Satu sore Sukiran anak Sukirin menghadap Guru Sufi dengan mata
berkilat-kilat menahan amarah dan kejengkelan. Kepada Guru Sufi, Sukiran
menanyakan berbagai dalil agama sekitar diselenggarakannya tradisi
keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi, haul, dan
lain-lain yang selama ini dijalankan keluarganya. Pasalnya, waktu tahlil
peringatan tujuh hari Mbah Sukimin, kakeknya, salah seorang kerabat
yang jadi guru mengaji membubarkan acara itu dengan alasan bahwa
tahlilan itu bid’ah dlolalah. “Kang Sukino marah-marah, katanya seluruh
keluarga, termasuk arwah Mbah Sukimin akan masuk neraka kalau
ditahlilkan,” kata Sukiran mengadu.
“Sukino kuwi siapa le?” tanya Guru Sufi ingin tahu,”Apa itu Sukino anak Mbah Sukidin dan Mbah Sukinem?”
“Iya benar Mbah Kyai,” sahut
Sukiran bersungut-sungut,”Jadi ustadz baru berapa tahun, sombongnya
setengah mati. Semua orang dianggap sesat. Keblinger. Ahli neraka.
Hari-hari dilewati dengan marah-marah kepada orang-orang yang dianggap
sesat. Namanya sekarang ditambahi, jadi Ahad Sukino Al-Wahab,” lanjut
Sukiran mengungkapkan bahwa marga Suki, belakangan ini terpecah-belah
gara-gara Sukino membawa ajaran baru yang membingungkan keluarga.
Kelompok marga yang ikut Sukino seperti Sukijan, Sukiwil, Sukipan,
Sukibat, Sukiri, Sukipas, Sukiyono namanya ditambahi “Ahad” dan
“Al-Wahab” sehingga menjadi : Ahad Sukijan Al-Wahab, Ahad Sukiwil
Al-Wahab, Ahad Sukipan Al-Wahab, Ahad Sukibat Al-Wahab, Ahad Sukiri
Al-Wahab, dan seterusnya. Sedang marga yang enggan mengikuti Sukino
tetap saja bernama marga Suki seperti Sukidul, Sukirun, Sukijo,
Sukimo, Sukipas, dan bahkan yang bekerja sebagai TKI di Jepang namanya
diganti menjadi: Sukiyaki, Suki Ono, Sukimorata, Sukiomura, Sukiyoto,
Sukiyono.
Guru Sufi tidak menjawab
pertanyaan Sukiran dan tidak pula mengomentari pandangan ustadz Ahad
Sukino Al-Wahab yang membid’ah-bid’ahkan dan menyesat-nyesatkan
masyarakat yang menjalankan tradisi keagamaannya. Ia juga tidak tertarik
menanggapi terjadinya perpecahan di dalam keluarga besar marga Suki.
Sebaliknya, ia mengutip hadits dan menceritakannya sebagai berikut:
Al-Hakim meriwayatkan
dari Al-Qamah bin Al- Haris r.a yang mengatakan,”Aku telah datang
kepada Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersama dengan tujuh
orang dari kaumku. Setelah kami memberi salam dan Rasulullah
Shollallaah ‘alaih wa sallam tertarik, maka beliau bertanya, “Siapakah
kalian ini ?”
Kemudian baginda
Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya, “Setiap perkataan ada
buktinya, apakah bukti keimanan kalian?”
Kami menjawab, “Ada
limabelas perkara sebagai bukti keimanan kami. Pertama, lima perkara
yang baginda perintahkan kepada kami. Lalu lima perkara yang
diperintahkan oleh utusan baginda kepada kami. Lima perkara yang lain,
adalah kebiasaan yang kami jalankan sejak zaman jahiliyyah”
Mereka menjawab, “Baginda
Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam telah memerintahkan kami untuk
beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”
Mereka menjawab, “Kami
diperintahkan oleh para utusan baginda untuk bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan baginda Muhammad adalah utusan Allah, kami
hendaknya mendirikan sholat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan,
menunaikan zakat, dan pergi haji bila mampu.”
Rasulullah Shollallaah
‘alaih wa sallam bertanya lagi, “Apakah lima perkara yang masih kalian
kerjakan sebagai sisa kebiasaan sejak zaman jahiliyyah ?”
Mereka menjawab,
“Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu
perang, ridha pada waktu kena ujian, dan tidak merasa gembira dengan
sesuatu musibah yang menimpa pada musuh.”
Mendengar ucapan mereka
yang amat menarik ini, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda,
“Sungguh kamu ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam
agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir-hampir saja kalian ini
serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kalian katakan tadi.”
Kemudian Rasulullah
Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda melanjutkan, “Maukah kalian aku
tunjukkan kepada lima perkara amalan lagi yang akan menyempurnakan dari
apa yang sudah kalian punyai ?”
Mereka menjawab serentak, ”Tentu kami bergembira menerimanya, baginda.”
Rasulullah Shollallaah ‘alaih
wa sallam bersabda, ”Janganlah kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak
akan kalian makan. Janganlah kalian mendirikan rumah yang tidak akan
kalian tempati. Janganlah kalian berlomba-lomba dalam sesuatu yang
bakal kalian tinggalkan. Berusahalah sebaik-baiknya mencari bekal
untuk kehidupan akhirat.”
Sukiran termangu-mangu
mendengar kisah Al-Qamah bin Al-Haris r.a yang diriwayatkan Al-Hakim.
Dalam kisah itu, ternyata Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak
melarang Al-Qamah bin Al-Haris beserta kaumnya untuk menjalankan
nilai-nilai sisa kebiasaan jahiliyah, bahkan Rasulullah Shollallaah
‘alaih wa sallam menambahkan pesan tambahan baru lagi. “Jadi Mbah
Kyai…,” kata Sukiran akan bertanya.
Guru Sufi menyahut,”Al-Mukhafadah ‘ala qadhiimi shalih…..,” sambil memberi isyarat kepada Sukiran untuk melanjutkan kaidah ushuliyah yang diucapkannya.
“Wah saya lupa lanjutannya
Mbah Kyai,” sahut Sukiran ketawa kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal,”Tapi saya faham maksudnya, Mbah Kyai.”
Cerita Ringan dari Agus Sunyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar