perhimpunan, atau
kerumunan yang hendak dibubarkan itu. Terhadap kerumunan tentu tidak
tepat jika tindakan dilakukan harus ke pengadilan lebih dulu, karena
prosesnya akan menjadi berbelat belit. Akan tetapi, organisasi yang
sudah sejak lama ada dan sudah biasa melakukan kegiatan-kegiatan yang
dianggap oleh masyarakat sebagai tindak kekerasan, tentu lebih tepat
jika dibubarkan melalui proses peradilan lebih dulu.
Apakah aksi-aksi kekerasan yang dimaksud memenuhi unsur-unsur
tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman pidana atau tidak, atau
apakah pengurus organisasi yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum di pengadilan, sepenuhnya merupakan
persoalan pembuktian di forum pengadilan. Menang dan kalah bukanlah soal
yang utama. Penuntut umum, atas nama negara, mungkin saja menang tetapi
mungkin juga kalah. Akan tetapi, apapun hasilnya, yang penting proses
peradilan itu sendiri sebagai suatu mekanisme formal yang tersedia dalam
setiap negara hukum modern dapat bekerja dengan efektif untuk
memberikan pendidikan yang menjerakan. Penjara atau sekarang dinamakan
dengan LP (Lembaga Pemasyarakatan), bukanlah tujuan penegakan hukum.
Tujuan penegakan hukum dan keadilan di negara kita tidak boleh hanya
dipersepsi sebagai upaya balas dendam (retributive), tetapi yang lebih
penting adalah merupakan upaya perbaikan, penyembuhan dan bahkan
pemulihan (corrective, curative, and restorative).
PENDEKATAN PEMBINAAN
Harus juga diakui bahwa kesadaran hukum masyarakat kita juga sangat
rendah. Ide-ide yang terkandung dalam pelbagai perangkat peraturan
perundang-undangan yang ada juga seringkali tidak mencerminkan realitas
sistem nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, hukum menjadi
tidak akrab dengan masyarakatnya, dan demikian pula masyarakat tidak
akrab dengan norma hukum. Dalam keadaan demikian, sangatlah sulit untuk
mengharapkan hukum dapat dengan mudah ditegakkan oleh aparatur hukum
sehingga dapat dirasakan adil oleh masyarakat. Oleh karena itu, upaya
penegakan hukum itu haruslah diimbangi oleh upaya pembinaan masyarakat
secara intensif. Sosialisasi hukum dan penyadaran masyarakat akan hak
dan kewajibannya dalam hukum haruslah terus menerus dilakukan, sehingga
aparatur hukum dapat dengan ‘legitimate’ memaksakan berlakunya sesuatu
norma hukum dalam praktik.
Sekarang disinilah letak persoalan yang paling serius dalam sistem
dan dunia hukum kita di Indonesia. Hukum kita buat dari pengaruh asing,
sedangkan masyarakat yang hidup dengan sistem nilainya sendiri dipaksa
untuk mengikuti segala norma hukum yang berasal dari luar kesadarannya
sendiri. Anehnya lagi, para pembuat hukum tidak merasa bertanggungjawab,
setidaknya secara moral, mengenai pentingnya sosialisasi dan pendidikan
hukum itu sendiri. Akibatnya hukum hanya tertuang di atas kertas,
sedangkan pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Karena itu, di samping upaya penegakan hukum, kita perlu
meningkatkan usaha pendidikan dan pembinaan hukum masyarakat secara luas
dan bersengaja.
Khusus terhadap gerakan-gerakan radikal dan kelompok-kelompok yang
biasa melakukan tindak kekerasan, diperlukan usaha sungguh-sungguh untuk
melakukan pembinaan yang bersifat lintas-budaya (cross-cultural) dan
lintas kelompok berupa:
1) Pertemuan antar pimpinan organisasi dengan aparat pemerintahan secara berkala atau sewaktui-waktu;
2) Pendidikan dan pelatihan mengenai masalah-masalah tertentu, seperti pendidikan Pancasila dan UUD 1945;
3) Kegiatan-kegiatan sosial bersama dalam rangka peranserta masyarakat dalam pembangunan nasional;
4) Kunjungan-kunjungan studi banding ke daerah lain ataupun ke negara lain.
Di masa Orde Baru, kita memiliki banyak institusi yang menangani
kegiatan-kegiatan semacam itu. Instansi dan institusi yang menangani hal
itu adalah (i) Direktorat Jenderal Sosial Politik, Departemen Dalam
Negeri, (ii) Kepala Staf Sosial Politik ABRI, dan (iii) BP7. Bahkan,
ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai jaringan perangkat vertical
di seluruh Indonesia, sehingga upaya pembinaan masyarakat menjadi sangat
efektif sampai ke kecamatan dan bahkan desa-desa.
Sekarang di zaman reformasi, ketiganya tidak ada lagi. Yang ada
hanya di lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang telah berubah menjadi
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa. Kiranya sekarang sudah saatnya kita
mengadakan evaluasi kembali mengenai perlunya mengembangkan kelembagaan
khusus yang menangani pembinaan kesadaran hukum masyarakat tersebut.
Sangat masuk akal apabila usul Pimpinan MPR kepada Presiden mengenai
perlunya dibentuk lembaga tersendiri yang akan menangani usaha
sosialisasi empat pilar berbangsa, yaitu (i) Pancasila, (ii) UUD 1945,
(iii) NKRI, dan (iv) Bhinneka Tunggal Ika dapat pula diintegrasikan
dengan ide pelembagaan upaya pembinaan kesadaran hukum yang saya
maksudkan disini.
CATATAN AKHIR
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menanggulangi
pelbagai gerakan radikal dan ekstrim yang melanggar hukum, di samping
diperlukan langkah-langkah pembinaan yang bersifat preventif dengan cara
melembagakan kegiatan pembinaan kesadaran hukum masyarakat secara
bersengaja, juga diperlukan upaya-upaya yang menggerakkan sistem
penegakan hukum secara rasional. Dalam proses penegakan hukum itu juga
terdapat elemen pembinaan yang bersifat mendidik dan bersifat preventif,
sehingga aparat penegak hukum tidak perlu ragu-ragu dalam menjalankan
tugasnya sebagaimana mestinya.
Para penegak hukum tidak perlu selalu berorientasi hasil
(menang-kalah, terbukti-tidak terbukti) dan bersikap retributive dan
represif untuk melampiaskan kebencian, menyalurkan kemarahan, dan bahkan
balas dendam dalam proses penegakan hukum. Proses penegakan hukum juga
dapat dipandang sebagai proses pendidikan dan pembudayaan sikap hidup
tertib dan berkeadilan dengan tegaknya sistem hukum yang disepakati
bersama. Jika terjadi pelanggaran, sudah dengan sendirinya proses
peradilan harus difungsikan untuk memberikan efek mendidik baik bagi
yang bersangkutan, maupun bagi masyarakat luas pada umumnya. Karena itu,
untuk menanggulangi pelbagai kemungkinan tumbuh dan berkembangnya
tindak kekerasan oleh kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi
radikal, hukum harus ditegakkan, meskipun hukum itu sendiri belum
sempurna.
Hukum yang tidak sempurna itu harus disempurnakan melalui praktik.
Apalagi dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman sejak tahun 1970 telah lama
diadopsi ada prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa
sesuatu perkara hanya karena alasan bahwa undang-undangnya tidak ada
atau tidak sempurna. Adalah tugas hakim dalam praktik untuk
menyempurnakan hukum itu melalui putusan yang dimuatnya demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, para hakim juga tidak
boleh kaku dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan
keadilan. Hakim harus menegakkan keadilan, bukan sekedar menegakkan
peraturan. Itulah esensi dari ide penegakan hukum dalam arti yang
sebenarnya. (*penulis adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,
dipaparkan dalam seminar “Dengan Memperkuat Empat Pilar Kebangsaan, Kita
Cegah Gerakan Radikalisme di Indonesia”)
[1] Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan mantan Anggota Dewan
Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan.
[2] Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang bebes
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”;
dan Pasal 28E ayat (2) menyatakan. “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”. Kebebasan beragama tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 29
ayat (2) UUD 1945 yang sudah sudah berlaku sejak tahun 1945, yang
bunyinya, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
[3] Pasal 28E ayat (3) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar