oleh : sufimedan.blogspot.com
Mar 31
Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan ta'zhim saya kepada Imam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah, seorang imam yang agung, kritikus nomor wahid di zamannya, imamnya para pengikut mazhab salaf yang murni, gudang khazanah keilmuan bagi generasi khalaf yang terus mengikuti, semoga Allah terus mencurahkan rahmat dan karomat kepada maqomnya yang suci. Izinkanlah al-faqir untuk menulis sedikit perihal tentang keagungan engkau ya Imam, walaupun dari sudut pandang yang sedikit agak berbeda, sudut pandang seorang dhoif dan faqir yang lagi mencari.
Dari judul di atas, jangan Saudara-saudaraku terburu-buru memahami bahwa saya telah berdusta sebab nanti anda akan temukan perkataan-perkataan beberapa ulama sebelum Ibnu Taimiyah yang telah lebih dahulu juga mengatakan bahwa Allah di langit atau di atas 'arasy.
Pertama, anda harus mengecek perkataan tersebut riwayatnya, baik secara sanad maupun matan. Sebab sekarang banyak sekali nukilan-nukilan palsu yang tidak bertanggung jawab, atau nukilan-nukilan tersebut adalah riwayat-riwayat yang sangat lemah, atau pun riwayat yang kuat, hanya saja pemahaman orang-orang belakangan tersalah dalam memahami teks perkataan para ulama tersebut. Toh kalaupun ada ulama yang mengucapkan perkataan: "Allah di atas langit atau Allah di atas 'arasy" maka mereka tidak mengucapkannya kecuali 'ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh alquran: ar-Rahmanu alal arsyis tawa atau a'amintum man fis sama'. Tidak lebih lebih dari itu; yaitu tidak memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya (itsbatul ma'na) bahwa Allah bertempat di langit atau di atas arasy.
Seperti riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata:
“Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”
Sebelum jauh mengecek kebenarannya secara dirayah (matan), maka ceklah secara riwayat (sanad). Ternyata riwayat ini adalah riwayat yang sama sekali tidak benar sebab ghoiru tsabit. Jika kita lihat di dalam kitab-kitab Adh-Dhu'afa', Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis”.[1]
Kalau sudah menemukan kelemahan pada sanad, maka tak perlulah kita berjalan lebih jauh mengecek matannya, sebab riwayat ini sudah batal dengan sendirinya, terlebih untuk masalah ushul aqidah seperti ini, lebih dipantangkan lagi kita menggunakan riwayat-riwayat yang dhoif, sebab dalam perkara aqidah, harus menggunakan dalil-dalil yang mutawatir, bukan riwayat dhoif perkataan seorang imam.
Saya tambah satu contoh yang lain. Imam Abu Hanifah misalkan. Kelak anda akan menemukan nukilan-nukilan yang disalahgunakan maknanya. Seperti perkataan Imam Abu Hanifah di bawah ini:
Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna “Istawa”, beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir."[2]
Nah riwayat ini kuat, sekarang kita cek matannya, apakah mungkin seorang Imam Besar ini berkeyakinan bahwa Allah bertempat?! Simak perkataan beliau di bawah ini:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” .[3]
Dari perkataan sang imam bahwa "Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan" saja sudah dapat kita simpulkan bahwa Imam meyakini bahwa Allah tidak bertempat karena tempat adalah salah satu sifat daripada sifat-sifat makhluk. Belum lagi jika ditambah dengan perkataan-perkataan Imam Abu Hanifah yang lainnya yang masih banyak, seperti di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”. tapi saya kira cukup beberapa ini saja, mengingat kalau semua perkataan Imam dituliskan di sini, maka akan sangat memakan tempat. Lalu apakah Imam Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai pendirian yang berubah-ubah?! Tentu tidak, artinya perlu kita curigai ada makna lain di sana. Apa itu?
Bahwa fatwa kafir itu dikeluarkan oleh Imam sebab orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah justru karena di dalamnya terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan. [4]
Jadi tetap tidak boleh seorang di antara kita mengatakan "Aku bingung apakah Allah ada di langit atau di bumi.", sebab memang Allah tidak di langit dan tidak pula di bumi. Jika kita katakan Allah di langit maka itu secara otomatis bermakna Allah berarah dan bertempat begitu pula jika kita katakan Allah di bumi itu bermakna berarah dan bertempat. Tentu sangat bertolak belakang dengan keyakinan Imam Abu Hanifah.
Jadi kesimpulannya, tetap Imam Abu Hanifah dan Imam Malik tidak pernah mempunyai pemahaman apalagi keyakinan bahwa Allah berada di atas langit atau arasy sebagaimana zhohir teks alquran, hanya kita saja orang-orang belakangan yang salah memahami kalam beliau yang dinukil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan membelok makna sebenar yang diinginkan oleh Imam Abu Hanifah.
Baiklah, sekarang kita masuk ke pembahasan inti. Hehe, jadi tadi belum intinya, masih mukaddimah saja. Ya saya buka memang dengan jawaban saya terlebih dahulu terhadap bantahan-bantahan yang akan muncul nanti setelah mereka membaca artikel ini, sebab saya tahu bahwa artikel ini pasti akan dibantah dengan menggunakan kalam Imam Abu Hanifah dan Imam Malik di atas..
Bismillah…
Kita sama-sama telah menggunakan dalil; sama-sama menggunakan ayat-ayat alquran, sama-sama menggunakan hadits-hadits Rasulullah dan sama-sama menukil kalam para ulama. Lalu kenapa terjadi perbedaan, yang satu mengatakan Allah tak bertempat dan yang satu mengatakan Allah bertempat di langit dan di atas arasy? Jawabannya satu saja; PEMAHAMAN, dan terkadang TERJEMAHAN. Yah, pemahaman dan terjemahan kita sering berbeda dalam memahami dan menterjemahkan ayat-ayat alquran, hadits-hadits Rasulullah dan kalam para ulama.
Mari kita buktikan pelan-pelan! Kita ambil sampel Imam Ibnu Taimiyah rahmatullah alaihi dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mari kita perhatikan bagaimana cara keduanya bisa berbeda memahami teks-teks agama.
Kita ambil ayat alquran:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [طه: 5]
"Yang Maha Rahman 'bersemayam' di atas 'arasy".
Anda tidak percaya? Silahkan cek TKP langsung kepada turots-turots Islam baik salaf maupun khalaf, tidak ada ulama yang berani menafsirkan tempat dengan pemahaman makna tempat yang sebenar kecuali Imam Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya radhiyallahu anhum.
Baiklah, sebagaimana manhaj saya biasanya, berikut akan saya format dalam bentuk tanya jawab agar lebih mudah dipahami oleh kita-kita yang awam.
T: Bukankah Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat di atas adalah menempuh manhaj salaf?
J: Owh tentu tidak. Ibnu Taimiyah merasa dirinya sudah menempuh mazhab salaf, padahal belum, melainkan Ibnu Taimiyah hanya menempuh mazhab salaf dengan salaf menurut persepsi beliau Makanya banyak para ulama di masa beliau yang menyanggah. Namun sayang, para ulama penyanggah yang mayoritas jumlahnya itu dibandingkan dengan yang memuji dan mengikut, dianggap sebagai musuh oleh para pengikut Ibnu Taimiyah belakangan.
T: Lalu bagaimana sebenarnya, manhaj salaf dalam memahami ayat istiwa' di atas?
J: Berbicara ayat istiwa' berarti kita membicarakan bagian daripada ayat-ayat sifat. Yang benar, salaf itu: membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhohir) maupun makna majazi (takwil). Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
"Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza'iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa'ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: "Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir."
Tidak mentafsirkan ayat itu dengan tafsiran apapun. Ya biarkan saja. Lha wong ayatnya memang begitu adanya. Nda' usah diperdalam maknanya apa! Nda' usah ditakwil! Serahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta'ala. Allah yang tahu artinya apa. Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan (tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih). Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
"Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu.[5]
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhohir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja--------> tafsiruhu tilawatuhu. Bacaannya adalah huruf-hurufnya, bukan maknanya--------> tafsiruhu ta'rifuhu. Tidak demikan bukan?
Dan kalau sudah dibaca ayat-ayat sifat, ya sudah selanjutnya diam saja. Resapi di dalam jiwa. Imani! Serahkan maknanya kepada Allah, titik.
Inilah manhaj salaf dalam memahami ayat-ayat sifat yang sering dikenal dengan istilah tafwidh.
Mayoritas mereka tidak mau mentafsirkan ayat-ayat sifat, jika ditafsirkan secara zhohir maka akan terjerumus kepada jurang tasybih, sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana. Begitu pula mereka tidak mau melakukan takwil sebab wa ma ya'lamu ta'wilahu illallah…
Imam Malik gak mau membahas masalah ayat sifat ini. Sampai-sampai dia pernah mengusir orang yang menanyakan istiwa'nya Allah:
وما روي عن عبد الله بن الوهاب عن الإمام مالك بن أنس من أنه جاءه رجل فقال له: يا أبا عبد الرحمن {الرحمن على العرش استوى} فكيف إستوى؟ قال: فأطرق مالك رأسه حتى علاه الحضاء, ثم قال: الإستواء غير مجهول, و الكيف غير معقول, و الإيمان به واجب و السؤال عنه بدعة, وما أراك إلا مبتدعا. فأمره أن يخرج.
"Dan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Wahhab dari Imam Malik bin Anas bahwasanya datang kepada beliau seorang dan berkata: "Wahai Abu Abdurrahman (Yang Maha Rahman bersemayam di atas arasy) maka bagaimana bersemayamnya?" Kemudian Imam Malik tertunduuuk kepalanya dan baru mengangkatnya kembali setelah peluh panas kemarahannya menyadarkan dirinya, lalu berkata: "'Bersemayam' bukan tidak diketahui, dan bagaimananya tidak tercerna akal, mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid'ah dan aku tidak melihat dirimu melainkan ahlu bid'ah. Maka Imam Malik menyuruhnya keluar."[6]
Bersemayam itu dalam kamus bahasa Indonesia artinya duduk. Begitu pula dalam kamus bahasa Arab, artinya jalasa. Kalau anda menginginkan bersemayam dengan makna lain yang bukan duduk, maka ciptakanlah bahasa baru yang dapat mengungkapkan maksud yang anda inginkan. Jangan mencaplok kata "bersemayam" karena ini sudah dilegalisir oleh kamus besar maknanya adalah duduk.
Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa' ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.[7]
T: Lalu apa bedanya dengan manhaj Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat-ayat sifat?
J: Nah, pertama: harus kita telusuri dari awal yang paling mendasar sekali bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengakui ayat-ayat sifat itu sebagai ayat mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya itu. Di sinilah masalahnya yang paling mendasar. Ini juga disebabkan karena manhaj beliau yang tidak mengakui adanya majaz di dalam alquran. Sehingga bagi Ibnu Taimiyah semua ayat-ayat alquran harus jelas maknanya. Seolah-olah beliau melupakan firman Allah Ta'ala adalah juga memaksudkan untuk ayat-ayat sifat:
هُوَ الَّذِي أَنزلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ
"Dialah yang menurunkan kepadamu kitab daripadanya ada ayat-ayat muhkamat (jelas maknanya) itulah induk alquran dan yang lainnya adalah ayat-ayat mutasyabihat (samar maknanya). Dan adapun orang-orang yang di hati mereka ada kecondongan kepada sesat maka akan mengikuti kesamarannya karena mencari fitnah dengan mencari takwilnya. Padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah…" (Ali Imran: 8)
Simak perkataan Ibnu Taimiyah di bawah ini:
"…maka sesungguhnya aku tidak mengetahui dari seorang umat salafpun bahkan para imamnya sekalipun, tidak pula Imam Ahmad bin Hanbal serta yang lainnya telah menjadikan ayat-ayat mutasyabihat termasuk ke dalam ayat ini (Ali Imran di atas) hingga tidak ada seorangpun yang tahu maknanya dan aku tidak mendapati mereka (salaf) memposisikan nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti kalam 'ajami (asing) yang tidak dipahami. Justru mereka mengatakan: (ayat-ayat sifat itu) adalah kalimat-kalimat yang mempunyai makna yang shohihah."[8]
Kedua hal inilah yang menjadi sebab kenapa Ibnu Taimiyah lebih memilih untuk menetapkan makna (itsbatul ma'na) dan tidak mau berhenti hanya dengan menetapkan lafazh saja (itsbatul lafzhi) kemudian menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala (tafwidh). sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf, justru beliau menafsirkan dengan mengambil makna zhohirnya (lughawi hakiki) sambil mengkhususkan kaifiyat yangmana Allah mempunyai kaifiyat sendiri yang kaifiyatnya itu tidak sama dengan kaifiyat sifat makhluk. Di sini sebenarnya beliau sudah tergelincir satu lubang, sebab beliau sudah menetapkan kaifiyat bagi Allah walaupun kaifiyatnya beda dengan kaifiyat makhluk. Sementara Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak hanya menafikan wujud sifat jismi makhluk tetapi juga kaifiyatnya.
T: Apa yang menyebabkan Ibnu Taimiyah memberanikan diri untuk memaknakan secara zhohir ayat-ayat sifat?
Sebab beliau rahimahullah berpikiran bahwa salaf memahami betul ayat-ayat sifat. Namun sayang, pada perjalanan berikutnya, Imam Ibnu Taimiyah tidak mampu memahami ayat sifat sebagaimana yang dipahamai salaf. Di sinilah masalahnya, begitu inginnya mencontoh kepada salaf, imam Ibnu Taimiyah memaksakan diri untuk mengetahui hal yang sama apa yang diketahui oleh salaf; yaitu mengetahui makna ayat-ayat sifat. Masalahnya lagi, salaf tidak pernah membeberkan apa yang mereka ketahui tentang makna ayat-ayat sifat yang mutasyabihat itu, hingga akhirnya Ibnu Taimiyah menempuh jalan lain dengan mengambil makna asalnya; yaitu makna zhohir atau hakiki lughawinya (makna bahasa). Mungkin Ibnu Taimiyah menyangka bahwa yang dipahami oleh salaf tentang makna ayat-ayat sifat adalah makna zhohirnya, padahal bukan itu. Lalu apa? Inilah sulitnya, kita tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam dada mereka tentang faham kecuali talaqqi langsung dengan garis keturunan keilmuan mereka.
T: Lalu kita kembali ke ayat istawa alal arsy itu sendiri, sebagaimana manhaj beliau yang telah anda ceritakan bahwa beliau mengambil makna zhohir, apakah Ibnu Taimiyah juga mengartikan dengan pengertian zhohir bahwa Allah betul-betul berada di atas arasy hingga mengandung pengertian tempat?
J: Ya betul, simak kalam Ibnu Taimiyah berikut:
"…sama saja apakah arasy itu meliputi makhluk-makhluk sebagaimana meliputinya bola terhadap isinya atau jika dikatakan arasy itu berada di atas makhluk-makhluk tanpa meliputinya seperti permukaan bumi yang kita berada di atasnya ini dengan perutnya[9] atau seperti kubah dengan apa-apa yang ada di bawahnya atau dengan misal-misal lainnya. Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut maka arasy itu di atas makhluk-makhluk dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atasnya (arasy) dan sementara hamba dalam tawajjuh-tawajjuhnya menghadap ke arah atas bukan ke bawah."[10]
Dari kalamnya di atas, dapat dipahami bahwa menurut paham Ibnu Taimiyah mengatakan kita berada di bawah, dan di atas kita adalah arasy dan di atasnya lagi adalah Allah. Kalau diumpamakan seperti bangunan bertingkat, maka di tingkat pertama ada kita, di tingkat kedua ada arasy dan di tingkat ketiga ada Allah. Jadi Ibnu Taimiyah sudah betul-betul memposisikan Allah tepat sejajar di atas makhluk dan 'arasy. Ini sudah jelas menisbahkan arah dan tempat kepada Allah Ta'ala. Belum ada ulama kaum muslimin sebelum Ibnu Taimiyah yang mengucapkan kalam seperti kalam Ibnu Taimiyah di atas. Silahkan ditelusuri turots-turots Islam kita, baik salaf maupun khalaf. Maha suci Allah dari apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah.
Jadi Ibnu Taimiyah mengartikan istawa alal arsy dengan arti asal yang sebenar; yaitu bersemayam di atas arasy. Menetapkan sifat semayam kepada Allah secara otomatis (badihi aqli)[11] akan menetapkan tempat bagi Allah. Dalam akal sederhana setiap orang tentulah yang namanya bersemayam atau duduk itu pasti membutuhkan tempat duduk, dan terbayang makna gerak (harakah) bagi Allah, kalau sudah bergerak tentu ada perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dan konsekwensi-konsekwensi logis yang laiinya, sementara kita diwajibkan untuk mensucikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari itu semua.
T: Ah terlalu memfilsafatkan!
J: Owh tidak, ini belum masuk ke ranah filsafat, filsafat jauh lebih rumit dan menggunakan kerangka logika yang lebih rinci (tafshil) dari ini semua dan hanya orang-orang khusus yang diwajibkan untuk menguasainya sebagai benteng pertahanan guna melindungi awam dari syubhat-syubhat yang datang dari berbagai aliran filsafat baik timur maupun barat. Ini baru logika awam yang sifatnya dharuri dan badihi seporti satu tambah satu sama dengan dua, tidak boleh tiga, empat dan seterusnya, kalau dikatakan bola maka kita pasti mikirnya bulat dan kalau dikatakan berlari maka kita pasti mikirnya orang berjalan yang bergerak cepat . Bukankah di dalam alquran kita di suruh menggunakan akal kita? Bukankah agama ini diturunkan sesuai dengan fitrah dan akal?
T: Iya tapi jangan mengakal-akali!
J: Owh tidak, kita tidak mengedepankan akal daripada wahyu sebagaimana yang dituduhkan oleh mulut-mulut yang centil itu, kita Asya'iroh Ahlus Sunnah wal Jama'ah menggunakan akal hanya sebagai perangkat, pendukung dan penguat untuk memahami wahyu. Bahkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga dibangun dengan perangkat burhan-burhan 'aqli yang pasti seperti Allah tanpa ukuran, tanpa batas, tanpa dimensi, tanpa tempat dan kegiatan-kegiatan tanzih lainnya itu merupakan produk akal yang dibimbing wahyu dan wahyu yang dipahami dengan akal, bukan dengan dengkul..
T: Baiklah, kalau begitu, apakah Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya bisa dikatakan menempuh jalan tajsim sebagaimana yang ditempuh oleh kaum mujassimah?
J: Walaupun pemahamannya ini secara otomatis akan mengakibatkan kepada pemahaman Allah bertempat, namun Ibnu Taimiyah dan pengikutnya tetap tidak mau dikatakan sebagai kaum mujassimah. Bagaimana mungkin beliau adalah seorang yang anti terhadap kaum mujassimah tetapi beliau ikut kepada fahaman mujassimah.
Mereka beralasan bahwa mereka hanya memahami makna jismi makhluk tsubut bagi Allah secara wujud dan kaifiyat, namun kaifiyatnya memiliki kaifiyat tersendiri; kaifiyat yang layak bagi Allah, seperti Allah memang punya tangan lengkap dengan makna tangan itu secara bahasa (lughawi) tetapi tidak sama (kaifiyat) tangan-Nya dengan tangan makhluk, punya wajah tetapi tidak sama dengan wajah makhluk dan bersemayam (duduk) di atas arasy (singgasana) tetapi tidak sama dengan bersemayamnya makhluk. Sangat berbeda dengan kaum mujassimah yang memang memahami makna sifat-sifat jismi tsubut bagi Allah secara wujud dan kaifiyat namun dengan kaifiyat yang sama terhadap makhluk sekaligus, seperti; Allah punya tangan seperti tangannya makhluk, Allah punya wajah seperti wajahnya makhluk dan Allah bersemayam seperti bersemayamnya makhluk..
Nah, begitu berlebihannya (ghuluw) menetapkan sifat Allah ini (itsbat), mereka mengatakan bahwa kita harus menetapkan semua sifat yang Allah telah mensifati diri-Nya. Padahal tidak semua sifat bisa ditetapkan kepada Allah Ta'ala. Seperti hadits qudsi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bawah ini:
يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ
"Wahai Anak Adam,
)"Pantaskah kita katakana Allah memang sakit, tetapi dengan sakit yang layak bagi-Nya, sakit yang tidak sama dengan sakit makhluk?! Subhanallah, Maha Suci Allah dari perkataan yang demikian.
T: Hm...benar juga ya, baiklah kita kembali kepada alasan mereka tadi, apakah alasan mereka itu dapat mengelakkan mereka dari tuduhan tajsim?
J: Hanya sedikit, yaitu dari sisi sama tidaknya kaifiyat itu antara kaifiyat sifat Allah dengan sifat makhluk, selebihnya tidak, yaitu dari sisi penetapan wujud sifat-sifat jismi dan tsubut kaifiyat-kaifiyatnya; mereka sudah menyamakan; makhluk punya dan Allahpun punya, hanya saja Allah mempunyai kaifiyat tersendiri yang khusus. Padahal Imam Malik bilang:
الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع (رواه البيهقي في الأ سماء والصفات)
"Yang Maha Rahman 'bersemayam' di atas 'arasy sebagaimana Dia menyifati diri-Nya dan tidak dikatakan "bagaimana" dan "bagaimana" itu harus dibebaskan daripada-Nya.
T: Bagaimana jika mereka bersikeras bahwa bersemayam di situ bukan bersemayam dalam artian duduk dan terbebas dari harakah?
J: Ya, silahkan saja, asalkan buat kosa kata baru dengan kamus yang baru pula, sebab kata semayam sudah dilegalisir oleh kamus besar hanya untuk makna duduk, hanya saja semayam adalah duduknya raja dan duduk adalah duduknya orang biasa.
T: Manusia mendengar, melihat dan mengetahui. Bukankah Allah juga mendengar, melihat dan mengetahui? Bukankah ini juga menyamakan Allah dengan makhluk (tasybih)?
J: Tasybih yang yang kita maksud selama pembahasan tadi bukan tasybih dalam hal maknawi tetapi dalam hal jusmani (tajsim), yaitu penyerupaan yang bersifat jismi dan hissi. Mendengar, melihat dan mengetahui tidak bisa disamakan dengan bersemayam, tersenyum dan turun sebab yang pertama sifat maknawi dan yang kedua sifat jismi Yang pertama tidak mengurangi kesempurnaan Allah dan yang kedua mengurangi kesempurnaan Allah. Sifat-sifat maknawi di atas sangat layak dan pantas dinisbahkan kepada Allah sebab tidak berkesan kepada tubuh, gerak dan dimensi-dimensi jasmani lainnya. Adapun bersemayam, tersenyum dan turun maka sangat berkesan kepada dimensi-dimensi jasmani. Dan Allah maha suci dari sifat dari itu semua.
T: Yah yah…owh begitu rupanya. Baiklah kita kembali ke bahasan arasy, apakah dengan mengatakan Allah di atas arasy sudah berarti mengatakan bahwa Allah bertempat?
J: Ya tentu saja, sebab arasy adalah makhluk dan setiap makhluk adalah tempat, sampai sel kita yang paling kecil sekalipun adalah juga tempat dimana sel menjadi tempat bagi organ-organ sel yang lebih kecil, apatah lagi arasy yang jauh lebih besar.
T: Bagaimana jika mereka berkata; "Allah berada di langit atau di atas 'arasy, tapi kami tidak bermakud tempat."?
J: Jadi maksud kalian apa?
T. "Ya Allah di langit dan di atas 'arasy."
J: " Allah di langit dan di atas 'arasy."-----------> Ini kalian ngomong kaya' gini; 'ala sabilil hikayah atau memahami di- dengan makna tempat?
T: "Gak tau"
J: Nah kalau gak tau, berarti aqidah kalian ngawur, gak jelas dan gak tegas. Sementara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah yang jelas dan tegas; Allah ada tanpa tempat. Selesai. Tetapi jika kalian mengatakan "Allah bersemayam di atas arasy" itu hanya 'ala sabilil hikayah saja; yaitu menghikayatkan ;mengucapkan kembali tanpa bermaksud memaknakan atau mentafsirkan seperti misalkan sekarang saya mengucapkan firman Allah: "fa'buduni" tanpa bermaksud benar-benar menyuruh kalian menyembah saya, maka tidak mengapa, kamipun sama seperti kalian, sama seperti salaf, sama seperti khalaf dan seluruh umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah hanya mengucapkan kalam itu 'ala sabilil hikayah saja, yaitu sekedar mengutip atau mengucapkan kembali apa yang diucapkan alquran tanpa tafsir, takyif, ta'thil, takwil, tasybih dan tamtsil.
T: Apakah anda yakin yang di atas langit sana adalah tempat?
J: Ya saya yakin bahwa segala selain Allah adalah makhluk, dan selama sesuatu itu masih mempunyai ujung maka dia adalah makhluk. Dan setiap makhluk adalah tempat sebagaimana yang saya katakan di atas. Dan selain makhluk itu adalah Allah. Jika sudah keluar dari alam makhluk, maka tak bisa lagi dikatakan di samping, di depan, di belakang, di tengah di bawah dan di atas. Artinya; Allah tidak di atas langit. Sebab jika Allah di atas langit, maka di langit kutub utara ada Allah, di langit kutub selatan juga ada Allah, di langit timur ada Allah dan di langit barat juga ada Allah, lalu bagaimana di tengah-tengahnya, yaitu bumi sampai ke perut-perutnya? Apakah tidak ada Allah? Jika ada, maka tidak ada bedanya antara anda dengan kaum Ittihad dan Hulul yang mengatakan Allah menyatu dengan makhluk dan bumi, dan jika tidak ada, maka tak obahnya tuhan berbentuk seperti bola pimpong yang di tengah-tengahnya kosong/kopong. Maha suci Allah dari itu semua. Jadi serba salah bukan?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar