oleh: Muhammad Wafi
HIKMAH IBNU ATHO’ILLAH KE-9
تنوعت أجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia"
Uraian
Manusia memiliki kondisi (keadaan) yang berbeda-beda. Keadaan seorang manusia belum tentu sama dengan keadaan manusia yang lain. Secara spesifik, keadaan tersebut terbagi menjadi dua macam. Pertama; keadaan hati (al-Ahwal an-Nafsiyyah), kedua : keadaan sosial ( al-Ahwal al-Ijtima'iyyah).
a. Ahwal Nafsiyyah
Yang dimaksud dengan keadaan hati di sini adalah suatu ibarat dari perasaan yang masuk (lewat) dalam diri manusia dan tidak menetap. Perasaan tersebut datang dari hasil berfikir dan berangan-angan terhadap sifat dan nama-nama Allah yang baik (Al-Asma' Al-Husna). Sifat-sifat itulah yang mempengaruhi dan mendorong untuk melakukan amal-amal yang sesuai dengan dirinya. Perasaan tersebut juga bisa ditimbulkan oleh keadaan masa lalu seseorang yang gelap dan bergelimang dalam maksiat. Perasaan salah ini akan menambah rasa takut manusia akan siksa Allah dan rasa sakit ketika ingat masa lalunya di sisi Allah SWT.
Sebagian orang shalih misalnya, ada yang selalu bersikap ramah, dermawan, berbuat baik, dan selalu memaafkan. Semua sikap tersebut bersumber dari selalu mengingat sifat-sifat jamal (keindahan) dari Al-Asma' Al-Husna. Oleh karena itu, dia selalu melakukan amal shalih yang berlandaskan atas prasangka baik terhadap Allah (husnudzan billah). Sehingga ketika dia mengingatkan manusia kepada Allah SWT mereka selalu mengingatkan akan besarnya anugerah, pemberian nikmat dan ampunan-Nya.
Sebagian mereka juga ada yang selalu dihinggapi perasaan takut karena yang selalu dia pikir adalah sifat-sifat jalalullah (keagungan Allah) seperti al-Qahhar, al-Muntaqim. Maka mereka akan beramal menurut perasaan takut ini, khususnya bagi mereka yang mempunyai masa lalu kelam.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dimaksud dengan kondisi manusia (ahwal). Kondisi tersebut datang kepada manusia, kemudian menetap (bisa lama dan bisa sebentar).
Di sini perlu kita jelaskan perbedaan para auliyaillah yang menunjukkan bahwa mereka berbeda-beda dalam amalnya karena keadaan hati mereka yang berbeda-beda. Di antara mereka misalnya :
a. Fudlail Ibnu Iyadh
Diceritakan bahwa suatu ketika dia wukuf di Arafah bersama orang-orang yang haji. Namun dia tidak berdo'a dan berdzikir sebagai-mana yang dilakukan jamaah haji lain. Dia hanya ingat terhadap masa lalunya yang gelap, sehingga lupa untuk berdo'a dan berdzikir. Dia tak pernah terdengar berdo'a. Imam Fudlail hanya menaruh tangan kanannya, ditempelkan ke pipinya dan menundukkan kepala seraya menangis. Hal ini yang dilakukan-nya sepanjang hari Arafah, dan ketika sudah sore (sudah waktunya berangkat) dia berdoa serasa me-ngangkat tangan "Oh..alangkah jeleknya diriku walaupun Tuan telah mengampuniku."
b. Ma'ruf Al-Khurkhi
Suatu ketika Imam Ma'ruf Al-Kharkhi berpuasa, lalu dia mendengar orang yang memberi sadaqah minuman berkata : "Semoga Allah memberi rahmat orang yang mau minum dariku". Kemudian dia mendatangi orang tersebut dan minum darinya. Ketika ditanya "Bukankah engkau berpuasa?", dia menjawab : "Ya, tetapi saya mengharap do'a orang tersebut".
Apa yang dilakukan dua wali tersebut bisa jadi mendapat kritik dari orang yang tidak paham nasehat Ibnu Atha'illah di atas.
Memang amal yang sesuai dengan keadaan Fudlai Ibnu Iyadh ketika wukuf di Arafah adalah menundukkan kepala dan merasa malu kepada Allah SWT, karena dia teringat kedaan masa lalunya yang selalu jauh dari Allah SWT. Jadi tidak perlu dipungkiri lagi bahwa pahala Imam Fudlail sama dengan pahala orang yang berdo'a dan dzikirnya wukuf di Arafah.
Imam Ma'ruf Al-Kurkhi juga demikian. Ketika dia mendengar orang yang memberi minum berkata: "Semoga Allah memberi rahmat orang orang yang mau minum dariku". Lalu dia minum air darinya dan membatalkan puasanya. Hal tersebut tidak lain karena Al-Kurkhi berharap semoga Allah memasukkannya termasuk orang yang mendapat rahmat-Nya. Jadi tidak boleh dikatakan bahwa yang dilakukan Imam Ma'ruf itu tidak sesuai dengan pendapat sebagian ulama' fiqih, bahwa amal sunnah itu jika sudah dikerjakan, maka wajib untuk diteruskan dan tidak boleh dipotong. Karena konteks di sini adalah masalah hukum ijtihadi. Sebagaimana ulama' fiqih boleh berijtihad maka begitu juga Imam Ma'ruf berhak untuk berpendapat bahwa yang baik baginya adalah membatalkan puasa.
Jika kita telah mengetahui apa yang dimaksud hikmah Ibnu 'Atha'illah dengan berbagai contoh di atas, maka kita pasti tidak akan berani untuk menyalahkan dan menghina para Auliya’, Ulama’ dan As-Shalihin. Terkadang kita melihat apa yang dikerjakan mereka dari segi dhahirnya itu menyalahi syari'at, namun dari segi batinnya apa yang mereka kerjakan adalah benar karena memang itu yang cocok dengan keadaan perasaan hati mereka dan jika diteliti sebenarnya tidak bertentangan dengan syariat, hanya saja cara memahami dan metodologinya yang berbeda.
b. Ahwal Ijtima'iyyah
Di sini kami kemukakan beberapa contoh yang memudahkan kita untuk memahami perbedaan amal karena beda-bedanya keadaan status sosial masyarakat.
1. Orang yang belum menikah tidak memiliki tanggung jawab kecuali pada dirinya sendiri. Oleh karena itu amal yang sesuai dengan dirinya adalah amal-amal yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Setelah mengerjakan amal wajib, maka yang perlu dilakukan adalah mengosong-kan waktu untuk menambah ibadah-ibadahnya.
2. Orang yang telah menikah, maka dia memiliki tanggung jawab yang lebih, yaitu pada dirinya sendiri dan keluarganya. Dia harus bisa adil dan seimbang antara mengurusi keluarga dan beribadah kepada Allah. Dia harus mengetahui bahwa usahanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga merupakan amal ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, termasuk di antaranya adalah duduk dan berkumpul bersama keluarga, supaya tercipta suasana kasih sayang dan harmonis. Selain bertanggung jawab kepada keluarga, dia juga tidak boleh melupakan kewajibannya sendiri, yaitu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dia kerjakan sebelum menikah. Hal ini bukan berarti ‘menduakan’ Allah, karena pada dasarnya bertanggung jawab kepada keluarga juga perintah Allah swt.
3. Seseorang yang bekerja di suatu pabrik atau kantor, amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah (setelah amal wajib) adalah tekun bekerja sebagaimana yang telah ditugaskan dan diamanatkan dari perusahaan dan atasannya. Artinya seluruh jam kerja yang telah ditetapkan harus digunakan untuk bekerja, kecuali hanya beberapa menit untuk melaksanakan shalat fardlu. Oleh karena itu, dia tidak boleh menggunakan waktu satu menit pun untuk melaksanakan amal sunnah seperti membaca Al-Qur'an dan mempelajari ilmu syari'at yang bukan kewajibannya. Sekarang ini ada sebagian pekerja yang sengaja mengulur-ulur waktu dengan memperlama wudlu dan shalatnya. Mereka berasumsi bahwa pekerjaan tersebut bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh sangat keliru alasan tersebut, karena mereka telah menggunakan waktu yang bukan miliknya. Waktu yang dia gunakan adalah milik pabrik. Dia harus mengetahui bahwa pahala yang disiapkan Allah sebagai imbalannya dalam menjalankan tugas tersebut tidak akan kurang dari pahala ibadah dan amal yang dilakukan orang-orang yang berdzikir dan membaca Al-Qur'an.
4. Orang yang memiliki kekua-saan, maka yang harus dia kerjakan adalah melayani masyarakat, menjaga hak-hak dan menjaga keamanan rakyatnya. Kita tidak boleh beranggapan bahwa apa yang menjadi tugasnya itu bukan amal ibadah. Apa yang dikerjakan tersebut dapat menjadi amal ibadah jika memang didasari ridla kepada Allah dan yang perlu diperhatikan, pejabat tersebut juga tidak boleh meninggalkan kewajiban-kewajiban serta rukun-rukun Islam.
Kesimpulan
Allah telah memberikan kekuatan yang berbeda-beda untuk melaksanakan ibadah dan amal yang juga berbeda-beda. Konsekuensinya, setiap individu harus melakukan amal yang sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya.
Kadang ada orang yang tidak memiliki kemampuan sedikitpun, namun dia sangat giat dan senang untuk menolong masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka, maka pekerjaanya itu adalah amal ibadah yang menjadi kewajibannya dan telah dibebankan oleh Allah kepadanya.
Dengan demikian maka amal setiap manusia tidak harus melakukan amal yang sama dengan manusia yang lain. Allah telah menentukan amal apa yang sesuai dengan masing-masing individu, sehingga jelaslah apa yang dimaksud dengan hikmah Ibnu 'Atha'illah di atas. Wallahua’lam.
Postingnya bagus tp setau saya ada publishernya ya... kasih link ke empunya artikel dong pak jadi kelihatan lebih sopan, setahu saya posting ini ada di http://wafidamaskus.blogspot.com blog pribadi milik KH WAFI MZ, putranya KH MAimoen Zubair Sarang Rembang ya...
BalasHapusMaaf kalau saya kurang sopan. saya cuma dulu pernah mondok di tempatnya mbah moen juga.