Mei 21
(Warning: Sebelum membaca artikel ini siapkan kopi dan pastel di meja anda karena butuh waktu setengah jam untuk menghabiskan artikel ini. Yang gak tahan baca lama2 sebaiknya mundur dari sekarang biar gak pingsan di tengah jalan. Dan yang suka emosian sediakan kipas angin biar gak kepanasan. Dan kalau mau buat bantahannya buat bantahan yang berbobot, jangan suka buat bantahan yang tak mengena & tak berhubungan sebagaimana buku2 bantahan yang sudah ada.) Bismillah…selamat menikmati.
Oleh: Al Ustadz Al Fadhil Muhammad Hidayatullah Lc.
*Penulis adalah sarjana alumnus Universitas Al Azhar Kairo Fak. Lughah Arabiyah. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikannya di program pascasarjana Jur. Syari'ah Darul Ifta' Kairo.
Prolog
Sekitar tiga abad silam, kaum muslimin di Jazirah Arab pada khususnya, dan di seluruh belahan dunia islam pada umumnya, digemparkan dengan munculnya sosok seorang teolog yang bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Pandangan-pandangan barunya telah berhasil mengusik tatanan ideologi kaum muslimin yang mapan pada saat itu. Dalam dakwahnya, ia mengangkat jargon purifikasi akidah dari segala hal yang ia pandang telah menyimpang dari aturan-aturan agama. Kaum muslimin di masanya, ia pandang tak jauh berbeda dengan kaum musyrikin di era Nabi saw.. Dengan pandangan yang sedemikian ekstrim ini, ia tidak segan menggerakkan masanya untuk mengangkat senjata demi memerangi kaum muslimin yang tidak seideologi dengannya.
Sikap ekstrim tersebut menuai banyak kecaman dari para ulama saat itu. Bahkan fakta adanya banyak peperangan yang terjadi antara Ibnu Abdil Wahab (IAW) dan kaum muslimin saat itu semakin menegaskan betapa sengitnya bentrok ideologi saat itu, sehingga perang kata-kata pun tidak cukup dan harus diselesaikan dengan kontak fisik.
Gerakan dakwah yang dipelopori oleh IAW dalam dunia islam dikenal dengan sebutan “Wahabi”[1]. Semenjak pertama kali muncul, dakwah ini selalu saja menjadi momok bagi sebagian besar kaum muslimin. Pandangan-pandangan keagamaannya yang kaku dan kurang bisa berkompromi dengan perbedaan menjadikannya “Common enemy” bagi berbagai madzhab yang berkembang dalam Islam. Namun, gerakan dakwah ini masih sangat eksis hingga saat ini, lantaran disokong oleh penguasa kerajaan Saudi.
Membicarakan sosok IAW akan selalu menuai pro dan kontra. Hal itu sangatlah wajar mengingat setiap tokoh pasti akan dibela habis-habisan oleh para pengikut fanatiknya. Sementara di kutub yang berlawanan, dipastikan akan ada wacana tandingan yang tidak kalah pedasnya dalam mengkritisi seluruh pemikirannya. Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba untuk lebih fokus pada kajian kritis terhadap pemikiran-pemikiran IAW yang teruraikan secara gamblang di berbagai buku dan risalahnya. Penulis hanya akan menyinggung seperlunya saja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sejarah. Karena sejarah yang seharusnya hitam kelam akan tersulap menjadi putih dan jernih di tangan sejarawan wahabi. Pun demikian pula, sejarah jerih payah purifikasi akidah yang mungkin perlu diapresiasi akan hilang tak berbekas di tangan sejarawan lawan teologi wahabi. Karena tema ini begitu pelik dan banyak sub pembahasan di dalam, maka penulis tidak akan banyak bertele-tele dalam membahas setiap permasalahan, dan lebih mengedepankan informasi rujukan, dengan harapan para pembaca yang budiman bisa menelitinya lebih luas dan dalam dari yang penulis lakukan.
A. Beografi Singkat Ibnu Abdil Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyarraf at Tamimi lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan bagian dari Najd, terletak 70 km di utara Riyadl. Semenjak kecil ia belajar agama kepada para ulama yang berada di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah seperti Ihsa` dan Basrah[2].
Menurut sejarawan wahabi Ibnu Ghannam, kondisi mayoritas kaum muslimin di awal abad ke-12, sebelum dakwah IAW telah bergelimang dengan kesyirikan dan kembali ke era jahiliyah. Hal itu disebabkan karena kebodohan mereka dan semaraknya para juru dakwah yang mengajak kepada kesesatan dan kesyirikan. Demikian juga –dalam pandangan Ibnu Ghannam- mereka berpaling dari tauhid dan menyembah kaum shalihin, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, serta menyembah kuburan-kuburan mereka. Bahkan kesesatan kaum muslimin tersebut sebenarnya telah terjadi berabad-abad yang silam[3].
Pandangan Ibnu Ghannam di atas tentunya sangat berlebihan. Karena pernyataan tersebut bertentangan dengan fakta yang ada. Kondisi kaum muslimin saat itu tidak berbeda dengan kondisi kaum muslimin di zaman kita sekarang ini. Ziarah kuburan kaum shalihin dan bertabarruk dengan mereka adalah aktivitas ritual kaum muslimin semenjak zaman Nabi hingga saat ini. Hanya saja, ritual semacam ini tidak cocok dengan ide dasar ideologi wahabi sehingga harus dikatakan sebagai penyembahan terhadap kuburan. Tentunya saja, bagi orang yang paham agama, ziarah dan bertabarruk dengan kuburan maknanya sangat jauh sekali dengan penyembahan terhadap kuburan. Berangkat dari pemahaman yang salah inilah IAW dan para pengikutnya sampai sekarang memvonis aktivitas tersebut sebagai bentuk kesyirikan.
Menurut cacatan Ibnu Ghannam, Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang sangat luar biasa. Ia telah hafal Al Quran sebelum berumur sepuluh tahun. Orang tuanya pun sangat kagum dengan putranya tersebut lantaran kecerdasan dan pemahamannya meskipun ia masih kecil. Bahkan orang tuanya banyak belajar hukum islam kepada anaknya tersebut[4]. Namun hal ini bertentangan dengan penuturan Syekh Muhammad bin Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab hambali di Mekkah (W 1295 H), beliau menuturkan dalam kitabnya yang berjudul “As Suhub Al Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa Ibnu Abdil Wahab baru berani memulai dakwahnya secara terang-terangan pasca orang tuanya wafat. Bahkan orang tuanya sangat marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih sebagaimana para pendahulunya[5]. Lebih jauh lagi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’I di Mekkah di era akhir kekhilafahan ustmaniyyah mendedahkan dalam tarikhnya, beliau berkata “Awalnya Ibnu Abdil Wahab adalah seorang penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara dan guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia (IAW) akan tersesat. Hal itu setelah mereka melihat perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di berbagai permasalahan agama” (al Futuhaat al Islamiyyah: 2/66)[6].
Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang independen dan tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang mempengaruhi gaya berpikirannya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Karena pandangan IAW dalam masalah tauhid dekat dengan kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh karenanya dalam menulis bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut dalam kitab yang berjudul “Ash Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala Wahabiyyah” Syekh Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk mematahkan argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah takfir.
Independensi berpikir ini bisa kita pahami dari beberapa statemen Ibnu Abdil Wahab itu sendiri. Diantaranya ia berkata:
“Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab sufi, ahli fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan seperti Ibnu Qayyim, Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada sunnah Rasulullah saw.”[7].
Demikian juga, ia pernah berkata:
“Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah (pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna laa ilaaha illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui makna laa ilaaha illallah, atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya”. (ad Durar as Saniyyah: 10/51)[8].
Konon menurut sebagian para ulama, Ibnu Abdil Wahab ini begitu gemar membaca sejarah orang-orang yang pernah mengaku nabi, seperti Musailamah Al Kaddzab, Al Aswad Al Unsi, dan Tulaihah Al Asdi. Oleh sebab itu, sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya ia mempunyai maksud untuk mengikuti jejak orang-orang yang pernah mengaku menjadi nabi tersebut[9]. Dari spirit inilah, maka tidak heran jika statemen-statemen agama yang ia lontarkan dianggap keluar dari konsensus ulama saat itu. Tidak pelak, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan Madinah, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H,dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini[10].
Dalam literatur-literatur islam klasik, bantahan yang paling terkenal justru datang dari saudara kandungnya sendiri yang bernama Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab. Dalam rangka menasehati saudaranya itu, Syekh Sulaiman menulis sebuah risalah yang sangat kesohor yang bertajuk “As Shawâiq Al Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah”. Tidak hanya saudaranya yang mempunyai kekhawatiran akan pemahaman ekstrimnya. Akan tetapi Syekh Muhammad Sulaiman Al Kurdi, salah satu gurunya juga ikut menasehatinya. Dalam sebuah sumber, Syekh Sulaiman Al Kurdi pernah berpesan kepada muridnya itu:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, keselamatan adalah teruntuk orang yang mengikuti jalan yang benar. Sungguh aku ingin menasehatimu agar segera menghentikan lisanmu dari mencela kaum muslimin. Jika kamu mendengar ada orang yang berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan Allah, maka kafirkanlah dia saja, dan jangan kafirkan sawadul a’dzam (mayoritas) kaum muslimin. Kamu adalah orang yang menyimpang dari golongan mayoritas kaum muslimin. Maka sesungguhnya memvonis kafir orang yang menyimpang dari golongan mayoritas itu lebih pantas, karena dia telah keluar dari jalan kaum muslimin”[11].
Karena cara berpikirnya yang dipandang ekstrim tersebut, IAW mengalami kesulitan untuk menyebarkan dakwahnya. Setelah terusir dari Najd, ia pergi menuju Irak. Di Irak pun ia tidak diterima hingga harus mengungsi ke Mesir. Namun keadaannya di Mesir tidak berbeda dengan di dua tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir dan memutuskan pergi ke Syam. Setelah di Syam mengalami pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Uyainah tempat kelahirannya. Akan tetapi pimpinan Uyainah saat itu Ustman bin Mu’ammar senantiasa mengawasi segala gerak-geriknya dengan sangat ketat sehingga terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah menuju Dar’iyyah. Di Dar’iyyah inilah ia bak menemukan telaga di padang pasir. Di sini ia bertemu dengan Muhammad bin Sa’ud yang saat itu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin proses penyebaran ideologinya[12].
Abdul Aziz Ibnu Saud & Saudara2nya |
Menurut sebagian ulama, peperangan yang terjadi antara aliran wahabi dengan pemimpin daerah Makkah Syarif Mas’ud serta pemimpin Mesir Muhammad Ali Basya dan anaknya Ibrahim Basya tidak murni perang akibat perebutan wilayah. Akan tetapi hal itu lebih kepada sebuah peperangan ideologi agama[14].
B. Spirit “Takfir” Ibnu Abdil Wahab; Statemen “Takfiri” Dalam Kitab dan Risalahnya.
Nampaknya Ibnu Abdil Wahab terlalu berlebihan dalam mewujudkan keinginannya untuk melakukan purifikasi tauhid dalam setiap ritme dakwahnya. Hal ini menyebabkan adanya pengkafiran terhadap kaum muslimin secara besar-besaran yang dengan sengaja maupun tidak telah ia lakukan dalam beberapa kitab dan risalahnya. Sikap takfiri (suka mengkafirkan) merupakan sikap paling mashur yang disematkan para ulama kepada IAW. Oleh karenanya, sebagian ulama menyamakan kelompok wahabi dengan kelompok Khawarij yang terkenal suka mengkafirkan di era sahabat. Vonis takfir merupakan legalisasi awal bagi para pengikutnya untuk membantai kaum muslimin yang tidak sepaham dalam banyak peperangan yang terjadi antara kelompok wahabi dengan kaum muslimin. Takfir dan perang ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi pilihan IAW dalam menyebarkan ideologinya. Hal ini sangat kentara jika kita membaca pesan-pesannya dalam beberapa tulisannya, seperti Al Qawaaid Al Arba’ah, Kasyfu Asy Syubhat, Kitab Tauhid dan lain-lain. Dalam kitab-kitabnya tersebut, setiap kali ia selesai mensejajarkan identitas kaum muslimin (non-wahabi) dengan kaum musyrikin di zaman Nabi, ia senantiasa menutupnya dengan informasi bahwa Nabi saw. memerangi kaum musyrikin tersebut. Hal ini untuk mendoktrin para pengikutnya agar tidak gentar untuk memerangi kaum muslimin yang tidak seideologi. Karena dalam pandangannya, hakekat perang tersebut adalah jihad di jalan Allah demi menegakkan agama-Nya[15].
Sikap ekstrim tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan ulama, baik yang menentang maupun yang mendukung dakwahnya secara umum. Diantara ulama yang memuji dakwah IAW, namun mengkritik manhaj takfirinya adalah Asy Syaukani. Meskipun Syaukani memuji dakwahnya secara umum, namun ia pun menyayangkan sikap takfiri yang menjangkiti manhaj dan para pengikutnya, ia berkata, “Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang yang tidak tunduk kepada pemimpin Najd dan mematuhi segala perintahnya maka orang tersebut telah keluar dari agama Islam” (al Badr ath Thaali’: 2/ 5). Demikian pula Manshur al Hazimi, meskipun ia memuji dakwahnya secara umum, namun ia mengkritisinya dalam dua hal; (1) Pengkafiran terhadap kaum muslimin hanya karena adanya perbedaan, (2) memerangi kaum muslimin tanpa dibarengi hujjah dan burhan (Abjadul Ulum: 3/ 194). Syekh Shiddiq Hasan Khan juga menyatakan bahwa para ahli hadits berlepas diri dari pemahaman wahabiyyah. Karena yang mereka tahu hanyalah pertumpahan darah[16].
Sedangkan dari kalangan ulama yang berseberangan pemikiran dengannya, sebut saja Syekh Ibnu Afaliq al Hambali yang pernah mengomentari sosok IAW dengan berkata, “Dia (IAW) telah bersumpah dengan sumpah yang keji bahwa orang-orang yahudi dan kaum musyrikin lebih baik dari pada umat ini”[17]. Syekh Saulaiman bin Suhaim al Hambali juga pernah berkomentar, “Barang siapa yang tidak sepakat dengan segala apa yang ia (IAW) katakan dan bersaksi bahwa perkataannya itu benar, maka pasti akan divonis kafir. Dan barang siapa yang sepakat dan membenarkan segala perkataannya maka ia akan berkata kepada orang tersebut, “Kamu orang yang bertauhid”. Meskipun orang tersebut jelas-jelas fasiq”[18]. Syekh Ustman bin Manshur al Hambali as Salafy an Najdi yang merupakan salah satu hakim pada pemerintahan para amir Daulah Su’udiyyah II, ia pernah berkata, “Allah telah memberi ujian kepada penduduk Najd, bahkan kepada penduduk Jazirah Arab, dengan adanya orang yang keluar kepada mereka dan melakukan pengkafiran atas umat Islam, baik yang khusus (ulama) maupun orang awam, dan memerangi mereka secara umum, kecuali orang yang sepakat dengan perkataannya”. Beliau juga berkata, “Akan tetapi lelaki ini (IAW) telah menjadikan ketaatan kepadanya sebagai rukun keenam dalam rukun Islam”[19]. Bahkan saudaranya sendiri, Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab pernah berkata, “Wahai Muhammad ibn Abdil Wahab, berapa rukun Islam?”. Ia menjawab, “Lima”. Syekh Sulaiman berkata, “Kamu menjadikannya enam. Yang keenam: orang yang tidak mengikutimu maka tidak dihukumi sebagai muslim. Ini menurutmu adalah rukun Islam yang keenam”[20].
Ungkapan beberapa ulama di atas mengenai sosok Ibnu Abdil Wahab bukanlah isapan jempol belaka. Statemen-statemen takfiri dengan mudah dapat dijumpai di dalam kitab atau risalah-risalah yang ia tulis. Agar hal ini tidak dianggap sebagai tuduhan belaka, maka penulis akan menukilkan secara langsung statemen-statemen takfiri tersebut dari kitab-kitab IAW atau dari beberapa kitab yang menukilnya. Penulis hanya akan sedikit memberi komentar terhadap statemen-statemen tersebut, karena sebenarnya statemen takfiri tersebut tanpa dikomentari pun sudah sangat gamblang maksud dan tujuannya sehingga mudah dicerna oleh seorang akademisi yang melek ilmu syariat.
Kasyfu Asy Syubhaat dan Doktrin Takfir
Kitab “Kasyfu asy Syubhaat” adalah salah satu kitab Ibnu Abdil Wahab yang sangat gamblang menjelaskan kerangka berpikirnya. Meskipun kitab ini sangat kecil, namun berisi detail mengenai doktrin ideologi IAW kepada para pengikutnya. Secara global buku ini didiktekan kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri. Dalam buku ini ia berusaha mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul dan sejenisnya dengan kaum musyrikin di era Nabi saw.. Pensejajaran ini merupakan langkah awal untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, sebagaimana halalnya darah dan harta kaum musyrikin yang menentang dakwah Nabi saw.. Oleh karena itu, IAW tidak segan-segan memakai jalur kekerasan atau perang untuk menyebarkan dakwahnya ini di kalangan kaum muslimin.
Dalam permulaan kitab “Kasyfu Syubhaat” ini Ibnu Abdil Wahab berkata:
“Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Itu adalah agama para rasul yang telah diutus oleh Allah kepada para hamba-Nya. Rasul pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah utus kepada kaumnya tatkala kaumnya ghuluww (berlebihan) pada kaum shalihin; Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”[21].
Pernyataan pembuka ini begitu sangat manis dan halus untuk dijadikan langkah awal takfir kaum muslimin yang berbeda ideologi, sebagaimana dalam statemen-statemen setelahnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa aktivitas seperti tabaruk, tawasul dan sejenisnya dalam pandangan IAW merupakan bentuk “ghuluww” kepada kaum shalihin. Bahkan ia menganggapnya sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Oleh karenanya hal itu ia vonis sebagai sebuah kesyirikan. Terkait dengan statemen IAW di atas, ia berusaha memberikan sebuah doktrin perdana kepada para pengikutnya bahwa Nabi Nuh a.s. mendakwahkan tauhid kepada suatu kaum yang berbuat “ghuluww” kepada kaum shalihin. Dari doktrin perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran yang sama di benak setiap pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum muslimin (yang tidak seideologi) saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh a.s. di tengah kaum musyrikin di masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan sangat mudah sekali para pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum muslimin yang tidak sepaham dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan secara otomatis tervonis musyrik dan halal untuk diperangi.
Kondisi kaum Nabi Nuh a.s. saat itu tentunya sangat berbeda 180% dengan kaum muslimin yang hidup di jaman IAW. Karena kaum Nabi Nuh a.s. saat itu tidak hanya sekedar ghuluww terhadap kaum shalihin. Akan tetapi mereka secara terang-terangan telah menyatakan menyembah berhala-berhala kaum shalihin yang mereka pahat sendiri. Pernyataannya IAW di atas secara tidak langsung merupakan takfir terhadap kaum muslimin yang berseberangan dengan pola pikirnya.
Tidak berhenti sampai di situ, IAW mencoba untuk mendeskripsikan sifat-sifat kaum musyrikin di era Nabi saw. dan secara paksa menyamakannya dengan sifat-sifat kaum muslimin di eranya, ia berkata:
“Dan rasul yang terakhir adalah Muhammad saw., dialah yang menghancurkan gambar-gambar kaum shalihin itu. Allah mengutusnya kepada suatu kaum yang beribadah, menunaikan haji, bersedekah dan banyak berdzikir kepada Allah. Akan tetapi mereka (kaum kafir Quraisy) menjadikan sebagian makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Allah”[22].
Dari statement di atas kita dapat memahami bahwa IAW ingin menggiring pemahaman para pengikutnya agar berkesimpulan bahwa kaum muslimin tak ubahnya seperti kaum musyrikin. Dan jika Nabi Muhammad saw. memerangi kaum musyrikin dengan sifat-sifat yang telah disebutkan maka kita pun harus memerangi kaum muslimin yang telah musyrik karena memiliki kesesuaian sifat dengan kaum musyrikin di zaman Nabi. Padahal secara tinjauan historis klaim sifat-sifat tersebut tidak dapat dibenarkan. Kita tidak menemukan catatan sejarah yang menyatakan bahwa kaum musyrikin beribadah, banyak berdzikir dan menunaikan haji sebagaimana cara kaum muslimin di era IAW menunaikannya. Yang kita temukan justru kaum musyrikin tersebut menyembah berhala, tidak mengimani hari kiamat dan hari kebangkitan, serta mengingkari risalah para nabi secara keseluruhan. Bagaimana bisa disejajarkan antara kaum muslimin yang mengimani nubuwwah (kenabian) dengan kaum musyrikin yang tidak mengimaninya sama sekali?!. Adakah sifat-sifat pengingkaran tersebut dalam diri kaum muslimin yang menyelisihi ajaran IAW?. Tentu jawabannya tidak ada. Permasalahan khilafiyyah semisal tabarruk, istighatsah dan tawassul menjerumuskan IAW ke jurang yang sama dengan apa yang ia tuduhkan kepada lawan ideologinya; ghuluww. Ia sangat berlebihan dalam mensikapi permasalahan ini. Padahal seluruh permasalahan yang ia ingkari terhadap kaum muslimin saat itu telah menjadi amalan mayoritas umat ini dan memiliki landasan argumentasi yang kuat, baik secara historis maupun empiris.
Setelah mencoba mensejajarkan sifat kaum muslimin dengan sifat kaum musyrikin, IAW menutupnya dengan pernyataan demikian:
“Jika telah terbukti bahwa mereka (kaum musyrikin) mengakui semua ini, namun tidak menjadikan mereka masuk dalam tauhid yang didakwahkan oleh Rasulullah saw., maka kamu telah mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid ibadah (uluhiyyah) yang disebut oleh kaum musyrikin di zaman kita dengan sebutan i’tiqad”[23].
Pernyataan di atas begitu sangat gamblang bahwa IAW telah memvonis kaum muslimin yang berseberangan dengannya sebagai kaum musyrikin. Karena kata i’tiqad sering dipakai oleh para ulama dalam mengarang kitab tauhid, seperti kitab I’tiqaad wal Hidaayah ila Sabiil ar Rasyaad karya Imam Baihaqi, al Iqtishaad fil I’tiqaad karya Imam al Ghazali dan masih banyak lagi.
Lebih gamblang lagi, IAW mengatakan:
“Wahai orang musyrik! Aku tidak mengetahui makna Al Quran dan Hadits Nabi saw. yang kamu gunakan untuk berdalil kepadaku”[24].
Dari pernyataan di atas kita patut mempertanyakan: adakah kaum musyrikin yang melawan IAW dengan berdalil dari Al Quran dan Sunnah?. Pernyataan di atas semakin mempertegas bahwa yang ia maksud dengan orang-orang musyrik itu adalah kaum muslimin yang tidak mau mengamini dakwah yang ia tawarkan. Tentunya sudah jamak diketahui bahwa benturan ideologi yang terjadi antara IAW dan lawan-lawannya sebenarnya benturan pemahaman ideologi antara sesama kaum muslimin. Bukan benturan antara IAW dengan kaum non-muslim. Hanya saja IAW terlalu berlebihan dalam memvonis syirik kaum muslimin yang berseberangan dengannya.
Statemen-statemen di atas hanyalah sedikit dari sekian banyak statemen pengkafiran yang bertaburan rata dari awal sampai akhir risalah kecil itu. Dalam penelitiannya, Syekh Hasan bin Farhan, menemukan banyak sekali sebuah statemen pengkafiran dalam beberapa risalah IAW yang terkumpul dalam sebuah kitab yang berjudul “Ad Durar As Sunniyyah”. Diantara statemen-statemen tersebut ada yang langsung disematkan kepada orang tertentu, ada juga yang dipukulkan secara merata. Di dalam kitab tersebut terdapat pengkafiran IAW terhadap para ulama Najd dan para hakimnya, bahwa mereka tidak mengetahui ajaran Islam, dia berkata:
“Sungguh aku telah menuntut ilmu sampai orang-orang yang mengenalku berkeyakinan bahwa aku telah menjadi alim. Padahal saat itu aku belum mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah”, juga tidak tahu tentang agama Islam, sebelum anugerah yang diberikan oleh Allah ini. Begitu juga para guruku, tidak ada seorangpun yang mengetahui hal itu (makna Laa Ilaaha Illallah). Maka barang siapa yang mengira bahwa ada ulama yang mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” atau mengetahui makna islam sebelum saat ini, atau mengira bahwa salah satu diantara para guruku mengetahuinya, maka sungguh dia telah berdusta dan mengada-ada, serta menipu manusia dan memuji dirinya dengan hal yang tidak pantas baginya”. (Ad Durar As Sunniyah: 10/ 51)[25].
Vonis kafir juga disematkan secara personal, Syekh Sulaiman bin Suhaim Al Hambali adalah salah satu korban vonis sadis itu. Dalam risalahnya IAW berkata:
“Kami sebutkan kepadamu bahwasannya kamu dan bapakmu secara terang-terangan telah terjerumus ke dalam kekafiran, kesyirikan, dan kemunafikan…kamu dan bapakmu senantiasa bersungguh-sungguh memusuhi agama ini, baik malam maupun siang!!..kamu adalah seorang penentang yang sesat dari ilmu yang terpilih, kafir terhadap islam!!...dan ini buktinya kitab-kitab kalian isinya penuh dengan kekufuran kalian!!”. (Ad Durar As Sunniyah: 10/ 31)[26].
Dalam beberapa halaman setelahnya, IAW berkata:
“Adapun Ibnu Abdil Lathif, Ibnu ‘Afaliq dan Ibnu Mutthaliq, mereka itu adalah para penghina tauhid!... dan Ibnu Fairuz adalah orang yang paling dekat dengan islam dari kalangan mereka”. (Ad Durar As Sunniyah: 10/ 78)[27].
Dari ketiga statemen yang dinukil oleh Syekh Hasan bin Farhan di atas semakin menambah dan memperkuat sebuah asumsi bahwa sebenarnya IAW memang benar-benar ingin merombak agama ini dari akarnya. Bahkan kalau kita cermati dari setiap alur tulisannya, ia berusaha menggiring pemahaman kaum baduwi yang menjadi obyek dakwahnya untuk berkeyakinan penuh bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin kala itu tidak lebih dari perbuatan kaum musyrikin di zaman Nabi Saw. Jika pemahaman ini sudah dapat diterima, maka konsekwuensi yang harus dilakukan adalah memerangi mereka dengan senjata karena darah dan harta mereka hukumnya sudah halal, sebagaimana Nabi saw. memerangi kaum musyrikin.
Ajakan untuk memerangi kaum muslimin itu begitu jelas dalam statemen-statemen IAW setiap kali selesai mendeskripsikan persamaan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin di era Nabi saw.. Diantaranya adalah perkataannya:
“Dan kamu mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah memerangi mereka karena kesyirikan ini”[28].
Dalam catatannya, Syekh Hasan bin Farhan juga tidak meninggalkan sifat keobyektifitasannya. Beliau juga menukil statemen-statemen IAW yang menepis sikap “takfiri” yang disematkan pada dirinya. Bahkan ia menuduh balik bahwa itu hanyalah propaganda lawan ideologinya. IAW mengingkari bahwa telah memberhangus kitab-kitab empat madzhab (Ad Durar As Sunniyah: 1/ 34, 10/ 13), padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut adalah “’ainus syirk” (wujud kesyirikan) (Ad Durar: 2/ 59), juga mengingkari bahwa ia telah mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan orang-orang shaleh (Ad Durar: 10/ 13). Juga mengingkari telah mengkafirkan Imam Al Busyiri sebab perkataannya dalam “nida’” (memanggil) Nabi Saw dengan sebutan “Yaa akramal khalq” (Ad Durar: 9/ 34), padahal ia mengkafirkan orang yang menyakini hal itu meskipun tidak menyebutkan nama Imam Al Busyiri. Juga mengingkari pengkafiran terhadap Ibnu Farid (Ad Durar: 9/ 34), Ibnu Arabi (Ad Durar: 9/ 34) padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa Ibnu Arabi adalah lebih kafir dari pada Fir’aun. Bahkan dia juga mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan Ibnu Arabi dan kelompoknya (Ad Durar: 10/ 2, 25/ 45). Dia juga mengingkari bahwa telah mengkafirkan orang yang bersumpah (al half) dengan selain Allah (Ad Durar: 9/ 34, 10/ 13). Juga mengingkari bahwa telah membakar kitab “Dalaailul Khairat” (9/ 80, 34), padahal tatkala mereka (orang-orang wahabi) memasuki kota Makkah mereka membakar kitab tersebut (1/ 228)[29].
Dalam menyikapi sikap “tanaqudh” (kontradiktif) ini, Syekh Hasan bin Farhan memberikan sebuah kesimpulan bahwa:
1. Dalam kitab-kitab dan kumpulan risalahnya, sering ditemukan statemen kontradiktif. IAW sering mengingkari sesuatu yang ada di kitab dan risalahnya sendiri, serta berbalik menuduh orang lain telah berdusta atas dirinya.
2. Karena segala yang dituduhkan oleh lawan-lawan ideologinya itu ada di dalam kitab dan risalahnya sendiri. Hal ini menunjukkan betapa kuat dan telitinya lawan-lawan IAW dalam mengkritisi manhaj dakwahnya.
3. Adanya kontradiksi statemen itu bisa jadi terjadi karena IAW lupa statemen-statemen sebelumnya, atau hal itu lahir karena alasan politis semata.
4. Boleh jadi orang-orang wahabi kotemporer yang mencetak kitab-kitab dan risalah-risalah IAW telah berdusta atas namanya. Tapi hal ini sangat kecil kemungkinannya, karena dalam kitab dan risalah yang terdapat pengingkaran akan “takfir” justru ditemukan sikap “takfir” itu sendiri meskipun secara tersirat.
Sikap “Takfiri” Para Pengikut dan Perpecahan Intern
Warisan sikap suka memvonis kafir kelompok dan orang yang bersebrangan pendapat tetap terabadikan sampai sekarang. Hanya saja menurut Syekh Hasan bin Farhan tensi umbar “takfir” terkesan kondisional, tergantung kondisi politik yang berkembang[30]. Bahkan dalam perkembangannya pun sikap umbar “takfir” ini tidak diterapkan oleh semua kelompok atau orang yang mengikuti manhaj dakwah Ibnu Abdil Wahab. Mungkin hal ini disebabkan adanya sikap kontradiktif yang terkandung dalam kitab dan risalah IAW. Hal ini tentunya akan berpengaruh sekali pada generasi aliran wahabi setelahnya. Pasca era IAW, orang-orang yang masih gemar menebar vonis “takfir” ini seperti Sulaiman bin Abdullah bin Muhmmad, Hamd bin Abdul Aziz, Abdul Lathif bin Abdur Rahman, Abdullah bin Abdur Rahman Al Babiti, Ibnu Sahman, Abdullah bin Abdil Lathif dan lainnya[31].
Karena di dalam intern aliran wahabi masih ada pro dan kontra tentang parameter penerapan sikap “takfir”, maka perpecahan tidak dapat dihindari lagi. Dalam keterangannya, Syekh Hasan bin Farhan menyatakan bahwa aliran wahabi pasca meletusnya perang teluk ke II, terbagi menjadi 4 golongan. Masing-masing dari keempat golongan itu saling memvonis sesat kepada yang lain[32]. Akan tetapi sangat disayangkan sekali beliau tidak menegaskan dengan gamblang keempat kelompok tersebut. Perpecahan itu juga diamini oleh DR. Yusuf Al Qaradhawi yang dituangkan di sela-sela bukunya yang berjudul “As Shahwah Al Islamiyah Minal Murahaqah Ilar Rusyd”. Dalam buku ini DR. Yusuf Al Qaradhawi membagi afiliasi aliran wahabi menjadi tiga bagian[33].
1. Sururiyyun (siyasiyyun)
Sempalan aliran wahabi ini dinisbatkan kepada seorang dai dari Syiria yang bernama Surur Zainul Abidin. Pada awalnya dia masuk dalam barisan pergerakan Ikhwanul Muslimin, kemudian menyempal dan membuat gerakan sendiri. Kelompok ini mempunyai ambisi politik yang sangat kuat, sebagaimana ambisi mereka dalam dakwah tauhid. Kelompok ini menentang keras ikut campur Amerika dalam perang teluk ke II, serta menentang kebijakan politik Kerajaan Saudi Arabiah yang terkesan lamban. Oleh sebab itu, para tokoh gerakan ini acap kali keluar-masuk penjara sebab arogansi politik itu. Dalam wilayah Saudi Arabiah tokoh-tokoh seperti Salman Audah, Safar Hawali, Aid Al Qarni dan lainnya yang termasuk sealur dengan sempalan aliran wahabi ini mengalami pencekalan dari pemerintah dan ulama setempat.
Kelompok ini dinisbatkan kepada Syekh Muhammad Nasiruddin Al Albani. Garapan yang menjadi titik tekan kelompok ini adalah “harbu tamadzhub” (memerangi tradisi bermadzhab) atau taklid dengan satu madzhab tertentu meskipun orang awam. Akan tetapi, uniknya, para pengikut kelompok ini justru bertaklid kepada Syekh Al Bani, dan hal itu seakan-akan menjadi madzhab yang ke lima dalam pandangan mereka.
3. Jamiyyun (Madkhaliyun)
Kelompok ini dinisbatkan kepada Syekh Aman Al Jami. Tokoh yang sangat berpengaruh dan kesohor dalam kalangan generasi sempalan aliran wahabi yang ini justru murid beliau yang bernama Rabi’ bin Hadi Al Madkhali. Oleh sebab itu banyak kalangan yang menyebutkan Madkhaliyun sebagai pengganti dari Jamiyyun. Generasi sempalan inilah yang dengan terang-terangan melestarikan budaya takfir[34] yang menjadi ciri khas aliran wahabi semenjak kemunculannya. Seakan menghina para ulama baik ulama klasik maupun kontemporer adalah tugas suci utama dan pertama mereka. Hampir tidak ada ulama umat ini yang selamat dari lisan mereka. Taruhlah contohnya seperti Imam Nawawi pensyarah terbaik kitab shahih Muslim dan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqani[35] pensyarah terbaik kitab shahih Bukhari. Keduanya telah tervonis sesat karena dalam masalah akidah keduanya berafiliasi kepada Asy’ariah. Kalangan ulama kontemporer seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutub, Muhammad Al Ghazali, Yusuf Al Qardhawi, Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, Ali At Thanthawi dan lainnya tidak terlepas dari vonis sesat mereka[36].
Hasil kajian Syekh Hasan bin Farhan dan DR. Yusuf Al Qaradhawi di atas juga dikuatkan dengan data yang berhasil dikumpulkan oleh Syekh Abdul Ghani Ar Rifa’i. Dalam bukunya, beliau menuliskan akan adanya sikap “takfir” yang dilakukan oleh para pengikut aliran wahabi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh Al Qonuji dalam bukunya “Ad- Diin al Khalish” (1/ 140), dia menyatakan bahwa taklid kepada madzhab-madzhab yang ada merupakan bentuk dari kesyirikan. Dia juga memvonis syirik Siti Hawa di kitab yang sama (hal: 160). Demikian juga dengan Syekh Ali bin Muhammad bin Sinan seorang pengajar di Masjid Nabawi dan Islamic University of Madenah dalam kitabnya “al Majmu’ al Mufid min Aqidatit Tauhid” (hal: 55), dimana dia menyeruhkan kepada kaum muslimin untuk memerangi tarekat-tarekat sufi sebelum akhirnya memerangi Yahudi dan Majusi. Pengkafiran dilakukan juga oleh mereka terhadap mayoritas ulama dunia sebagaimana yang tertera dalam kitab “Fathul Majid” (hal: 190), juga terhadap penduduk Mesir karena mereka dianggap telah menyembah Ahmad Al Badawi, penduduk Iraq dan sekitarnya seperti Oman dikarenakan mereka dianggap telah menyembah Abdul Qadir Al Jailani, penduduk Syam (Syiria) karena mereka telah dianggap menyembah Ibnu Arabi, juga penduduk Najd dan Hijaz serta Yaman sebelum datangnya dakwah wahabi[37].
Demikian juga komentar Bin Baz dalam menanggapi tawassul seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Al Harist Al Muzani. Dalam komentarnya, Bin Baz mengatakan bahwa yang dilakukan sahabat tersebut adalah termasuk hal yang menjurus kepada kesyirikan[38]. Tidak mau ketinggalan Syekh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya “Liqaul Babil Maftuh” telah mengeluarkan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Nawawi dari barisan ahlussunnah wal jama’ah. Dan masih banyak lagi spirit-spirit takfir yang diperagakan oleh para punggawa aliran wahabi dari zaman ke zaman.
Bukan hanya di dunia arab, ternyata fenomena takfir dewasa ini juga laris bak kacang goreng di pasaran wacana tanah air kita. Baru-baru ini telah terjadi perang takfiri antar sesama generasi wahabi sendiri. Hal ini bermula dari sebuah buku yang dikarang oleh Imam Samudra yang merupakan salah satu pelaku bom Bali yang berjudul “Aku Melawan Teroris”. Buku ini dapat bantahan sangat keras dari salah seorang generasi wahabi tanah air yang beraliran keras yang bernama Luqman bin Muhammad Ba’abduh[39] dalam bukunya “Mereka Adalah Teroris; Sebuah Tinjauan Syari’at”. Ternyata, tulisan yang mulanya ingin ditujukan kepada Imam Samudra melebar kemana-mana, sehingga banyak kalangan dari kalangan wahabi sendiri yang kebakaran jenggot, karena tersinggung. Oleh sebab itu, tergeraklah seorang Abduh Zulfidar Akaha –yang sebenarnya juga termasuk generasi aliran wahabi- untuk mengangkat penanya guna membantah buku Luqman tersebut dalam sebuah buku yang berjudul “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?”. Dalam nukilannya di tengah mengkritisi tulisan Luqman, Abduh Zulfidar mengutip sebuah pernyataan Luqman yang bernada takfiri, yang berbunyi:
“Perlu pembaca sekalian mengetahui, bahwa penduduk Iraq itu ada dua model:
1. Rafidhah Ja’fariyyah, yang umat telah sepakat mereka itu kafir. Kebanyakan kaum muslimin di Iraq itu fasik, khamr di kalangan mereka tak ubahnya seperti air saja. Mereka itu bukan orang-orang shalih.
2. Sedangkan model lainnya adalah Kaum Ba’tsiyyah, yang siang dan malam selalu menyatakan:
آمنت بالبعث ربا لا شريك له
وبالعروبة دينا ما له ثانى
“Aku beriman kepada (kebenaran) Partai Ba’ts sebagai Rabb yang tiada sekutunya. Dan (aku beriman kepada) Nasionalisme arab sebagai agamaku yang tidak ada tandingannya”.
Mereka tidak memiliki agama![40].
Karena Luqman telah membatasi model penduduk Iraq itu hanya dua saja, dan ternyata yang pertama divonis kafir sedangkan yang kedua divonis tidak beragama. Jadi, kesimpulan yang dapat kita tangkap adalah bahwa penduduk Iraq itu tidak ada satupun yang muslim. Dan ini tentunya hanya sebuah lelucon atau dagelan yang selalu dijajakan tanpa adanya penelitian yang cermat. Lebih dari itu, pernyataan semacam itu secara jelas merupakan bentuk pangkafiran terhadap seluruh penduduk Iraq- Na’udzubillah-. Saling serang antar sesama generasi wahabi inipun banyak sekali bertebaran di berbagai forum diskusi di dunia maya.
Nampaknya Luqman Ba’abduh tidak rela bukunya dibantah, oleh sebab itu dia mengeluarkan bantahan balik dengan judul buku “Menebar Dusta Membela Teroris Khawarij”. Berita terkini mengatakan bahwa Luqman Ba’abduh tidak berani datang saat ditantang debat terbuka oleh Abduh Zulfidar Akaha. Akankah saling hujat antar generasi wahabi terus berlanjut? Kita simak saja berita-berita menarik tersebut dalam layar kaca internet dan buku-buku yang akan terbit.
C. Segi Tiga Tauhid; Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma` Sifat
Pengkafiran yang acap kali dilontarkan oleh Syekh Ibnu Abdil Wahab tidak terlepas dari klasifikasi tauhid yang ia terapkan. Klasifikasi tauhid menjadi tiga; rububiyyah, uluhiyyah dan asma` sifat, sebenarnya bukan merupakan ijtihad IAW. Akan tetapi ia hanya sekedar mengikuti apa yang telah digagas oleh Ibnu Taimiyah jauh hari sebelumnya. Bahkan ia bukanlah orang pertama yang mengikuti gagasan pembagian tauhid tersebut. Sebelumnya sudah ada Ibnu Qayyim yang bisa dikatakan adalah foto copy Ibnu Taimiyah karena hampir tidak ditemukan pendapatnya yang bertentangan dengan gurunya tersebut. Demikian juga, Ibnu Abil ‘Izz dalam syarah akidah tahawiyahnya[41].
Dengan pembagian tauhid menjadi tiga ini, Ibnu Taimiyah sebagai bapak dari pembagian ini -yang selanjutkan diikuti oleh IAW- menyatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy sebenarnya mengakui tauhid rububiyah, yaitu mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Hal ia buktikan dengan beberapa ayat, seperti firman Allah swt. yang artinya, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat kafir (ingkar)”. (az Zumar: 3). Juga firman-Nya, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah".” (az Zumar: 38). Juga firman-Nya, “Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui”. (Luqman: 25).
Satu hal penting yang ingin ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan ketiga ayat di atas, yaitu bahwa kaum musyrikin telah meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan (Pencipta). Dengan demikian, dalam tataran ini kaum muslimin dan musyrikin tidak ada bedanya. Oleh sebab itu, kaum muslimin membutuhkan dua kriteria tauhid yang lain agar benar-benar bisa dikatakan telah masuk Islam. Kedua tauhid itu adalah tauhid uluhiyyah dan tauhid asma` sifat. Pendapat inilah yang pada gilirannya melahirkan sikap takfir terhadap kaum muslimin yang dipandang telah berbuat kesyirikan karena aktivitas tabaruk dan sejenisnya. Padahal kalau kita teliti lebih jauh, sebenarnya jawaban kaum musyrikin Quraisy dalam ketiga ayat tersebut merupakan sebuah keterpaksaan karena tidak bisa menjawab yang lain saat Nabi saw. mendebat mereka. Sudah jamak diketahui bahwa Nabi saw. diperintah oleh Allah swt. untuk mendebat kaum musyrikin dalam rangka menyebarkan agama tauhid ini, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya, “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (an Nahl: 125).
Jawaban kaum Quraisy bahwa mereka tidak menyembah berhal-berhala melainkan hanya menjadikannya untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah kedustaan[42]. Jika mereka telah benar-benar mengimani bahwa Allah adalah Tuhan atau Sang Pencipta niscaya Allah tidak akan menyuruh mereka untuk berpikir mengenai alam semesta agar mereka beriman akan eksistensi Allah. Itu sebagaimana perintah Allah swt. dalam firman-Nya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?. Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. (al Ghaasyiyah: 17-22).
Bahkan sebenarnya Allah swt. pun telah menyatakan bahwa pernyataan mereka itu adalah kedustaan, sebagaimana di akhir ayat 3 surat az Zumar di atas yang menyatakan bahwa mereka adalah pendusta dan sangat ingkar (kafir). Kaum musyrikin sudah biasa berdusta untuk menutupi sifat buruk mereka. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah swt. dalam firman-Nya, “Mereka menyenangkan hatimu dengan mulut mereka, sedang hati mereka menolak”. (at Taubah: 8). Bahkan kita banyak menemui ayat-ayat yang menunjukkan bahwa kaum musyrikin tersebut sama sekali tidak mempercayai bahwa Allah adalah Tuhan. Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah swt., “Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan”. (Yaasiin: 74), “Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. (al Jaatsiyah: 24). Dengan banyaknya ayat yang menjelaskan bahwa kaum musyrikin telah mengingkari adanya Allah, maka sangatlah tidak patut ada orang yang mengatakan bahwa kaum musyrikin tersebut sebenarnya beriman akan eksistensi Allah swt..
Terkhusus masalah asma` sifat, sebenarnya Syekh Ibnu Abdil Wahab tidak begitu banyak berbicara masalah ini. Karena sejatinya masalah ini begitu sangat pelik dan membutuhkan energi super dan napas panjang untuk membicarakannya. Menjelaskan ke orang awam masalah ini tidak semudah menjelaskan masalah tauhid rububiyah dan uluhiyah dalam istilah IAW. Namun menurut Syekh Abdul Aziz hal itu disebabkan karena penduduk Najd tidak mengalami penyimpangan dalam tauhid asma` sifat ini[43]. Oleh sebab itu tidak ditemukan pernyataan IAW sangat terperinci dalam hal ini sebagaimana dalam masalah yang disebut tauhid rububiyyah dan uluhiyyah sebelumnya. Akan tetapi demi melengkapi pembahasan ini, penulis mencoba untuk memahami masalah ini dari para pengikutnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah |
Dalam pembahasan singkat beberapa paragraf di bawah ini penulis berusaha meringkas seraya mengkritisi pemahaman IAW pada khususnya, dan seluruh pengikut wahabi pada umumnya, terkait masalah asma` sifat atau lebih dikenal dengan sifat khabariyyah ini. Dalam pembahasan masalah ini, sering sekali kita dengar dari kalangan salafi (wahabi) mengenai dikotomi salaf dan khalaf. Salaf dalam pandangan mereka bersikap “isbat”[44] sebagaimana yang mereka imani, sedangkan khalaf bersikap “takwil” atau “tafwidl”. Secara garis besar, setidaknya ada 4 poin kredo mereka dalam berinteraksi dengan ayat dan hadis sifat:
- Menggolongkan ayat dan hadis sifat tersebut ke dalam golongan ayat dan hadis muhkamât.
- Boleh mentafsirkan ayat dan hadis sifat.
- Memahami ayat dan hadis sifat itu sesuai dhahirnya.
- Tidak mentafwidl dan mentakwilkannya.
Dari keempat kredo dasar tersebut, kita akan mencoba untuk mengkritisinya dengan cara merujuk keabsahannya dari berbagai kitab dan disiplin ilmu keislaman. Dalam beberapa literatur, mereka selalu mengklaim bahwa kredo dasar mereka inilah merupakan kredo dasar salaf dan ahlussunnah. Benarkah klaim semacam itu dapat teruji secara ilmiah?. Jawabannya akan penulis jelentrehkan perpoin.
Kredo Pertama
Dalam kredo pertamanya, aliran wahabi menggolongkan ayat dan hadis sifat ke dalam golongan ayat dan hadis muhkamat. Keputusan ini nampaknya berlawanan dengan apa yang dipaparkan oleh para ahli ulumul Quran, seperti Zarkasyi dalam Al Burhan[45], Suyuthi dalam Al Itqan[46], Zurqani dalam Manahilul ‘Irfan[47]. Begitu juga bersebrangan dengan para ulama hadis seperti Imam Al Khattabi dalam Ma’alim Sunan, Imam Al Baihaqi dalam Asma’ Wa Sifat[48] dan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[49]. Demikian juga dengan pakar usul fikih semisal As Syathibi dalam muwafaqatnya[50], pakar sejarah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya[51] dan masih banyak lagi.
Kredo Kedua
Dalam masalah bolehnya mentafsiri ayat dan hadis sifat tersebut. Ternyata aliran wahabi juga bersebrangan dengan riwayat-riwayat dari generasi salaf. Kredo Aimmah Salaf justru tidak memperbolehkan untuk mentafsiri ayat dan hadis sifat tersebut. Mereka mencukupkan diri untuk mengimani tanpa mencari maknanya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam At Turmudzi dari Sufyan At Tsauri, Malik bin Anas, Ibnu Mubarak, Ibnu ‘Uyainah, Waki’ dan lainnya[52]. Imam Ad Dzahabi juga meriwayatkan hal yang sama dari Imam Malik[53]. Hal serupa juga diamini oleh Imam Al Baihaqi[54]. Pendapat ini dipertajam oleh Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya dengan menyatakan bahwa mayoritas aimmah salaf termasuk di dalamnya Imam Malik, tidak mentafsirkannya. Bahkan beliau memvonis orang yang mentafsirkannya sesuai makna dhahir bahasa arab, mereka adalah golongan musyabbihah[55]. Ketegasan yang diambil oleh Imam Al Qurthubi ini juga sama persis dengan yang didedahkan oleh Imam Zarkasyi[56].
Kredo Ketiga
Memahami ayat dan hadis sifat secara dhahir ada dua kemungkinan dan pengertian. Pertama, jika yang dimaksud adalah membiarkankan ayat dan hadis sifat itu sesuai zhahirnya (ijra’ ‘ala dzawahiriha) dengan dibarengi sikap diam (sukut) tanpa tafsir, maka itulah sikap mayoritas para aimmah salaf yang sering disebut tafwidl. Kedua, jika yang dimaksud adalah membiarkan ayat dan hadis sifat itu sesuai zhahirnya dengan dibarengi penafsiran secara tekstual bahasa arab, maka itulah yang divonis oleh Imam Al Qurthubi dan Imam Zarkasyi sebagai sikap golongan musyabbihah. Dan ternyata sikap aliran wahabi dalam masalah ini secara jelas mengimani pengertian yang kedua dan secara otomatis sudah tervonis sebagai sikap golongan kaum musyabbihah, kalau kita mengacu pada pendapat Imam Al Qurthubi dan Imam Zarkasyi. Bahkan Imam Syatibi dalam Al I’tishamnya ketika menjelaskan mengenai macam-macam sebab masuknya bid’ah dalam syari’at Islam, beliau memvonis ahli bid’ah terhadap orang-orang yang berpaham zhahiri dalam ayat dan hadis sifat ini[57].
Kredo Keempat
Dalam kredo dasar yang keempat ini mereka menolak untuk mentakwil dan mentafwidl dalam menyikapi ayat dan hadis sifat tersebut. Mereka memandang kedua sikap itu adalah bentuk dari sebuah kekufuran, kedustaan dan penyimpangan. Dalam salah satu fatwanya Ibnu Taimiyah yang merupakan sumber ide dan pikiran aliran wahabi mengeluarkan vonis bahwa kedua sikap tersebut merupakan kekufuran dan kedustaan[58]. Tidak kalah ekstrimnya, dalam kitabnya yang lain “Dar`u Ta’arudlil ‘Aqli Wan Naql” Ibnu Taimiyah juga memvonis sikap tafwidl adalah sejelek-jelek perkataan para ahli bid’ah dan atheism (ilhâd)[59]. Sikap ektrim ini diterima dengan tanpa kritik oleh semua pengikut aliran wahabi baik yang klasik maupun yang kontemporer.
Dalam berbagai tulisan, baik yang berwujud kitab/buku, ataupun yang bergentayangan di situs-situs internet, mereka sering mengklaim bahwa pemahaman mereka inilah yang sesuai dengan generasi salaf. Padahal justru mereka inilah yang menghidupkan lagi paham-paham kaum mujassimah dan musyabbihah yang sejak generasi salaf telah divonis sesat. Mereka sering melabelkan beberapa cap kepada ahlussunnah yang memakai metode takwil dengan jahmiyyah[60] dan mu’atthilah, karena telah mentakwil atau mentafwidlkan makna asma’ wa sifat. Dalam beberapa paragraf berikut akan kita bahas bahwa paham takwil dan tafwidl merupakan dua paham ahlussunnah yang selalu dipakai oleh generasi salaf maupun khalaf. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi[61].
a) Takwil
Takwil dalam permasalahan ayat dan hadis sifat merupakan hal yang boleh dilakukan selagi tidak keluar dari pemahaman dan aturan gramatikal bahasa arab itu sendiri. Karena kalau kita teliti ulang teks-teks para ulama ahlussunnah baik salaf maupun khalaf ternyata banyak sekali yang masih memegang sikap ini. Bahkan Ibnu Abbas yang mendapat keutamaan doa Baginda Sayyidina Rasulillah Saw agar diberikan pemahaman atas Al Quran[62], juga ternyata memakai metode takwil dalam beberapa kasus. Hal ini sebagaimana takwilan beliau terhadap kata “sâq” ditakwilkan dengan kata “syiddah”[63]. Imam Nawawi ketika menjelaskan tentang hadis “nuzul” (turun)nya Allah di sepertiga malam terakhir menukil bahwasannya Imam Malik –rahimahullah- mentakwilkannya bahwa yang turun adalah rahmat, perkara dan malaikat-Nya[64].
Demikian juga, Al Hafidz Ibnu Katsir dalam kitabnya “Al Bidayah Wa An Nihayah” menukil takwil Imam Ahmad bin Hambal mengenai permasalahan maji’ (datang)nya Allah swt. yang tertera dalam surat Al Fajr: 22 ditakwilkan dengan tsawab (pahala)[65]. Tatkala mengomentari sebuah ayat dalam surat Al Qashash yang berbunyi “kullu syain hâlik illa wajhahu” Imam Bukhari mentakwilkan kata “wajhahu” dalam ayat tersebut dengan “mulkahu”[66].Dalam kitab “al Asma’ wa ash Shifat” Imam Al Bahaqi juga menukil pentakwilan Imam Bukhari terhadap kata “dhahak” dengan “rahmah”[67]. Dan masih banyak lagi para pembesar ulama umat ini yang memakai metode takwil dalam beberapa tempat yang berkaitan dengan asma’ wa sifat. Bahkan dalam masalah hadis Jariyah yang menyatakan bahwa Allah itu berada di langit[68], Imam Nawawi menukil perkataan Qadli ‘Iyadl yang menegaskan bahwa kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) dalam mentakwilkan hadis tersebut[69]. Imam At Tirmidzi dalam kitab sunannya juga memakai metode takwil ini ketika mengomentari hadis yang berbunyi “lau adla ahadukum bihablin lahabatha ‘alallah” (hadis nomor: 3298), beliau mentakwilkannya dengan “ilmullah”[70]. Pentakwilan Imam Tirmidzi ini divonis oleh Ibnu Taimiyah sebagai sebuah pentakwilan yang sangat fatal kesalahannya (dhahirul fasad) karena sejenis dengan takwil sekte Jahmiyyah[71]. Vonis serupa diikuti oleh murid yang setia mengikutinya Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, dalam kitabnya “As Shawaiq Al Mursalah”[72].
Sebenarnya masih banyak para ulama baik klasik (salaf) ataupun kontemporer (khalaf) yang masih melakukan metode takwil ini dalam beberapa tempat, seperti Imam Nadlar bin Syumail, Hisyam bin ‘Ubaid, Sufyan At Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir At Thabari, Ibnu Hibban, Abu Hasan Al Asy’ari, Imam Baihaqi, Ibnul Jauzi, Imam Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar dan seabrek ulama tafsir, hadis dan fikih lainnya.
b) Tafwidl
Metode pensikapan kedua yang sangat getol diperangi oleh aliran wahabi adalah tafwidl. Ciri metode ini adalah tidak mentafsirkan ayat atau hadis sifat tersebut secara harfiyyah (tekstual). Akan tetapi mengimani dan membenarkan teks-teks itu seraya menyerahkan maknanya kepada Allah swt.. Sebenarnya banyak sekali para ulama yang juga berpegang teguh dengan metode ini dibeberapa tempat. Dalam syarah shahih muslim, Imam Nawawi mengatakan bahwa mayoritas ulama generasi salaf menggunakan metode ini dalam berinteraksi dengan ayat dan hadis sifat[73]. Dengan adanya pernyataan Imam Nawawi ini rasanya agak mengherankan jika Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya (aliran wahabi), memvonisnya kafir dan mulhid (atheis).
Ibnu Qudamah dalam “Lum’atul I’tiqad” menukil dua riwayat imam umat ini; Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, mengenai permasalahan teks-teks ayat dan hadis sifat. Setelah penukilan perkataan kedua imam tersebut, Ibnu Qudamah memberikan kesimpulan bahwa ayat dan hadis sifat tersebut harus diimani dan diterima, tidak ditakwil, serta diriwayatkan lafadlnya saja tanpa harus menentukan maknanya seraya menyerahkan maknanya kepada Dzat yang berfirman[74]. Pengertian serupa juga dijelaskan oleh Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan akidah ahli hadis dalam kitab I’tiqadnya[75], Imam Al Ghazali dalam Qowaidul ‘Aqaid[76] dan Iljamul Awwam ‘an ilmi kalam[77], Imam Fakhruddin Ar Razi dalam Asasus Taqdis[78], Ma’alim fi Usuliddin[79], dan kitab Arba’innya[80]. Tidak mau ketinggalan Imam Dzahabi yang merupakan salah satu murid Ibnu Taimiyah yang berbeda dari pemahaman gurunya juga mengeluarkan statemen tafwidl ini dalam kitab Siyar A’lam Nubala[81]. Imam Suyuthi dalam Al Itqan mengeluarkan statemen yang tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para ulama ahlussunnah pendahulunya bahwa madzhab tafwidl ini merupakan madzhab mayoritas ahlussunnah dari generasi salaf dan ahlu hadis[82]. Dan seabrek ulama ahlussunnah lainnya.
D. Wahabi dan Konsep Bid’ah
Jama'ah Salafi Ust. Mahrus Ali |
Yang paling sangat mashur dalam pembagian bid’ah menjadi dua ini adalah Imam Syafii –rahimahullah-. Pendapat Imam Syafii ini dinukil oleh Imam Baihaqi dengan sanad muttasil dalam manaqib Syafii. Juga oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dalam tabyinnya[84] dan Imam Suyuthi dalam husnul maqsid[85]. Pembagian yang dilakukan oleh Imam Syafii ini berlandaskan pada perkataan Sayyidina Umar r.a[86] dalam permasalahan shalat tarawih berjama’ah[87]. Pembagian pengertian seperti yang dipahami oleh Imam Syafii inipun banyak sekali dianut oleh jumhur ulama umat ini seperti Imam Al Ghazali, Ibnu Atsir[88], Al Hafidz Badruddin Al Aini[89], Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani[90], Imam Al Karmani[91]. Bahkan Imam Izz bin Abdussalam memperluas lagi pembagian bid’ah tersebut sesuai pembagian hukum taklifiyyah; wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah[92]. Pendapat Imam Izz bin Abdussalam ini diikuti oleh Imam Nawawi dalam beberapa kitabnya[93].
E. Para Penentang Aliran Wahabi
Pemahaman yang sangat ektrim ini memicu timbulnya para penentang baik dari kalangan yang tidak kalah ekstrimnya maupun yang masih berpegang pada sikap wasathiyyah (moderat). Diantara nama-nama penentang gerakan dakwah yang diprakarsai oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab ini adalah:
- Sulaiman bin Ahmad bin Suhaim Al Hambali An Najdi (1130- 1181 H). Beliau adalah seorang ahli fikih daerah Riyadl. Ayah beliau juga termasuk barisan para ulama yang menentang dakwah wahabi ini. Beliau termasuk keturunan Kabilah ‘Unzah. Pasca berkuasanya sekte wahabi di daerah Riyadl, beliau mengungsi di daerah Az Zubair sampai wafat di sana. Beliau termasuk deretan ulama yang dikafirkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.
- Sulaiman bin Abdul Wahab At Tamimi An Najdi (1208 H) saudara kandung Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Kapabilitas keilmuan agama Syekh Sulaiman melebihi saudaranya tersebut. Beliau sangat pakar dalam fikih madzhab hambali, dan termasuk qadli (hakim) daerah Najd. Beliau dilahirkan di daerah ‘Uyainah, menuntut ilmu di daerah Huraimala’ semasa orang tuanya masih belum wafat. Pasca jatuhnya daerah Huraimala’ ke tangan sekte wahabi, beliau mengungsi ke daerah Sadir. Sebelum adanya dakwah wahabi ini, beliau mempunyai banyak pengikut di daerah ‘Uyainah dan Dar’iyyah. Tidak jarang beliau mengirim surat kepada para pengikutnya untuk menghindari dakwah takfiri yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
- Muhammad bin Abdur Rahman bin ‘Afaliq Al Hambali Al Ahsai (1100- 1164 H). Beliau merupakan salah satu ulama daerah Ahsa’. Beliau adalah seorang pakar fikih serta mempunyai wawasan keagamaan yang sangat luas. Beliau mempunyai banyak karangan kitab di bidang fikih dan ilmu falak. Karena dakwah beliaulah pimpinan daerah ‘Uyainah Ustman bin Mu’ammar berpaling dari dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, padahal beliau selalu berada di samping sang pemimpin. Hal ini disebabkan oleh kekuatan argumentasi yang diberikan Ibnu ‘Afaliq, sehingga dapat membuat Ibnu Mu’ammar berpaling dan enggan untuk menolong dakwah Muhammad bin Abdul Wahab. Beberapa risalah Ibnu ‘Afaliq yang dikirim kepada Ibnu Mu’ammar dapat membungkam argumen-argumen Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh sebab itu, Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkannya.
- Abdullah Al Muwais (1175 H). Beliau seorang ahli fikih daerah Hurmah yang terletak ditengah-tengah kawasan Najd. Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Isa At Tamimi yang lebih dikenal dengan sebutan Al Muwaisi atau Al Muwais. Beliau termasuk deretan para pembesar ulama Najd, dan ini diakui juga oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Perjalanan keilmuan, beliau mulai dari daerah Najd kemudian mengembara ke daerah Syam untuk belajar kepada Syekh As Safarini. Dengan keluasan ilmu yang beliau memiliki, beliau dapat menyakinkan Abdullah bin Suhaim[94] untuk tidak mendukung dakwah yang diprakarsai oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh sebab itulah Sykeh Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkan beliau (lihat: ulama Najd 4/ 365).
- Abdullah bin Ahmad bin Suhaim (1175 H), seorang ulama ahli fikih di daerah Mujma’ah yang terletak di kawasan Al Qashim. Beliau adalah ahli fikih madzhab hambali yang bertugas sebagai qadli (hakim) di seluruh kawasan Sadir. Sebenarnya beliau tidak terlalu getol menolak dakwah sekte wahabi ini. Akan tetapi dipermasalahan keliaran dalam vonis kafir, beliau sangat menentang.
- Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Al Ahsai. Beliau termasuk deretan guru Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau juga termasuk dalam deretan para penentang dakwah wahabi ini[95].
Dan masih banyak lagi para ulama yang menentang dakwah wahabi ini, baik yang sezaman dengan Syekh Muhammad seperti yang sudah kami sebutkan di atas[1] ataupun para ulama setelahnya.
F. Neo-Khawarij dan Nubuwwah
Paparan di atas adalah sedikit gambaran sikap keberagamaan Syekh Ibnu Abdil Wahab dan para pengikutnya yang kelihatan sangat ekstrim dan cenderung menyalahi konsensus dakwah jumhur ulama. Dengan adanya sebuah sikap yang demikian ektrim, maka tidak heran jika para ulama sering menyebutnya sebagai neo-khawarij dalam masalah takfir, dan neo-mujassimah musyabbihah dalam masalah akidah.
Kesimpulan bahwa sebenarnya aliran wahabi ini merupakan neo-khawarij jauh hari sudah disinyalir oleh Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab dalam kitabnya “As Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiyyah”. Kesimpulan yang sama diambil oleh Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dalam “Ad Durar As Sunniyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiyyah”[97], Imam As Shawi dalam tafsirnya[98]. Juga Ibnu ‘Abidin dalam hasyiyahnya[99], serta Imam Abu Zahrah dalam tarikhnya[100]. Tidak mau ketinggalan ulama ahlussunnah kontemporer juga semakin meramekan untuk ikut-ikutan menstempel aliran wahabi ini dengan sebutan neo-khawarij, seperti DR. Abdullah Umar Kamil yang menulis risalah kecil bertajuk “Al Khawarij Al Judud”. Tidak mau ketinggalan Sayyid Muhammad Zaki Ibrahim juga menulis risalah kecil berjudul “As Salafiyyah Al Mu’ashirah Ila Aina? Wa Man Hum Ahlussunnah?”[101]. Dan masih banyak lagi.
Hal yang unik menggelitik adalah bahwa di sana juga ada tuduhan bahwa Syekh Ibnu Abdil Wahab ini sebenarnya menyimpan misi pengakuan dirinya sebagai nabi. Tuduhan ini bisa dikategorikan menjadi dua kelompok; (1) orang-orang yang menuduh bahwa IAW benar-benar mengaku sebagai nabi, dan (2) orang-orang yang mengatakan bahwa gerak-gerik IAW baik berupa pendapat maupun gerakannya seakan-akan ia sedang memposisikan layaknya seorang nabi. Kelompok pertama jelas tidak berdasar, karena IAW dengan sangat jelas menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi. Dalam hal ini IAW berkata: “Dan aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan para rasul. Tidaklah sah iman seorang hamba hingga ia beriman kepada risalahnya dan bersaksi akan kenabiannya”[102]. Sedangkan pendapat kelompok kedua bisa diterima karena memang nyatanya dari berbagai pendapat seperti yang telah dipaparkan, seakan-akan IAW memposisikan diri di tengah kaum muslimin layaknya posisi Nabi saw. di tengah kaum musyrikin Quraisy.
G. Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya kewajiban melestarikan ajaran Islam adalah tugas setiap insan muslim. Akan tetapi proses penyampaian ajaran itu harus melalui cara yang benar dan sesuai dengan wasathiyyah (kemoderatan) Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam klasik, tervonisnya sekte Khawarij bukan lantaran meninggalkan ibadah. Akan tetapi justru mereka berlebihan (ekstrim) dalam memahami Islam itu sendiri, sehingga kran toleransi dan kemoderatan Islam nyaris ditutup rapat. Bahkan spirit takfir terdasyat dalam sejarah islam klasik diperankan oleh aliran Khawarij ini.
Tentunya kita semua mengatahui betapa ngerinya vonis sesat yang disematkan kepada kaum Khawarij. Oleh sebab itu, para pengikut aliran wahabi seharusnya lebih kritis lagi dalam melihat pemahaman-pemahaman ektrim yang terkandung di dalam literatur-literatur wahabi, baik klasik maupun kontemporer. Demikian juga penulis tidak sepakat dengan ektrimisme yang juga diperagakan oleh sebagian kalangan sunni sehingga mengkafirkan aliran wahabi ini. Hal yang perlu kita yakini bersama bahwa Syekh Muhammad bin Abdil Wahab berpendapat dan berperilaku sedemikian rupa tidak lepas dari ijtihad beliau. Sepanjang pembacaan penulis, IAW tidak mempunyai kepentingan politis dalam dakwahnya melainkan hanya ingin membebaskan umat ini dari perbuatan yang ia anggap sebuah kesyirikan.
Kewajiban kita sebagai generasi sekarang adalah belajar dari semangat IAW dalam menyerukan umat ini untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman salaf shaleh. Semangat ini tentunya harus terus menyala dalam sanubari setiap generasi muslim. Namun hal itu jangan hanya berhenti pada tataran semangat, melainkan harus dipahami dengan seksama dan merujuk kepada keterangan para ulama. Demikian juga bagi para pengikut aliran wahabi ini seyogyanya tidak menutup diri untuk lebih meluaskan bacaan sehingga bisa keluar dari kubangan fanatik buta yang hal ini sangat dibenci oleh IAW itu sendiri. Taklid adalah sikap yang paling diperangi oleh IAW, akan tetapi entah mengapa para pengikutnya justu bertaqlid buta kepadanya. Bahkan para pengikutnya pun memberikan berbagai gelar kepada IAW, seperti imam dan syaikhul islam. Lebih unik lagi, IAW mendapat gelar yang belum pernah disandang oleh para ulama bahkan oleh para sahabat sekalipun, yaitu Imam Tauhid. Penulis tidak mengetahui apakah gelar terakhir itu juga pernah disandang oleh Nabi saw.. Tentunya hal ini bentuk ghuluww kepada seorang ulama yang mana sikap ini begitu getol diperangi oleh IAW.
Karena keterbatasan spaces, maka penulis cukupkan pembahasan tema yang sangat luas ini dalam beberapa paragraf singkat di atas. Semoga pembahasan singkat ini dapat menjadi bahan kajian serius, baik bagi orang-orang yang sedang berada dalam posisi membela aliran wahabi maupun mereka yang menolak dakwah ini.
Wa salamun limanittaba’al Huda..!!!
Allahummah dina wahdi bina waj’alna sababan limanih tada!!
[1] Istilah “Wahabi” ini digugat oleh para pengikut aliran wahabi kontemporer, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan salafi. Berbagai alasan telah ditulis dan dikemukan oleh para punggawa wahabi salafi kontemporer mengenai penisbatan gerakan dakwah ini kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Sebenarnya, penolakan ini hanyalah merupakan upaya pelarian agar madzhab mereka tidak terkesan berhenti pada sosok Muhammad bin Abdul Wahab saja. Karena di beberapa kesempatan, mereka mengeklaim bahwa dakwah mereka adalah dakwah Nabi saw. pun juga dakwah seluruh nabi hingga nabi Adam a.s.. Jika penamaan “wahabi” ini berhasil mereka hapus dari ingatan kaum muslimin, maka dengan mudah mereka akan mampu mentasbihkan diri sebagai representasi yang paling absah dari generasi salaf, atau bahkan dari agama Islam itu sendiri. Oleh karenanya, saat ini, dengan bermandikan keringat mereka berupaya sekuat tenaga untuk mempropagandakan nama baru bagi kelompok mereka dengan sebutan yang lebih elegan; salafi.
Dalam upaya menghapus nama wahabi ini, para pengikut menyatakan bahwa dari segi penamaan saja sudah salah. Orang yang mempelopori gerakan dakwah ini bernama Muhammad bukan Abdul Wahab, mengapa penisbatannya wahabiyah dan bukannya malah muhammadiyah?. Tentunya pernyataan dan pertanyaan semacam ini terkesan lucu dalam pandangan para Thalibul Ilmi dan para ulama. Sebab dalam tradisi arab, penisbatan bukan kepada nama asli pendiri sebuah madzhab itu sudah biasa. Seseorang dikatakan Syafi’i ketika dia berkiblat pemahaman fikihnya kepada Imam Syafi’I, meskipun nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris. Begitu juga penisbatan seperti Hambali, Hanafi, Asy’ari dll. Lebih lucu lagi, mereka mewanti-wanti kaum muslimin yang menghina kelompok wahabi ini. Karena, menurut mereka wahabi adalah penisbatan kepada “Al Wahhab” yang merupakan salah satu nama Allah swt.. Pernyataan yang terlalu dipaksakan ini sungguh sangat menggelikan. Karena tidak satu pun kaum muslimin bermaksud menisbatkan sekte yang lahir 3 abad silam kepada Dzat Yang Maha Agung dan Mulia, Allah swt.. Bahkan logika semacam ini pun tidak pernah dipakai oleh kelompok manapun selain wahabi ini. Madzhab adz Dzahiri yang dipelopori oleh Daud adz Dzahiri tidak pernah mewanti-wanti lawan madzhabnya, meskipun salah satu nama Allah adalah Adz Dzahir. Penolakan penisbatan ulama wahabi kontemporer ini mengakibatkan pergantian nama dari wahabi ke salafi. Oleh sebab itu, golongan salafi yang sedang menjamur sekarang ini, tidak lain adalah generasi penerus dari gerakan dakwah wahabi yang sudah dikenal semenjak kurang lebih 3 abad yang silam. Penggunaan istilah salafi ini telah mendapat vonis bid’ah dari Al Allamah DR. Muhammad Said Ramadhan Al Buthi dalam kitab beliau “As Salafiah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Laa Madzhabun Islamiyyun” (lihat hal: 221).
Sebenarnya kalau kita lacak lebih jauh, penamaan aliran ini dengan nama “wahabi” sudah diterima dengan bangga oleh para pengikut wahabi generasi awal. Bahkan Sulaiman bin Sahman an Najdi salah satu pelopor kelompok ini menulis sebuah kitab dengan judul “Al Hadiyyah As Saniyyah Wa At Tuhfah Al Wahabiyyah An Najdiyyah”, judul kitab tersebut sudah sangat jelas menggunakan diksi atau istilah wahabiyah. Hal ini juga diamini oleh para pengikut yang lainnya semisal Muhammad bin Abdul Lathif, Hamid Al Faqihi, Muhammad Rasyid Ridlo, Abdullah Al Qosimi, Sulaiman Ad Dakhil, Ahmad bin Hajar Abu Thami, Mas’ud An Nadawi, Ibrahim bin Ubaid dan lainnya. Hanya saja, Hamid al Faqihi memberi tawaran istilah yang menurutnya lebih pas untuk para pengikut dakwah Ibnu Abdil Wahab ini, yaitu dengan sebutan “ad Dakwah al Muhammadiyah”. Tawaran ini pun diamini oleh Shaleh Fauzan saat mengkritik Syekh Abu Zahrah yang menggunakan istilah wahabi dan memasukkannya dalam daftar kelompok-kelompok baru (al Firaq al Haditsah). Jadi dari segi penerimaan istilah wahabi ini telah terjadi perbedaan presepsi antara generasi awal dan akhir. Akan tetapi kitab karangan Sulaiman bin Sahman adalah satu bukti konkrit dan bantahan atas para pengikut dakwah wahabi yang enggan untuk disebutk wahabi.
[2] Ad Daulah Al Utsmaniyyah, hal: 375-376. Tarikh Najd:, hal: 81.
[3] Lih: Tarikh Najd Ibnu Ghannam, hal: 13-14.
[4] Ibid: 13.
[5] Lihat: Al Maqaalaat As Sunniyyah, hal: 56.
[6] Lih: Al Maqalaat As Saniyyah, hal: 51.
[7] Lihat: Da’awa Munaafi`iin, karya Abdul Aziz Muhammad bin Ali al Abd al Lathif, hal: 5. Kitab ini merupakan disertasi doctoral di Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud al Islamiah Riyadl. Kitab ini ditulis untuk mencoba mengcounter permasalahan-permasalahan yang acap kali disematkan kepada Muhammad dan para pengikutnya.
[8] Lihat: Daiyan Walaisa Nabiyyan, hal: 82. Dalam perkataannya ini jelas terdapat takfir kepada para ulama sebelum IAW. Karena orang yang tidak mengetahui makna laa ilaha illah dan agama Islam sudah pasti ia adalah orang kafir.
[9] Mengenai polemik masalah pengakuan Ibnu Abdil Wahab menjadi nabi akan penulis bahas dalam sub pembahasan tersendiri.
[11] Ibid, hal: 130.
[12] Lihat: Tarikh Ali Sa’ud, hal: 9.
[13] Al Maqâlât Al Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128.
[14] Ibid, hal: 129.
[15] Sejarawan wahabi yang bernama Ibnu Ghannam dalam tarikhnya menyebutkan ada sekitar 300 perang lebih yang terjadi. Di setiap perang tersebut Ibnu Ghannam berkata, “Di tahun ini kaum muslimin memerangi kaum kafir”. Perlu dicatat bahwa itu sebenarnya adalah perang antara kaum wahabi dengan kaum muslimin yang tidak seideologi dengan mereka.
[16] Lihat: Daa’iyan Walaisa Nabiyyan, hal: 133.
[17] Lihat: Da’aawa al Munaawi`iin, hal: 163. Komentar Ibnu Afaliq itu kiranya tidak berlebihan mengingat dalam “Al Qawaaid Al Arba’ah” Ibnu Abdil Wahab pernah menyatakan pada kaedah yang keempat, “Sesungguhnya kaum musyrikin di zaman kita lebih parah kesyirikannya dibandingkan kaum musyrikin terdahulu” (al Qawaaid Al Arba’ah: 47). Perlu dicatat bahwa yang ia maksud dengan kaum musyrikin di zamannya itu adalah kaum muslimin yang tidak seideologi dengannya.
[18] Ibid: 164.
[19] Ibid: 166.
[20] Ibid: 166-167. Pernyataan Syekh Sulaiman dan Syekh Ustman tersebut merupakan “Ilzaam” atau konsekwensi logis dari berbagai persyaratan njelimet yang disyaratkan oleh IAW untuk kriteria seorang muslim dalam pandangannya. Karena tentunya IAW tidak mungkin mengatakan bahwa rukun Islam ada enam.
[21] Kasyfu asy Syubhat, hal: 49.
[22] Kasyfu asy Syubhaat, hal: 49-50.
[23] Ibid: 53.
[24] Ibid: 66-67.
[25] Lihat: Dâ’iyah Walaisa Nabiyyan, hal: 82
[26] Ibid, hal: 83.
[27] Ibid, hal: 84. Dalam komentarnya Syekh Hasan menjelaskan bahwa Muhammad bin Fairuz adalah ulama pengikut madzhab Hambali, dan dia banyak taklid kepada pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Hal ini juga diakui oleh IAW sendiri bahwa Ibnu Fairuz adalah seorang ulama dari kalangan madzhab Hambali yang taqlid buta kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Jika seorang ulama madzhab Hambali yang bertaklid kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim saja tidak dapat dikatakan telah masuk Islam, maka bagaimana dengan lainnya??. Bahkan ditempat yang lain IAW secara terang-terangan memvonis Ibnu Fairuz bahwa dia telah kafir dengan kekafiran besar yang membuatnya keluar dari agama Islam (Ad Durar As Sunniyah: 10/ 63).
[28] Kasyfu Syubhat, hal: 54.
[29] Lihat: Daa’iyah Walaisa Nabiyyan, hal: (108- 111).
[30] Ibid, hal: 137.
[31] Ibid, hal: 113- 114.
[32] Ibid, hal: 124. Fenomena saling memvonis ahli bid’ah, fasik, sesat, bahkan kafir, sekarang ini sedang panas-panasnya dalam intern aliran wahabi. Dari sekian fenomena yang ada, nampaknya pemvonisan sesat dan ahli bid’ah Rabi’ Madkhli terhadap Bakar Abu Zaid menjadi fenomena ternyaring dalam wacana kewahabian. Persetruan keduanya terjadi akibat perbedaan presepsi tentang menghukumi Sayyid Qutub. Bakar Abu Zaid cenderung membelanya, sedangkan Rabi’ Madkhali dengan tanpa ampun harus memvonis Sayyid Qutub sesat. Bahkan tidak tanggung-tanggung Bakar Abu Zaid yang membelanyapun harus menerima vonis yang sama. Pemvonisan Rabi’ Madkhali terhadap Bakar Abu Zaid ini dapat dibaca dalam kitab beliau yang berjudul “Al Haddul Fasil Bainal Haq Wal Bathil”. Manhaj takfiri yang diperankan oleh Rabi’ Madkahli ini dapat respon balik dari sesama wahabinya Shaleh bin Abdul Lathif An Najdi dalam risalah kecilnya yang berjudul “Ar Raddul Jali ‘Ala Rabi’ Al Madkhali”. Begitu juga kasus yang terjadi pada Syekh Abdullah bin Abdur Rahman Al Jibrin yang juga termasuk pengikut aliran wahabi. Pasca beliau membela Hasan Al Banna, Sayyid Qutub dan Abdur Rahman Abdul Khaliq serta mengkritik Rabi’ Al Madkhali, beliau mendapat sebuah kritikan yang sangat pedas dari Syekh Abdullah bin Shafiq Adz Dzafiri dalam bukunya yang bertajuk “Malhudzat Wa Tanbihat”. Buku ini diberi pengantar oleh Syekh ‘Ubaid bin Abdullah Al Jabiri salah seorang mantan dosen di Madinah University.
[33] Ini disimpulkan dari istilah yang menyebar di kalangan umum. Sedangkan para pengikut Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq di Kuwait, pengikut Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin tidak tertata secara istansi atau kelompok tersendiri, mereka bisa diterima oleh semua kalangan dan pengikut aliran wahabi lainnya.
[34] Ini bukan berarti sempalan yang lain terbebas dari budaya takfir ini. Hanya saja budaya itu terlihat dengan jelas dan sangat liar di sempalan Jamiyyun/ madkhaliyyun ini.
[35] Khusus mengenai vonis sesat terhadap Ibnu Hajar ini ada sebuah buku kecil yang mencoba mengkritisi satu per satu kesalahan akidah Ibnu Hajar. Buku ini diberi judul “Akhta’ Fathil Bari Fil Aqidah” (kesalahan-kesalahan kitab Fathul Bari dari segi akidah). Buku ini disusun oleh Abu Yusuf bin Yahya Al Marzuqi dari dua risalah pelopor wahabi Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ad Duwaisy dan Abdullah bin Sa’di Al Ghamidi Al ‘Abdali. Juga ditambahkan komentar dua pelopor wahabi lainnya Abdul Aziz bin Baz dan Muhibbuddin Al Khathib. Pada risalah pertama tertera sebuah statemen takfir terhadap Ibnu Hajar yang berbunyi: “Al Akhtha’ Al Asasiyah Fil Aqidah Wa Tauhidil Uluhiyyah Min Kitab Fathil Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari” (Kesalahan-kesalahan prinsip dalam hal akidah dan tauhid uluhiyah dari kitab Fathul Bari syarah Shahih Bukhari) [lihat: Akhtha, hal: 3]. Sudah jamak diketahui bahwa dalam kredo bangunan ideologi wahabi akidah dibagi menjadi 3; rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat. Orang kafir Quraisy dalam pandangan mereka mempunyai atau percaya dengan akidah rububiyah (percaya Allah sebagai Tuhan), namun mengingkari akidah uluhiyyah (menyembah Allah) dan asma’ wa sifat (mengimani nama dan sifat Allah). Dari kredo dasar ideologi ini berarti jika Ibnu Hajar sudah salah pada dasar-dasar akidah uluhiyyah, maka dapat dikatakan beliau tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir Quraisy di zaman Nabi Saw. Dan hal ini jelas merupakan pangkafiran terhadap Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani.
[36] Disarikan dari kitab “As Shahwah Al Islamiyah Minal Murahaqah Ilar Rusyd”, hal: 203- 204.
[37] Lihat: Fadhaihul Wahabiyyah, hal: 19-26.
[38] Lihat komentar Bin Baz atas Fathul Bari (2/ 704).
[39] Dia adalah salah seorang alumni Syekh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Yaman. Dia belajar selama 6 tahun kepada Syekh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hingga Syekh Muqbil meninggal dunia.
[40] Kami ambil nukilan ini dari buku “siapa teroris? Siapa khawarij?” hal: 168, yang mana sang penulis buku tersebut langsung menukil dari buku aslinya “Mereka Adalah Teroris” hal: 422.
[41] Perlu penulis sedikit informasikan di sini bahwa syarah akidah thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz ini telah banyak mereduksi isi dari matan akidah thahawiyah itu sendiri. Akidah Thahawiyah adalah akidah yang sangat representatif dalam menjelaskan akidah salaf atau ahlussunnah wal jama’ah. Hal ini telah disepakati oleh para ulama ahlussunnah wal jama’ah. Namun terkhusus syarahnya yang dikarang Ibnu Abil ‘Izz tersebut para ulama Ahlussunnah tidak sepakat, bahkan membantahnya.
[42] Biasanya dalam menyeret orang-orang yang bertawassul untuk disamakan dengan kaum kafir quraisy, kalangan wahabi menyetir dan mempelintir ayat yang berbunyi “Mâ Na’buduhum Illa Li yuqarribunâ Ilallahi Zulfâ”. Padahal di ayat tersebut sudah sangat jelas, bahwa orang-orang kafir quraisy itu bukan hanya bertawassul, akan tetapi sudah berikrar menyembah (na’buduhum) patung-patung tersebut. Sedangkan kaum muslimin dalam bertawassul sama sekali tidak menyembah Nabi atau orang-orang shaleh yang dibuat tawassul. Dan perbuatan tawassul mempunyai landasan syar’I yang kuat sebagaimana banyak dijelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf. Untuk lebih jelas mengenai hal ini dapat dirujuk kitab-kitab tafsir, seperti tafsir Al Quran Al Adzim karya Al Hafidz Ibnu katsir (1/ 508- 509), Al Jami’ Li Ahkamil Quran karya Al Imam Al Qurthubi (5/ 232- 233) tepatnya dalam mentafsiri ayat ke 64 dari surat An Nisa’. Di sana disebutkan kisah tentang seorang baduwi yang datang ke makam Rasul dan bertawassul dengan beliau. Begitu juga kisah tawassul seorang sahabat yang bernama Bilal bin Harist Al Muzni pada saat terjadi paceklik di masa Umar (Fathul Bari: 2/ 704), (Al Bidayah Wa An Nihayah: 7/ 86- 87), dan masih banyak lagi dalil-dalil tentang tawassul ini. Namun menurut ulama kontemporer semisal Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki dan Syekh Yusuf Al Qaradlawi, sebenarnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab tidak mengingkari beberapa permasalahan yang selama ini dituduhkan kepadanya, seperti pengingkaran terhadap tawassul. Dalam kitab “Mafahim Yajibu an Tushahhah” Sayyid Muhammad menukil sebuah pernyataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa dia tidak mengingkari tawassul. Teks serupa juga dinukil oleh Syekh Yusuf Al Qardlawi dalam fushulnya (lih: 265) . Akan tetapi, seorang ulama asal Saudi Arabiyah yang bernama Syekh Hasan bin Farhan mencoba meneliti lebih jauh tentang butir-butir pemikiran pelopor wahabi tersebut. Di akhir pembahasannya beliau menyatakan bahwa telah terjadi banyak “tanaqudhot” (kontradiksi) dalam alur pemikiran dan keputusan sikap keagamaan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Kontradiksi tersebut kembali kepada keempat kemungkinan sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya.
[43] Lihat: Da’aawa Munaawi`iin: 114.
[44] Penulis kurang sepakat dengan istilah “isbat” (menetapkan) ini. Karena hal ini mengesankan bahwa kalangan ahlussunnah yang memakai metode takwil maupun tafwidl tidak menetapkan sifat-sifat khabariyah (asma` sifat) tersebut. Sejati ketiga metode tersebut sama-sama menetapkan, akan tetapi cara penetapannya saja yang berbeda. Metode isbat menetapkan sifat dengan makna zhahir lughawi, atau makna yang sesuai dengan kamus. Sedangkan metode takwil menetapkan sifat dengan makna majazi, dan metode tafwidl menetapkan sifat dengan makna yang hanya diketahui oleh Allah.
[45] Lihat: Al Burhan Fi ‘Ulumil Quran, hal: 376.
[46] Lihat: Al Itqan Fi ‘Ulumil Quran (3/ 12).
[47] Lihat: Manahilul ‘Irfan (2/ 238).
[48] Lihat: Al Asma’ Wa Sifat, hal: 446. Beliau (Imam Al Baihaqi) menukil klasifikasi itu dari Imam Al Khattabi dalam kitab Ma’alim Sunannya.
[49] Lihat: Muqaddimah Fathul Bari (Hadyus Sari), hal: 220.
[50] Lihat: Al Muwafaqat Fi Usulis Syari’ah (3/ 77).
[51] Lihat: Muqaddimah Ibnu Khaladun hal: 568.
[52] Lihat: Sunan At Turmudzi (4/ 692).
[53] Lihat: Siyar A’lam Nubala’ (8/ 105).
[54] Lihat: Asma’ Wa Sifat, hal: 410- 411.
[55] Lihat: Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an (1/ 250).
[56] Lihat: Al Burhan Fi ‘Ulumil Quran, hal: 376.
[57] Lihat: Al I’tisham, hal: 555-562.
[58] Lihat: Majmu’atul Fatawa Ibnu Taimiyyah, bagian Al Asma’ Was Sifat (5/ 10).
[59] Lihat: Daru Ta’arudlil ‘Aqli Wan Naql (1/ 180).
[60] Penisbatan kepada Jahm bin Shafwan, pimpinan madzhab Jahmiyah yang mengatakan Quran itu adalah mahkluk.
[61] Lihat: Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi (6/ 383), Majmu’ Syarah Muhadzdzab Imam Nawawi (lihat juz 1 bab aqsâm ilmi asy syar’i).
[62] Doa beliau berbunyi “Allahumma ‘Allimhu Kitab” (lihat: Fathul Bari: 1/ 248).
[63] Lihat: Tafsir Thabari (14/46).
[64] Lihat: Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi (6/ 383). Sebelum Imam Nawawi ternyata jauh hari Ibnu Abdil Bar salah satu ahli hadis terkemuka dalam madzhab Maliki menukil riwayat ini dalam kitabnya At Tamhid (7/ 143). Dan hal ini juga dinukil oleh Imam Adz Dzahabi dalam siyar (8/ 105).
[65] Lihat: Al Bidayah Wa An Nihayah (10/ 354). Imam Al Baihaqi mengomentari sanad riwayat ini dengan perkataan “Lâ ghubâra ‘alaih” (tidak ada masalah).
[66] Lihat: Fathul Bari (8/ 501).
[67] Lihat: Al Asma’ Wa As Sifat, hal: 459.
[68] Perlu diketahui dalam akidah ahlussunnah wal jama’ah ada sebuah konsensus bahwa Allah Swt tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
[69] Lihat: Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi (5/ 197).
[70] Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmizi (9/ 152- 154).
[71] Lihat: Majmu’atul Fatawa Ibni Taimiyyah (6/ 343). Para pengikut Wahabi kontemporer juga gemar memvonis para ulama ahlussunnah dengan istilah kaum Jahmiyyah, Mu’aththilah dll. Hal ini memang mereka warisi dari moyang mereka; Ibnu Taimiyyah, yang baru muncul di abad ke- 7 H jauh setelah Imam At Tirmidzi.
[73] Lihat: Syarah Shahih Muslim (6/ 383).
[74] Lihat: Lum’atul I’tiqad, hal: 15.
[75] Lihat: Al I’tiqad, hal: 89.
[76] Lihat: Majmu’ Rasail Imam Al Ghazali, bagian kitab Qowaidul ‘Aqaid Fi Tauhid, hal: 161.
[77] Lihat: Iljâmul ‘Awwam ‘an Ilmil Kalam, hal: 31- 69.
[78] Lihat: Asasus Taqdis, hal: 207.
[79] Lihat: Ma’alim Fi Usuliddin, hal: 44.
[80] Lihat: Kitabul Arba’in, hal: 112-113.
[81] Lihat: Siyar A’lam Nubala (8/ 105).
[82] Lihat: Al Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an (3/ 12).
[83] Lihat: Tarikh Al Madzahib Al Islamiyyah, hal: 213.
[84] Lihat: Tabyin Kadzbil Muftari, hal: 97.
[85] Lihat: Husnul Maqshid Fi ‘Amalil Maulid, hal: 52.
[86] Perkataan Sayydina Umar itu berbunyi “Nikmatil Bid’ah Hadzih” (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).
[87] Lihat: Hadis Bukhari no: 2010, Fathul Bari (4/ 358).
[88] Lihat: An Nihayah Fi Gharibil Hadis (1/ 106- 107).
[89] Lihat: Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari (11/ 126).
[90] Lihat: Fathul Bari (4/ 362).
[91] Lihat: Syarah Karmani (9/ 154).
[92] Lihat: Qawaidul Ahkam (2/ 133).
[93] Lihat: Tahdibul Asma’ Wal Lughah (3/ 22-23), Syarah Shahih Muslim (6/ 470).
[94] Perlu menjadi catatan bahwa sebelum Ibnu Suhaim berada dalam barisan para ulama yang menentang dakwah wahabi, beliau termasuk para pendukung setia dakwah tersebut.
[95] Lihat: Daiyah Walaisa Nabiyyan, hal: 127- 133.
[96] Selain nama-nama yang sudah kami sebutkan ada deretan nama lain seperti Muhammad bin Abdullah bin Fairuz Al Ahsai (1216 H), Muhammad bin Ali bin Salum, ‘Utsman bin Mansur An Nashiri, Muhammad bin Sulaiman Al Kurdi, Utsman bin Sanad Al Bashri, Mirbad bin Ahmad At Tamimi, Saif bin Ahmad Al ‘Athiqi, Shaleh bin Abdullah Ash Shâig, Ahmad bin Ali Al Qabbani, Abdullah bin Dawud Az Zubairi, Alawi bin Ahmad Al Haddad Al Hadrami, Umar bin Qasim bin Mahjub At Tunisi, Muhammad bin Abdullah bin Kairan Al Magribi, Muhammad bin Abdullah bin Humaid, Abdul Aziz bin Abdur Rahman bin ‘Adwan, Hasan bin Umar Asy Syiththi Ad Dimasyqi dll. (lihat: ibid).
[97] Lihat: Ad Durar As Sunniyyah, hal 169- 187.
[98] Ini sebagaimana yang dinukil oleh Syekh Abdullah Harari dalam maqalatnya. Lihat: Al Maqalat As Sunniyyah, hal: 58.
[99] Lihat: Raddu Al Muhtar (4/ 262).
[100] Lihat: Tarikh Al Madzahib Al Islamiyyah, hal: 212.
[101] Lihat: As Salafiyyah Al Mu’ashirah Ila Aina, hal 7- 8.
[102] Lihat: Da’awaa Munaawi`iin, hal: 78.
Daftar Pustaka
1- Al Quran Al Karim
2- Tafsir At Thabari, karya Imam At Thabari, cet. Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
3- Tafsir Al Quran Al Adzim, karya Al Hafidz Ibnu Katsir, cet. Muassasatul Mukhtar. Kairo- Mesir.
4- Al Jami’ Li Ahkamil Quran, karya Imam Al Qurthubi, cet. Al Maktabah At Taufiqiyah. Kairo- Mesir.
5- Al Burhan Fi ‘Ulumil Quran, karya Imam Az Zarkasyi, cet. Darul Hadis. Kairo- Mesir.
6- Al Itqan Fi ‘Ulumil Quran, karya Al Imam Al Hafidz Jalaluddin As Suyuthi, cet. Maktabah Darut Turast. Kairo- Mesir.
7- Manahilul ‘Irfan Fi ‘Ulumil Quran, karya Syekh Muhammad Abdul Adzim Az Zurqani, cet. Darul Hadis. Kairo- Mesir.
8- Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi, cet. Darul Manar. Kairo- Mesir.
9- An Nihayah Fi Ghoribil Hadis Wal Atsar, karya Imam Ibnu Atsir. Cet Daru Ihyâil Kutub Al ‘Arabiyah Isa Baby Halaby.
10- Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Qalani, cet. Dar Misr Lit Thiba’ah. Kairo- Mesir.
11- Shahih Bukhari Syarah Karmani, Karya Imam Karmani. Cet Daru Ihyâ Turâst Al ‘Arabi, Beirut- Libanon.
12- ‘Umdatul Qori Syarah Shahih Bukhari, Karya Imam Al Aini. Cet Darul Fikr, Beirut- Libanon.
13- Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, karya Imam Al Mubarak Furi, cet. Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
14- Majmu’ Syarah Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, cet. Darul Kutub Al Ilmiah. Beirut- Lebanon.
15- Majmu’atul Fatawa Ibn Taimiyyah, takhrij ‘Amir Jazzâr dan Anwar Baz, cet. Darul Wafa. Kairo- Mesir.
16- Al Muwafaqat Fi Usulisy Syari’ah, karya Al Imam Asy Syathibi, cet. Al Maktabah At Taufiqiyyah. Kairo- Mesir.
17- Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam, karya Imam Izz bin Abdus Salam, cet. Darul Bayan El Araby, Kairo- Mesir.
18- Tahdibul Asma’ Wal Lughât, karya Imam Nawawi. Cet Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut- Libanon.
19- Muqaddimah Ibni Khaldun, karya Abdurrahman ibnu Khaldun, cet. Darul Fajr. Kairo- Mesir.
20- Siyar A’lam Nubala, karya Al Imam Adz Dzahabi, cet. Al Muassasah Ar Risalah.
21- Al Bidayah Wa An Nihayah, karya Al Hafidz Ibnu Katsir, cet. Darul Hadis. Kairo- Mesir.
22- Tarikh Ali Sa’ud, karya Nashir as Sa’dy, cet.______________.
23- Tarikh Najd, karya Ibnu Ghannam, cet. Dar Syuruq. Beirut. Cetakan IV 1994.
24- Ad Daulah Al Utsmaniyyah; Awaamil an Nuhuud Wa Asbaab as Suquuth, karya DR. Ali Muhammad Muhammad Ash Shalaby, cet. Maktabah Bait as Salam. Riyadl- Saudi Arabiah.
25- Tarikh Al Madzahib Al Islamiyyah, karya Imam Abu Zahrah, cet. Darul Fikr Arabi. Kairo- Mesir.
26- Tabyin Kadzbil Muftari Fima Nusiba Ila Imam Abil Hasan Al Asya’ri, cet. Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
27- Lum’atul I’tiqad Al Hadi Ila Sabilir Rasyad, karya Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi, cet. Maktabah Al Ilmi. Kairo- Mesir.
28- Al I’tiqôd wal Hidayah Ila Sabîlir Rasyâd ‘Ala Madzhabis Salaf Wa Ashâbil Hadist, karya Imam Al Baihaqi cet. Dârel Kitab el ‘Arabi.
29- Majmu’ Rasail Imam Al Ghozali, cet. Darul Fikr, Beirut- Libanon. Cetakan pertama 2006.
30- Iljâmul ‘Awwam ‘An ‘Ilmil Kalâm. Karya Imam Al Ghozali. Cet. Darul Haram Li At Turast. Kairo- Mesir. Cetakan pertama mei 2004.
31- Kitâb al Arba’in Fi Usuluddin, karya Imam Fakhruddin Ar Rozi cet. Dârul Jîl- Beirut- Lebanon.
32- Ma’alim Fi Usuluddin, karya Imam Fakhruddin Ar Rozi cet. Al Maktabah al Azhariyah Lit Turâst. Kairo- Mesir
33- Asâsus Taqdîs, karya Imam Fakhruddin Ar Rozi cet. Dârul Jîl- Beirut- Lebanon.
34- Al Asma’ Wa Sifat, karya Al Imam Al Hafidz Abu Bakr Al Baihaqi, cet. Darul Hadis. Kairo- Mesir.
35- Al I’tisham, karya Imam Asy Syatibi, cet. Darul Bayan. Kairo- Mesir.
36- ‘Inayatul Malik Abdul Aziz Bil Aqidah As Salafiah Wa Difa’I ‘Anha, karya DR. Muhammad bin Abdurahman Al Khumayyis, cet.___________
37- Kasyfus Syubhât, karya Muhammad bin Abdul Wahab, cet. Darus Salam. Kairo- Mesir.
38- As Shahwah Al Islamiyah Minal Murahaqah Ilar Rusyd, karya DR. Yusuf Al Qaradhawi, cet. Darus Syuruq. Kairo- Mesir.
39- Akhthau Fathil Bari Fil Aqidah, karya Abu Yusuf ibn Yahya Al Marzuqi, cet. Maktabah Asadus Sunnah. Kairo- Mesir.
40- Al Haddul Fasil Bainal Haq Wal Bathil, karya Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, cet _________.
41- Ar Raddul Jali ‘Ala Rabi’ Al Madkhali, karya Shaleh Abdul Lathif An Najdi, cet. Darul Haramain. Kairo-Mesir.
42- Malhudzat Wa Tanbihat, karya Abdullah bin Shalfiq Adz Dzafiri, cet. Darul Minhaj. Kairo- Mesir.
43- As Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Lâ Madzhabun Islamiyyun, karya DR. Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, cet. Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
44- Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, karya Abduh Zulfidar Akaha, cet. Pustaka Al Kautsar. Jakarta- Indonesia.
45- Al Maqâlât As Sunniyyah, karya Syekh Abdullah Al Harari, cet. Darul Masyari’ (2004).
46- Husnul Maqshid Fi ‘Amalil Maulid, karya Imam Suyuthi. Cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut- Libanon.
47- As Showaiq Al Ilahiyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiah, karya Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab, cet. ___________________
48- Al Maqâlât Al Wafiyyah, karya Syekh Hasan Khazbik, cet._______________
49- Fushulun Fil Aqidah Baina Salaf Wal Khalaf, karya DR. Yusuf Al Qaradlawi, cet. Maktabah Wahbah. Kairo- Mesir.
50- Daiyah Walaisa Nabiyyan, karya Syekh Hasan bin Farhan, cet. Dar er Rozi. Aman- Yordania.
51- Ad Durar As Sunniyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiyyah, karya Sayyid Ahmad bin Sayyid Zaini Dahlan, cet. Darul Jawami’ul Kalim. Kairo- Mesir.
52- As Salafiyyah Al Mu’ashirah Ila Aina? Wa Man Hum Ahlussunnah?, karya Sayyid Muhammad Zaki Ibrahim,cet. Muassasah Ihyaut Turast As Shufi. Kairo- Mesir.
53- Raddu Al Muhtar ‘Ala Ad Durri Al Mukhtar, karya Imam Ibnu ‘Abidin, cet. Maktabah Musthafa Al Babi Al Halaby. Kairo- Mesir.
54- Fadhaihul Wahabiyyah, karya Syekh Abul Fadlail Abdul Ghani Ar Rifa’I, cet. Darul Masyari’. Yordania.
55- Da’aawa al Munaawi`iin, karya Abdul Aziz Muhammad bin Ali al Abd al Lathif, cet. Dar Theebah. Riyadl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar