إِنَّ
أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ،
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)
Hadits
ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara
tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal
begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits
tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim
saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak
pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah
yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak
berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah
ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang
telah terebih dahalu mengkajinya.
Definisi Bid'ah
Untuk
mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu
memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah
(terminologi/syariat).
Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)
Yaitu
hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu
As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru.
Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan
tercela.
Adapun
Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang
nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si
fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului
untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.
Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah
Pandangan
ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia
menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai
bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut
perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam:Adapun untuk mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itu pun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itu pun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itu pun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itu pun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
- Bid'ah wajib.
- Bid'ah haram
- Bid'ah sunah
- Bid'ah makruh
- Bid'ah mubah
Makna
tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa
segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah,
akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk.
(lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus
Cara
kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah:
menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada
menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu
perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib,
sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin
Abdussalam.
Cara
kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan
saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun
memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki
dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini
memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah,
sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al
Hikam h. 223)
Sebenarnya
kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat
pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan
mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah
yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana
perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah
makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."
Definisi
yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam
yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al
Baihaqi--bahwa beliau berkata,
"Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua kategori:(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)
- Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah).
- Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela."
Sementara
Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua
perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan
tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan
Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya'
Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam
An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin
Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah
hukum),
"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... "
Di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata,
"Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata,
"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah."
Karena itu hadits Nabi SAW,
"Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami
jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan
bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al
Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara
baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena
Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar
syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,
"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,
"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."
Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar,
"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".
Jika
perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya
dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan
shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya
melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi
mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.
Praktik
shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar.
Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau
menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan
bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah,
berdasarkan sabda Nabi SAW,
"Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku."
Juga sabda beliau lainnya,
"Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ..."
Adapun hadits nabi SAW,
"Setiap perkara baru adalah bid'ah"
Dipahami
jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak
sesuai dengan Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah
Jumhur
ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa
macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya
seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab
Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti
Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab
Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua
ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam
mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di
zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram,
makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:
- Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya." - Bid'ah haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya. - Bid'ah sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at. - Bid'ah makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an. - Bid'ah mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
- Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan, نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Ini sebaik-baik bid'ah.
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing-masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,
"Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal."
Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata,نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Inilah sebaik-baik bid'ah.
Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari) - Abdullah
bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid
adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab,
"Bid'ah".
(HR. Bukhari dan Muslim) - Hadits-hadits
yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk
diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai
pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
- Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
- Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara
sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang
mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau
sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga
janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah
hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal
'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal
ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi
samar dan aneh di kalangan umat Islam.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar