Selasa, 18 Oktober 2011

Nasihat Seorang Ulama Berhati Bening



Kemarin sore, Sabtu, 20 November 2010, tak lama setiba di rumah, dari Kota Bandung yang macet, saya pun membuka facebook. Begitu melihat sebuah foto (lihat facebook “Simbah Kakung”) yang menampilkan adegan Gus Mus sedang berjabat tangan dengan seorang pejabat utama negeri ini, entah kenapa saya lama tercenung dan termenung. Lama saya mencoba mencermati dan “membaca” foto itu. Dari pelbagai sisi. Saya pun mencoba membayangkan, dialog di antara dua tokoh itu. Tapi, gagal. Tentu saja, karena yang tahu dialog yang berlangsung di antara dua tokoh itu adalah Gus Mus sendiri dan beberapa orang di sekitar kejadian itu. Dan, tak lama selepas itu, saya pun bergumam pelan, “Andai saja Gus Mus mau bercerita tentang apa yang terjadi ketika foto itu diambil. Andai saja, Gus.”
Kemudian, ketika kian lama mencermati dan “membaca” foto itu, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya “menggeliat” kenangan tentang dialog yang terjadi antara Sulaiman bin ‘Abdul Malik dan Abu Hazim: dialog antara seorang penguasa dan seorang ulama berhati bening. Dialog itu adalah sebagai berikut:
“Wahai Abu Hazim, mengapa begitu dingin sambutanmu kepadaku?” tanya Sulaiman bin ‘Abdul Malik, penguasa ke-7 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, ketika berada di tempat kediaman seorang ulama terkemuka Madinah Al-Munawwarah kala itu, Abu Hazim Salamah bin Abu Dinar. Kala itu sendiri, putra kedua ‘Abdul Malik bin Marwan itu sedang beristirahat di Kota Nabi, alias Madinah Al-Munawwarah, di tengah perjalanan menuju Makkah dengan tujuan untuk menunaikan ibadah haji.
“Mengapa demikian, wahai Amir Al-Mukminin?” jawab ulama berambut pirang yang terkenal enggan menemui penguasa.
“Masyarakat Kota Nabi ini begitu bersemangat menyambutku. Sedangkan engkau tak mau datang menemuiku. Engkau hanya mau menemuiku selepas aku mendatangimu!”
“Saya berlindung kepada Allah Swt. Kiranya engkau tak menyatakan sesuatu yang tak engkau alami. Apa yang terjadi antara diriku dan dirimu tentu sepenuhnya telah engkau ketahui!”
“Engkau benar, wahai Abu Hazim,” sahut sang penguasa seraya menganggukkan kepalanya. Dan, selepas berdiam diri beberapa lama, kemudian ia berucap, “Wahai Guru, mengapakah orang-orang tampak begitu betah di dunia, sedangkan pesona duniawi sejatinya hanya semu belaka?”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut ulama berdarah Persia dan mantan budak Al-Aswad bin Sufyan Al-Makhzumi itu. “Itu karena mereka sibuk membangun dunia. Tapi, mereka lupa membangun akhirat. Itulah sebabnya, kami enggan mengikuti jejak langkahmu!”
Mendengar jawaban demikian, penguasa yang lebih banyak mencurahkan waktunya untuk menghadapi gempuran pasukan Bizantium dan memburu orang-orang yang pernah berusaha menggeser kedudukannya sebagai putra mahkota itu sejenak menarik napas panjang. Dan, beberapa saat kemudian, ia bertanya lagi, “Wahai Abu Hazim! Bagaimanakah gambaran orang yang ingin menghadap kepada Allah Swt.?”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Adapun orang yang senantiasa berbuat kebaikan, ia laksana orang yang usai menempuh perjalanan lama dan kembali kepada keluarganya (sangat bersemangat dan gembira). Sedangkan orang yang berbuat kejahatan, ia laksana budak yang melarikan diri dan kemudian kembali kepada majikannya (sangat ketakutan).”
“Duh, bila demikian halnya, bagaimanakah kedudukan diri saya ini di hadapan Allah Swt., wahai Abu Hazim?” keluh sang penguasa seraya merundukkan kepalanya.
“Wahai Amir Al-Mukminin! Arahkanlah dirimu pada Kitab Allah Swt. Lantas, renungkanlah firman-Nya, ‘Sungguh, orang-orang yang senantiasa berbakti benar-benar berada dalam surga yang sarat kenikmatan. Dan, sungguh, orang-orang yang durhaka benar-benar dalam neraka.” (QS Al-Infithâr [82]: 13-14).”
“Wahai Abu Hazim, di manakah rahmat Allah?”
“Berada di dekat orang-orang yang berbuat kebaikan!”
“Siapakah orang yang paling berakal?”
“Orang yang mencermati hikmah dan mengajarkannya kepada khalayak ramai!”
“Siapakah hamba Allah Swt. yang paling mulia?”
“Orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa!”
“Perbuatan apakah yang paling utama?”
“Menunaikan hal yang fardhu dan menjauhkan diri dari hal yang haram!”
“Perkataan apakah yang paling didengar orang?”
“Perkataan benar kepada orang yang engkau takuti dan harapkan!”
“Siapakah orang beriman yang paling pintar?”
“Orang yang berusaha mematuhi Allah dan mengajak manusia mendekatkan diri kepada-Nya!”
“Siapakah orang beriman yang merugi?”
“Orang yang melangkah demi memenuhi hawa nafsu saudaranya dan melakukan tindakan aniaya. Orang yang demikian itu adalah orang yang menjual akhiratnya dengan mengambil dunia orang lain!”
“Wahai Abu Hazim, bagaimanakah pendapatmu tentang diri kami?”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Apakah engkau akan memaafkan saya manakala saya berucap apa adanya?”
“Tentu, karena itu adalah nasihat yang engkau kemukakan kepadaku!”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Kakek-kakekmu gemar memaksa orang-orang lain dengan pedang dan merebut kekuasaan dengan kekerasan dan tanpa bermusyawarah dengan kaum Muslim serta tanpa kerelaan mereka. Akibatnya, sebagian mereka binasa dalam suatu peperangan yang dahsyat. Kini, mereka semua telah berpulang. Andai engkau merasakan apa yang mereka rasakan dan apa yang dikatakan orang tentang diri mereka!”
“Betapa buruk apa yang engkau ucapkan itu, wahai Abu Hazim!” sergah seseorang yang hadir di majelis itu.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” ucap selanjutnya ulama yang berdarah Persia dan mantan budak Al-Aswad bin Sufyan Al-Makhzumi itu tanpa perasaan gentar sama sekali menerima sergahan demikian. “Sungguh, Allah telah mengambil ikatan janji terhadap para ulama dan ilmuwan untuk mengemukakannya kepada khalayak ramai dan tak menyembunyikannya!”
“Bagaimanakah sebaiknya cara kita memperbaiki kerusakan ini?” tanya penguasa yang konon “petah berbicara, sombong, dan rakus” serta mendirikan Kota Ramallah, Palestina itu.
“Ambillah hal-hal yang halal dan kemudian letakkanlah pada hal-hal yang benar!”
“Siapakah yang kuasa melakukan hal yang demikian itu, wahai Abu Hazim?”
“Orang yang memburu surga dan menghindarkan diri dari neraka!”
Mendengar jawaban demikian, sejenak penguasa yang berpulang selepas tiga tahun menjadi penguasa, tepatnya pada Shafar 99 H/Oktober 717 M, diam merenung lama. Dan, kemudian, ia berucap, “Berdoalah untukku, wahai Abu Hazim.”
Maka, Abu Hazim pun berdoa, “Ya Allah, Tuhanku! Jikalau Sulaiman memang seorang penguasa sejati, mudahkanlah ia dalam meraih kebaikan dunia dan akhirat. Sedangkan jikalau ia adalah seorang penguasa yang menjadi musuh-Mu, hancurkanlah kepalanya sesuai dengan yang Engkau kehendaki dan ridhai.”
Seusai Abu Hazim berdoa demikian, Sulaiman bin ‘Abdul Malik kemudian berucap, “Wahai Abu Hazim! Berilah aku nasihat dan masukan.”
“Baiklah, saya akan memberikan nasihat yang ringkas kepadamu, wahai Amir Al-Mukminin: agungkanlah Tuhanmu dan sucikanlah Dia bahwa Dia melihatmu dalam kaitannya dengan sesuatu yang Dia larang untuk dilakukan dan tak melihatmu dalam kaitannya dengan sesuatu yang Dia perintahkan untuk dilaksanakan!”
Seusai menerima nasihat demikian, Sulaiman bin ‘Abdul Malik kemudian meninggalkan tempat kediaman Abu Hazim.

"Ya Rasul, Perkenankanlah Aku Berkunjung Kepadamu."



Kemarin siang, 21 Februari 2011, ketika penulis sedang asyik menyiapkan dan menyusun sebuah ensiklopedia di rumah di Baleendah, Bandung, tiba-tiba telepon genggam penulis bunyi. Tak lama kemudian, suara santun yang sangat penulis kenali menyapa, “Assalamu‘alaikum, Ustadz…”
“Wa‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Apa kabar, Mbak Siti?”
“Alhamdulillah sehat. Ustadz, bisa gak hari Rabu, atau paling lambat Jumat nanti, paspor Ustadz sudah di tangan saya. Insya Allah Maret nanti Ustadz berangkat ke Tanah Suci dan Turki. Karena itu, visa dua negara itu perlu segera diurus,” jawab Mbak Siti Khodijah dari Khalifah Tour.

Tentu saja, ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. pun segera “mewarnai” hati, pikiran, dan bibir penulis. Dan, tak terasa, tiba-tiba bibir penulis bergumam, “Ya Rasul, perkenankanlah aku berkunjung kembali kepadamu…”

Kemudian, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” menuju Kota Nabi dan terkenang perjalanan penulis ke kota itu pada bulan Maret tahun lalu, pada saat menapakkan kaki di Masjid Nabawi. Kala itu, selepas melintasi plaza utara Masjid Nabawi dengan langkah-langkah pelan, penulis lantas memasuki pelataran masjid seraya merenungkan makna jati diri dan perjalanan hidup penulis di dunia yang fana ini. Kian menyadari pelbagai kedhaifan, kekurangan, dan kekhilafan diri, tiba-tiba penulis gumam lirih, “Ya Allah! Apakah makna kehadiran seorang hamba-Mu yang dhaif ini di tengah “belantara” miliaran umat-Mu? Ya Allah! Karuniakanlah kasih dan cinta-Mu kepada hamba-Mu ini, agar sisa-sisa hidupnya bermakna. Ya Allah! Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasul-Mu!”

Begitu berada di dalam Masjid Nabawi, lewat Bâb Al-Salâm, para jamaah pria yang bersama penulis pun mengambil posisi mereka masing-masing di Raudhah yang penuh dengan jamaah. Penulis sendiri mengambil posisi sebuah tempat tak jauh dari mimbar Rasul Saw. Selepas melaksanakan shalat tahiyyah al-masjid, tiba-tiba penulis kembali terkenang pesan Al-Ghazali kepada setiap Muslim ketika ia sedang berada di Masjid Nabawi. Betapa indah pesan itu. Bagaimanakah pesan Al-Ghazali itu?

“Bila Anda telah tiba di Masjid Nabawi,” demikian pesan Al-Ghazali dalam karya besarnya Ihya’ ‘Ulûm Al-Dîn, “hendaknya Anda ingat, masjid itu adalah tempat lapang yang dipilih Allah Swt. bagi Nabi-Nya, kaum Muslim angkatan pertama, dan kelompok orang-orang istimewa. Juga, hendaknya Anda ingat, seluruh hal yang diwajibkan Allah Swt. pertama-tama ditegakkan di tempat yang lapang itu. Selain itu, tempat yang lapang itu menghimpun makhluk-makhluk Allah yang paling utama. Baik apakah semasa mereka masih hidup maupun selepas berpulang. Karena itu, hendaknya Anda benar-benar berharap, kiranya Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda, dengan masuknya Anda ke dalamnya. Dan, kini, masuklah Anda ke dalam masjid dengan langkah dan sikap tenang dan mengagungkannya. Betapa layak tempat itu membangkitkan kedamaian dalam kalbu orang yang beriman.”

Usai melaksanakan shalat tahiyyah al-masjid dan berdoa beberapa lama di Raudhah, kami kemudian keluar dari “Taman Surga” itu dan kemudian mengikuti barisan panjang yang melintasi Makam Rasulullah Saw. dan dua sahabat tercintanya, Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Dengan langkah-langkah sangat pelan, kami pun kian dekat dengan makam itu.

Kemudian, ketika kian dekat dengan makam dan melihat aneka ragam perilaku kaum Muslim yang sedang bergerak pelan menuju makam itu dan di depannya, penulis pun kembali ingat pesan Al-Ghazali tentang tata krama berziarah ke makam Rasul Saw., “Ketika menziarahi Rasulullah Saw., hendaknya kita berdiri di hadapan beliau sebagaimana telah dikemukakan di muka. Dengan kata lain, hendaknya kita menziarahi beliau selepas berpulang seperti halnya menziarahi beliau ketika masih hidup. Juga, hendaknya kita memandang beliau dengan penuh hormat. Tak menyentuh dan tak memeluk tubuh beliau. Tapi, berdiri agak jauh dari beliau bagaikan berdiri di hadapan beliau. Seperti itulah yang selayaknya kita lakukan. Menyentuh dan memeluk orang lain yang berada di depan seseorang merupakan kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.

Perlu diketahui, Rasulullah Saw. tahu, Anda datang, tegak, dan menziarahi beliau. Salam dan shalawat Anda pun sampai kepada beliau. Karena itu, bayangkanlah dalam benak Anda, sosok mulia beliau yang terletak dalam lubang makam di hadapan Anda dan hadirkanlah keagungan kedudukan beliau dalam kalbu Anda. Dituturkan dari beliau bahwa ‘Allah Swt. mewakilkan, di makam beliau, seorang malaikat yang menyampaikan kepada beliau salam seseorang dari umat beliau yang mengirimkan salam kepada beliau.’

Hal itu bagi seseorang yang tidak sedang berziarah ke makam beliau. Karena itu, dapat dibayangkan, bagaimana halnya dengan seseorang yang berpisah dengan tempat asalnya dan melintasi pelbagai tempat dan negara, karena ingin menemui beliau serta merasa cukup dengan menyaksikan makam beliau yang mulia, karena tak mendapatkan kesempatan menyaksikan wajah beliau yang mulia. Nabi Saw. berpesan, ‘Barang siapa mengucapkan shalawat kepadaku sekali, niscaya Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya sepuluh kali.’ Ini adalah balasan bagi seseorang yang mengucapkan shalawat kepada beliau. Bisa dibayangkan, bagaimana halnya bagi seseorang yang hadir dengan tubuhnya untuk menziarahi beliau?”

Demikianlah pesan Al-Ghazali kepada kaum Muslim yang berziarah ke Makam Rasulullah Saw.

Kemudian, seraya melangkah sangat pelan di antara antrian orang-orang yang menuju Makam Rasulullah Saw., kedua mata penulis pun “berlari”. Ke sana dan ke mari. Tak bosan-bosannya kedua mata penulis menatap dan mencermati segala sesuatu yang ada di area yang terletak di seputar Raudhah dan makam itu. Satu demi satu. Tiba-tiba, kedua mata penulis menatap mimbar beliau yang menjadi salah satu pembatas Raudhah. “Bukankah di mimbar itulah beliau, manakala sedang tidak melakukan perjalanan ke luar kota, setiap Kamis selepas shalat subuh (bila di bulan Ramadhan selepas shalat asar) memberikan pesan dan arahan kepada para sahabat?” gumam penulis sangat pelan.

Melihat mimbar Rasulullah Saw. yang terdiri dari tiga tingkat dan dibuat dari kayu itu, penulis pun teringat catatan Prof. Dr. Husain Mu’nis tentang mimbar itu. Menurut mantan guru besar Universitas Kairo dan Universitas Kuwait yang merah gelar doktornya dari sebuah universitas terkemuka di Swiss itu, tatkala Rasulullah Saw. mendirikan Masjid Nabawi, pada mulanya mimbar beliau hanyalah tanah yang ditinggikan yang diletakkan di samping mihrab. Kemudian, seperti halnya dikemukakan Ibn Al-Atsir dalam karyanya Asad Al-Ghâbah, pada 6 atau 7 atau 8 atau 9 H sebuah mimbar kayu dibuat untuk beliau dan diletakkan di masjid beliau. Sedangkan Al-Diyarbakri dalam karyanya tentang biografi beliau, Al-Khamîs fî Sîrah Anfas Al-Nafîs, dan Burhanuddin Al-Halabi, dalam karyanya Al-Sîrah Al-Halabiyyah, mengemukakan bahwa yang membuat mimbar beliau adalah seorang Koptik atau Romawi bernama Bacum atau Bacul. Mimbar tersebut terdiri dari dua tangga dan sebuah tempat duduk beliau. Jelas, mimbar kayu ini sebagai pengganti mimbar pertama beliau. Di sini, kita menyaksikan kelahiran mimbar kayu.

Mimbar tersebut tetap dalam keadaan demikian hingga masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Lantas, suatu ketika, penguasa pertama Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah itu membuat untuk dirinya sebuah mimbar bergerak dari kayu yang terdiri dari enam tangga dan sebuah tempat duduk. Selepas itu, tatkala ia pergi ke Makkah, ia membawa serta mimbar tersebut, seakan mimbar itu merupakan simbol kekuasaannya. Mimbar itu kemudian ia tinggalkan di Masjid Al-Haram dan tetap di sana hingga masa pemerintahan Harun Al-Rasyid, penguasa ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Jejak langkah yang dilakukan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan tersebut kemudian diikuti beberapa penguasa Dinasti Umawiyyah, kala mereka sedang melakukan perjalanan.

Kemudian, ketika kedua kaki penulis beringsut pelan ke depan dan kedua mata penulis asyik mencermati dan menatap lama Mimbar Nabi Saw., tiba-tiba penulis tersadarkan oleh sebuah pesan Rasulullah Saw. yang dikemukakan dalam sebuah lagu indah yang diciptakan Djaka Bimbo, Sam Bimbo, dan Taufiq Ismail serta disenandungkan Bimbo, “Hidup dan Pesan Nabi”:

Hidup ini bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke titik terakhir
Hidup bukan bulatan bola
Yang tiada ujung yang tiada pangkal

Hidup ini melangkah terus
Tak pernah kembali ke masa lalu
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Pesan Nabi tentang mati
Jangan takut mati karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati

Tiga rahasia Ilahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran, kedua pernikahan
Ketiga kematian

Penuhi hidup dengan cinta
Ingatkan diri saat untuk berpisah
Tegakkan shalat lima waktu
Dan ingatkan diri saat dishalatkan

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kau mati
Renungkanlah itu

Kemudian ketika telah berada di samping Makam Rasulullah Saw., yang dijaga tiga petugas (‘askar), perasaan penulis pun menjadi sangat bercampur aduk. Antara sangat bahagia dan sangat malu. Sangat bahagia, karena penulis masih diberi kesempatan Allah Swt. berziarah kembali ke makam beliau. Merasa sangat malu, karena merasa betapa diri penulis masih acap melakukan dan sangat sarat dengan pelbagai kekurangan, kesalahan, kealpaan, noda, dan dosa. Sejenak kemudian, seraya melangkah sangat pelan, penulis pun mengucapkan salam dan shalawat dengan nada suara pelan kepada beliau, dan kemudian menyampaikan salam dan doa kepada dua sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab.

"Surat Cinta" Al-Hasan Al-Bashri


(arofiusmani.blogspot.com/)


Kemarin sore, ketika penulis sedang mengikuti perkembangan pergolakan politik yang sedang terjadi di Libya, lewat channel tivi: Al-Jazeera, CNN, dan Euronews, tiba-tiba penulis tersadarkan: para penguasa di kawasan Timur Tengah yang telah berkuasa ketika penulis masih menimba ilmu di Mesir (1978-1984), dan berkuasa terlalu lama, kini telah berjatuhan. Tiba-tiba pula dalam benak penulis membara pertanyaan, “Mengapa mereka terlenakan oleh kekuasaan, sehingga kekuasaan itu mereka genggam terlalu lama. Akibatnya, kekuasaan itu pun berubah menjadi “bara” di akhir perjalanan kekuasaan mereka.” Tidakkah para pemegang kekuasaan itu sadar, selain oleh rakyat, mereka akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Sang Khalik kelak di akhirat?

Merenung demikian, entah kenapa, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Damaskus, Suriah, teringat kegelisahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, penguasa ke-8 Dinasti Umawiyyah ketika menjabat sebagai khalifah. Kala itu, selama berhari-hari, betapa ia acap sulit memejamkan mata, walau malam telah sangat larut. Amanah yang ia sangga, sebagai khalifah, ternyata terasa sangat berat baginya.

Penguasa yang satu itu, sebagaimana termaktub dalam torehan sejarah Islam, terkenal adil dan bijak. Cicit ‘Umar bin Al-Khaththab ini lahir di Madinah pada 61 H/681 M (ada yang mengatakan 63 H/684 M) dan tumbuh dewasa di Helwan, Mesir hingga bersampai usia sekitar dua puluh tahun. Ia kemudian dikirim ke Madinah Al-Munawwarah, untuk menimba ilmu. Lantas, ketika ayahandanya berpulang, ia kembali ke Damaskus dan menikah dengan sepupunya, seorang putri ‘Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash, penguasa kelima Dinasti Umawiyyah, bernama Fathimah. Setahun selepas itu, pada 86 H/705 M, kala berusia dua puluh enam tahun, ia diangkat Al-Walid bin ‘Abdul Malik sebagai Gubernur Madinah, menggantikan Hisyam bin Isma‘il. Selanjutnya, putra ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash ini diangkat menjadi Gubernur Makkah. Selama menjabat gubernur, kedua wilayah itu menjadi kawasan yang stabil dan aman. Jabatan itu ia pegang sampai 93 H/712 M. Selepas itu, ia kembali ke Damaskus untuk menjadi menteri utama di masa pemerintahan Sulaiman bin ‘Abdul Malik. Jabatan sebagai orang nomor satu Dinasti Umawiyyah dipegang ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pada 99 H/717 M, menggantikan ipar yang juga saudara sepupunya: Sulaiman bin ‘Abdul Malik.

Tak kuasa mengatasi kegelisahan dan keresahan hatinya, akhirnya suami Fathimah binti ‘Abdul Malik dan ayahanda tiga belas putra dan putri itu mengirim sepucuk surat kepada Al-Hasan Al-Bashri, untuk meminta nasihat dan arahan. Terkenal sebagai seorang ulama generasi tâbi‘în dan sufi terkemuka abad 2 H/8 M, Al-Hasan Al-Bashri lahir di Madinah pada 21 H/642 M, di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab, dengan nama lengkap Abu Sa‘id Al-Hasan bin Yassar Al-Bashri. Namun, kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas terjadi Perang Shiffin pada 35 H/656 M. Sehingga, ia lebih terkenal dengan sebutan “Al-Bashri” (yang asal Bashrah). Ia tumbuh dewasa di Kota Nabi dalam lingkungan yang salih dan mendalam pengetahuan agamanya. Dan, selama bermukim di Kota Suci itu, ia bertemu tak kurang dari tujuh puluh sahabat.

Tak lama selepas menerima surat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Al-Hasan Al-Bashri pun segera membalasnya. Ia, antara lain, menulis, “Ammâ ba‘d. Wahai Amir Al-Mukminin! Sungguh, dunia adalah tempat berkelana, bukan tempat bermukim selamanya. Adam a.s. diturunkan dari surga ke dunia tak lain karena sebagai hukuman atas dirinya. Karena itu, waspadalah terhadap dunia. Sungguh, bekal dari dunia ini adalah sikap menghindarinya. Kekayaan dari dunia adalah kemiskinannya. Di setiap saat, sejatinya dunia melakukan pembunuhan. Juga, dunia melecehkan orang yang memuliakannya dan memiskinkan orang yang menghimpunnya. Dan, dunia laksana racun yang menelan orang yang tak mencermatinya dan kemudian mematikannya. Karena itu, berbekal di dalamnya adalah dengan meninggalkan dunia dan kekayaan di dalamnya adalah dengan kefakiran.

Wahai Amir Al-Mukminin! Hendaklah sikapmu terhadap dunia laksana sikap orang yang sedang mengobati luka dirinya. Ia menjaga diri sebentar, karena khawatir terhadap sesuatu yang tak disukainya dalam masa yang lama. Ia bersabar atas getirnya obat, karena takut atas derita yang berlama-lama. Sejatinya, orang mulia adalah orang yang berucap benar, menapakkan kaki dengan menundukkan kepala, hanya menyantap makanan yang baik dan halal, memejamkan mata dari hal-hal yang haram, penuh rasa khawatir, baik di kala di darat maupun di laut, dan senantiasa berdoa, baik dalam kesulitan maupun kelonggaran. Andai bukan karena ajal yang telah ditetapkan atas diri mereka, tentu mereka tak ingin nyawa mereka tetap berpadu dengan tubuh mereka. Ini, karena mereka takut hukuman-Nya dan mengharapkan balasan-Nya. Dalam hati mereka, Sang Khalik demikian agung. Sedangkan semua makhluk, di mata mereka, demikian tiada artinya.

Wahai Amir Al-Mukminin! Tafakur dapat membuahkan ajakan untuk melakukan kebaikan dan mengamalkannya. Sedangkan penyesalan atas keburukan mengajak pada sikap meninggalkannya. Dan, sesuatu yang bercorak fana dapat berpengaruh atas sesuatu yang bercorak abadi. Demikian halnya, bersusah payah yang membangkitkan kedamaian lebih baik ketimbang kesenangan sesaat yang mengakibatkan penyesalan dan kesengsaraan nan tiada henti. Waspadalah terhadap pesona duniawi yang dapat mengaparkan, merendahkan, dan mematikan siapa saja, karena mengaguminya lantas terlena. Bila demikian, yang kemudian terjadi adalah hari-hari yang telah melintas tak dapat dijadikan pelajaran atas hal-hal yang bakal terjadi di masa depan. Ini adalah akibat perbuatan di masa lalu, yang tak gentar terhadap kebenaran peringatan Allah yang dikemukakan, tak menyadarkannya. Yang ada dalam kalbu, dalam kaitannya dengan pesona duniawi, hanyalah cinta buta semata. Barang siapa kalbunya hanya tertuju pada kehidupan duniawi semata, hingga saat kematian menjemput pun ia akan senantiasa memburu pesona yang menurutnya merupakan sesuatu yang paling memikat baginya. Akibatnya, pada dirinya, berpadu dua derita. Yaitu, kepedihan sakratulmaut dan keperihan tak kuasa merengkuh pesona yang ia damba. Dengan demikian, ia meniti perjalanan panjang menuju ke hadirat Allah Swt. Tanpa bekal apa pun dan datang (ke akhirat)dan tanpa persiapan sama sekali.

Wahai Amir Al-Mukminin! Karena itu, waspadalah sepenuhnya terhadap pesona duniawi. Sebab, pesona itu laksana ular. Manakala disentuh sedikit saja, ia kuasa membunuh dengan bisanya. Berpalinglah dari pesona yang engkau kagumi segala sesuatu yang ada di dalamnya, karena hanya sedikit darinya yang akan kuasa menyertaimu. Lepaskanlah hasratmu kepadanya, karena engkau yakin akan berpisah dengannya. Jadikanlah kepahitan berat yang ada padanya sebagai dambaan yang senantiasa engkau idamkan selepasnya. Waspadalah, karena setiap kali seseorang hamba dunia terbuai oleh kesenangan yang ada di dalamnya, akibat buruknya akan senantiasa menyertai dirinya. Manakala sesuatu yang ia gemari dapat direngkuhnya, sesuatu yang ia benci kelak akan menjadi penggantinya. Karena itu, sesuatu yang kini menyenangkan, kelak akan menjadi menyedihkan. Yang kini bermanfaat, kelak akan membahayakan. Kemakmuran di dalamnya kelak akan mengantarkan pada kepedihan. Kenikmatannya pun kelak akan dikembalikan menjadi kepahitan.

Wahai Amir Al-Mukminin! Pandanglah pesona duniawi dengan tatapan selamat jalan. Bukan dengan tatapan jatuh cinta. Ketahuilah, dunia memedayakan. Seolah, yang tinggal di dalamnya akan hidup abadi selamanya, juga menyajikan kesenangan bagi pemburu kesenangan di dalamnya. Sejatinya, kunci kesenangan dan kekayaan dunia pernah ditawarkan kepada Nabi Saw. Namun, beliau menolaknya. Tak lain karena beliau mengetahui bahwa sesuatu yang tak disukai Allah, beliau pun tak menyukainya, dan sesuatu yang dipandang kecil oleh Allah Swt., beliau pun memandangnya kecil. Andai beliau menerima tawaran itu, tentu hal itu menjadi penanda bahwa beliau mencintai pesona duniawi.

Kiranya Allah Swt. berkenan melimpahkan rahmat kepada kami, dengan nasihat ini. Juga, kepada engkau,

Wassalâmu‘alaikum wa Rahmâtullâh wa Barakâtuh
.”

Betapa gembira ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menerima surat dari tokoh yang ikut serta dalam pasukan ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Bashrah, dalam pelbagai ekspedisi militer hingga ke Kabul dan baru kembali ke Bashrah pada 53 H/673 M serta menetap di kota itu hingga berpulang pada Kamis, 1 Rajab 110 H/ 10 Oktober 728 M. Nasihat Al-Hasan Al-Bashri itu kemudian banyak ia jadikan sebagai pedoman dan acuan dalam bertindak dan mengambil keputusan selama ia menjadi penguasa. 

Lo, Imam Al-Syafi'i Tidak Shalat Tahajjud?



“Alhamdulillah, buku-buku yang Anda kirimkan kepada saya telah sampai.” Demikian pesan penulis kemarin kepada seorang sahabat, seorang mahasiswa asal Cirebon yang sedang mengikuti program pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan sedang pulang ke Indonesia. Dua buku itu adalah dua buku menarik yang disusun dua ulama dan pemikir kondang dari Negeri Piramid: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dan Dr. Muhammad ‘Imarah. Dua ulama terkemuka itu memang terkenal sebagai pemikir-pemikir yang disegani di Dunia Islam. Buku pertama tentang “Lagu dan Musik Menurut Al-Quran dan Sunnah”. Sedangkan buku kedua tentang “Al-Bukhari dan Muslim, Dua Tokoh Hadits”.

Melihat dua karya penting tersebut, malam harinya penulis pun segera terasyikkan dalam menyimak dan mencermati kedua karya itu. Menyimak kedua karya itu, penulis kian tersadarkan, betapa Hukum Islam demikian luas. Dan, hukum itu tidak dapat dimengerti dan difahami dengan baik bila kita menggunakan “pandangan mata kuda”: pandangan picik yang melihat hukum itu dari aspek yang sempit. Mengenai lagu dan musik saja, hingga dikaji Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam 255 halaman, ternyata pembahasan para ulama dan pakar demikian mendalam dan luas. Dan, ternyata pula, para ulama dan pakar Hukum Islam telah semenjak lama telah membahas persoalan lagu dan musik.

Entah kenapa, ketika sedang asyik “menikmati” dua karya tersebut, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang”, teringat kisah memikat tentang dua raksasa di bidang Hukum Islam: Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Al-Syafi’i. Juga, pendekatan mereka dalam memahami dan memaknai kehidupan sehari-hari menurut ajaran Islam. Berikut kisahnya:

Betapa gembira hati putri Ahmad bin Hanbal hari itu. Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis, hukum Islam, dan ilmu kalam yang juga salah seorang tokoh dari empat imam mazhab fikih. Bernama lengkap Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al-Syaibani Al-Bashri, ia lahir di Baghdad pada Rabi‘ Al-Akhir 164 H/Desember 780 M. Lantas, ketika masih menyusu, ia dibawa ibundanya pindah ke Baghdad. Tokoh yang telah hapal Al-Quran sejak dini ini gemar merantau untuk memperluas wawasan keilmuannya. Di antara gurunya kala itu adalah Abu Yusuf, sejawat dan murid Abu Hanifah Al-Nu‘man. Guru-gurunya yang lain, antara lain, adalah Hasyim bin Basyir. Ia menjadi murid Hasyim bin Basyir hingga sang guru berpulang ke hadirat Allah Swt. pada 183 H/799 M. Selepas itu, ia belajar di bawah bimbingan Abu Yusuf. Bertolak dari Baghdad, pada 186 H/802 M, Ahmad muda lantas menapakkan kakinya menuju Bashrah. Dari sana, ia lalu menuju Kufah. Selanjutnya ia menuju Makkah dan kemudian ke San‘a, Yaman.

Tak aneh bila Imam yang satu ini memiliki sederet guru, antara lain ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, Sufyan bin ‘Uyainah, Yahya bin Sa‘id Al-Qaththan, Yazid bin Harun, Abu Dawud Al-Thayalisi, Waki‘ bin Al-Jarrah, Al-Hasan bin Ziyad, ‘Abdurrazzaq Al-Shan‘ani, dan Ibn Hammam. Selain itu, ia juga sempat bertemu dengan dan menimba ilmu dari Al-Syafi‘i, pengasas Mazhab Syafi‘i, di Makkah dan Baghdad. Dan, sejak 204 H/817 M, ia menetap di Baghdad sampai berpulang ke hadirat Allah pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 241 H/31 Juli 855 M. Di kota itu pula ia meniti kehidupannya untuk menebarkan ilmu, terutama ilmu hadis. Karena keluasan ilmunya, ia segera berhasil memikat banyak murid, antara lain para ahli terkemuka seperti Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj, dan Abu Dawud Al-Sijistani.

Kegembiraan putri ulama yang kala berpulang meninggalkan sederet karya tulis, antara lain Al-Musnad, yang menghimpun sekitar tiga puluh ribu hadis, Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, ‘Ilal Al-Hadîts wa Ma‘rifah Al-Rijâl, Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah wa Al-Zanâdiqah, Fadhâ’il Al-Shahâbah, Kitâb Al-Shalâh wa Mâ Yalzam Fîhâ, Kitâb Al-Sunnah, dan Kitâb Al-Zuhd itu dipicu oleh kabar gembira dari sang ayahanda yang akan menerima kunjungan seorang guru yang acap ia bincangkan bersama sang putri. Sang putri tahu, ayahandanya acap menyanjung gurunya yang lahir di Gazza, Palestina itu, karena keluasan ilmu dan wawasannya. Karena itu, ia ingin tahu bagaimanakah sejatinya akhlak dan perilaku tokoh yang pernah menyatakan bahwa “perhiasan yang paling indah yang dikenakan ulama adalah kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” itu.

Benar saja, Al-Syafi‘i tak lama selepas itu datang berkunjung ke rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ketika larut malam tiba, ulama yang berpulang Jumat, 30 Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir meminta izin kepada tuan rumah untuk beristirahat. Selama Al-Syafi‘i beristirahat malam itu, putri Ahmad bin Hanbal sengaja begadang dan mengamati apa saja yang dilakukan tamu mulia ayahandanya itu.

Kemudian, pagi harinya, seusai melaksanakan shalat subuh, sang putri memberanikan diri bertanya kepada ayahandanya dengan suara lirih, “Wahai ayahanda! Benarkah dia Al-Syafi‘i yang acap ayahanda bincangkan tentang kebaikan dan ketakwaannya itu?”
“Benar, wahai putriku,” jawab sang ayahanda penasaran. “Dia memang adalah Al-Syafi‘i yang acap kubincangkan denganmu. Ada apa?”
“Wahai ayahanda,” jawab sang putri tetap dengan suara pelan. “Semalam, saya sengaja tak memejamkan mata. Betapa saya ingin sekali tahu perihal perilaku guru ayahanda yang satu itu. Sejak guru dan tamu ayahanda itu datang, saya senantiasa mencermati seluruh gerak dan lakunya. Ternyata, selama itu, saya mengamati tiga hal yang saya sayangkan terhadap diri guru dan tamu ayahanda itu. Ketika saya menghidangkan makanan, duh, ternyata ia lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan. Ketika ia sedang beristirahat, ternyata ia sama sekali tak melakukan shalat malam dan tahajud. Dan, ketika ia menjadi Imam shalat subuh tadi, ternyata ia tak berwudhu!”

Tentu, sang ayahanda kaget sekali dan sangat penasaran mendapat penjelasan dari putrinya tentang Imam besar yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metoda Hijaz dan metoda Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan rasio, itu. Karena itu, selepas berbagi sapa beberapa lama, Imam yang salih dan hidup sederhana itu pun mengemukakan kepada Al-Syafi‘i perihal pengamatan putrinya.

Mendengar pertanyaan demikian, wajah Al-Syafi‘i tak menunjukkan rasa tak senang sama sekali. Malah, ia menjawab dengan wajah berbinar, “Wahai Imam Ahmad! Memang saya lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan tersebut. Ini karena saya tahu, makanan yang kalian sajikan adalah makanan yang halal dan baik. Engkau adalah seorang ulama mulia. Sedangkan makanan yang disajikan orang mulia dan halal adalah obat. Berbeda dengan makanan orang pelit yang malah dapat menjadi penyakit. Jadi, saya makan tidaklah untuk memuaskan selera makan saya. Tapi, saya makan untuk berobat dengan makanan yang disajikan semalam. Sedangkan berkenaan dengan malam yang saya lewatkan tanpa shalat malam atau tahajud, semalam seakan saya melihat Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. ada di depan mata saya. Sehingga, dengan merenungi keduanya, saya menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fikih yang bermanfaat bagi kaum Muslim. Akibatnya, saya tak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat malam. Dan, berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sejatinya karena sepanjang malam saya tak tidur sama sekali dan tiada sesuatu pun yang membatalkan wudhu saya. Sehingga, saya shalat subuh dengan wudhu shalat isya.”

Betapa lega Ahmad bin Hanbal mendengar jawaban Al-Syafi’i tersebut yang tak selaras dengan pengamatan putrinya. Demikian pula putrinya yang mendengarkan penjelasan guru ayahandanya itu dari balik tirai. Malah, Ahmad bin Hanbal kemudian menekankan kepada putrinya bahwa hasil perenungan Al-Syafi’i yang bermanfaat bagi kemaslahatan kaum Muslim itu jauh lebih utama nilainya dibandingkan dengan shalat malam yang dilakukannya. (arofiusmani.blogspot.com/)

Dicari: Orang yang Memiliki Sikap Berbeda

(arofiusmani.blogspot.com/)

Tadi malam, selepas melaksanakan shalat tarawih, entah kenapa tiba-tiba dalam benak penulis membara hasrat untuk menulis. Tetapi, sayangnya, walau tangan masih cekatan “menari”, kedua mata penulis ternyata enggan diajak “menari” bersama. Karena itu, segera laptop pun penulis matikan. Nah, begitu laptop mati, ternyata ganti kedua mata itu yang begitu bersemangat “menari-nari” di antara deretan buku yang ada di rak buku. Selepas beberapa lama “menari-nari” di antara deretan buku, entah kenapa kedua mata itu tiba-tiba berhenti bergerak dan kemudian menatap tajam ke sebuah buku dengan judul Nasihat Al-Muluk, Nasihat kepada Raja-raja. Buku itu merupakan hasil goresan tangan seorang ulama, pemikir, dan sufi kondang di Masa Pertengahan, Abu Hamid Al-Ghazali.

Segera, benak penulis pun “melayang-layang”. Segera pula penulis teringat, buku itu merupakan hadiah dari seorang sahabat, seorang dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta dan kandidat doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Buku yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia tersebut, menurut Dr. Jelani Harun dalam kata pengantar karya itu, masuk dalam genre “Mirror for Princess”. Lebih jauh Dr. Jelani Harun menyatakan, dari sisi sejarah genre “Mirrors for Princes” telah lama hadir dalam tradisi keilmuan Islam. Antara lain lewat karya seperti Kitâb Al-Sulthân, oleh Ibn Qutaibah, Kitâb Al-Tâj, oleh Al-Jahizh, dan beberapa karya lain.

Sementara menurut C.E. Bosworth, dalam tulisannya “An Early Arabic Mirrors of Princess: Tahir Dhul-Yaminain’s Epistle to His Son Abdallah (206 H/821 M)”, penulisan genre “Mirrors for Princes” dalam kesusastraan Arab telah bermula semenjak awal tahun 205 H/820 M, melalui karya Kitâb Al-Baghdâd oleh Ibn Thaifur. Pada 516 H/1122 M, karya “Mirrors for Princess” dalam tradisi Arab terus berkembang dengan kelahiran Sirâj Al-Mulûk oleh Al-Turthusi. Perkembangan genre “Mirrors for Princess” mencapai puncaknya sekitar abad ke-10 dan ke-11 M, melalui tiga karya Persia yang cukup terkenal, yaitu Siyasatnama/Siyâr Al-Mulûk (409-485 H/1018-1092 M) oleh Nizham Al-Muluk, Qabusnama (475 H/1082 M) oleh Kay Kaus bin Iskandar, dan Nasîhâh Al-Mulûk oleh Al-Ghazali (450-504 H/1058-1111 M).

Nah, berikut adalah salah satu contoh genre “Mirror for Princess” tersebut:

Resah dan gelisah, itulah kondisi batin Harun Al-Rasyid tidak lama selepas menjabat khalifah, atau orang nomor satu, Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Kala itu, selama berhari-hari, betapa ia senantiasa resah karena satu masalah yang mengganjal dalam hatinya: seorang ulama terkemuka dan mulia yang ia segani tidak kunjung menyampaikan ucapan selamat kepadanya, seperti halnya ulama-ulama yang lain. Alih-alih datang ke istananya. Padahal, sebelum menjabat khalifah, ia sangat akrab dan dekat dengan ulama yang satu itu. Tapi, kini, selepas ia menjadi penguasa, ulama yang bermukim di Kufah itu hilang seakan ditelan bumi dan tidak pernah bertandang kepadanya lagi. Ulama itu tidak lain adalah Sufyan Al-Tsauri.

Ulama yang sangat disegani Harun Al-Rasyid itu adalah seorang tabi‘in yang ahli hukum Islam dan sufi terkemuka pada abad ke-2 H/8 M. Lahir di Kufah pada 97 H/715 M, ia bernama lengkap Abu ‘Abdullah Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri Al-Kufi. Sesuai dengan tradisi yang berkembang kala itu, ia mula-mula menimba ilmu kepada ayahandanya. Usai mendapat “pembinaan” dari sang ayahanda, tokoh yang pernah menyatakan bahwa “barang siapa kikir dengan ilmu yang dimilikinya, sejatinya ia mengharapkan tiga petaka: lupa akan ilmunya, mati tanpa sempat memanfaatkan ilmunya, atau kehilangan buku-bukunya” ini lantas memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, antara lain kepada Al-Hasan Al-Bashri. Usai memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, namanya segera mencuat sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas dan mandiri. Tidak aneh bila di bidang ini, nama ahli hukum yang menopang penghidupannya dengan berdagang ini dapat disejajarkan dengan para mujtahid terkemuka. Namun, ia tidak hanya seorang pakar di bidang hukum Islam semata. Ia juga terkenal sebagai seorang pakar hadis yang menuturkan banyak hadis. Tidak aneh, karena kepakarannya di bidang terakhir ini, ulama yang sangat berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah ini mendapat julukan “Amir Al-Mu’minin” di bidang hadis.

Atas saran pelbagai pihak, Harun Al-Rasyid akhirnya menulis sepucuk surat kepada Sufyan Al-Tsauri:

Bismillâhirrahmanirrahim.

Dari hamba Allah, Harun Al-Rasyid, Amir Al-Mukminin, kepada saudaranya, Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri.

Wahai saudaraku! Engkau tentu tahu, Allah Swt. telah mempersaudarakan di antara orang-orang beriman. Dia menjadikan hal yang demikian itu di jalan-Nya dan karena-Nya. Perlu engkau ketahui, aku telah mempersaudarkan diriku denganmu dengan tali persaudaran yang tidak akan kuputuskan selamanya dan kasih sayang yang timbul darinya tidak akan kupotong apa pun halnya. Kesenanganku berkumpul denganmu lebih tinggi daripada kesenangan dan keinginan terbaik. Andai tiada belenggu (jabatan) ini, yang dibebankan Allah Swt., tentu akan kudatangi tempatmu, karena rasa cinta yang terpancang kuat dalam hatiku kepadamu. Walau dengan merangkak sekali pun.

Wahai Abu ‘Abdullah! Ketahuilah, tiada seorang pun di antara teman-temanku dan teman-temanmu yang belum bertandang kepadaku untuk mengucapkan selamat kepadaku, karena jabatan yang kini kupangku. Aku telah membuka sejumlah bait al-mâl. Aku pun telah memberikan pelbagai hadiah kepada mereka. Semua itu begitu menggembirakan hatiku dan menyedapkan mataku. Sungguh, aku menanti kedatanganmu yang amat terlambat. Tapi, hingga pun kini, ternyata engkau tidak kunjung bertandang juga. Karena itu, kutulis surat ini kepadamu. Hatiku begitu rindu kepadamu.

Wahai Abu ‘Abdullah! Engkau tentu tahu ajaran agama perihal keutamaan orang beriman, kunjungannya, dan silaturahmi. Karena itu, manakala surat ini telah sampai kepadamu, segeralah bertandang kepadaku.

Wassalâmu ‘alaikum wa Rahmatullâh wa Barakâtuh.


Ketika menerima surat itu, dan mengetahui isinya, Sufyan Al-Tsauri, yang tidak mau menyentuh sama sekali surat itu, lantas berucap kepada orang yang membacakan surat itu, “Baliklah surat itu! Tulis jawabannya kepada orang zalim itu di baliknya!”
“Wahai Abu ‘Abdullah,” ucap seseorang yang hadir kala itu mencoba meredakan rasa tidak senang Sufyan Al-Tsauri kepada Harun Al-Rasyid selepas menjadi khalifah. “Ia seorang khalifah, lo. Bagaimana kalau jawaban itu ditulis di selembar kertas bersih yang belum ada tulisannya?”
“Tulislah jawaban kepada orang zalim itu di balik surat itu!” sahut ulama yang berpulang ke hadirat Allah di Makkah pada 161 H/778 M itu dengan suara melengking. “Bila kertas itu didapatkan dari harta halal, tentu amalnya akan dibalas Allah Swt. Sedangkan bila kertas itu didapatkannya dari harta haram, tentu ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Dan, tiada sesuatu pun yang disentuh orang zalim dan diserahkan kepada kita melainkan akan merusakkan agama kita!”
“Apakah yang kami tulis?”

Sufyan Al-Tsauri lantas mendiktekan sebagai berikut:

Bismillâhirrahmanirrahîm.

Dari hamba Allah yang berdosa, Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri, kepada seorang hamba Allah yang banyak berangan-angan dan mencabut manisnya iman seseorang, Harun Al-Rasyid.

Ammâ ba‘d. Sungguh, lewat tulisan ini kuberitahukan kepadamu, sejatinya silaturahmi denganmu telah kuputuskan. Juga, kecintaan kepadamu telah kupotong. Aku sangat tidak suka terhadap jabatan yang kini kaupangku. Engkau pun telah menjadikan aku sebagai saksi atas dirimu, dengan pengakuanmu atas dirimu dalam suratmu, dengan seranganmu terhadap bait al-mâl kaum Muslim. Engkau telah membelanjakannya di jalur yang bukan yang semestinya dan telah menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak selaras dengan ketentuannya. Kemudian, engkau merasa tidak senang dengan yang kulakukan, sedangkan engkau jauh dariku, hingga engkau torehkan surat kepadaku. Engkau jadikan aku saksi atas dirimu. Sungguh, aku telah bersaksi atas dirimu dan teman-temanku yang menyaksikan pembacaan suratmu. Kesaksian itu akan kami tunaikan atas dirimu. Kelak di hadapan Allah Swt.

Wahai Harun! Engkau telah menyerang bait al-mâl kaum Muslim tanpa kerelaan mereka. Akan relakah, akibat tindakanmu itu, para muallaf, para pejuang di jalan Allah, dan para musafir? Akan relakah, akibat tindakanmu itu, para pendukung Al-Quran, para ulama, perempuan-perempuan janda, dan anak-anak yatim? Akan relakah, akibat tindakanmu itu, khalayak ramai dari kalangan rakyatmu? Karena itu, wahai Harun, ikatlah kainmu! Sediakanlah jawaban untuk setiap pertanyaan.

Wahai Harun! Ketahuilah, engkau akan berdiri di hadapan Hakim Yang Mahaadil. Sungguh, engkau telah menanam bahaya terhadap dirimu sendiri. Ini, karena engkau telah meniadakan manisnya ilmu, kezahidan, kelezatan Al-Quran, dan pergaulan dengan orang-orang pilihan. Engkau relakan dirimu sendiri menjadi orang zalim dan panutan orang-orang zalim.

Wahai Harun! Kini, engkau duduk di atas kursi kebesaran. Engkau kenakan kain sutra. Engkau pasang tirai di pintumu. Engkau serupakan dirimu dengan Tuhan semesta alam dengan penjaga-penjaga yang mengawalmu. Kemudian, engkau tempatkan tentara-tentaramu yang zalim di pintu dan tiraimu. Walau mereka acap berbuat kezaliman kepada khalayak ramai, tapi mereka tidak kunjung insaf. Mereka memukul orang-orang yang menenggak minuman keras, padahal mereka sendiri juga menenggak minuman itu. Mereka menghukum orang yang berzina, padahal mereka sendiri juga para pezina. Mereka memotong tangan orang yang mencuri, padahal merela sendiri juga para pencuri. Apakah hukuman-hukuman itu tidak lebih layak ditimpakan atas dirimu dan diri mereka, sebelum engkau menghukum orang lain?

Wahai Harun! Karena itu, bagaimanakah engkau kelak, manakala dipanggil di hadapan Allah Swt, “Kumpulkanlah orang-orang zalim dan istri mereka! Manakah orang-orang zalim itu dan para penolongnya?” Lantas, pemanggil itu membawa dirimu di hadapan Allah Swt., sedangkan kedua tanganmu dibelenggu di lehermu. Tiada yang kuasa melepaskan belenggu itu selain keadilan dan keinsafanmu. Orang-orang zalim itu sendiri berada di seputarmu. Engkaulah yang mendahului mereka dan menjadi panutan mereka menuju neraka.

Wahai Harun! Seakan antara aku denganmu telah engkau tempatkan pencekik leher dan pelbagai halangan. Engkau lihat kebaikanmu dalam timbangan orang lain dan keburukanmu dalam timbanganmu. Karena itu, perhatikanlah pesanku ini. Ambillah pelajaran dari arahan yang kukemukakan kepadamu.

Ketahuilah, aku telah menasihati engkau dan tiada yang tersisa untuk tidak kukemukakan kepadamu. Takutlah kepada Allah, wahai Harun, dalam kaitannya dengan rakyatmu. Jagalah Muhammad Saw. dalam kaitannya dengan umatnya. Dan, baguskanlah kekhalifahan atas diri mereka.

Ketahuilah pula, manakala tugas ini ditetapkan atas diri orang lain, tentu tugas itu tidak akan sampai kepadamu dan menjadi hak orang lain. Ini bagaikan dunia yang penghuninya berpindah, satu demi satu. Di antara mereka ada yang mencari perbekalan yang bermanfaat. Tapi, ada juga yang merugi, baik di dunia maupun akhirat. Menurutku, wahai Harun, engkau termasuk yang merugi. Baik di dunia maupun akhirat. Karena itu, jagalah dirimu. Juga, jagalah dirimu agar tidak menulis surat lagi kepadaku selepas ini, karena tidak akan kujawab nanti.

Wassâlamu‘alaikum wa Rahmatullâh wa Barakâtuh.


Ketika surat itu diserahkan kepada Harun Al-Rasyid, penguasa itu segera membacanya penuh perhatian. Begitu membaca jawaban Sufyan Al-Tsauri itu, Al-Rasyid pun tidak kuasa menahan lelehan air matanya dan berkali-kali menarik napas panjang. Melihat hal itu, seorang pejabat yang hadir kala itu berucap kepadanya, “Wahai Amir Al-Mukminin! Betapa lancang Sufyan Al-Tsauri! Mungkin lebih baik engkau perintahkan agar ia menghadap kepadamu di sini. Lantas, setibanya di sini, belenggu dan jebloskan ia ke dalam bui yang sangat sempit. Biar menjadi pelajaran bagi orang-orang lain.”
“Tinggalkan aku, hai budak-budak dunia yang gemar memerdayakan orang lain!” hardik Harun Al-Rasyid. “Kasihan sekali orang-orang yang telah kalian binasakan! Sungguh, Sufyan adalah satu-satunya orang yang memiliki sikap berbeda. Biarkan dia dengan sikap dan tindakannya yang demikian itu!”

Surat itu kemudian senantiasa dibawa Harun Al-Rasyid dan dibacanya setiap kali usai melaksanakan shalat hingga ia berpulang. (arofiusmani.blogspot.com/)

Pengemis dan "Burung Merak Para Ulama"



“Apakah semua pengemis memang berniat mengemis? Tiadakah di antara mereka pengemis yang berhati mulia seperti seorang pengemis yang pernah membuat Al-Junaid merasa bersalah?”

Entah kenapa, pertanyaan yang demikian tiba-tiba “mencuat” dalam benak saya, tadi pagi 25 Sepetember 2011, seusai membaca sebuah tulisan tentang mafia pengemis di sebuah media elektronik. “Ah, tentu saja pengemis yang pernah membuat Al-Junaid segera melakukan introspeksi itu tidak akan pernah ada lagi,” jawab saya segera ketika menyadari pertanyaan yang muncul mendadak tersebut.
Siapakah Al-Junaid yang pernah dibikin TKO (technical knockout) oleh pengemis itu? Juga, bagaimanakah kisah antara dirinya dan si pengemis itu?

Al-Junaid, tokoh yang satu ini, tentu kini tidak banyak lagi yang mengenalnya. Mengapa? Ini karena tokoh yang mendapat gelar “Burung Merak Para Ulama”, alias Thawus Al-‘Ulama’ ini hidup pada abad ke-3 Hijriah/9 Masehi. Dengan kata lain, tokoh yang satu ini muncul sebelum kemunculan Abu Hamid Al-Ghazali, seorang sufi, pemikir, dan tokoh yang terkenal dengan karya besarnya berjudul Ihya’ ‘Ulum Al-Din. Nah, Al-Junaid yang satu ini bernama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Khazzaz Al-Nihawandi. Putra seorang pedagang pecah belah yang berdarah Iran ini lahir di Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ibundanya adalah saudara perempuan Sari Al-Saqathi, seorang sufi terkemuka pada masa itu yang kemudian menjadi gurunya. Di samping itu, ia juga menimba ilmu kepada Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, juga seorang sufi terkemuka kala itu. Dan, ia memerdalam ilmu fikih atas mazhab Abu Tsaur, seorang sahabat Al-Syafi‘i.

Dalam tasawuf, Al-Junaid mewakili aliran moderat. Dengan kata lain, ia mewakili tasawuf para fuqahâ’ yang mendasarkan diri pada Al-Quran dan Sunnah. Di samping itu, ia juga dipandang sebagai seorang tokoh penting dalam sejarah tasawuf. Ini karena pendapat-pendapatnya yang kaya, sikapnya yang memadukan antara syariah dan hakikat, dan termasuk kelompok sufi yang tidak suka menyatakan ungkapan-ungkapan yang ganjil. Malah, ia lebih mendahulukan kesadaran ketimbang kondisi ketidaksadaran (trance) dan lebih mendahulukan kebakaan ketimbang kefanaan. Demikian halnya ia seorang guru yang terkenal dan mempunyai banyak murid yang ia ajari tasawuf serta ia tunjuki wawasan tentang kesempurnaan ilmu ataupun amal. Dan, ia juga mendirikan sebuah aliran yang terkenal dalam tasawuf yang metodanya kelak diikuti Al-Ghazali, pemikir yang sufi terkemuka, dan Al-Syadzili, pengasas Tarikat Syadziliyyah.
Menurut sufi yang berpulang kepada Sang Pencipta di Baghdad pada 298 H/909 M ini, amaliah seorang sufi harus melaksanakan tiga rukun amal. Pertama, melaksanakan secara konsisten dzikir tanpa pernah berhenti dan disertai tekad serta kesadaran penuh. Kedua, memertahankan tingkat kegairahan (wajd) yang tinggi. Ketiga, senantiasa melaksanakan syariah secara tepat dan ketat.

Nah, pada suatu hari, Al-Junaid diberi kesempatan untuk memberikan pengarahan kepada khalayak ramai di sebuah masjid di Baghdad Darussalam. Ketika ia sedang asyik berpidato dengan penuh semangat, tiba-tiba salah seorang di antara hadirin berdiri dan mulai mengemis di antara mereka. “Orang itu kok kelihatannya cukup sehat,” ucap Al-Junaid dalam hati seraya menghentikan pidatonya sejenak. “Bukankah dengan tubuh sehat demikian, ia dapat mencari nafkah. Tapi, mengapa ia mengemis dan menghinakan diri seperti itu?”
Malam harinya, ketika tidur, Al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung. “Makanlah, Al-Junaid!” sebuah suara memerintah Al-Junaid. Ketika Al-Junaid mengangkat tudung itu, terlihat olehnya si pengemis terkapar di atas piring.
“Aku tidak mau makan daging manusia,” Al-Junaid menolak seraya menundukkan kepalanya.
“Lo, bukankah itu yang kau lakukan kemarin, ketika kau berpidato di hadapan khalayak ramai?”

Al-Junaid segera menyadari, ia bersalah karena telah berbuat fitnah dalam hatinya. Karena itu, ia pantas dihukum. “Aku pun tersentak bangun dalam keadaan takut,” tutur Al-Junaid.

Segera, Al-Junaid bersuci dan melakukan shalat sunnah dua rakaat. Selepas itu, ia pergi mencari si pengemis. Ia dapatkan si pengemis sedang berdiri di tepi Sungai Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Melihat Al-Junaid mendatanginya, si pengemis lantas mengangkat kepalanya dan berucap kepada Al-Junaid, “Al-Junaid! Sudahkah kau bertobat karena telah berburuk sangka terhadap aku?”
“Sudah, saudaraku, ” jawab Al-Junaid dengan suara lirih. Malu.
“Jika demikian, pergilah dari sini. Dia-lah Yang Menerima tobat hamba-hamba-Nya. Dan, jagalah hati dan pikiranmu,” ujar si pengemis.
Sebuah pelajaran indah dari si pengemis untuk kita semua, “Jagalah hati dan pikiran kita. Kepada siapa pun!” (arofiusmani.blogspot.com/)

Senin, 17 Oktober 2011

Buah Cinta Zulaikha

Kecewakah Yusuf a.s. begitu menerima penolakan tawarannya untuk menikah oleh Zulaikha? Ternyata, menurut Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum Ad-Din (vol. 13), Yusuf a.s. tidak kecewa. Putra Nabi Ya’qub a.s. itu malah  kian gembira mendengar jawaban Zulaikha (tentu sosoknya tidak seperti yang dilukis Rembrandt seperti ditampilkan dalam gambar di samping: Zulaikha sedang dimarahi Potiphar selepas skandal cintanya terhadap Yusuf a.s. terbongkar) yang indah tersebut. Juga, dia tak patah arang. Malah, dengan pelbagai pendekatan yang meyakinkan, akhirnya Yusuf a.s. berhasil menyunting Zulaikha dan menempatkannya di istananya sebagai istri yang terhormat. 
Pendar keelokan fisik Zulaikha (dalam Torat disebut Zelikah) pun segera pulih. Malah, kini, pendar keelokannya kian bercahaya dan berkilau. Baik lahir maupun batinnya. Dan, berbeda dengan ketika masih menjadi istri Potiphar, Zulaikha kini berubah sepenuhnya menjadi seorang perempuan bangsawan yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Setiap saat, ia tak pernah melewatkan waktunya untuk kian mendekatkan diri kepada-Nya. 
Nah, menurut Al-Ghazali dalam karyanya tersebut, suatu siang hari, Yusuf a.s. yang lagi menikmati rehat, pulang ke istananya. Sebagai seorang suami, siang itu ia berhasrat sekali bercengkerama dengan istri tercintanya nan elok itu. Tapi, Zulaikha dengan halus menolak permintaan suaminya yang sangat tampan itu. Dia meminta, agar Yusuf a.s. menunda hasrat dan keinginannya yang menggebu itu hingga malam hari tiba. Yusuf a.s. pun, dengan agak kecewa, menerima penolakan itu. Kemudian, di malam harinya, ketika Yusuf a.s. memanggilnya, Zulaikha sekali lagi meminta agar hasrat Yusuf a.s. itu ditunda hingga siang hari tiba seraya berucap, “Wahai Yusuf, suamiku tercinta! Aku mencintaimu sebelum aku mengenal Allah Swt. Karena itu, begitu aku mengenal Dia,  bukankah sepantasnya tak kusisakan lagi cinta untuk selain Dia dan aku menghendaki pengganti Dia?” 
Yusuf a.s. pun sejenak tercenung dan termenung mendengar ucapan Zulaikha yang demikian itu. Dan, tak lama kemudian, ia berucap lirih kepada Zulaikha, “Wahai Zulaikha, istriku tercinta! Sejatinya, Allah Yang Mahaagunglah yang menyuruh aku melakukan hal yang demikian itu denganmu. Dia mengabarkan kepadaku bahwa Dia akan mengaruniakan dua putra lewat dirimu. Dia akan mengangkat kedua putra itu sebagai Nabi.” 
Wahai Yusuf,” jawab Zulaikha dengan wajah berbinar-binar. “Bila memang Allah Swt. memerintahkan engkau untuk bercengkerama denganku dan menjadikan aku sebagai sarana terlaksananya perintah-Nya itu, tentu perintah Allah SWT itu akan kutaati. Karena dengan ketaatan itu, kalbuku menjadi tenang.”