Oleh : Ahmad As’ad
Mengamati perkembangan Indonesia semenjak dibukanya kran reformasi hingga kini, wacana yang berkembang sangat pesat adalah adanya berbagai usaha untuk menyeret agama ke ruang publik secara kasar yang sedikit banyak melibatkan kekuasaan negara sebagai alat untuk memaksakan suatu pemahaman ‘agama’ tertentu. Hal ini tentu kurang sehat dalam kehhidupan bernegara karena hampir dipastikan akan menuai konflik yang membawa pada perpecahan bangsa. Beberapa aksi brutal kelompok masyarakat atas nama agama, terorisme, hingga usaha formalisasi syari’at tertentu yang telah diberlakukan di beberapa daerah menguatkan wacana tersebut hingga seolah Indonesia sedang menjadi medan pertarungan agama-agama yang ada.
Menarik sekali ketika membicarakan Islam dan pergumulannya dengan budaya Indonesia dari segi hukum Islam itu sendiri. Ini tak lain karena adanya semacam kesalah-pahaman dalam menerapkan hukum Islam tersebut dalam tataran negara. Gerakan fundamentalisme –meski sebenarnya istilah ini masih problematic- yang mengusung syari’at sebagai hukum positif kenegaraan seolah salah sasaran karena melenceng dari tujuan dan obyek hukum itu sendiri. Dengan demikian, syari’at yang diperjuangkan pun mengambang tidak jelas yang berimplikasi pada disintegrasi bangsa.
Kalau kita amati, kesalahah pahaman tersebut sebenarnya merupakan akibat dari ketergesahan dalam memahami syari’at Islam itu sendiri. Syari’at sering diidentikkan dengn fikih, dan fikih kemudian disempitkan lagi ke dalam pehaman yang formalistik yang kaku. Dalam Nuansa FIkih Sosial, Sahal Mahfuhz mengkritik pemahaman semacam ini karena akan mengakibatkan hukum menjadi tidak searah dengan kehidupan praktis sehari-hari.
Dalam praksisnya, pemahaman akan syari’at Islam ternyata memang seperti apa yang diwanti-wanti oleh kyai Sahal tadi. Bahkan mungkin terlihat lebih jauh dengan adanya kecenderungan mengedepankan konstruksi syari’at Islam dalam wajah Arab sambil menafikan realitas ke-Indonesia-an. Padahal Islam bukanlah identik dengan Arab sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara sosio-kultural dan politisnya. Sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah penggunaan asumsi bahwa warna tersebut merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling absah. Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat lokal. Hal yang lebih menggelisahkan lagi adalah munculnya justifikasi-justifikasi seperti belum kaffah (sempurna), sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi tersebut. Soal penggunaan jilbab misalnya, sebagian orang yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab atau jilbabnya berbeda dengan jilbab yang biasa dipakai di Arab berarti Islamnya belum kaffah. Demikian juga terkait dengan musafahah (berjabat tangan) antara laki-laki dan perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan syari’at Islam. Padahal ini merupakan bagian budaya yang berkembang di masyarakat.
Fenomena tersebut merupakan bagian dari berbagai macam fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu apakah budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam ekspresi hukum Islam dalam corak Arab seperti di atas, ataukah hukum Islam yang selama ini kita pahami bisa dikreasikan melalui proses adaptasi dengan budaya yang hidup di masyarakat?
****
Berbicara mengenai hukum Islam akan kita temukan apa yang dinamakan syari’at dan fikih. Menurut Hasbi as-shiddiqi, yang dikutib oleh Nuruzzaman Shiddiqi dalam bukunya Fikih Indonesia, Kedua istilah tersebut adalah berbeda meski mempunyai hubungan yang sangat erat hingga kadang terasa sangat sulit untuk membedakan antara keduanya, apalagi melepaskannya satu sama lain. Syari’at adalah kumpulan perintah dan larangan yang disampaikan Allah melalui Rasul-Nya. Sedangkan fikih, adalah kumpulan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci dan jelas (sumber hukum). Oleh karenanya fikih lebih bersifat ijtihadi yang meniscayakan keberagaman pendapat.
Adapun budaya, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat, seringkali disebut untuk menunjuk kepada pikiran, karya dan hasil karya manusia. Senada dengan hal tersebut Peter L. Berger mendefinisikan budaya sebagai totalitas produk-produk manusia, baik material maupun bukan. Kaitannya dengan hukum Islam, produk-produk manusia ini dalam khazanah Islam lebih merujuk pada apa yang dinamakan dengan ‘urf atau ‘adah.
Sampai sekarang, mungkin masih banyak paradigma yang mengatakan bahwa Islam datang dengan risalah baru terutama dalam aspek syari’ahnya, yang konsekuensinya adalah menggantikan risalah sebelumnya. Dalam paradigma tersebut juga, maka kebudayaan yang ada sebelumnya, termasuk kebudayaan Arab pra-Islam adalah otomatis tergantikan. Kalaupun ada kesamaan dalam artian jika risalah tersebut memakai budaya tertentu, itu karena Allah melalui wahyunya memang mensyari’atkannya dan bukan karena adanya keterpengaruhan risalah dengan budaya tersebut. Paradigma ini tentunya sangat problematik karena akan menempatkan Islam beserta sumber hukumnya dan budaya secara berhadap-hadapan, disamping ketika Islam tersebut keluar dari geo-kultural tempat ia berasal, tentu di satu sisi secara tidak langsung akan melegalkan budaya lokal tertentu (baca: Arab) sebagai bagian dari agama dan di sisi lain mengeliminasi budaya lokal lain karena tidak ada ketetapannya dalam wahyu. Dalam tataran praksisnya, hal inilah yang cenderung terjadi, misalnya ketika seorang mencukur jengotnya, maka seolah dia telah menyalahi sunah Rasul, atau seputar tahlilan yang sebenarnya pengIslaman budaya hindu, hingga masalah kerudung yang berbeda dengan apa yang ada di Arab. Semua budaya ini secara sepihak dianggap telah menyalahi hukum Islam.
Memang harus diakui pula bahwa tidak semua budaya adalah baik dan cocok dengan prinsip-prinsip Islam. Namun tidak bisa dinafikan pula ketika kita mengkaji masalah ini, kita akan mendapatkan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan hukum Islam itu sendiri. Dan ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Seperti dijelaskan Majid Khadduri dalam Perang dan Damai dalam Islam, Nabi juga banyak menciptakan –tentunya dengan persetuaan wahyu- aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab. Bahkan dalam urusan syari’at pun –meski dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa tiap-tiap umat punya syariat yang sesuai kondisi mereka- kita bisa mendapatkan bahwa Islam masih memakai syari’at Rasul-Rasul terdahulu (syar’u man qablana), seperti sholat, puasa, dan haji meski ada beberapa penyesuaian di sana-sini. Dan kalau kita mau meluaskan contoh maka akan semakin kita dapati fakta bahwa Islam juga mempertimbangkan faktor budaya dalam melahirkan suatu hukum. Lalu apakah kita akan menghukumi bahwa produk-produk hukum tersebut sebenarnya tidaklah sesuai Islam itu sendiri atau menuduh para ulama dalam mengkaji hukum telah menyelewengkan agama ini?? Tentu bukan sikap yang bijak jika sekonyong-konyong kita tumpahkan tuduhan tidak berdasar ini.
Islam adalah rahmatan lil alamin dan cocok di setiap masa dan tempat. Islam bukanlah milik orang Arab hanya karena ia lahir di sana. Oleh karenanya pengidentifikasian Islam dengan Arab akibat adanya wahyu yang secara lahirnya terkonteks Arab, harus dikembalikan pada prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Dan untuk itu refleksi historis atas hukum Islam semenjak awal perkembangannya harus terus diupayakan dalam rangka mendapatkan intisari (maqashid) dari adanya suatu hukum. Dari sinilah, akan bisa dirumuskan suatu hukum yang “ramah lingkungan” yang tidak hanya sesuai prinsip ajaran-ajaran Islam tapi lebih jauh, juga sesuai dengan kesadaran hukum yang sudah tertanam dalam masayrakat itu sendiri disamping akan meminimalisir terjadinya polemik dalam penerapannya.
Dalam kasus Indonesia, setidaknya ada dua pemikiran yang menarik dalam rangka mencari format hukum ideal seperti di atas, yaitu gagasan “Fikih Indonesia” oleh Hasbi As-shiddiqi serta “Pribumisasi Islam” oleh Abdurrahman Wahid. Keduanya hampir sama tujuannya, yaitu agar hukum yang dibuat bisa searah dengan ajaran Islam tanpa harus mengebiri tradisi atau budaya lokal yang ada. Keduanya juga hampir mempunyai pandangan yang sama tentang hukum Islam dimana seakan kedua gagasan ini meletakkan Islam dan budaya dalam posisi dialogis, bukan saling menundukkan. Egalitarisme Islam menjadi suatu keniscayaan yang memberikan konsekuensi bahwa semua tradisi dan budaya adalah sama dan dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan sumber hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Dengan demikian produk hokum akan bisa menghidupkan budaya itu sendiri beriringan dengan Islam sekaligus menafikan hegemonitas budaya Arab yang selama ini dipandang paling absah menjadi bagian tradisi Islam.
Dari kedua gagasan itu pula kita bisa mendapat paradigma dalam proses pembentukan hukun Islam yang khas Indonesia, yaitu: pertama, kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkaitan dengan dimensi tempat dan zaman. Kalau mau memakai bahasanya Ulil Absar Abdallah dalam artikel kontroversialnya, maka Islam harus dipahami sebagai “organisme” yang hidup. Kontekstualitas ini seperti dikatakan Habsi, meniscayakan factor perubahan zaman dan tempat dalam melakukan penafsiran atau ijtihad hukum.
Kedua, adalah menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masayrakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang telah berkembang dalam masyarakat Arab. Dengan demikian Islam tidak menempatkan tradisi lokal kedalam posisi obyek yang harus ditaklukan, tapi Islam meletakkannya dalam posisi dialogis.
Menurut Kyai Sahal, Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya rnemungkinkannya dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan perkembangan sosial yang ada. Berbagai konsep yang ada dalam ushul fikih juga bisa dikembangkan demi mendapatkan produk hukum ideal yang bukan hanya sesuai dengan prinsip ajaran Islam namun juga bisa sesuai dengan realitas yang ada. Lalu kenapa yang masih selalu muncul adalah pergesekan antara Islam dengan budaya??
Untuk pertanyaan terakhir ini menurut saya, permasalahannya adalah berpulang pada diri kita sendiri selaku muslim Indonesia. Secara psikologis kita telah lebih dahulu tertelan budaya konsumtif yang sebenarnya juga kita benci sendiri dengan hanya mengandalkan produk fikih dari orang lain dari pada bersusah memakai mesin produksinya untuk disesuaikan dengan kebutuhan kita. Kita lebih suka menjadi konsumen produk instan dari pada bersusah payah menjadi produsen yang harus berkutat berpikir dan mengkonsep suatu produk hukum yang berkepribadian Indonesia. Disinilah kelemahan kita yang sudah menjadi kewajiban untuk merubahnya mulai sekarang. Dan tentu saja, kalau bukan para ulama dan pemikir kita, siapa lagi yang akan memulainya?!!. Wallahu a’lam bis showab.
Daftar Pustaka:
1. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974.
2. Berger, Peter L. Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES, 1994.
3. Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997.
4. Mahfudz, K.H Muhammad Sahal. Nuansa Fikih Sosial, Yogyakarta: LKiS dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1994.
5. Abdalla, Ulil Abshar. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Kompas, 18 November, 2002.
6. Ash-Shiddiqi, Hasbi. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
7. Wahid, Abdurrahman. Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
8. Khadduri, Majid. Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto, Yogyakarta: Tarawang Press, 2002.
Blog’e Aad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar