Rabu, 27 Juni 2012

Martin Lings, Hidayah Allah untuk Sang Penyair



 

Menyebut nama Abu Bakr Siraj Ad-Din, mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Ketika disebut nama Martin Lings, tentu hanya sebagian umat Islam yang mengetahuinya. Namun, bagi kebanyakan pelajar, peneliti, dan tokoh muslim, nama Martin Lings sangat populer. Karena, tulisan dan karya-karyanya mampu memberi inspirasi banyak orang dalam mempelajari Islam. Padahal, sang penulis dulunya seorang pemeluk Kristen yang taat. Berkat hidayah Allah, ia pun memeluk Islam dan menjadi mualaf.

Salah satu karyanya yang sangat fenomenal berjudul Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources), diterbitkan tahun 1983. Buku yang berisikan biografi Rasulullah SAW ini didedikasikan untuk pemimpin Pakistan, Zia ul-Haq.
Dengan gaya narasi (bertutur) yang halus dan mudah dipahami, Martin Lings mampu menghadirkan sebuah riwayat hidup dan perjalanan seorang tokoh inspiratif bagi dunia, yakni Nabi Muhammad SAW. Ia menulisnya dengan sangat detail dan mengagumkan.

Oleh banyak kalangan, buku ini dinilai sebagai salah satu buku biografi Rasulullah SAW yang terbaik dan pernah diterbitkan. Tentunya, hanya seseorang yang berkemampuan istimewa yang bisa menghasilkan sebuah buku yang berkualitas dan menyentuh. Itulah yang dilakukan Martin Lings karena kecintaannya pada Sang Uswatun Hasanah, Nabi Muhammad SAW.

Banyak sudah pembaca yang memuji karya cendekiawan Inggris ini. Orang menyebutnya tour de force, karya nan tiada bandingannya. Ditulis dari perspektif seorang cendekiawan-sejarawan yang juga mempraktikkan Islam dalam keseharian, buku tersebut cepat terkenal dan menjadi salah satu bacaan wajib mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa serta memperoleh sejumlah penghargaan dari dunia Islam.

Profesor Hamid Dabashi dari Columbia University mengungkapkan kekagumannya. ”Ketika membaca buku Muhammad karya Lings, kita akan bisa merasakan semacam efek kimia pada narasi dan komposisi bahasa yang terkombinasi dengan keakuratan serta gairah syair. Lings adalah cendekiawan-penyair,” katanya.
Selain buku di atas, nama Martin Lings juga banyak dikenal dari berbagai karya-karyanya yang lain. Di antaranya adalah terjemahan teks Islam, puisi, seni, dan filsafat. Dari tulisan-tulisannya itu, Lings kerap disejajarkan dengan peneliti seni berkebangsaan Swiss-Jerman, Titus Burckhardt; tokoh filsuf abadi dan metafisikawan Prancis, Rene Guenon; serta cendekiawan Jerman, Fritjhof Schuon. Martin Lings sangat identik dengan seorang sufi yang gigih dalam menyebarkan Islam di Barat melalui tulisan-tulisan dan artikel-artikelnya yang tajam dan kritis.

Namun, hal yang paling berkesan dari Lings adalah keterkaitan karya dengan jiwa ihsan (keindahan dan kecemerlangan) yang dimilikinya. Ia mencurahkan jiwa dan hatinya dalam menghasilkan sebuah karya yang inspiratif, jelas, dan berkualitas.

Kini, sang tokoh sudah tiada. Pada 12 Mei 2005 lalu, Lings mengembuskan nafas terakhir dalam usia 96 tahun di kediamannya di kawasan Westerham, Kent County, Inggris. Umat Islam di seluruh dunia pun berkabung atas wafatnya penyair sufi modern terkemuka ini.

Berasal dari keluarga pemeluk Kristen Protestan, Lings lahir di Burnage, Lancashire, Inggris, pada 24 Januari 1909. Meski begitu, dia menghabiskan masa kecilnya di Amerika Serikat, mengikuti ayahnya. Ketika keluarganya kembali ke Inggris, dia didaftarkan ke Clifton College, Bristol. Kemudian, Lings melanjutkan pendidikannya di Magdalen College, Oxford. Ia belajar literatur Inggris dan memperoleh gelar BA tahun 1932. Tahun 1935, dia memutuskan pergi ke Lithuania untuk menjadi pengajar studi Anglo-Saxon dan Inggris Tengah di Universitas Kaunas.

Mengenal Islam
Pada tahun 1939, Lings datang ke Mesir mengunjungi seorang teman dekatnya yang kebetulan mengajar di Universitas Kairo. Temannya ini juga merupakan asisten filsuf Prancis, Rene Guenon. Akan tetapi, pada saat kunjungannya itu, sang teman meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Kemudian, Lings diminta untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh temannya ini. Dia menerima tawaran tersebut.

Lings pun mulai aktif belajar bahasa Arab dan mempelajari Islam. Setelah banyak berhubungan dengan ajaran Sufi Sadzililiyah, dia berketetapan hati untuk masuk Islam. Sejak saat itu, ia menjadi pribadi baru dengan nama Abu Bakr Siraj Ad-Din.

Bagi Lings, Islam bukan hanya sekadar agama. Islam menjadi petunjuk hidup umat manusia. Ia sangat terkesan dengan Alquran dan pribadi Rasulullah SAW. Baginya, tak ada tokoh yang melebihi Nabi Muhammad SAW, baik dalam akhlak maupun kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bukunya yang berjudul Muhammad, Kisah Hidup Nabi merupakan salah satu bukti kecintaannya kepada Rasulullah SAW.

Komitmennya dalam Islam terbawa sepanjang hayat. Bahkan, sepuluh hari sebelum meninggal dunia, Lings masih sempat menjadi pembicara di depan tiga ribu pengunjung pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertajuk Bersatu untuk Sang Nabi yang diadakan di Wembley, Inggris. Lings mengatakan, itu adalah pertama kalinya dia berbicara mengenai makna kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam waktu 40 tahun.
Setelah masuk Islam, Lings makin dekat dengan Rene Guenon yang juga sudah memeluk Islam. Dia lantas menjadi asisten pribadi serta penasihat spiritual Guenon.

Pada saat tinggal di Mesir, ia menikah dengan Lesley Smalley. Keduanya lantas tinggal di sebuah kamp pengungsi di dekat piramid. Namun, ketika revolusi anti-Inggris oleh kaum nasionalis yang berujung pada kerusuhan melanda Mesir, Lings memutuskan kembali ke Inggris pada 1952.

Sekembali dari negara di kawasan Afrika ini, ia melanjutkan pendidikan ke School of Oriental and African Studies, London, hingga mendapat gelar doktor. Tesisnya mengenai seorang sufi terkenal asal Ajazair, Ahmad al-Alawi, yang kemudian ia terbitkan menjadi sebuah buku dengan judul A Sufi Saint of the Twentieth Century. Sementara itu, sang istri yang berprofesi sebagai psikoterapis bekerja sesuai bidangnya itu.

Kemudian, tahun 1955, dia bekerja sebagai asisten ahli naskah kuno dari kawasan Timur pada British Museum. Pekerjaan itu dilakoninya hingga hampir dua dasawarsa.

Tahun 1973, Lings merangkap kerja di British Library, di mana dia memfokuskan perhatiannya terhadap kaligrafi Alquran. Beberapa tahun kemudian, dia memublikasikan karya klasiknya pada subjek yang sama, yaitu The Qur’anic Art Of Calligraphy And Illumination, bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Dunia Islam tahun 1976.

Sejak itu, Lings pun mulai menulis secara teratur. Karya-karyanya, selain sufisme dan buku-buku lainnya, meliputi artikel mengenai tasawuf pada terbitan Cambridge University, Religion in the Middle East dan The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of the Modern World in the Light of Tradition and Prophecy, serta banyak artikel untuk jurnal kuartalan, Studies in Comparative Religion. Jurnal itu turut andil dalam memperluas cakrawala dunia Barat dalam memahami ketinggian Islam.

Pengagum Shakespeare
Selain berkutat dalam bidang filsafat, Lings juga berkiprah di bidang seni. Kiprah awalnya di bidang seni dimulai pada tahun 1944 dengan memproduksi sandiwara Shakespeare. Para pemainnya tak lain adalah para muridnya sendiri.

Ia memang senang mempelajari karya-karya pujangga itu. Ketertarikannya pada karya-karya Shakespeare lantas membawanya, sekitar 40 tahun kemudian, membuat buku berjudul The Sacred Art of Shakespeare: To Take Upon Us the Mystery of Things. Sebagai bentuk penghargaan terhadap karya-karya Lings, Putra Mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles pun bersedia memberikan kata pengantar dalam buku ini.
Dalam kata pengantarnya, Pangeran Charles menulis, ”Kejeniusan khusus yang dimiliki Lings terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan, seperti yang tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Teks-teks dasar yang ia sajikan dalam karya teater ini telah meninggalkan kesan yang mendalam, tidak hanya kepada para pecinta karya seni, tetapi juga kepada para pembaca awam.” [nidia zuraya]

Syed Naquib Al-Attas - Megaproyek Islamisasi Peradaban



Menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia adalah salah satu gagasan dan proyek besar cendekiawan ini. Seluruh hidupnya, ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.

Seluruh daya upaya itu telah dan terus dilakukan oleh Syed Naquib Al-Attas, intelektual yang di masa kini menjadi salah satu menara keilmuan Islam modern. Proyek besarnya itu dikemasnya dalam 'Islamisasi Ilmu Pengetahuan' melalui lembaga pendidikan yang ia dirikan, yakni International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.

Guru Besar dalam bidang studi Islam di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur ini lahir di Bogor, Indonesia, pada 5 September 1931. Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (keturunan Arab Yaman). Dari garis ibu, Naquib keturunan Sunda, sekaligus memperoleh pendidikan Islam di kota Hujan itu. Sementara dari jalur ayah, ia mendapatkan pendidikan kesusastraan, bahasa, dan budaya Melayu. Ayahnya yang masih keturunan bangsawan Johor itu, membuat Naquib memiliki banyak perhatian tentang budaya Melayu sejak muda. Tampaknya kedua orang tuanya ingin Naquib kecil mendalami ilmu di negeri jiran, Malysia. Lantaran itu, sejak usia 5 tahun, Naquib dikirim menetap di Malaysia. Di sinilah ia mendapatkan pendidikan dasarnya di Ngee Heng Primary School.

Namun, sejak Jepang menduduki Malaya pada pertengahan 40-an, Naquib kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Madrasah Urwatul Wutsqa, Sukabumi. Ia tamat sekolah atas, dan kembali ke Malaysia. Naquib sempat bergabung dengan dinas ketentaraan negeri itu, dan sempat pula dikirim untuk belajar di Royal Military Academy, Inggris.

Namun pada 1957, ia keluar dari militer dan melanjutkan studi di University Malaya. Selanjutnya, ia mengambil studi Islam di McGill University, Montreal, Kanada hingga meraih gelar master. Sementara strata doktoralnya ia raih dari School of Oriental and Africa Studies, University of London (1965). Ia lantas kembali ke Malaysia dan pernah memegang beberapa jabatan penting, antara lain Ketua Jurusan Kajian Melayu, University Malaya (UM).

Naquib sempat menjadi perhatian publik intelektual Malaysia dan mendapat tentangan keras beberapa kalangan ketika ia mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa resmi pengantar di sekolah. Saat itu, bahasa resmi pengantar adalah Bahasa Inggris.

Ia juga menentang keras penghapusan pengajaran bahasa Melayu-Jawi (yang ditulis dengan huruf Arab) di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan. Kini, sistem tersebut masih diberlakukan di negeri jiran tersebut. Naquib memang memberi perhatian besar pada bahasa dan budaya Melayu. Ia ingin putra bumi (pribumi) benar-benar terdidik sehingga tidak menjadi obyek dari penjajahan kultural dunia Barat.

Selain itu, Naquib amat memberi perhatian besar pada bidang pendidikan Islam. Pada Konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah, 1977, ia mengungkapkan konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Respons bagus muncul dan ditindaklanjuti oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang menjadi sponsor pendirian Universitas Islam Internasional (IIU) Malaysia pada 1984.

Tak hanya berhenti di situ, Naquib juga mendirikan ISTAC, lembaga pendidikan Islam yang dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai-nilai peradaban Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Lembaga ini sempat menjadi perhatian publik intelektual internasional dan dipandang sebagai salah satu pusat pendidikan Islam terpandang. Sayangnya, akibat tragedi 11 September 2001, pemerintah Malaysia bersikap berlebihan dan mencurigai beberapa pengajar sebagai pengembang gerakan Islam.

Akibatnya pemerintah negeri itu mengeluarkan keputusan menggabungkan ISTAC ke dalam UM, sebagai salah satu departemen tersendiri, dan tak lagi sebagai lembaga pendidikan Islam independen. Atas berbagai prestasinya itu, Naquib meraih banyak penghargaan internasional. Di antaranya, Al-Ghazali Chair of Islamic Thought.

Sebagai intelektual dan ilmuwan Muslim yang sangat dihormati dan berpengaruh, Selama ini Naquib dikenal sebagai pakar di bidang filsafat, teologi, dan metafisika. Gagasannya di sekitar revitalisasi nilai-nilai keislaman, khususnya dalam bidang pendidikan, tak jarang membuat banyak kalangan terperanjat lantaran konsep yang digagasnya dinilai baru dan karena itu mengundang kontroversi.

Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998) yang telah di-Indonesiakan oleh Mizan (2003), yaitu mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.

Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.

Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.

Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).

Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.

Pada sisi lain, Naquib berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah.

Berkaitan dengan islamisasi ilmu pengetahuan, sosok Naquib amat mencemaskan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sosok ini termasuk orang pertama yang menyerukan pentingnya islamisasi "ilmu". Dalam salah satu makalahnya, seperti ditulis Ensiklopedi of Islam, Naquib menjelaskan bahwa "masalah ilmu" terutama berhubungan dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah.

Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu. Naquib menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."

Naquib, seperti disinggung di atas, juga memberi perhatian besar pada nilai-nilai Melayu. Pemikir ini berpendapat, jati diri Melayu tak terpisahkan dengan Islam. Bahkan menurutnya, kemelayuan itu dibentuk oleh Islam. Bukti-bukti yang diajukannya bukan berdasarkan peninggalan-peninggalan fisik, tapi terutama berkaitan dengan pandangan dunia orang melayu.

Ia berpandangan, dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai "Islamisasi". Proses ini, ujarnya, berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi Abad Pertengahn Eropa. Segenap apa yang dilakukan Naquib jelas menunjukkan komitmennya tentang upaya peradaban Islam tampil kembali ke permukaan dan mewarnai kancah pergaulan.

Hingga kini, Naquib masih terus menulis. Ia tergolong intelektual yang produktif. Puluhan buku telah ia tulis, antara lain: Rangkaian Ruba'iyat; Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays; Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh; The Origin of the Malay Sya'ir; Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago.

Selain itu, ia juga menulis Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu; Risalah untuk Kaum Muslimin; Islam, Paham Agama dan Asas Akhlak; Islam and Secularism; The Concept of Education in Islam; The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul; dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam.

Sebagian dari karyanya tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, seperti Inggris, Arab, Persia, dan Indonesia. Di usianya yang uzur kini, pemikir yang banyak pengaruhnya dalam kancah intelektualisme kontemporer ini terus aktif merealisasikan gagasan dan pemikirannya melalui lembaga ISTAC. (republika.co.id)

Ikhtilaf dan I’tilaf


Pada bulan-bulan ini di Kuwait, persisnya di Markaz al-Alami lil al-Wasatiyah, diadakan daurah atau training. Training selama seminggu itu sedikitnya diikuti oleh 17 kelompok dari Negara yang berbeda-beda. Semula saya, sebagai peserta, ragu jangan-jangan ini adalah training untuk menjadi Muslim moderat dalam pengertian liberal. Dari materi dan traininernya, saya menjadi tahu ini bukan liberal. 

Moderat dalam mensikapi perbedaan diantara umat Islam. Materinya hampir semuanya tentang syariah, utamanya adalah Fiqh al-I’tilaf wa al-Ikhtilaf  (Fiqih persatuan dan perbedaan) dan Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqih Prioritas). Trainernya adalah para pakar dalam bidang syariah pula, dan yang pasti dalam mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

Untuk memahami peta ikhtilaf dalam Islam Dr.al-Bayanuni menggambar 3 lapisan lingkaran kecil sedang dan besar. Lingkaran pertama adalah perbedaan diseputar masalah ijtihadiyah. Statusnya tidak jauh dari khata’ (salah) dan sawab (betul). Disini yang pertama masih mendapat pahala satu dan yang benar mendapat pahala dua.

Lingkaran kedua berkutat pada masalah yang lebih berat yaitu masalah usul atau hal-hal yang muhkamat. Statusnya adalah haqq (benar) dan batil (salah). Disini bukan masalah ijtihadiyah, karena itu bagi yang salah tidak mendapat pahala. Hukumnya adalah sesat dan harus diingatkan. 

Lingkaran terakhir lebih berat lagi karena berkaitan dengan masalah usul yang menyangkut masalah keimanan. Maka, statusnya sudah bukan haqq dan batil lagi, tapi sudah Mu’min atau kafir.  
Dalam masalah ijtihadiyah, khilafiyah atau perbedaan meruncing pada masyarakat awam, tapi tidak pada ulama. Perbedaan masalah jumlah qunut sangat tajam dikalangan masyarakat bawah. Padahal, konon Imam Syafii tidak sekeras pengikutnya. 

Ketika beliau berkunjung ke Baghdad ia diminta menjadi Imam oleh tokoh mazhab Hanafi. Pengikut Imam Syafii sudah tidak sabar untuk menyatakan menang atas mazhab Hanafi. Pengikut  Hanafi pun hatinya menjadi ciut. Pada rakaat kedua shalat subuh itu ternyata Imam Syafii tidak qunut. Ketika para pengikutnya protes pada Imam Syafii, beliau menjawab singkat “ta’adduban” artinya untuk menghormati pengikut Hanafi.
Ketika Buya Hamka berkunjung ke Blitar beliau diminta menjadi Imam shalat subuh. Disana mayoritas adalah pendukung Nahdhatul Ulama. Mungkin panitia sengaja menguji Hamka. Tapi Hamka yang ketua MUI dan Muhammadiyah itu ternyata melakukan qunut.

Saat ini perbedaan masalah khata dan sawab ini masih saja meruncing. Seorang anggota kelompok pengajian keluar dari dan pindah kelompok lain hanya karena ustadhnya tidak pakai baju taqwa. Seorang peserta sebuah seminar keislaman protes dan keluar ruangan gara-gara pemakalahnya tidak berjanggut. Seorang Imam tidak mulai shalatnya kecuali semua jamaah laki-lakinya mengangkat celana diatas lutut.  
Padahal dalam masalah ijtihadiyah Nabi sangat toleran. Dalam suatu perjalanan Nabi memerintahkan “Tidak ada yang shalat kecuali di Bani Quraidah” (La shalata illa fi bani quraidah).  Bagi sebagian sahabat ini perintah Nabi dan wajib ditaati. Bagi sahabat lain karena masyaqqah (kesulitan) tidak bisa mentaati perintah Nabi. Ternyata Nabi tidak marah dan tidak menghukum sahabat yang tidak shalat di Bani Quraidah. Masih banyak kasus yang lain.

Yang lebih massif lagi ikhtilaf  tahunan umat Islam Indonesia adalah masalah hari raya. Ada yang beda sehari, ada yang beda tiga hari bahkan ada yang beda seminggu. Umat Islam yang terpelajar pasti bertanya mengapa tidak menyatukan ru’yat dengan hisab? Dan mengapa ru’yat tidak diserahkan kepada para pakar astronomi atau falak? Mengapa Depag tidak mengambil otoritas ithbat melalui tim professional dari berbagai ormas, sehingga tidak ada lagi ormas yang menetapkan ithbat

Ketika Dr.al-Bayanuni mendengar hal ini beliau mengeluarkan dalil maslahatnya. Katanya “mengikuti ijtihad yang salah tapi membawa maslahat umat lebih afdal daripada mengikuti ijtihad yang benar tapi mengandung madarat (bahaya)”. 

Artinya terlepas dari masalah keilmuan, nampaknya maqasid syariah (maslahat) belum masuk dalam pertimbangan. Maka jika ada ormas yang menetapkan hari raya “asal beda” dari kelompok lain itu berarti telah memilih “madarat” daripada “maslahat”. Memilih ikhtilaf  (berselisih) daripada i’tilaf (bersatu). Padahal di hampir seluruh Negara Islam tidak ada perselisihan tentang awal hari raya Idul Fitri.
Lingkaran kedua tentang haqq dan batil. al-Bayanuni tidak banyak memberi contoh. Demikian pula lingkaran ketiga. Mungkin karena tujuannya adalah meredam ikhtilaf masalah furu’ umat Islam yang berkepanjangan. Tapi begitu disebut nama Nasr Hamid, Syahrur dan Arkoun beliau menyimpulkan pemikiran orang-orang ini banyak yang batil. Bahkan ada yang sudah pada lingkaran ketiga. Itulah sebabnya di Mesir Nasr Hamid di fatwa murtad. 

Jadi sabda Nabi ikhtilaf umatku adalah rahmat, tidak bisa diplesetkan menjadi “perselisihan” umatku adalah rahmat. Tidak pula di kaburkan dengan “pluralisme teologis umatku adalah rahmat”. Ikhtilaf disitu sebenarnya mengandung makna i’itilaf, artinya perbedaan sudut pandang umatku dalam berbagai masalah agama adalah rahmat asalkan tetap bersatu dalam aqidah atau masalah-masalah usul. Maka pengikut mazhab ahlussunnah wal jamaah harus bersatu meskipun kelompok-kelompok didalamnya berbeda dalam masalah furu’iyah.  

Dhamir


Dua bulan terakhir di awal tahun 2012 ini bangsa dan umat Islam Indonesia diuji oleh tiga masalah syahwat dan moral. Sumber masalah itu adalah wanita. Pertama Irsyad Manji, wanita Canada yang lesbi. Kedua Lady Gaga, Yahudi Amerika penyanyi porno dan vulgar. Ketiga, RUU kesetaraan gender yang intinya memberi hak wanita agar sama dengan laki-laki dalam segala hal.
Irsyad Manji mengaku dirinya lesbian dan menghujat syariat Islam. Namun ia dihormati dan diapresiasi oleh sekelompok penganut “Islam liberal”. Alasannya, kebebasan berwacana itu  tidak berdosa, bahkan mendapat pahala. Ada pula yang membela demi kebebasan “biarkan Manji bicara negara tidak perlu melarang sebab Tuhan saja membiarkan setan hidup”.   
Pendapat-pendapat diatas bukan saja tidak logis, tapi tidak menggunakan dhamir atau nurani. Tidak logis karena salah dalam berfikir atau berwacana justru besar dosanya. Sebab kekufuran bisa dipicu oleh fikiran. Dari kebebeasan seluas apapun akan terbatas oleh kebebasan orang atau kelompok lain, apalagi oleh kebebasan Tuhan. Jika secara liberal orang merasa berhak menghormati dan mengidolakan Manji orang lain juga berhak mencaci makinya. Bahkan setan diciptakan Tuhan untuk dilawan dimusuhi dan dicaci maki oleh orang saleh.
Beda dari Manji, Lady Gaga melawan Tuhan dan agama bukan dengan wacana. Ia tidak menulis buku, tapi bernynayi tanpa etika, mengumbar syahwat pada settiap pentasnya. Lirik lagu-lagunya menghujat Tuhan, moral dan agama. Majalah Times dan majalah Forbes meletakkan Gaga sebagai salah satu dari 100 orang berpengaruh dan berkuasa di dunia. Mungkin ia berkuasa merusak moral anak muda. Karena besar daya rusaknya ia pantas kita beri gelar “teroris moral bangsa”.
Namun di negeri yang berpreikemanusian yang adil dan beradab ini masih ada yang tidak perduli itu semua. Banyak seniman menghargai kedatangannya tanpa perduli kerugian moral bangsa. Bagi promotor, semua keburukan Gaga itu tidak penting, moral bangsa rusak pun juga tidak masalah. Yang penting untung bisa diraup sebanyak-banyaknya. Untuk orang-orang Indonesia yang liberal, sekuler dan bahkan anti-agama, ini momen penting untuk deklarasi kebebeasan dan membungkam fatwa-fatwa, atau opini-opini keagamaan.     
Diantara mereka bahkan ingin membawa ke ranah hukum. Negara ini memang negara hukum, tapi masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan hukum semata. Jangankan Ladi Gaga atau Irsyad Manji, koruptor yang pasti bersalah pun tidak selesai dengan hukum. Hukum masih belum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Apalagi untuk menyelamatkan ideologi, agama, jiwa, akal, harta, dan moral generasi bangsa ini. Hukum disini ada harga dollarnya.
Ketika Bung Karno memenjarakan Koes Plus, dasarnya bukan hukum, tapi ideologi dan harga diri bangsa. Saat umat Kristen Seoul menolak Gaga, juga bukan karena hukum, tapi ide homoseksualisme dan pornografi yang dibawanya (Washington Post 22/4/2012). Demikian pula umat Islam di Malaysia dan pemerintah Hongkong dan Philipina.
Masalah Lady Gaga adalah masalah besar, berdampak luas, berakibat fatal, bagi yang melihat dengan mata hati dan nuraninya. Untuk itu perlu solusi dengan jiwa besar, nalar besar dan komitment moral yang tinggi. Untuk itu semua perlu berlindung pada yang Maha Besar dan Maha Tinggi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.  
Kita tidak boleh lupa, negeri ini merdeka berkat rahmat Tuhan Yang Masa Esa. Maka masalah bangsa ini bisa selesai jika semua komponen bangsa ini konsisten menghidupkan jiwa-jiwa berketuhanan. Dengan jiwa ini akan lahir kebijakan pemimpin yang arif dan kearifan pemimpin yang bijak. Maka mencekal Lady Gaga dan Irsyad Manji cukup dengan kejernihan nurani, kebersihan jiwa dan kearifan batin, berdasarkan keyakinan pada Tuhan.
Kini bangsa ini sedang menunggu kebijakan Presiden. Umat menanti fatwa ulama. Para seniman perlu petuah pujangga. Guru bangsa ditunggu kecerdasan spiritualnya. Dan para pengarus utama kesetaraan gender waktunya bicara, mengapa wanita dihargai karena simbol seksualnya. Bukankah ini pelecehan martabat wanita?
Terlepas dari alasan segelintir masyarakat bernafsu melihat Ladi Gaga, yang pasti bukan demi bangsa, negara dan agama. Dan terlepas dari siapapun yang menolak Lady Gaga, yang pasti demi kebaikan moral bangsa dan pemeluk agama-agama.
Jikapun orang tetap memaksakan Lady Gaga pentas, kita kembalikan pada nurani kita masing-masing. Dan kita, umat Islam, mesti ingat sabda Nabi “jika engkau tidak punya malu, buatlah sesuka hatimu”. Malu atau tidak ditentukan oleh dhamir atau nurani kita masing-masing. Sal dhamiraka!

Moderat


Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar symposium di Tokyo.  Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam”, yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan radikal atau moderat.

Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar saja. “Moderate” artinya tidak berlebihan ghuluww (ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui Abdelmajid, dari Tunis moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan nyata. 

Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika Syerikat mendefinisikan. Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society. Dr.Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dsb. 

Saya pun ikut merespon. “Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat. 

Masataka Takeshita, Professor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud “Islam liberal”? saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat. Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariah), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya. 

Rabasa tak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual “Islam moderat”. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam. 

Definisi Islam moderat yang anti Islam dalam dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak berreaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terrorisme.  Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat. 

Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya. 

Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi yang justru menemukan kesalahannya adalah John L Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: pertama jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Sholat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat. 

Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua. 

Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”. 

Bagi Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS 5:48; 3:110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan, menambahi Muslim yang menolak ketidak adilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus. 
 
Wallahu a’lam

Samahah

Pada tahun 1936 Samuel Zwemer memberi trik-trik metode Kristenisasi kepada para missionaries di Jerussalem. Ia berpesan “tugas kalian bukan mengkristenkan orang Islam tapi merobah cara berfikir orang Islam, agar nanti lahir generasi Muslim yang memusuhi agamanya”.  Trik itu kini berjalan dengan baik dan relatif berhasil. Trik penyebaran agama a la Zwemer itu nampak tidak memaksa tapi sejatinya menipu.
Islam tidak mengajarkan cara-cara berda’wah seperti itu. Prinsip Islam jelas “tidak ada paksaan dalam beragama ” (QS 2:256). Beragama bukan basa-basi. Artinya orang tidak boleh terpaksa atau pura-pura dalam beragama Islam. Islam hanya menunjukkan dan mengajak ke jalan yang benar dari jalan yang salah atau sesat. Ajakan itu ada tiga tingkatan dengan argumentasi yang bijak (hikmah), nasehat yang baik (mauizah hasanah) atau dengan debat yang sehat (jadal). Jika mereka menolak maka tidak perlu dan tidak boleh memaksa. Muslim bahkan tetap harus melindungi mereka, membebaskan mereka menganut agama mereka. Itulah toleransi dalam Islam.
Terma untuk makna toleransi dalam Islam adalah samahah. Tasamuh artinya bersikap mudah dan tenang, halus atau moderat alias tidak ekstrim. Orang Arab biasa membuat ungkapan asmih yusmah, permudahlah niscaya akan dipermudah. Tahanawi dalam al-Ta’rifat mengartikan tasamuh sebagai melakukan sesuatu yang tidak berlebihan. Dalam kamus Tajul Arus terdapat istilah millatun samhah atau agama yang tidak sulit. Tapi dalam kamus Arabic-English Dictionary, samaha diartikan toleran.
Dalam hadith riwayat Ibn Abi Syaybah dan Bukhari Nabi bersabda: ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyyah al-samhah (beragama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan mudah). Dalam hadith lain Nabi bersabda: Ursiltu bi al-hanafiyyat al-samhah (aku diutus [Allah] dengan [sikap] lurus dan mudah).
Ajaran ini benar-benar di praktekkan dengan baik dalam aktifitas da’wah para ulama di zaman dulu. Di Andalusia dan Cordoba, misalnya kebebasan untuk para pemeluk agama selain Islam sungguh dijamin. Penduduk Kristen diberi hak memiliki pengadilan sendiri berdasarkan “hukum” Kristen. Ibadah Kristen tidak terganggu sedikitpun. Kebaktian massal masih bebas di adakan di lapangan. Semua itu tidak dinikmati Muslim dinegara Barat sekarang.
Bahkan pendirian gereja tidak perlu izin khalifah. Dalam aktifitas sehari-hari umat Kristiani bebas memilih pakaiannya. Biarawati tidak dilarang memakai jilbab atau pakaian keagamaan mereka. Bahkan para pemeluk agama Kristen mendapat hak yang sama dengan Muslim menjadi pegawai sipil mapun militer. Tidak terbayangkan Negara non-Muslim saat ini ada yang bisa setoleran itu.
Muhammad al-Makkari dalam bukunya The History of the Muhammedan Dynasties of Spain (jld.I) mencatat bahwa karena umat Kristen tidak toleransi terhadap keyakinan kaum pagan, maka mereka membenci agama itu. Merasa dihargai mereka berbondong-bondong masuk Islam. Toleransi ternyata memiliki hikmah yang dalam, dan efektifitas da’wah yang tinggi.
Akibat dari tingginya sikap toleransi ini, kaum Yahudi dan Nasrani di Spanyol merasa hidup nyaman berabad-abad lamanya. Orang tentu akan ingat akan zaman Umar bin Khattab ketika memerintah Yerussalem. Mithaq Umar adalah masa indah hubungan tiga agama yang tidak pernah dilupakan oleh Yahudi dan Nasrani yang tulus. Tentu kerukunan beragama seperti ini tidak mereka temui dalam lingkungan agama Kristen.
Anehnya, energi damai dan toleransi umat Islam di Spanyol itu telah merembes ke bidang-bidang lain. Pelajaran bahasa Arab lebih disukai ketimbang pelajaran bahasa Latin di sekolah-sekolah Kristen waktu itu. Akibatnya, banyak syair Arab yang ditulis oleh para penyair Kristen abad ke 11. Yang lebih menyolok lagi para pendeta justru lebih menguasai bahasa Arab ketimbang bahasa Latin. Maka tidak heran jika seorang penulis Spanyol berkeluh kesah:”kita sibuk mengkaji hukum-hukum Islam seperti beo dan lalai membaca Injil.”
Bukan hanya toleransi, tapi kedamaian, kesantuan, dan keterpelajaran umat Islam telah mencuri hati orang Kristen. Banyak orang Kristen yang meniru-niru gaya hidup orang Islam atau orang Arab. Tren ini kemudian disebut Mozarab. Cara berpakaian, makanan, minuman dan bahkan khitan pun diikuti oleh orang-orang Kristen. Lebih dari sekedar ke Arab-Araban banyak orang Kristen Spanyol yang lebih nyaman menjadi Muslim daripada tetap memeluk Kristen. Akhirnya lahirlah generasi Muslim dari golongan Muwallah, yakni penduduk Muslim tapi keturunan Spanyol. Mungkin ini aneh, sebab wajah bukan Arab tapi Muslim, kulit putih tapi terpelajar.
Banyak kisah tentang keindahan peradaban Islam di Spanyol yang dirindukan orang yang suka damai. Namun, toleransi yang tulus bagai susu itu dibalas dengan air toba. Ketika pasukan Ferdinand dan Isabela merebut Malaga tahun 1487 orang-orang Muwallah ini disiksa sampai mati. Pada tahun 1610, umat Islam diusir secara biadab (baca: tanpa adab) dari Spanyol. orang-orang Muawallah itu juga ikut diusir oleh tim Inquisisi.
Di antara saksi sejarah yang selamat dari pengusiran itu menulis catatatan protes:”pernahkan nenek moyang kami mengusir orang-orang Kristen dari Spanyol? Tidakkah mereka memberi kebebasan kepada kalian beribadah? Orang masuk Islam semata-mata atas keinsyafan sendiri dan tanpa suatu paksaan. Anda tidak akan pernah menemukan perlakuan umat Islam seperti yang dilakukan oleh tim Inquisisi yang menjijikkan itu.”
Karena perlakuan tidak manusiawi itu seorang Archbishop dari Valencia tahun 1602 sadar dan menulis kepada Raja Philip III “mereka (para Muwallah) tidak selayaknya dihukum seberat itu, mengingat sikap mereka yang sangat toleran dalam soal-soal keyakinan agama”.
Namun, apapun yang terjadi Islam adalah agama misi, tapi tidak memaksa. Aqidahnya meneguhkan keesaan Tuhan, dan syariatnya memuliakan kemanusiaan.
Peperangannya untuk kedamaian dan kedamaiannya untuk kemakmuran. Keindahan kehidupan sosialnya mencerminkan ketulusan persahabatan dan keluhuran nurani. Prinsip-prinsip keilmuannya mencerahkan dan implikasi amalnya menjadi rahmat bagi siapapun yang merasakan dengan lubuk hati yang paling dalam. Sungguh tepat kesimpulan Thomas Walker Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam bahwa “Islam adalah agama yang penuh toleransi, dan disiarkan dengan penuh damai”.

Selasa, 26 Juni 2012

“KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN & SUNNAH” ? YA IYYYA LAAAH… !

Oleh: Dean Sasmita
 
Golongan Salafi & Wahabi memiliki motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’. Mereka mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah SAW menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya ?

Secara global, motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ ini jelas tidak akan ditentang oleh siapapun, bahkan semua umat harus mengikutinya agar selamat.   Namun mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya ? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat ? Dan apakah para ulama terdahulu di zamannya selain kedua ulama ini seolah tidak mengajak kepada hal yang sama ?

Mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat jelas ‘sumber masalah’ yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut. Mari kita cermati dengan hati yang lapang dan objektif agar kita tidak terjerumus dalam pola pikir satu arah yang hanya mau melihat dan mendengar hanya karena kita sudah terlanjur ‘taqlid’ pada satu sumber informasi saja, hingga akhirnya dengan angkuhnya kita membenarkan tanpa ada ‘perbandingan’ sedikitpun. Karena dengan jalan ini, insyaAllah kita mendapatkan jawaban kebenaran yang sesungguhnya, bukan ‘pembenaran’ yang menuruti hawa nafsu semata.
*****

1

Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku ‘terjemah’ al-Qur’an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat !

Mengapa? Tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,  dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri masing-masing. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’, mereka merasa benar dengan caranya sendiri atau mengikuti seseorang yang memiliki konsep dengan jalan pikirannya sendiri tanpa kesepakatan ulama terbanyak.

Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri secara internal pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil sehingga mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang saling menyesatkan. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.

*****

2

Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir),  muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai ‘ahludz-dzikr’, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.

Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah).

Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Dan lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh itu, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka ? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan ?

Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut ? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut ‘kebodohan dan pembodohan’ !. Jadi, kaum Salafi & Wahabi bukan cuma menggaungkan motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ secara langsung, tetapi juga secara langsung maupun tidak, menggaungkan motto ‘Kembali kepada pendapat para ulama salaf’ dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
*****

3

Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah ‘hasil jadi’. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut.

Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Belum lagi jika kita membaca sejarah hidup mereka yang penuh dengan keshalehan dan selalu hidup manjauhi dari segala dorongan hawa nafsu.

Para ulama seakan-akan telah menghidangkan ‘makanan siap saji’ yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Inilah yang disebut sebagai ulama ‘warasatul anbiya’. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, lalu mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran ‘pendapat’ manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya dari awal untuk menanam padi.

Seandainya tidak demikian, berarti mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah ‘mencemarkan agama’, lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan ‘pemurnian agama’. Inilah kesombongan yang paling hebat yang tidak pernah dilakukan para ulama sebelumnya !

Sesungguhnya, ‘pencemaran’ yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan.  Sedangkan ‘pemurnian’ yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah SAW, padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan Rasulullah SAW tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (Hadits)-nya.
*****

Dari uraian ini, nyatalah bahwa orang yang ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Alangkah ironisnya bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

‘Kembali pada Al-Qur’an & Sunnah’ ? Ya!  Tapi bukan dalam ‘perspektif’  Salafi & Wahabi, karena kami dari dulu sampai sekarang mengikuti para Ulama Ahlussunnah Waljama’ah!

Senin, 25 Juni 2012

Dialog Sayyid Ahmad Al-Ghumari Dengan Wahabi Tuna Netra

Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini.
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.

Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ. (الحديد : ٤).
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
 مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ. (المجادلة : ٧).
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” 
Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” 
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil. Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.

MENSIKAPI MALAPETAKA DI PERTENGAHAN RAMADHAN 2012

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الحَمْدُ ِللهِ الكَبِيْرِ المُتَعّاَلِ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ المُتْبَعِ فيِ الأَقْواَلِ وَالأَفْعاَلِ وَالأَحْوَالِ ، وَعَلَى ساَئِرِ الأَنْبِياَءِ ، وَآَلِهِ وَصَحْبِهِ التّاَبِعِيْنَ لَهُ فيِ كُلِّ حَالٍ , أَمّاَ بَعْدُ ؛

Kaum muslimin-muslimat dimana saja berada.., Coba lihat kalendar untuk tahun 2012… !!!
Jika tanggal 01 Ramadhan pada tahun 2012 jatuh pada 20 Juli, yaitu hari Jum’at, maka tanggal 03 Agutus 2012 adalah bertepatan dengan 15 Ramadan, juga tepat pada hari Jum’at.

Waspadai jika hal itu sangat terkait dengan salah satu hadist Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang adanya suara dahsyat yang akan terjadi pada tengah malam pertengahan Ramadhan, yaitu hari Jum’at 15 Romadhan di bumi ini. Suara dahsyat dari langit yang akan mengejutkan semua orang yang sedang tidur…
Coba simak hadits berikut ini :

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذاَ كاَنَ صَيْحَةٌ فيِ رَمَضاَنَ فَإِنَّهُ يَكُوْنُ مَعْمَعَةٌ فيِ شَوَّالَ ، وَتَمْيِيْزُ القَباَئِلِ فيِ ذِيْ القَعْدَةِ ، وَتَسْفِكُ الدِّماَءُ فيِ ذِيْ الحِجَّةِ وَالمُحَرَّمِ وَماَ المُحَرَّمُ – يَقُوْلُهاَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – هَيْهَاتَ هَيْهاَتَ ! يَقْتُلُ النَّاسُ فِيْهِ هَرَجاً هَرَجاًُ ، قُلْناَ وَماَ الصَّيْحَةُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ ؟ قاَلَ : هَذِهِ فيِ النِّصْفِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الجُمْعَةِ فَتَكُوْنُ هَذِهِ تُوْقِظُ النَّائِمِ وَتُقْعِدُ القَائِمَ وَتُخْرِجُ العَوَاتِقَ مِنْ خُدُوْرِهِنَّ فيِ لَيْلَةِ جُمْعَةٍ فيِ سَنَةٍ كَثِيْرَةُ الزَّلاَزِلِ وَالبَرَدِ ، فَإِذاَ وَافَقَ شَهْرُ رَمَضاَنَ فيِ تِلْكَ السَّنَةِ لَيْلَةَ الجُمْعَةِ فَإِذاَ صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ مِنْ يَوْمِ الجُمْعَةِ فيِ النِّصْفِ مِنْ رَمَضاَنَ فاَدْخُلُوْا بُيُوْتَكُمْ وَأَغْلِقُوْا أَبْوَابَكُمْ وَسَدُّوْا كُوْاكُمْ وَدَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ وَسَدُّوْا آَذَانَكُمْ ، فَإِذاَ أَحْسَسْتُمْ بِالصَّيْحَةِ فَخَرُّوْا ِللهِ سُجَّدًا وَقُوْلُوْا: سُبْحاَنَ القُدُّوْسُ ، سُبْحاَنَ القُدُّوْسُ ، رَبَّناَ القُدُّوْسُ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ نَجاَ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ هَلَكَ ” نُعَيْمِ ، كَ

Hadits ini diterima dari Ibnu Mas’ud, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Apabila ada suara dahsyat tepat di bulan Ramadhan,maka itu akan terjadi beruntun sampai di bulan Syawal-nya, banyak diantara golongan manusia lebih memisahkan diri (bergerombol) di bulan dzul hijjahnya, pertumpahan darah banyak terjadi di bulan dzulhijjah tersebut, juga semakin klimaks ketika masuk di bulan muharram, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal itu sampai berulang tiga kali, “apa yang harus kami lakukan di bulan muharram? sayang sungguh sayang.., mereka tidak mengetahui dan apa yang yang harus dilakukan di muharram, saat itu diantara manusia banyak yang saling membunuh”

Apa suara dahsyat itu Ya Rosululloh? Sahabat bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam. “Suara keras itu adalah mulai terjadi di pertengahan bulan Ramadhan, yang bertepatan di malam jum’at, suara dahsyat itu mengagetkan orang-orang yang sedang tidur, menjatuhkan orang yang sedang berdiri, segala benda terhempas jauh keluar dari tempatnya atau para wanita terhempas keluar dari kamar-kamarnya, malam jum’at pertengahan Ramdhan itu terjadi goncangan dahsyat dan cuaca sangat dingin.. Apabila bulan Ramadhan itu tepat di tahun itu (Jika terjadi tahun 2012 ini) Apabila kalian sedang melaksanakan shalat subuh malam jum’at di pertengahan bulan Ramadhan tersebut masukklah ke dalam rumah, kuncilah pintunya, tutuplah kepala kalian, lindungi tubuh kalian dan tutuplah telinga kalian. apabila kalian merasakan suara dahsyat, menyungkurlah sujud dan bacalah tasbih ini :

سُبْحاَنَ القُدُّوْسُ ، سُبْحاَنَ القُدُّوْسُ ، رَبَّناَ القُدُّوسُ

“Maha suci Allah yang maha suci, maha suci Allah yang maha suci Wahai Rabb kami yang maha suci”
Karena sesungguhnya apabila kalian melakukan hal itu niscaya selamat, jika tidak maka tentunya akan binasa”. Jawab Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam (HR Abu Nu’aim) [Pustaka : Kanzul Amal ; Juz 14 hal. 570]

INI KELENGKAPAN HADITSNYA DALAM MAJMA’ AZ-ZAWAID JUZ 7 HAL. 310
حدثنا إسحاق بن إبراهيم قال حدثنا أحمد بن الحسن حدثنا نعيم بن حماد حدثنا أبو عمر عن ابن لهيعة حدثني عبد الوهاب بن حسين عن محمد بن ثابت عن أبيه عن الحارث عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا كان صيحة في رمضان فإنها تكون معمعة في شوال وتميز القبائل في ذي القعدة وتسفك الدماء في ذي الحجة والمحرم وما المحرم يقولها ثلاثا هيهات هيهات يقتل الناس فيها هرجا هرجا قال قلنا وما الصيحة يا رسول الله قال هذه تكون في نصف من رمضان يوم جمعة ضحى وذلك إذا وافق شهر رمضان ليلة الجمعة تكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العوائق من خدورهن في ليلة جمعة سنة كثيرة الزلازل والبرد فإذا وافق رمضان في تلك السنة ليلة جمعة فإذا صليتم الفجر يوم جمعة في النصف من رمضان فادخلوا بيوتكم وسددوا كواكم ودثروا أنفسكم وسدوا آذانكم فإذا أحسستم بالصيحة فخروا لله سجدا وقولوا سبحان القدوس سبحان القدوس ربنا القدوس فإنه من فعل ذلك نجا ومن ترك هلك
2) مجمع الزوائد جزء 7 صفحة 310 الحديث الشريف رقم

Catatan :
Satu suara yang amat dahsyat akan kita dengar dari langit, bukan kiamat tetapi suara dahsyat yang diringi huru hara besar yang akan melenyapkan 2/3 umat manusia di atas muka bumi ini, yang tertinggal saat itu hanya 1/3 penghuni bumi saja. Menurut kajian NASA, pada 21-12-2012 satu planet yang dikenali planet X akan melintasi bumi, Adakah kita semua ini tergolong dalam 1/3 itu? Hanya ALLAH yang Maha Mengetahui..

Jawaban tentang hadits tsb adalah DHO’IF. Krn sanadnya ada yg bernama Abdul Wahhab bin Husain yg menurut al-Hakim da Ibnu Hajar dia seorang yg majhul, dan jg terdapat Muhammad bin Tsabit al-Banani dia termasuk hitungan org yg LEMAH menurut Ibnu Hibban dan Ibnu Ady, dan jg terdapat Al-Harits Al-A’wari Al-Hamdani dia termasuk seorang PENDUSTA menurut Asy-Sya’bi, Abu Hatim dan Ibnu Al-Madini. Abu Zar’ah berkata, “AKU TDK BUTUH HADITSNYA.”Wallohu a’lam
Teks arabicnya sbb:

فإن هذا الحديث أخرجه نعيم بن حماد في كتاب الفتن عن ابن مسعود وفي سنده ابن لهيعة وهو ضعيف لأنه خلط بعد احتراق كتبه، وفيه عبد الوهاب بن حسين وهو مجهول؛ كما قال الحاكم وابن حجر، وفيه محمد بن ثابت البناني، وهو معدود في المجروجين والضعفاء عند ابن حبان وابن عدي، وفيه الحارث الأعور الهمداني وهو من الكذابين؛ كما قال الشعبي وأبو حاتم وابن المديني، وقال أبو زرعة: لا يحتج بحديثه. . والله أعلم.
Ini linknya: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=A&Id=53482&\ Option = FatwaId

Penulisan naskah ini tidak bermaksud membuat resah kaum mauslimin dan muslimat, kami sekedar ingin mengabarkan pada apa yang kami temukan dalam hadits Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan bisa saja itu terjadi di hari itu, walau hadits tersebut tidak menjelaskan waktunya secara akurat. Kiranya hal ini dapat memacu kita semua tetap dekat dengan pengajian-pengajian sehingga dapat membina ibadah serta dapat berdo’a dengan baik dibimbing oleh guru-guru kita, terlebih bagaimana kita menghadapi sebuah peristiwa, yang pada akhirnya kita akan tetap berada dalam pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin..

الكلام على حديث موضوع حول صيحة تحدث في رمضان
بسم الله والحمد لله، وصلّى الله وسلم على رسوله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد[1]:
فقد بلغني أن بعض الجهال يوزع نشرة مشتملة على حديث مكذوب على النبي صلى الله عليه وسلم يتضمن هذا الحديث المكذوب ما نصه:
عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إذا كان صيحة في رمضان، فإنه يكون معمعة في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتسفك الدماء في ذي الحجة والمحرم، وما المحرم؟ يقولها ثلاث مرات، هيهات هيهات يقتل الناس فيه هرجاً هرجاً، قلنا: وما الصيحة يا رسول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هذه توقظ النائم، وتقعد القائم، وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة الجمعة، في سنة كثيرة الزلازل والبرد، فإذا وافق شهر رمضان في تلك السنة ليلة الجمعة، فإذا صليتم الفجر من يوم الجمعة في النصف من رمضان فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم وسدوا كواكم ودثروا أنفسكم، وسدوا آذانكم، فإذا أحسستم بالصيحة فخروا لله سجداً، وقولوا: سبحان القدوس، سبحان القدوس، ربنا القدوس، فإنه من فعل ذلك نجا ومن لم يفعل هلك).
فهذا الحديث لا أساس له من الصحة، بل هو باطل وكذب، وقد مر على المسلمين أعوام كثيرة صادفت فيها ليلة الجمعة ليلة النصف من رمضان فلم تقع فيها بحمد الله ما ذكره هذا الكذاب من الصيحة وغيرها مما ذكر؛ وبذلك يعلم كل من يطلع على هذه الكلمة أنه لا يجوز ترويج هذا الحديث الباطل، بل يجب تمزيق ذلك وإتلافه والتنبيه على بطلانه. ومعلوم أنه يجب على كل مسلم أن يتقي الله في جميع الأوقات، وأن يحذر ما نهى الله عنه حتى يتم أجله، كما قال الله سبحانه لنبيه صلى الله عليه وسلم:وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ[2]، والمراد باليقين: الموت، وقال سبحانه: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ[3]، وقال النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ رضي الله عنه: ((اتق الله حيثما كنت وأتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن))[4]، والآيات والأحاديث في وجوب لزوم التقوى والاستقامة على الحق والحذر من كل ما نهى الله عنه في جميع الأوقات في رمضان وفي غيره كثيرة معلومة.
وفق الله المسلمين لما يرضيه، ومنحهم الفقه في الدين، وأعاذنا وإياهم من مضلات الفتن، ومن شر دعاة الباطل إنه جواد كريم، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه.
مفتي عام المملكة العربية السعودية
ورئيس هيئة كبار العلماء وإدارة البحوث العلمية والإفتاء
[1] صدرت هذه الكلمة من سماحته في تاريخ 12/9/1414هـ ونشرت في الصحف المحلية.
[2] سورة الحجر، الآية 99.
[3] سورة آل عمران الآية 102
[4] أخرجه أحمد في مسند الأنصار رضي الله عنهم، حديث معاذ بن جبل رضي الله عنه برقم 20847.

Minggu, 24 Juni 2012

9 PERTANYAAN MENGGUGURKAN AQIDAH TAJSIM SEKTE WAHABI

oleh : imam nawawi

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk membantah aqidah sesat wahhaby, yang mana mereka hanya mengambil makna dhahir dari ayat dan hadits mutasyabihat sehingga mereka mensifatkan Allah dgn sifat makhluq.

1. Apakah Tuhan wahaby SAKIT dan LUPA?
apakah kalian masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist mutasyabihat ini ?
- “Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67) ,
Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67) ,
- “Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14) .

Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :
” Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam: Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul “Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14) .

2. Dalam hadits shahih muhakamat disebutkan bahwa Allah ada tanpa arah ( atas atupun bawah), kenapa kalian mengingkarinya?

Allah ada tanpa arah adalah aqidah shahih yang didukung oleh banyak ayat dan hadist muhkamat. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash- Shifat, hlm. 506 , mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu “alayhi wa sallam:
“Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat

3. Manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘ Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud?

Wahhaby punya keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di ‘Arsy. Coba kalian pikirkan, manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Sudah tentu berdiri lebih dekat ke ‘Arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy, maka dimanakah hadits yang mengatakan, “Paling dekatnya kedudukan seorang hamba dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud”.

4. Dimanakah Allah sebelum diciptakannya semua makhluq (Tempat, arah, arsy dsb) ?
 
Setelah Allah ciptakan semua makhluq ( langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah? Apakah sifat dzat Allah berubah? Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali)….. semua makhluq tidak ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya, atas,bawah….semua mahkluq tdk ada,karena Allah belum menciptakannya…..) pada saat itu dimana Allah? dan setelah Allah menciptakan semua makhluq ( langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah?

Ingat : Sifat Allah tetap tdk berubah. sifat Allah tdk sama dgn makhluq. Maka orang yang mengatakan tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah.

Sifat Salbiyah :Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah. Ada 5 sifat yaitu :
- Wahdaniyah/esa ( Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah – yg maknanya ada tuhan yg dilangit, ada tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb )
- Qidam/ada sebelum semua makhluq ada ( Allah Ada sebelum tempat dan arah ada, sebelum ada ‘Arsy dan langit beserta segala isinya )
- Baqo /kekal ( Allah kekal sedangkan langit, ‘ Arsy, surga, neraka, malaikat, manusia, iblis akan di gulung/hancurkan saat Kiamat
- Mukhalafatu lil hawaditsi/berbeda dgn makhluq ( Allah beda dgn makhkuq, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/ makhluq )
- Qiyamuhu binafsihi tidak memerlukan apapun ( Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb )

5. Kenapa kalian solat masih menghadap ke kiblat, katanya Allah di atas?

Ingat Langit Hanyalah kiblat Do”a….bukan tempat bersemayam Allah….ingat : Allah ada tanpa tempat dan arah.

6. Manakah arah ATAS yang kalian maksud? Tunjukkan?

Bumi ini Bulat dan tidak ada arah atas bagi benda yang bulat, Arah atasnya orang di Indonesia adalah arah bawahnya Orang yang ada di Negara Amerika, dan sebaliknya.

7. Apakah Tuhan-Mu bergelantungan di langit pertama setiap saat?

Kalian katakan pada sepertiga malam Allah dilangit pertama bukan diatas arsy, padahal waktu bergulir setiap saat. Jika di Indonesia tengah Malam maka di Amerika adalah siang hari.

8. Makna zahir mana yg mereka katakan ” menerima secara zahir” ??

wahabi mengatakan : “Allah punya Tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk”
 Mereka katakan mereka menerima secara zahir,lalu mereka katakan lagi bahwa yg zahir itu beda dengan zahirnya makhluk….

kami bertanya :
lalu makna zahir mana yg mereka katakan ” menerima secara zahir” ??
Inilah akidah akal akalan mereka tak ada satu orangpun salaf al shalih yg berakal seperti ini..

9. Dimanakah Tuhan kalian:
 Apakah di langit pertama (lihat hadis nuzul), di langit ( surat al mulk), diatas arsy (lihat surat ar” ad), menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat surat albaqarah), dimana- mana/disemua arah, tanpa tempat (hadis zaman azali)?

Jika menggunakan makna dhahir ayat dan hadist maka tidak akan bisa menjawabnya dan terjerumus dalam tasybih (penyerupaan kepada makhluq). Ta”wil disni berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta”wil ayat dan hadis mutasyabihat:
Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa: 

“Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah.
 
(Sebagian ulama’ salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)

Pembahasan lebih lanjut tentang makna Hadits menjadikan kuburan sebagai masjid / tempat sujud

 
Sebelumnya saya sudah membahas persoalan hadits tersebut dan juga maknanya, namun karena kawan-kawan salafi wahhabi belum juga bisa memaknai hadits tersbut dengan makna yang shahih dan benar, maka Kali ini saya akan membahas lebih lanjut makna Hadits tersebut ditinjau dengan beberapa disiplin ilmu, dengan keterbatasn ilmu al-Faqir.
 
Hadits Pertama :
Nabi Saw bersabda :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya".

 Hadits Kedua :
لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها
“ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat menghadapnya “.

PENJELASAN HADITS PERTAMA :
Segi Ilmu Nahwu :
لعن : فعل ماض مبني على الفحة
الله : فاعل مرفوع بالضمة
اليهود : مفعول لعن منصوب بالفتحة
و : حرف عطف
النصارى : معطوف باليهود منصوب بالفتحة
اتخذوا : فعل ماض والواو للجماعة ضمير متصل في محل رفع فاعل
والاتخاذ من افعال التحويل تنصب مفعولين.
قبور : مفعول اول وهو مضاف
انبياء : مضاف اليه مجرور بالكسرة
هم : ضمير متصل مبني على السكون
مساجد : مفعول ثان منصوب بالفتحة لانه من الاسماء غير منصرفة
وجملة الفعل والفعل وما بعدها في محل نصب نعت لليهود والنصارى
Keterangan :
• Lafadz ittakhadza termasuk fi’il tahwil yaitu predikat yang menunjukkan arti merubah dan memiliki dua maf’ul karena ia juga termasuk akhowat dzonna (saudaranya dzonna) yang menashobkan dua maf’ulnya.
• Maf’ul pertamanya adalah kalimat QUBURA ANBIYAIHIM ( Kuburan para nabi mereka). dan maf’ul keduanya adalah MASAJID (masjid-masjid).
• Dan jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan setelahnya menjadi NA’AT (Sifat) bagi Yahudi dan Nashoro.
Maka arti dari sisi nahwunya “ Allah melaknat kepada Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid “.

Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :
لعن الله
• : Adalah jumlah du’aiyyah (susunan doa) yang mengandung makna tholabiyyah (permohonan).
اتخذوا
• : Adalah jumlah musta’nifah ‘ala sabilil bayan limuujibil la’an (Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)
قبور انبيائهم مساجد
• : Kalimat ini merupakan Majaz tasybih.
- Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.
- Tasybih : Uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.

Secara umum tasybih ini tujuannya untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera. Maka arti dari sisi ilmu balaghah dan bayan ini adalah :

“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.

Syarah alfadz atau mufradat :
Sekarang kita akan kupas satu persatu dari kalimat hadits tersebut dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih lainnya, merujuk pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga kita akan dapatkan makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan hadits-hadits lainnya yang saling berkaitan.

Setelah itu kita akan timbang dengan komentar-komentar atau pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat berkompeten dan menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.

PEMBAHASAN : Mufradat :
• Lafadz qubur jama’ dari mufrad qobrun yang berarti madfanul insane al-mayyit (tempat pendaman mayat).
• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan lilqobri yaitu maudhi’u dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati atau istilah lainnya pekuburan / pemakaman). Yang berarti juga tempat dimana terdapat tiga atau lebih dari orang yang dipendam.
• Dan lafadz Masajid adalah jama’ dari kata Masjid berasal dari kata sajada yasjudu (bersujud).

Masjid adalah isim makan ‘ala wazni maf’ilun. Maka masjidun artinya makanun lis sujud ( tempat untuk sujud). Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

Adalah : “ Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan tempat pendaman para nabi mereka sebagai tempat untuk sujud “.

Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan nabi mereka sebagai tempat sujud dan ibadah mereka. Mereka buat patung seorang nabi atau orang sholeh di atas kuburan nabi atau orang sholeh tersebut. Kemudian patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka. Inilah makna yang shahih dan sebenarnya, kenapa bisa demikian ? simak penjabarannya berikut ini..

Pertama : Fi’il ittakhodza ( اتخذ ) adalah dari fi’il khumasi muta’addi dan salah satu fi’il tahwil atau shoirurah yang memiliki makna merubah dan berhukum menashobkan dua maf’ul (objek)-nya. Maf’ul yang pertama menjadi dzat maf’ul yang kedua seluruhnya. Contoh :

اتخذت الحقل مرعى

“ Aku jadikan ladang itu sebagai tempat penggembalaan “. Artinya ; “ Aku merubah semua ladang itu menjadi tempat penggembalaan “.

Kalau untuk sebagian maka kalimatnya sebagai berikut :

اتخذت من الحقل مرعى

“ Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.

Kalau untuk di artikan membangun , maka tidak boleh kita katakan :

اتخذت الارض بيتا

“ Aku bangun tanah itu sebagai rumah “, 
Kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak sesuai dengan fungsi fi’il ittakhodza sebagai fi’iI tahwil bukan bina’.

Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya adalah sebagai berikut :

بنيت على الارض بيتا

“ Aku membangun rumah di atas tanah itu “.
 Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan membangun tempat sujud di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan sebagai tempat sujud.

Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi’il tersebut. Dan hadits membangun masjid / tempat sujud dikuburan, ada matan dan riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan hadits di atas. Nanti saya akan jelaskan.

Kedua :
Dari sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di atas dapat diketahui makna hadits di atas yang sebenarnya :

فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد
الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد .

Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulu ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut.

Maka bersabdalah Rasulullah Saw “ Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “.

Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh Allah Saw dalam al- Quran berikut :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“ Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib- rahibnya (Nashoro) sebagai tuhan selain Allah. Dan orang-orang Nashoro berkata “ dan juga Al-Masih putra maryam “. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa. Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia dari apa yang mereka persekutukan “. (At-Taubah : 31)

Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul Saw melaknat orang yahudi dan nashoro adalah karena mereka menyembah patung para nabi dan patung orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara mereka.
Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid yang ada kuburannya.

Ketiga :
Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw lainnya berikut diriwayatkan dari Atho’’bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :

اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah, Allah sangat murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud “.

Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang menyembah kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota tubuh dan juga hati mereka. Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata “ watsanan yu’bad “ ( sesembahan yang disembah). Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah Nampak jelas mereka menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.

Keempat :
Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya adalah tempat sujud bukan berupa bangunan masjid. Karena orang-orang yahudi beribadah bukan di dalam masjid, demikian juga orang-orang Nashoro beribadah bukan di dalam masjid, melainkan mereka beribadah di ma’bad dan kanisah (kuil dan gereja). Maka hadits di atas sangat tidak tepat diarahkan pada bangunan masjid kaum muslimin. Maka makna hadits tersebut yang shahih adalah “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro tersebut, sebab menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud “. Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut :

” الأرض كلها مسجد إلا المقبرة
والحمام

“ Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk dijadikan tempat sujud (tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat pemandian “.

Jika kita artikan masjid dalam hadits ini adalah bangunan masjid, maka logikanya kita boleh melakukan I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar. Sungguh hal ini bertentangan dengan hukum fiqihnya. Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna masjid di situ adalah bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk sujud, dengan penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan mutatsna minhunya dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah (pekuburan) dan al-Hammam (tempat pemandian). Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi disebut juga bangunan masjid. Maka arti hadits tersebut bermakna :

“ Bumi ini seluruhnya layak dijadikan tempat sujud, kecuali tempat pekuburan dan tempat pemandian “.
Jika kita artikan masjid disitu dengan bangunan masjid “ 

Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan tempat pemandian “, maka pengertian seperti ini jelas salah dan batal, karena sama juga menyamakan pekuburan dan tempat pemandian itu dengan masjid yang boleh I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid lalu diisttisnakan dengan illat yang tidak diketahui.

Kelima :
Melihat sejarah pemakaman Nabi Saw .Rasulullah Saw dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khatthab. Di masa Nabi Saw Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Karena umat muslim yang berkunjung semakin pesat dan tempatnya semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan diperluas lagi walaupun yang pertama merovasinya adalah Umar bin Khoththob. Kemudian diperluas lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga bangunannya menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H. Selanjutnya diperluas lagi oleh raja Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100 . 000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam masjd tersebut.

Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar Ash-Shdiddiq dan Umar bin Khoththob. Di zaman Utsman bin Affan saat perluasan masjid yang disaksikan lebih dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya atau mengatakannya haram. Bahkan sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat makam Nabi saw di dalamnya, memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya. Nabi Saw bersabda :

صلاة في مسجدي هذا أفضل
من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام

“ Sholat di masjidku ini lebih utama dari sholat seribu kali diselainnya kecuali di masjdil haram “

Beliau juga bersabda :
من زار قبري وجبت له شفاعتي

“ Barangsiapa yang ziarah ke makamku, maka ia berhak mendapat syafa’atku “.

Bahkan siti Aisyah pun sering sholat di kamar tersebut sebagaimana telah dikisahkan dalam shahih Bukhari. Seandainya hal itu suatu kemungkaran dan keharaman karena beralasan dengan alasan yang tidak nyambung yaitu dengan hadits menjadikan kubur para nabi sebgai tempat sujud di atas, seperti yang telah difatwakan oleh guru besar wahhabi salafi yaitu syaikh Muqbil yang merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan Fauzan, maka sudah pasti para sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu haram.

Umat muslim sejak zaman sahabat hingga sekarang ini terus berziarah ke masjid Nabawi tersebut, melakukan sholat di dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw, dan tak ada satu pun ulama di seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid tersebut yang terdapat makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khoththob.
Ke enam :
Allah Swt berfirman :
وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم مَسْجداً
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di atas kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)

Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka. Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing.

Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang- orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt.
Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :

يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى. ومعنى
كلامه أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.

Imam Syaukani berkata “ Penyebutan menjadikan masjid dalam ayat tsb menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah orang-orang muslim.

Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa dan raja dari kaum muslimin..”. Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih utama adalah bahwa yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah kaum muslimin “.

وقال الإمام الرازى فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه، ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد». تفسير الرازى

Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata “ Kami akan menjadikan masjid di atasnya “ maknanya adalah “ Kami akan beribadah kepada Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas para pemuda ashabul kahfi dengan sebab masjid tersebut “.

Ketujuh :

عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم في مرضه الذي مات فيه: لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. قالت: ولولا ذلك لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً

Dari siti Aisyah bahwasanya Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang wafatnya “ Semoga Allah melaknat orang yahudi dan nashoro, sebab mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “. Siti Aisyah berkata “ Jika bukan karena itu, maka aku akan tampakkan makam Nabi namun dikhawatirkan dijadikan tempat sujud “.

Siti Aisyah ingin menampakkan makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan pagar, namun beliau khawatir makam Nabi Saw dibuat sujud oleh kaum muslimin yang awam sehingga masuk kategori hadits larangan menjadikan kuburan para Nabi sebgai tempat sujud. Maka ucapan siti Aisyah tersebut menjelaskan makna hadits :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

Adalah masjid dalam hadits tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan masjid. Dan inilah rahasia doa Nabi Saw :

اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد

“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang disembah “ Nabi tidak mengatakan :

اللهم لا تجعل قبري مسجدا

“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sebagai masjid “. Doa Nabi Saw terkabuli dan terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak menjadi sesembahan kaum muslimin yang berziarah di sana. Dalam riwayat lainnya Nabi Saw bersabda :

اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى له

“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang dijadikan untuk sholat “. Maka dengan penejelasan ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah ilmunya menjadi jelas dan terang bahwa yang dimaksud masjid dalam hadits di awal adalah tempat sujud bukan bangunan masjid. Maka makna hadits Nabi Saw :

لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

Adalah : “ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.

Inilah makna yang shahih dan yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan hawa nafsu atau kedangkalan cara berpikir. Selanjutnya saya akan memaparkan makna hadits ini dan juga hadits yang kedua dari segi ilmu Ushul Fiqihnya. Dan setelahnya saya cantumkan pendapat mayoritas ulama yang memaknai hadits tersebut seperti penjelasan di atas. Sehingga kemusykilan menjadi musnah dan kebenaran semakin jelas dan nyata.

(Ibnu Abdillah Al-Katibiy) 30-10-2011