Islam Atau Nasionalisme?
Oleh Ahmad Hadidul Fahmi (Koordinator Lakpesdam Mesir)
Oleh Ahmad Hadidul Fahmi (Koordinator Lakpesdam Mesir)
Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari
nasionalisme Palestina yang terus menerus ‘dibombardir’ oleh Israel.
Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam buku pertamanya
yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih
ke level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam.
Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924), juga salah satu faktor
yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk mempersatukan
umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, ‘satu
kesadaran’ merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam
sekarang. Akan tetapi piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung
dari paradigma apa suatu sekte berpijak. Selain itu, eksistensi adanya
‘negara-negara kecil’ (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus
dijadikan pertimbangan tersendiri.
Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang
tidak mungkin terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh
orang Arab dan membawa ajaran-ajaran yang tidak pernah mereka jumpai
sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda dengan masa
sekarang, mereka mampu ‘mendongkrak’ ke atas dan melakukan ekspansi ke
daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang
tidak mampu mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana
yang terjadi pada zaman Rasul dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang
mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak kunjung reda sampai
sekarang.
Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam
dengan aplikasi yang maksimal pada masa Nabi masih menyisakan
celah-celah fanatisme kabilah yang potensial menimbulkan perseteruan dan
perpecahan. Fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks sebagaimana
fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika
menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas
dasar Islam sendiri bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa
kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding Anshar karena Muhajirin
secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-tubi dari
kaum Musyrik Mekah.
Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika
Khazraj perannya lebih besar di perang Badar dari pada Aus, sebab
Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani Najjar. Dan Bani
Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari
disebutkan, pada saat peristiwa Musailamah yang mengaku Nabi, Thalhah
al-Numairi mengatakan pada Musailamah, “Saya bersaksi bahwa kamu bohong.
Akan tetapi bohongnya Rabi’ah (nama kabilah), lebih saya suka dari pada
jujurnya Mudlar”. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam adalah agama
yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy
dan orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.
Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti
Umawiyyah. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa
bangga yang berlebihan dengan ras Arab dan terlalu membedakan Arab
dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup kental di sini.
Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan
revolusi pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.
Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal
hanya pada masa Nabi. Oleh karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak
menyatukan umat Islam dalam satu payung agama, mereka harus
mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut
lagi-lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat
mudah sekali menyumpah golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda
mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas fikih, pendapat,
paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu,
kita bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal
kelompok reformis Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka.
Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal dengan
agendanya tersebut?
Kritik Teori Hakimiyyah
Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.
Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.
Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori
tersebut sebagai legitimasi menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau
yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat kafir. Predikat tersebut
sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk kekuasaan
karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir
mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut
demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan (al-hukm lillah).
Demokrasi—sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya
al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr—adalah produk Barat yang sumber hukumnya
bersandar pada rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.
Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana
disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah–tidak
bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan
kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi
sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang
tepat dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut
legalitas ijtihad di semua masa. Penempatan yang tidak tepat dari teori
Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat tersebut pada
hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat
pluralitas interpretasi makna ‘Hakimiyyah’ ini, mari kita simak
penjelasan Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, dalam bukunya Hurmat
al-Takfir.
Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat “wa
man lam yahkum bi ma anzalaLLah, fa ulaika hum
al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun”. Setelah Syaikh Ali Jum’ah
membeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat
tersebut, ia pada akhirnya berkesimpulan—dengan mendasarkan pendapatnya
dari pendapat yang terkuat dan realistis serta sesuai dengan misi
toleransi Islam–bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang membuat
hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai
misal, mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu.
Oleh karena itu, yang dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam
ayat adalah; pertama, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum tertentu; ketiga,
memperingan hukum, keempat, jika mengaplikasikan ayat ini orang kafir,
maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat
kekafirannya), sedang jika ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka
yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim dan fasik.
Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah
al-Islamiyyah baina al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya
makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada
penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna
putusan (al-Qadla’) dan memutus konflik (fashl al-munaza’at). Tidak ada
kaitan sama sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam
sistem politik tertentu.
Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan
dari John Locke, filosof Inggris. Ia hendak menjadikan rakyat sebagai
sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan diktator. Begitu pula
filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai
‘kedaulatan rakyat’ sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik.
Sejarah jelas berbicara, bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna
menentang despotisme penguasa.
Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang
berjudul al-Dimuqrhutiyyah wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek
Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan rakyat (ridla
al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak
merepresentasikan kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah
politik) di tangan Tuhan sangat berbahaya sekali, karena bisa menjadi
legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama Tuhan, dan yang
membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan yang
keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad
Imarah merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat;
jika kedaulatan ada di tangan rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari
rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika mengatakan kedaulatan
Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan maksud
Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja
pada masa kegelapan Eropa?
Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh
rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah
secara syar’i. Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia,
pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin
yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR.
Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu
al-Halli wa al-‘Aqdi.
Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan
aturan yang selaras dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan
untuk mengambil manfaat dari peradaban yang bermacam yang dihasilkan
dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta apa ideologi dari
peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa
wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini
akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang
baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di
sinilah peran manusia untuk berijtihad.
Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan
oleh semua Negara. Sistem ini sama sekali tidak bertentangan dengan
Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Islami yang jelas
termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut
demokrasi dengan Islam itu sendiri (Jawhar al-Islam). Pada demokrasi
sudah mencerminkan praktek syura’ (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa
Aqdi (QS. Al-Nisa’: 59), menolak penguasa despotik (QS. Al-Baqarah: 258,
QS. Al-Syu’ara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-Tawbah:
105, QS. Al-Ghafir: 35) . (bersambung) /diambil dari nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar