Rabu, 22 Juni 2011

TERJEMAH TAUJIHAT oleh KH. Maimoen Zubair PP Al Anwar Sarang Rembang Bag 2

20.5.11


Fakta real dalam hal ini adalah kisah masyhur yang berhubungan dengan peristiwa kunci Ka'bah. Camkanlah kata-kata al-Allamah an-Nadawi dalam kitabnya Sirotu Khothmin Nabiyyin, "ketika selesai mengerjakan thowaf, Nabi memanggil Utsman bin Thalhah lalu memungut kunci Ka'bah darinya. Pintu Ka'bah lantas dibuka lalu Beliau masuk ke dalamnya. Sebelum hijrah ke Madinah, suatu hari Nabi pernah meminta kunci ka'bah tersebut dari Utsman lalu Utsman berkata kasar dan menjelek-jelekkan Nabi, namun Beliau bersabar dan berkata, "Wahai Utsman, kelak engkau akan melihat suatu hari nanti kunci ini berada ditanganku dan aku berikan kepada siapa saja yang aku kehendaki." Utsman menjawab, "Pada hari itu suku Quraisy akan rusak dan hina." Lalu nabi balik menjawab, "Bahkan pada hari itu jaya dan mulialah suku Quraisy." Kata-kata Nabi ini menyentuh hati Utsman bin Thalhah dan yakin apa yang dikatakan Beliau akan menjadi kenyataan. 

Ketika Nabi keluar dari Ka'bah, Ali menghampiri Beliau dan kunci Ka'bah masih di tangan Beliau. Ali kemudian berkata kepada beliau: “Tugaskanlah kepada kami sebagai penjaga pintu Ka’bah sambil memberikan minum kepada Hujjaj”, beliau berkata, "Dimanakah Utsman bin Thalhah?" maka dipanggillah Utsman, kemudian nabi berkata kepadanya, "Ambillah kuncimu ini, Hai Utsman. Hari ini adalah hari kebaikan dan pemenuhan janji. Ambillah kunci Ka'bah ini secara turun-temurun, yang tidak ada seorangpun yang akan merampasnya darimu kecuali orang yang dzalim." (an-Nadawi, Sirotu Khothmin Nabiyyin, hal.273).
Dari kisah ini, jelaslah bagi kita bagaimana Nabi menyerahkan kunci Ka'bah kepada Utsman bin Thalhah secara terhormat, dan merupakan kemuliaan yang di inginkan oleh banyak orang, padahal banyak para sahabat mulia yang derajatnya lebih tinggi dari Utsman, tetapi Rasul lebih faham arti amanat dan mengerti standar suatu perkara dengan sempurna. 

Dari kisah ini juga, diwajibkan bagi kaum muslimin dalam urusan kepemimipinan dan politik untuk menyerahkannya kepada ahlinya. Yaitu orang yang memiliki kualitas tertentu dan sifat-sifat yang menjadikannya layak untuk menjadi pemimpin, karena rakyat pada umumnya tidak akan menyerahkan kepatuhan mereka kecuali kepada orang yang mereka anggap memiliki keunggulan dibidang tersebut. Prinsip dari semua ini adalah ilmu dalam interpretasi yang luas, antara lain pengetahuan politik, kepemimipinan, ilmu pengajaran, metode, kiat-kiat, tuntutan pendidikan, kendala dan level-levelnya mengenai kepemimpinan dalam bidang pendidikan dan pada bidang yang lain.

Memahami makna amanat di atas yang dibebankan pada semua pundak kaum muslimin, mengetahui dimensi-dimensinya, merasakan secara mendalam kewajiban menyampaikan dan keharaman menghianatinya terutama dalam kancah politik yang memiliki scope luas, yang tak lain adalah jembatan untuk memilih kepemimpinan yang cakap dan bijaksana dimana dari celah-celahnya bisa diharapkan berdiri kekuasaan yang berlandaskan prinsip-prinsip dan konstitusi agama serta pengelolaan kekuasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut seraya menjamin dan melindungi pelaksanaan kaum muslimin terhadap kewajiban-kewajiban agama dengan bebas dan damai. Semua ini dikategorikan sebagai titik awal perjalanan da'wah dan prinsip dasar bagi revivalisasi da'wah di semua sektor, baik sosial dan politik.

Seyogyanya tidak boleh dilupakan bahwa memikul amanat ini dan menyampaikannya secara relevan, tidak akan terealisasi tanpa mempraktekkan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar yang diasumsikan sebagai salah satu prinsip Islam yang menetapkan solidaritas sesama pemeluknya. Karena dalam hal ini terdapat pemgimplementasian perintah Allah dan penumbangan terhadap segala yang berlawanan dengan Islam. 

Coba saksikan, bukankah umat yang mendapatkan sanjungan dari al-Qur'an sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk mengajak manusia menuju jalan kehidupan paling mulia dan komprehensip serta memimpin semua manusia menuju kebahagiaan, kemuliaan dan kekuatan tidak dapat tergambarkan dalam konstruksi indah mempesona, kecuali jika mereka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar dengan cara yang paling relevan seperti ditegaskan dalam al-Qur'an. "Kamu adalah sebaik-baik umat, yang dilahirkan bagi manusia, (supaya) kamu menyuruh dengan ma'ruf dan melarang dari yang munkar serta beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).

Al-Qur'an menjadikan penegakan amar ma'ruf nahi munkar sebagai identitas spesifik sosial action (ciri kemasyarakatan) kaum mu'minin, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, "orang-orang laki-laki yang beriman dan orang-orang perempuan yang beriman, setengahnya menjadi pemimpin bagi yang lain. Mereka menyuruh dengan ma'ruf dan melarang dari yang munkar." (QS. At-Taubah: 71).

Dalam sunah Nabi terdapat banyak hadits yang senada dengan maksud di atas. Diantara yang paling substantif adalah hadits yang dijadikan sebagai prinsip umum yaitu hadits yang berbunyi, "kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya (orang yang berada di bawah kepemimpinannya). Imam adalah penanggung jawab (pemimpin), ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Suami adalah pemimpin bagi istrinya dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas istrinya. Istri adalah penanggung jawab rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanahnya…"
dan sabda Nabi: "Demi Dzat yang menguasai jiwaku (Muhammad), bertindaklah kamu dalam memerintah kepada kebajikan dan melarang kemunkaran atau Allah akan mengirimkan siksaan kepada kalian, lalu kalian berdo'a kemudian Allah tidak mengabulkan do'a kalian." (HR. Tirmidzi). 

Nabi bersabda: "Wahai manusia ajaklah berbuat baik dan cegahlah kemunkaran sebelum engkau berdoa lalu Allah tidak mengabulkan doamu dan sebelum kalian mohon ampunan lalu Allah tidak mengampuni dosa kalian" (HR Al-Asbahani dari Ibnu Umar).

Dari Abu Umamah Al Bahili, bahwa nabi bersabda,"Bagaimana sikap kalian bila istri-istri kalian durhaka, pemuda-pemuda kalian fasiq dan kalian meninggalkan jihad? "Sungguhkah hal ini akan terjadi wahai Rasulullah? tanya para sahabat. Benar bahkan yang lebih parah dari itu. Bagaimanakah sikap kalian jika diantara kalian tidak ada yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran?,“Apakah hal itu akan terjadi?”, tanya sahabat. Nabi menjawab: “Bahkan lebih parah dari itu, Bagaimanakah sikap kalian jika melihat kebajikan sebagai kemunkaran dan melihat kemunkaran sebagai kebajikan?, lanjut Nabi, "Apakah itu akan terjadi?, tanya sahabat lagi?. "Bahkan yang lebih parah dari itu akan terjadi. Bagaimana sikap kalian jika kalian mengajak kemunkar-an dan melarang kebajikan?, jawab Nabi, Apakah itu akan terjadi? lanjut mereka."Bahkan akan terjadi hal yang lebih parah dari itu. Allah berfirman, "Aku bersumpah demi Dzatku, sungguh Aku akan menurunkan fitnah (malapetaka keimanan/pendangkalan agama) pada mereka yang akan membuat orang santun (sabar) menjadi bingung didalamnya". Hadis ini disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al 'Ilal dengan sanad yang tidak mengkhawatirkan (La Ba'sa Bih) dan diriwayatkan oleh Abu Ya'la serta AlThobaroni dalam kitab Al Awsat dari ringkasan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.

Ali bin Abi Thalib mempunyai ungkapan yang indah dan sangat dalam artinya yang mengendalikan bahwa ketika sebuah umat mulai melemah, maka awal dari kelemahan tersebut adalah lenyapnya puncak derajat menentang kemunkaran dan mereka akan terus melemah, hingga hati mereka tidak mampu mengingkari. Akhirnya mereka seolah-olah bukan lagi anak Adam. Ali melanjutkan, "Bahwa sesungguhnya jihad pertama yang kalian gagal melakukannya adalah jihad dengan tangan kalian, lalu dengan jihad lisan selanjutnya jihad dengan hari kalian. Barang siapa yang hatinya tidak mengenal kebajikan dan tidak menginginkan kemunkaran, maka ia akan dibalik dengan bagian atasnya akan berada di bawah”.

Nash-nash al-Qur'an, Hadits dan Atsar di muka, memperlihatkan kepada kita bahwa Islam memiliki perhatian yang sangat besar terhadap peran strategis amar ma'ruf nahi munkar (mengajak menuju kebajikan dan melarang kepada kemunkaran). 

Generasi salaf (Sahabat dan Tabi'in) telah memberikan teladan yang luhur (contoh ideal) dalam menunaikan kewajiban itu dan perhatian mereka yang besar terhadapnya. Realitas objektif sejarah menceritakan kepada kita bahwa negara-negara Islam beruntung memiliki ulama'-ulama' besar yang berjuang menyuruh kepada kebenaran, mengajak kepada kebajikan dan melarang kemunkaran dengan tulus, sabar dan sungguh-sungguh tanpa mengenal bosan dan jenuh. Sikap mereka ini telah berperan menciptakan ketenangan masyarakat yang menjadikan mereka sebagai panutan menempuh jalan yang benar.

Setiap mu'min wajib semaksimal mungkin meniru sikap mereka dalam mengubah kemunkaran dan menghadapinya, sehingga tercipta kebersamaan (solidaritas) dalam masyarakat untuk membasmi kejahatan dan memperkokoh kebenaran. Dengan cara ini akan tercipta suatu masyarakat utama yang dibimbing oleh prinsip-prinsip mulia dan diliputi oleh kehidupan yang benar. 

Namun salah satu hal yang perlu disadari adalah resiko, jika beban berat dimuka diperjuangkan secara individu dan sporadis. Meskipun ia berintelegensi tinggi dan punya analisis akurat, tanpa didukung pengorganisasian yang solid dan perncanaan yang cermat serta rancangan yang sudah dipelajari sebelumnya. Perencanaan tersebut akan sangat perlu, karena belakangan banyak bermunculan fitnah-fitnah yang besar yang timbul dari pendapat, pemikiran, slogan serta aliran yang menjangkau pada kesucian aqidah, prinsip-prinsip dasar agama dan akhlak yang misi utamanya adalah penghancuran, penodaan serta pelecehan agama. Fitnah-fitnah ini juga mengkandaskan sistem-sistem dan ideologi kehidupan manusia secara individu dan kolektif yang dibawa oleh syari'at Allah yang kemudian disempurnakan-Nya dengan risalah terakhir dengan mengutus Muhammad sebagai Nabi dan Rasul pamungkas untuk mengembannya.

Pemikiran-pemikiran baru ini telah mengundang malapetaka dahsyat dan menaburkan keburukan dimana-mana serta menjadi pertanda buruk akan merebaknya dangkalnya aqidah dan kehancuran total. Maka, dalam pandangan saya, tidak ada alternatif bagi seorang muslim sejati di tengah kepungan paham-paham jahiliyah ini, kecuali mencari kelompok dan organisasi yang ia sepakati langkahnya dan berjuang dengan sungguh-sungguh serta membuktikan hasilnya, juga mengajak manusia untuk loyal tehadap Islam dan menerapkan metodenya dalam segala bidang kehidupan, baik yang bersifat umum atau khusus dan menekankan loyalitas profil anggotanya kepada umat Islam. Berangkat dari sini, dalam barisan ini harus ada konsep Islam yang benar. Kelompok ini tidak boleh menyimpang dari kelompok-nya, menjauhinya dan tidak boleh bersikap sebagi penonton atau pihak yang netral. Karena loyalitas terhadap jama'ah (kelompok besar umat Islam) adalah hal yang krusial dalam agama Islam.

Telah banyak hadits yang menekankan pentingnya loyal terhadap Jama’ah. Imam Ahmad dan Turmudzi meriwayatkan. Rasulullah bersabda: "Saya perintahkan lima hal kepada kalian, yaitu: berjama'ah (bersatu), mendengar, mematuhi, hijrah dan jihad di jalan Allah. Sesungguhnya siapa yang keluar dari jama'ah barang sejengkal berarti dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, kecuali ia kembali. Barangsiapa yang mengumandangkan seruan jahiliyah, maka ia menjadi batu jahannam meskipun ia berpuasa, sholat, dan merasa dirinya seorang muslim." (HR. Turmudzi dengan sanad Shahih).

Fakta di atas menunjukkan bahwa membentuk jama'ah urgensi-nya harus mendapat prioritas utama, selanjutnya adalah larangan keluar dari jama'ah tersebut pada saat di mana tuntutan-tuntutan, aspirasi-aspirasi dan tujuan utama Islam tidak terpenuhi dengan sempurna kecuali dengan berjam'ah (bersatu dan berjuang secara kolektif). Keluar dari jama'ah setelah ia terbentuk dan diyakini mampu menunaikan kewajiban Islamnya dengan benar dan tulus adalah tindakan yang tidak direstui oleh syara'. Terlebih lagi jika sampai mendirikan jama'ah (organisasi) lain yang dapat mengakibatkan perpecahan antara kaum muslimin serta memecah persatuannya.

Bukankah Allah telah menjelaskan kepada kita akan tuntutan berafiliasi dengan massa Islam? seperti yang ditegaskan-Nya dalam al-Qur'an: "Siapakah yang paling baik perkataannya dari orang yang menyuruh kepada Allah (agama-Nya) dan beramal sholeh dan berkata, 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslimin." (QS. As-Sajdah: 33). Nabi juga telah bersabda: "Tiada Islam tanpa persatuan (jama'ah), tiada persatuan tanpa pemimpin dan tiada pemimpin tanpa loyalitas rakyat kepada pemimpinnya." Nabi juga bersabda tentang perumpamaan orang yang keluar dari jama'ah: "Srigala hanya akan memangsa domba yang sendiri (berpisah darikelompoknya)." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i).

Saya tegaskan di sini, bahwa Islam dan keyakinan kepada agama ini harus dijadikan sebagai tali yang mengikat antara anggota jama'ah. Karena ikatan ini lebih kuat dari ikatan darah dan nasab, jauh lebih erat dari ikatan ras dan keturunan dan jauh lebih terjalin rapi dari ikatan tanah air dan kepentingan ekonomi serta interaksi-inteaksi timbal balik dan karena sesama muslim adalah hubungan persaudaraan yang sesungguhnya. Allah berfirman: "orang-orang mu'min adalah bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10). Nabi bersabda: "Perumpamaan orang mu'min dalam hal mencintai, menyayangi dan bersimpati laksana satu tubuh, jika ada salah satu anggota yang sakit, maka anggota yang lain ikut merasakan gelisah serta panas." (HR. Muslim).

Adapun anggapan terpenting dalam menjalin hubungan antar anggota jama'ah adalah memihak pada kabilah, bangsa atau rakyat merupakan kecerobohan dalam memilih metode, menyimpang dari doktrin-doktrin Islam, silau oleh propaganda-propaganda kontemporer dan terperangkap dalam jaringan yang dipasang oleh musuh Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar