Minggu, 05 Agustus 2012

Keistimewaan Beberapa Surat Al-Qur’an

Salam Sarkub. Alhamdulillah kita sudah menjalani Ibadah Puasa dengan penuh khusyu, untuk melengkapi kajian di bulan Ramadhan yang penuh Berkah ini, ada baiknya kita lebih sering membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an agar puasa kita lebih bermakna dan mendapat pahala kebaikan yang berlipat ganda. Ada baiknya kami tim Sarkub ingin mengulas lebih jauh lagi Fadlilah/Keutamaan dari beberapa Surat Al–Qur’an agar kita lebih yakin ayat-ayat yang tersirat dan tersurat tersebut agar kita senantiasa mendapat keberkahan dan Inayah-Nya, aamiin

1.Surat Al Faatihah..

Dari Abi Said Rafi’ bin Al Mu’alla ra. berkata: Rasulullah saw. berkata kepadaku, “Mahukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al-Qur’an, sebelum kamu keluar dari masjid?” Lalu beliau memegang tanganku, dan ketika kami hendak keluar aku bertanya, “Ya Rasulullah, engkau berkata bahwa engkau akan mengajarkanku surat yang paling agung dalam (Al-QUR’AN ), ia adalah tujuh ayat yang dibaca pada setiap shalat, ia adalah( Al FAATIHAH ) yang agung yang diberikan kepadaku.”(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

2.Surat Al Faatihah dan beberapa ayat terakhir surat Al Baqarah…

Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Ketika Jibril a.s. sedang duduk di sisi Nabi saw. baginda mendengar suara dari atas, lalu beliau mendongakkan kepala dan bersabda, “Ini adalah pintu langit yang dibuka pada hari ini dan yang dibuka pada hari ini dan tidak pernah dibuka kecuali hari ini.” Lalu turun malaikat dari pintu tersebut, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah malaikat yang turun ke bumi dan dia tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lalu dia (malaikat) memberi salam seraya berkata, “Aku membawa berita gembira dengan dua cahaya yang diturunkan kepada engkau dan tidak pernah diberikan kepada nabi sebelummu, yaitu: Surat Al Faatihah dan beberapa ayat terakhir Surat Al-Baqarah, tidaklah kamu membaca satu huruf daripadanya kecuali kamu mendapat karunia.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

3.Surat Al Baqarah…

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kau jadikan rumah-rumahmu seperti kuburan, sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al Baqarah.”(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)…

4.Ayat Kursi…

Dari Ubai bin Ka’ab ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Munzir, tahukah engkau ayat manakah dalam Al Qur’an yang paling agung menurutmu?” Aku menjawab, “Allahu laailaaha illa huwalhayyul qoyyuum (ayat kursi)”, Lalu beliau menepuk dadaku dan bersabda, “Semoga Allah memudahkan ilmu bagimu wahai Abu Munzir.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

5.Dua ayat terakhir surat Al Baqarah….

Dari Abi Mas’ud Al Badri ra. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat Al Baqarah pada waktu malam niscaya ia akan mencukupinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)

6.Al Baqarah dan Ali ‘Imran….

Dari Abi Umamah Al Bahili berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al Qur’an karena di hari kiamat kelak ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya, bacalah zahrawaen, yaitu: surat Al Baqarah dan surat Ali ‘Imran. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti keduanya akan datang bagaikan dua awan atau dua kawanan burung yang berbaris yang siap membantu orang-orang yang pernah membacanya. 

Dan bacalah surah Al Baqarah karena membacanya adalah suatu barokah dan meninggalkannya adalah suatu kerugian. Dan tukang sihir tak akan sanggup menghasilkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

7.Sepuluh ayat dari surat Al Kahfi….

Dari Abi Darda’ ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al Kahfi, maka akan terjaga dari Dajjal.” Dalam riwayat yang lain: “…sepuluh ayat terakhir…” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

8.Membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at….

Dari Abi Said Al Khudri ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at akan diterangi cahaya antara dua Jum’at.”(Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi, Hadis di atas sahih)

9.Surat Tabaarak (Al Mulk)….

Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Surat Tabarak (Al-Mulk) adalah penjaga dari azab kubur.”(Diriwayatkan oleh Hakim dan Abu Na’im, Hadis di atas sahih)

10.Surat At-Takwiir, Al Infithaar dan Al Insyiqaaq….

Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang suka untuk melihat aku di hari kiamat dengan sebenar-benar penglihatan, maka bacalah surat At-Takwiir, Al Infithaar dan Al insyiqaq.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmizi dan Hakim)….

11.Surat Al Ikhlash….

Dari Abi Said Al Khudri ra. bahawa Rasulullah saw. bersabda tentang Qul Huwallahu ahad; “Demi Allah –Yang diriku berada di dalam genggaman-Nya–, sesungguhnya ia (Al Ikhlash) menyamai sepertiga Al Qur’an.” Pada riwayat lain Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Adakah di antara kamu yang tidak sanggup membaca sepertiga Al Qur’an dalam satu malam?” Hal ini memang berat bagi mereka, lalu mereka bertanya, “Siapakah di antara kami yang mampu ya… Rasulullah?” Beliau bersabda, “Qul Huwallahu ahad Allahush-Shamad, adalah sepertiga Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)….

12.Membaca sepuluh kali surat Al Ikhlash….

Dari Mu’az bin Anas ra. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca Qul huwallahu ahad sebanyak sepuluh kali niscaya Allah akan membangun rumah baginya di surga.”(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad)..

13.Surat Al Falaq dan An-Naas…

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Adakah kau lihat ayat-ayat yang diturunkan pada malam ini dan selainnya tidak dapat dilihat sepertinya?, dialah: Qul a’udzu birabbil falaq’ dan ‘Qul a’udzubirabbin-naas.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)…

14.Surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas….

Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. apabila akan berangkat tidur tiap-tiap malam beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupkannya seraya membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas. Kemudian beliau mengusapkannya ke seluruh tubuhnya (sebatas yang bisa) dimulai dari kepala lalu muka kemudian bagian depan dari badan. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)..

15.Membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas ketika sakit….

Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, Malik bercerita kepada kami dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bila merasa sakit beliau membaca sendiri ‘Al Mu’awwizaat’(Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas) kemudian meniupkannya. Dan apabila rasa sakitnya bertambah aku yang membacanya kemudian aku usapkan ke tangannya mengharap keberkahan darinya. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).. 

وننزل من القرأن ما هو شفآء ورحمة للمؤمنين … الأية* الإسراء 
٨٢
 
Dan Aku (Allah) menurunkan dr Al Qur’an itu sebagai obat & rohmat bagi orang2 yg beriman …* Al Isra’ 
82..semoga bermanfaat..tuk semua nya..Aamiin..

Kamis, 02 Agustus 2012

Lagi, Imam asy-Syafi’i Bertabarruk dengan Bajunya Imam Ahmad bin Hanbal



Di dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra karya Imam Taajuddin as-Subki pada juz 2 halaman 36 (kitab ini dapat diunduh di http://waqfeya.net/book.php?bid=1283), disebutkan bahwasanya imam asy-Syafi’i Radhiyallaahu ‘anhu bertabarruk dengan bajunya imam Ahmad bin Hanbal Radhiyallaahu ‘anhu. Berikut ini riwayat lengkapnya:


Berkata ar-Rabi’ bin Sulaiman, bahwasanya imam asy-Syafi’i Radhiyallaahu ‘anhu pergi ke Mesir.
Beliau berkata kepadaku: “Wahai Rabi’ ambil kitabku ini, bawa pergi serta sampaikan kepada Abi Abdillah (Yakni al-Imam Ahmad bin Hanbal Radhiyallaahu ‘anhu) dan bawakan kepadaku jawaban dari beliau”.
Berkata ar-Rabi’, “Kemudian aku memasuki kota Baghdad dan ada padaku sebuah kitab. Aku menghadap kepada al-Imam Ahmad ibn Hanbal di waktu sholat Shubuh. Manakala beliau melangkah dari mihrab, aku sampaikan kitab tersebut kepada beliau, dan aku katakan kepada beliau bahwasanya kitab ini dari saudara engkau yang berada di Mesir. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Apakah engkau telah melihat apa yang terdapat di dalamnya?“ Aku menjawab, “Tidak.“ Maka kemudian beliau segera membuka segelnya dan membacanya, dan terlihat mata beliau berlinang penuh air mata. Aku berkata kepada beliau, “Ada apa di dalamnya wahai Abu Abdillah?“ Beliau menjawab, “Disebutkan di dalamnya bahwasanya beliau (imam asy-Syafi’i Radhiyallaahu ‘anhu) melihat Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu tidur. Kemudian Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan: Tulislah, kemudian sampaikan kepada Abu Abdillah, dan Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pun membacakan (apa yang harus dituliskan) dan katakan kepadanya sesungguhnya engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engkau turuti permintaan mereka itu, niscaya Allah akan meninggikan panji bagi engkau hingga hari akhir.“”
Berkata ar-Rabi’, “Maka aku katakan kepada beliau, ini berita baik wahai Abu Abdillah.” Maka beliau langsung melepas salah satu bajunya yang menempel di kulit beliau dan memberikannya kepadaku. Dan aku mengambil jawaban dari beliau ini, kemudian aku pergi ke Mesir dan segera menyampaikannya kepada al-Imam asy-Syafi’i Radhiyallaahu ‘anhu.
Beliau al-Imam asy-Syafi’i Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Apa yang akan engkau berikan kepadaku?” Aku jawab, “Baju dari beliau”. Kemudian beliau berkata, “Janganlah engkau merasa tertekan. Segeralah engkau basahi baju itu dengan air, karena aku ingin bertabarruk dengannya.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 2, halaman 36)

Lihatlah, bagaimana Ulama’ sekaliber Imam asy-Syafi’i Radhiyallaahu ‘anhu saja bertabarruk dengan baju yang pernah menempel di kulit orang shalih, dalam hal ini adalah bajunya Imam Ahmad bin Hanbal Radhiyallaahu ‘anhu. Tentunya tidak mungkin tindakan beliau ini menyelisihi Al-Qur’an dan as-Sunnah, karena beliau adalah seseorang yang ahli di bidang ini.

Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullaah Juga Bertabarruk



Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim

Setelah kemarin kita membahas tabarruknya imam asy-Syafi’i rahimahullah dengan bajunya imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (http://jundumuhammad.net/2012/05/25/lagi-imam-asy-syafii-bertabarruk-dengan-bajunya-imam-ahmad-bin-hanbal/), sekarang kita angkat lagi sebuah riwayat tentang tabarruknya imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dengan bekas peninggalan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah, salah satu imam madzhab yang empat yang terkemuka, imam yang diakui keilmuannya oleh semua kalangan baik Sunni maupun Wahhabi ternyata juga bertabarruk dengan peninggalan Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

Disebutkan oleh imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya Sayr A’lam an-Nubala’ sebuah kisah tentang tabarruknya imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dengan peninggalan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang berupa rambut beliau. Yang mana rambut baginda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut dicelupkan ke dalam air kemudian air tersebut diminum oleh imam Ahmad bin Hanbal untuk dijadikan sebagai obat.

Dan diantara adab-adab beliau: Berkata Abdullah bin Ahmad: Aku melihat ayahku mengambil sebagian rambut dari rambut-rambut peninggalan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan meletakkannya di atas mulut beliau dan menciumnya. Dan aku juga pernah melihat beliau meletakkannya di atas mata beliau dan kemudian mencelupkannya ke dalam air dan meminumnya untuk berobat dengannya. Dan aku juga melihat beliau mengambil sebuah mangkuk peninggalan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mencelupkannya ke dalam air, kemudian meminumnya. Dan aku juga melihat beliau meminum air zam-zam untuk berobat dengannya, dan mengusapkannya pada tangan dan wajah beliau.
Aku berkata (imam adz-Dzahabi): Manakah orang-orang yang mengingkari atas perbuatan imam Ahmad? Sungguh telah tsabit bahwasanya Abdullah (bin Ahmad) bertanya kepada ayahnya mengenai perbuatan mengusap pegangan mimbar Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan  menyentuh kamar Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jawab beliau adalah: tidak mengapa atas hal yang demikian itu dilakukan. Semoga Allah Ta’aala melindungi kita dan kamu sekalian daripada pemahaman khawarij dan bid’ah.
Ini adalah salah satu contoh nyata penerapan tabarruk yang dilakukan oleh para imam-imam kita, imam ahlussunah wal jama’ah, para imam-imam kita memberikan contoh pengamalan tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Wahai kalian yang anti tabarruk dengan peninggalan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan orang Shalih, silakan kalian vonis amalan imam Ahmad bin Hanbal ini sebagai kesesatan! Berani nggak???!!!

Penjelasan Gamblang Mengenai Mungkinnya Melihat Nabi Shollalllaahu ‘Alaihi Wa Sallam Secara Sadar



Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim.

Dijelaskan di dalam kitab al-Haawi li al-Fatawi karangan imam Jalaluddin as-Suyuthi mengenai permasalahan mungkinkah seseorang dapat melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara sadar. Berikut ini kajiannya (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=5&vbid=31&vtocid=619 baris ke-sepuluh dari atas):

Tanwir al-Halak fi Imkaan Ru’yah an-Nabi (Shollallaahu ‘alaihi wa sallam) wal malak

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala puji bagi Allah Ta’aala, dan Salaam atas hamba-Nya yang terpilih (Sayyidinaa Muhammad Shollallaahu ‘alaihi Wa Sallam). Wa Ba’du.

Sungguh banyak pertanyaan mengenai perkara melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di alam sadar bagi orang-orang tertentu yang memiliki ahwal. Banyak orang di zaman ini yang kurang ilmu justru berlebih-lebihan di dalam mengingkari akan perkara itu, bahkan merasa heran dan menyangka bahwa hal itu mustahil terjadi. Oleh sebab itu, saya menulis karangan ini dan menamainya “Tanwirul Halak fi Imkani Ru’yatin Nabiyyi wal Malak”. Dan saya hanya berpegang pada hadits-hadits shohih saja.


Imam al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam tidur, maka ia akan melihatku ketika terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.”

Para Ulama ada berbeda pendapat mengenai maksud sabda Beliau “Maka ia akan melihatku ketika terjaga”. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah “Ia akan melihatku pada hari kiamat nanti”. Namun, pendapat ini dikritik, karena kalau demikian maka tidak ada gunanya pengkhususan bagi orang yang melihatnya di alam tidur, karena seluruh umatnya akan melihatnya pada hari kiamat kelak, baik yang pernah melihat sebelumnya ataupun yang tidak.

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa maksudnya adalah orang yang beriman kepadanya dan belum pernah melihatnya karena saat itu ia sedang tidak hadir bersamanya, maka hadits ini menjadi kabar gembira baginya, yakni ia akan melihatnya di alam sadar sebelum mati.

Sebagian ulama yang lain mengartikannya secara dzahir, yakni barangsiapa melihatnya di alam tidur, maka ia pasti akan melihatnya di alam sadar dengan kedua mata kepalanya. Ada juga yang menafsirkan dengan mata hatinya sebagaimana yang dikatakan al-Qadhi Abu Bakr ibn Al-Arabi.


Berkata Abu Bakr bin Abi Jamrah di dalam catatannya terhadap hadits-hadits yang ia pilih dari Shahih Bukhari: “Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, maka ia akan melihatnya di alam sadar. Apakah ini dipahami secara umum yaitu sebelum dan sesudah wafatnya, ataukah secara khusus sebelum wafatnya saja? Apakah itu juga mencakup semua orang yang melihatnya sacara mutlak ataukah khusus bagi yang memiliki ahliah (kapabilitas) dan ittiba’ (pelaksanaan) terhadap sunnah-sunnahnya saja?

Teks hadits itu memberikan pengertian umum, maka barangsiapa mengklaim kekhususan tanpa adanya indikasi pengkhususan, maka ia telah melanggar. Sebagian orang ada yang tidak mempercayai keumuman teks hadits itu. Ia mengatakan – sesuai dengan kadar akalnya, “Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal dapat dilihat orang yang masih hidup di alam nyata?”

Sebenarnya, ucapan ini mengandung dua konsekuensi berbahaya. Pertama, tidak percaya terhadap sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan Beliau tidak pernah berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri. Kedua, tidak mengetahui kemampuan Sang Pencipta dan mukjizat-Nya, seakan-akan ia belum mendengar ayat dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, “Pukullah ia dengan sebagiannya. Demikianlah Allah menghidupkan yang sudah mati.” Begitu juga dengan kisah Ibrahim bersama burung yang terbagi menjadi empat dan juga kisah Aziz. Allah yang telah menghidupkan semua itu mampu menjadikan mimpi melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyebab melihatnya di alam nyata. Menurut riwayat dari sebagian sahabat -sepertinya Ibnu Abbas, bahwa ia melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, lalu ia teringat hadits ini dan selalu memikirkannya lalu ia pergi menemui sebagian istri Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sepertinya Maimunah, lalu menceritakan mimpinya padanya. Lalu Maimunah berdiri mengambil cermin Nabi dan memberikannya kepada Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat bayangan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam cermin itu, bukan bayanganku.”

Menurut riwayat dari sebagian salaf dan khalaf juga demikian, mereka melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi seraya membenarkan hadits ini, lalu mereka pun melihatnya di alam nyata. Mereka menanyakan berbagai persoalan yang mereka bingung menyikapinya, lalu Nabi pun memberitahu solusinya.

Orang yang mengingkari semua ini ada dua kemungkinan, ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali atau termasuk orang yang tidak percaya terhadapnya. Kalau ia termasuk orang yang tidak percaya terhadap karomah wali, maka selesai masalah, tidak perlu dibahas, karena ia mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan bukti-bukti yang jelas. Jika ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali, maka ini adalah salah satunya, karena para wali sering ditampakkan melalui kejadian luar biasa pada dua alam, atas dan bawah. Maka, tidak selayaknya mengingkari hal semacam ini selama ia percaya terhadap karomah wali. Selesai perkataan Ibnu Abi Jamrah.

Wallaahu a’lam.

Penjelasan Tentang Penetapan Waktu Imsakiyyah Oleh al-Imam ibn Hajar al-Asqallani Rahimahullaah


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ada sebagian pendapat dari beberapa kalangan bahwasanya penetapan waktu imsakiyyah adalah bid’ah, perkara baru yang tidak ada asalnya di dalam agama. Apakah demikian?
Untuk itu, sebaiknya mari kita kaji penjelasan dari salah seorang imam kita, imam ahlussunnah wal jama’ah, imam yang diakui keilmuannya, seorang imam yang memiliki kompetensi di dalam agama ini untuk menjelaskan al-Quran dan as-Sunnah, yaitu al-Imam ibn Hajar al-Asqallani rahimahullaah. Bagaimana pendapat dan penjelasan beliau berkaitan dengan penetapan waktu imsakiyyah ini?
Di dalam kitab shahih al-Bukhari disebutkan sebuah hadits shahih:

“Telah meriwayatkan hadits kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah meriwayatkan hadits kepada kami Hisyam, telah meriwayatkan hadits kepada kami Qatadah, dari Anas dari Zaid bin Tsabit Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata: Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami berangkat mendirikan sholat (Shubuh). Maka aku (Anas) berkata: Berapa lama jeda waktu antara adzan dengan sahur? Zaid menjawab: Khomsiina Aayah (lamanya kurang lebih sekadar membaca 50 ayat daripada al-Qura’an).” [Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=3000].

Mengenai hadits ini, mari kita kaji bersama-sama syarah atas hadits ini di dalam kitab beliau yang bernama Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=7&vbid=26&vtocid=2668) :

“Mengenai perkataan beliau (Bab Tentang Jeda Waktu antara Sahur dengan Sholat Shubuh). Yakni antara berakhirnya waktu sahur dan dimulainya sholat, karena sesungguhnya yang dimaksud dengan penetapan jeda waktu adalah waktu dari berhentinya makan (sahur), dan yang dimaksud dengan melakukan shalat adalah permulaan  daripada dimulainya shalat. Sebagaimana dikatakan oleh az-Zain bin al-Munir.”

Kemudian beliau melanjutkan:

“Perkataan (Beliau berkata: kadar waktu membaca 50 ayat) yaitu bacaan yang pertengahan (sedang-sedang saja) bukan bacaan yang panjang atau bacaan yang pendek, tidak dibaca secara cepat maupun dibaca secara  lambat.”


“Telah berkata al-Mihlab dan yang lainnya: di dalamnya terdapat penentuan atas perkiraan kadar lamanya jeda waktu itu dengan berdasarkan atas perbuatan badan, dan pada umumnya orang-orang Arab menentukan perkiraan waktu dengan amalan badan, seperti halnya dengan ukuran sekedar memerah susu kambing, atau ukuran waktu sekadar memotong akar, maka Zaid bin Tsabit menetapkan perkiraan kadar waktu tersebut dengan qiro’ah (bacaan ayat-ayat al-Qur’an), selain itu hal yang demikian ini juga menandakan bahwa waktu tersebut adalah waktu untuk ibadah dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an, andaikata kebiasaan orang-orang Arab di dalam menentukan kadar waktu itu tidak dengan amalan badan, maka Zaid pun akan berkata dengan perkataan seperti: seukuran derajat sekian, atau sepertiga, seperlima jam.”

Dari penjelasan al-Imam ibn Hajar al-Asqallani rahimahullaah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya jeda waktu antara selesainya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dari makan sahur hingga adzan Shubuh adalah sekitar bacaan 50 ayat al-Qur’an yang dibaca tidak terlalu cepat maupun terlalu lambat, dan ayat yang dibaca juga bukan ayat-ayat yang terlalu panjang maupun ayat-ayat yang terlalu pendek.
Dan sungguh tidak tepat jika diambil kesimpulan bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam makan sahur hingga adzan shubuh sebagaimana yang diklaim oleh beberapa kalangan, dan bahkan mereka menganggap penetapan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh termasuk bid’ah. Tentu kesimpulan dan pendapat yang seperti ini sangat bertentangan dengan sunnah. Karena penetapan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh sekitar bacaan 50 ayat-ayat al-Qur’an ini ada dalilnya yang shahih.
Masih di dalam kitab Shahih al-Bukhari, di situ juga dicantumkan hadits lain berkenaan dengan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh:

“Meriwayatkan hadits kepada kami Hasan bin Shabbaah, ia mendengar dari Rawwah bin ‘Ubadah, meriwayatkan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit keduanya bersahur bersama-sama. Maka apabila telah selesai mereka berdua daripada makan sahur, maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan sholat (shubuh). Kami bertanya kepada Anas: Berapa lama jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu sholat? Ia menjawab: Lamanya jeda waktu adalah sekira bacaan seseorang daripada 50 ayat-ayat al-Qur’an.” (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=921).

Selain itu, masih di kitab Shahih al-Bukhari disebutkan pula riwayat dengan redaksi yang sama namun berbeda jalur periwayatan:

“Telah meriwayatkan hadits kepada kami Ya’qub bin Ibrahim ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Rawwah, ia berkata telah meriwayatkan hadits kepada kami Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qatadah dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ;anhu makan sahur bersama-sama. Maka apabila selesai mereka berdua daripada makan sahur, maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan sholat. Maka kami bertanya kepada Anas: Berapa lama jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu sholat? Ia menjawab: Lamanya jeda waktu adalah sekira bacaan seseorang daripada 50 ayat-ayat al-Qur’an.” (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=1798).

Demikian sedikit penjelasan tentang disunnahkannya waktu imsak sebagai sanggahan bagi mereka yang berpendapat bahwa penetapan waktu imsak adalah termasuk bid’ah.
Wallaahu a’lam.

Selasa, 31 Juli 2012

Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka


Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka[1]
Oleh; H Kholil Abou Fateh


Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.

Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata: 

إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)

“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”.  (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).

Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:

الإسْنَادُ مِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”.

Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian mereka tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.

Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”. Bahasa-bahasa dengan penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad. Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah “ar-Râyah” (bendera), “al-Hizâm” (sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid, namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.

Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari mengutip perkataan al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf  bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadah an-Nafs) dan menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].

Namun demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmah as-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya “sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad.

Kemudian para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka (Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah).

Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih empat yang berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i. Kemudian seperti itu pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf tersebut.

Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah. Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-Karkhi, dari Imam Dawud ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri, dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah.  Lihat mata rantai berikut:


Rasulullah
       ↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
       ↓
Imam al-Hasan al-Bashri
       ↓
Imam Habib al-‘Ajami
       ↓
Imam Dawud ath-Tha’i
       ↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
       ↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
       ↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi

Ini adalah sanad tasawuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Selain sanad tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:

Rasulullah
      ↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
      ↓
Imam al-Husain (Syahid Karbala)
      ↓
Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin
      ↓
Imam Muhammad al-Baqir
      ↓
Imam Ja’far ash-Shadiq
      ↓
Imam Musa al-Kadlim
      ↓
Imam ‘Ali ar-Ridla
      ↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
      ↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
      ↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi

Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk menanamkan keraguan tentang kebenaran sanad tasawuf. Namun tentang sanad yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawuf.

Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn. Setelah membahas panjang lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.

Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasan al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi yang beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau menolaknya.

Dalam risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat kuat, dengan melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut:

Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî). Ini karena seorang al-Mutsbit memiliki keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nâfî.

Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah. Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke hadapan para sahabat terkemuka untuk memintakan doa keberkahan baginya. Termasuk salah satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat mendoakannya berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-Kamâl.

Kemudian al-‘Askari dalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman tersebut. Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan shalat hingga umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkempul dan bertemu dengan para sahabat senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya. Dan beliau baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah merupakan kepastian. Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib seringkali berziarah kepada istri-istri Rasulullah, termasuk salah satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah; ibunda al-Hasan al-Bashri, dan -tentunya- al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi diragukan.

Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung kepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata kepada al-Hasan al-Bashri: “Wahai Abu Sa’id, seringkali engkau berkata “Rasulullah bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”. Al-Hasan al-Bashri menjawab: “Wahai putra saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku suatu pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan orang-orang sebelummu. Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan memberitahukan jawabannya kepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari kalangan Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar dariku “Rasulullah bersabda…” maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi Thalib”[3].

Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam karya-karya mereka dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antaranya riwayat yang ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata: “Menghkabarkan kepada kami Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan al-Bashri, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُصَابِ حَتّى يُكْشَفَ عَنْهُ

“Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari musibahnya tersebut”.

Hadits ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah menilainya berkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, oleh Imam al-Hakim yang menilainya shahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtârah. Kemudian dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi dalam menjelaskan hadits di atas berkata mengutip pernyataan Imam ‘Ali al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih berada di Madinah. Sementara Abu Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah, al-Hasan al-Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri berkata: “Saya melihat al-Zubair membai’at ‘Ali”[4].

Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:

1.   Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut; Mengkhabarkan kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:

أفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ (روَاهُ النّسَائيّ)

“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. an-Nasa’i).

2.  Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya tentang zakat fitrah dengan sanad berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata; Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawil dari al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali ibn ‘Abi Thalib:

إنْ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاجْعَلُوْهُ صَاعًا مِنْ بُرٍّ وَغَيْرِهِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)

“Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlah zakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan lainnya” (HR. ad-Daraquthni).

3.   Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan kepada kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata; Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa ia berkata:

كَفَّنْتُ النَّبِيَّ فِي قَمِيْصٍ أبْيَض وَثَوْبَي حَبْرَة (رَواهُ الْخَطيْبُ الْبَغْدَادِيّ)

“Aku telah menkafani Rasulullah dengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar” (HR. al-Khatib al-Baghdadi).

4.   Abu Ya’la dalam Musnad-nya berkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyah ibn Asyras berkata; Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili berkata; Aku mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar Rasulullah bersabda:

مَثَلُ أُمّتِيْ مَثَلُ الْمَطَر (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى)

“Perumpamaan umatku seperti hujan” (HR. Abu Ya’la).

As-Sayyid As’ad (w 1016 H), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisan beliau adalah bahwa sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, namun pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu hadits[5].

Masih menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah berkata: “Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?”. Semua sahabat terdiam sambil berharap untuk mendapatkan baju tersebut. Kemudian Rasulullah berkata: “Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang Rasulullah lalu memakaikan baju tersebut kepadanya seraya berkata: “Pakailah, semoga banyak memberikan manfa’at bagimu”. Setelah Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat kepada pernik-pernik warna kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata: “Wahai Ummu Khalid ini adalah pakaian yang indah”[6].

Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqah ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab memakaikan al-Khirqah kepada Uwais al-Qarani. Simak perkataan Imam asy-Sya’rani berikut ini:

“Uwais al-Qarani telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan memakai selendang (ar-ridâ’) dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah ini adalah para Imam yang agung dari umat ini. Adapun beberapa huffâzh al-hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda tersebut saja. Seperti khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau surban dililitkan pada kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’), bahwa Sanad al-’Imâmah as-sauda’ ini telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-’Imâmah as-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab sahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah seperti ini”. Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan seterusnya -hingga ‘Ali ibn Abi Thalib-. Di samping itu jalur sanad tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana telah disebutkan--”[7].

Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang berupa al-’Imâmah as-saudâ’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam ath-Thabarani dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau berkata: “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan ‘Imâmah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:

إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ أمَدَّنِيْ يَوْمَ بَدْرٍ وَحُنَيْنِ بِمَلاَئِكَةٍ يَعْتَمُّوْنَ هذِهِ العِمَامَةَ، وَقَالَ: إنّ العِمَامَةَ حَاجِزٌ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإيْمَانِ (رَوَاهُ الحَافِظُ أبُو مُوْسَى الْمَدَنِيّ فِي كِتَابِ السّنَّة فِي سَدْلِ العِمَامَةِ وَغَيْرُهُ)

“Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘Imâmah semacam ini”. (Kemudian juga Rasulullah bersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan”.  (HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmah dan oleh lainnya).

Wa Allahu A’lam.
Wa Shallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa Alihi Wa Sallam.


DAFTAR PUSTAKA
Ashbahâni, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut

‘Asqalâni, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasah al-‘Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.

Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dâr al-Fikr, Bairut.

Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr

Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman, al-Maqâlât al-Sunniyah Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M.

Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhât al-Makkiyyah, ta’lîq Mahmûd Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut 

_________, Nasab al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo Mesir

Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, Bairut, Dâr al-Âfâq al-Jadidah, t. th.

Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih al-Jailâni, al-Gunyah, Dâr al-Fikr, Bairut

Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi, Cairo

Khalîfah, Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut.

Nabhâni, al, Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut

Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji, Dâr al-Khair.

Rifâ’i, al, Abu al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân ‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004, Dâr al-Masyârî’, Bairut.

Sarrâj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir

Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb, al-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-Ahdlar, Cairo Mesir.

_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhût al-Makkiyyah, Bairut, Dâr al-Fikr, t. th.

_________, Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq, ‘Alam al-Fikr, Cairo

Suhrâwardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut

Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah, tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dâr al-Jail, Bairut.

Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar al-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dâr al-Masyârî’, 1423 H, 2002 M.

_________, al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf, Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M


 ********************************************************
Catatan Kaki
[1] Pembahasan lebih luas lihat buku Membersihkan Nama Ibnu Arabi; Kajian Komprehensif Tasawuf Rasulullah ditulis oleh H Kholil Abou Fateh, cet. Fattah Arbah Banten, 2010, klik link ini http://allahadatanpatempat.blogspot.com/2011/05/buku-baru-membersihkan-nama-ibnu-arabi.html
[2]  Lihat mukadimah risalah Ibn ‘Arabi yang berujud “Nasab al-Khirqah”, ditulis oleh al-Hâfizh al-Ghumari. Secara khusus risalah ini penulis kaji pada bab tentang kajian terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi.
[3]  as-Suyuthi, Ithâf al-Khirqah Bi Rafw al-Khirqah dalam al-Hâwi Li al-Fâtâwi, j. 2, h. 102
[4]  Ibid. j. 2, h. 102-104
[5]  at-Tasyarruf…, h. 103-104
[6]  Ibid, h. 104. Imam Ibn ash-Shalah mengatakan bahwa nasab al-khirqah memiliki sanad ‘âli. Bahwa ada pendapat yang mengatakan sanad tersebut tidak sampai ke puncaknya, namun hal tersebut tidak menjadikan nasab al-khirqah ini menjadi cedera. Karena yang menjadi tujuan dari adanya al-khirqah adalah untuk mencari keberkahan dari Allah lewat orang-orang saleh, di mana al-khirqah turun-temurun berkesinambungan di antara mereka. Ibid, h. 108
[7]  Ibid, h. 109-110

Kamis, 26 Juli 2012

Akidah ala Badui


  

 Rabu Wage malam Kamis Kliwon tepat tengah malam, ustadz Sukijo As-Salaf dengan diantar Sukiran bin Sukirin menemui Guru Sufi yang sedang duduk-duduk di teras mushola bersama Sufi Majnun, Sufi tua, Sufi  Sudrun, dan Dullah. Sekalipun kepada Sukiran  menyatakan ingin “mengaji” kepada Guru Sufi, namun ustadz Sukijo As-Salaf tidak sedikit pun berkenan mundur dari prinsip-prinsip ajaran yang sudah diyakininya. Demikianlah, dalam perbincangan sepintas yang dihangatkan ceramah Sufi tua tentang keabsahan  menta’wil Al-Qur’an, telah dijadikan senjata ampuh bagi ustadz Sukijo As-Salaf  untuk  mengecam ajaran sufisme sebagai ajaran sesat karena kegemaran kaum sufi menta’wil Al-Qur’an.

   Dengan garang  ustadz Sukijo As-Salaf  mengecam Sufi tua yang menta’wil  Surah Thaha ayat 5 “al-Rahmaan ‘ala al-‘Arsy istawa” sebagai suatu tindak  kesesatan yang nyata. “Ayat ini jelas bermakna al-Rahman itu bersemayam di Arsy. Bagaimana ada ta’wil bahwa al-Rahman tidak bertempat? Itu sama dengan menyatakan Allah tidak ada,” kata ustadz Sukijo As-Salaf.

   “Anda tahu tidak apa itu definisi tempat?” sahut Dullah mewakili Sufi tua yang diam tak menanggapi kecaman ustadz Sukijo As-Salaf,”Tempat adalah sesuatu yang ada setelah adanya ciptaan. Padahal, Allah sudah Ada sebelum ada ciptaan. Allah itu memiliki sifat mukhalafatuhu lil hawaditsi, yaitu wajib tidak menyerupai makhluk ciptan-Nya. Jadi menyatakan Allah berkedudukan di sebuah tempat itu menyalahi prinsip akidah. Itu sebabnya, ayat “al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa” itu harus dita’wil supaya tidak membawa kesesatan.”

    “Tidak bisa,” sergah ustadz Sukijo As-Salaf bertahan,”Apa pun alasannya, menta’wil Qur’an adalah sesat. Itu hanya dilakukan oleh orang tidak beriman.”

    “Tahukah Anda wahai ustadz Sukijo,” tukas Sufi Sudrun sambil garuk-garuk kepala,”Bahwa al-Imam al-Bukhari sang perawi hadits telah memberikan ta’wil atas Qur’an Surah Al-Qashash  ayat 88  “kullu syai’in halikun illa wajhahu”,  memaknai kata wajhahu (wajah-Nya) dengan mulkahu (kekuasaan-Nya)? Bagaimana itu menurut ustadz?”

    “Al-Imam al-Bukhari sesungguhnya telah sesat dengan ta’wil itu,” kata ustadz Sukijo As-Salaf,”Sebab syaikh kami, yaitu Syaikh Al-Albani telah menegaskan bahwa dengan ta’wil atas ayat Al-Qur’an itu, al-Imam al-Bukhari telah melakukan tindakan yang tidak patut dilakukan orang iman.”

    “Bagaimana dengan Surah Al-Baqarah ayat 115 “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah” apakah tidak perlu ta’wil?” tanya Sufi tua.

    “Sebagaimana sudah saya tegaskan, bahwa Al-Qur’an tidak boleh dita’wil!”

    “Jadi apa  makna dari ayat “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah?” tanya Sufi tua.

“Maknanya, ke mana pun engkau menghadap, di sanalah wajah Allah,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf ketus.
“Jadi kata wajhullah (wajah Allah)  tidak perlu dita’wil ya?” tanya Sufi tua ketawa.
“Tidak perlu ta’wil. Titik,” tukas ustadz Sukijo As-Salaf.

    “Bagaimana dengan surah Az-Zumar ayat 67 “wal ardhu  jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi” apakah maknanya yang benar dan apakah tidak perlu  dita’wil juga?” tanya Dullah minta penjelasan.

    “Makna ayat “wal ardhu jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi” adalah “dan bumi seutuhnya dalam genggaman-Nya dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”. Itu tidak perlu ta’wil. Titik,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf tegas.

     “Mohon tanya al-ustadz, saya kurang pintar bahasa Arab,” kata Guru Sufi mendadak melontarkan pertanyaan,”Apa ya kira-kira makna Ka’batullah, yaitu batu segi empat di Makkah  yang kita jadikan kiblat dan kita jadikan arah pesujudan dalam shalat?”

    “Ee maksudnya apa?” tanya ustadz Sukijo As-Salaf tergagap.

    “Makna Ka’batullah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Maksudnya, makna Ka’bah itu apa dan Allah itu apa dalam rangkaian kata Ka’batullah?

    “Seingat saya, Ka’ba – Ki’aaba  itu artinya mata kaki,” kata ustadz Sukijo.

“Jadi Ka’batullah itu apa bisa dimaknai “Mata Kaki Allah” di mana manusia harus menyembah, begitukah kira-kira maknanya ustadz?” tanya Guru Sufi minta penjelasan.

“Bisa saja dimaknai begitu,” kata ustadz Sukijo.

    “Bagaimana kalau kata Ka’batullah itu dipungut dari kata Ka’aba  yang bermakna tetek atau susu, apakah itu harus bermakna tetek Tuhan?; Bagaimana pula jika kata itu dipungut dari kata Ka’abati – Ki’abatan  yang bermakna gadis montok, apakah boleh dimaknai Tuhan itu serupa gadis montok?; dan bagaimana pula jika kata itu  dipungut dari kata Ka’aba yang bermakna segi empat, apakah boleh dimaknai Tuhan itu segi empat wujudnya; mana kira-kira yang benar dari kata Ka’ba untuk Ka’batullah, wahai  ustadz?” tanya Dullah.

    “Pertanyaan Anda itu haram hukumnya karena Tuhan tidak boleh dibanding-bandingkan dan diserupakan dengan sesuatu dari makhluk-Nya,” kata ustadz Sukijo bersungut-sungut.

    “Lho ustadz tadi bilang Al-Qur’an tidak boleh dita’wil, sekarang Ka’bah pun tidak boleh dimaknai sesuai makna konotasi kita, bagaimana ini?” kata Dullah heran dengan jalan pikiran ustadz Sukijo As-Salaf.

    “Sudahlah Dul,” sahut Sufi tua menyela,”Ustadz kita ini benar sekali ketika melarang kita menta’wil Al-Qur’an. Sebab, beliau itu berpikir dengan cara tekstual sesuai makna kata denotasi.”

    “Maksudnya bagaimana, pakdhe?” tanya Dullah ingin tahu.

    “Ayat 5 surah Thaha “al-Rahmaan ‘ala al-‘Arsy istawa” dimaknai “Tuhan benar-benar bersemayam di tempat yang disebut ‘Arsy”; al-Rahman itu dimaknai juga sebagai “Tuhan” yang punya wajah sebagaimana ayat  115 surah Al-Baqarah “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah”  dan ayat 88 surah al-Qashash “kullu syai’in halikun illa wajhahu”; al-Rahman juga dimaknai tanpa ta’wil sebagai “Tuhan” yang punya tangan sebagaimana ayat 67 surah Az-Zumar “wal ardhu  jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi”; dan sekarang ustadz Sukijo ini malah memaknai kata Ka’batullah dengan “mata kaki Allah” yang tak perlu dita’wil; sungguh, akidah kita sudah sangat berbeda dengan akidah ustadz Sukijo As-Salaf ini,” sahut Sufi tua.

    “Anda jangan menta’wilkan apa yang saya pikirkan tentang makna Qur’ani dari ayat-ayat yang kita bahas tadi!” sergah ustadz Sukijo As-Salafi marah.

    “Justru saya mengikuti petunjuk ustadz, tidak menta’wil apa pun, tapi  yang muncul justru makna riil dari ayat-ayat Al-Qur’an itu sebagaimana sudah saya kemukakan, yaitu Allah bertempat, berwajah, bertangan, dan bermata kaki seperti makhluk,” kata Sufi tua.

    “Sudah, sudah,” kata Sufi Majnun menengahi,”Tidak perlu ribut. Semua orang punya hak memaknai ajaran agama sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing; orang badui, silahkan memahami agama secara badui dan jangan sekali-kali memaksa kaum beradab kota untuk mengikuti cara pandang dan cara menalar badui. Sebaliknya, orang kota juga silahkan memahami agama secara orang kota dan jangan pernah mengajak-ajak badui untuk mengikuti cara menalar orang kota; sungguh, sejatinya Nabi Muhammad Saw itu adalah orang kelahiran  kota Makkah dan kemudian hijrah ke kota Madinah sampai wafatnya, jadi kalian wahai orang kota, ikutilah jalan agama Islam menurut contoh pembawanya, yaitu orang kota bernama Muhammad Saw.”

    Ustadz Sukijo As-Salaf berdiri dengan wajah merah padam. Lalu tanpa pamit, ia meninggalkan para sufi yang ketawa-ketiwi sambil geleng-geleng kepala karena tidak bisa mengikuti alur pemikiran ustadz Sukijo As-Salaf yang sangat baduistis.

Cerita Ringan oleh: Agus Sunyoto

Kebiasaan Jahiliyah dan Pesan Tambahan Nabi Shollallaah 'alaih wa sallam


          
           Satu sore Sukiran anak Sukirin menghadap Guru Sufi dengan mata berkilat-kilat menahan amarah dan kejengkelan. Kepada Guru Sufi, Sukiran menanyakan berbagai dalil agama sekitar diselenggarakannya tradisi keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi, haul, dan lain-lain yang selama ini dijalankan keluarganya. Pasalnya, waktu tahlil peringatan tujuh hari Mbah Sukimin, kakeknya, salah seorang kerabat yang jadi guru mengaji membubarkan acara itu  dengan alasan bahwa tahlilan itu bid’ah dlolalah. “Kang Sukino marah-marah, katanya seluruh keluarga, termasuk arwah Mbah Sukimin akan masuk neraka kalau ditahlilkan,” kata Sukiran mengadu.

          “Sukino kuwi siapa le?” tanya Guru Sufi ingin tahu,”Apa itu Sukino anak Mbah Sukidin dan Mbah Sukinem?”

         “Iya benar Mbah Kyai,” sahut Sukiran bersungut-sungut,”Jadi ustadz baru berapa tahun, sombongnya setengah mati. Semua orang dianggap sesat. Keblinger. Ahli neraka. Hari-hari dilewati dengan marah-marah kepada orang-orang yang dianggap sesat. Namanya sekarang ditambahi, jadi  Ahad Sukino Al-Wahab,” lanjut Sukiran mengungkapkan bahwa marga Suki, belakangan ini terpecah-belah gara-gara Sukino membawa ajaran baru yang membingungkan  keluarga. Kelompok marga yang ikut Sukino seperti Sukijan, Sukiwil, Sukipan, Sukibat, Sukiri, Sukipas, Sukiyono  namanya  ditambahi “Ahad” dan “Al-Wahab” sehingga menjadi : Ahad Sukijan Al-Wahab, Ahad Sukiwil Al-Wahab, Ahad Sukipan Al-Wahab, Ahad Sukibat Al-Wahab, Ahad Sukiri Al-Wahab, dan seterusnya. Sedang marga yang enggan mengikuti Sukino tetap saja bernama  marga  Suki seperti Sukidul, Sukirun, Sukijo, Sukimo, Sukipas, dan bahkan yang bekerja sebagai TKI di Jepang namanya diganti menjadi: Sukiyaki, Suki Ono, Sukimorata, Sukiomura, Sukiyoto, Sukiyono.  
         
             Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Sukiran dan tidak pula mengomentari pandangan ustadz Ahad Sukino Al-Wahab yang membid’ah-bid’ahkan dan menyesat-nyesatkan masyarakat yang menjalankan tradisi keagamaannya. Ia juga tidak tertarik menanggapi terjadinya perpecahan di dalam keluarga besar marga Suki. Sebaliknya, ia mengutip hadits dan menceritakannya sebagai berikut:

               Al-Hakim meriwayatkan dari  Al-Qamah bin Al- Haris  r.a yang mengatakan,”Aku telah  datang kepada Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersama dengan tujuh orang dari kaumku. Setelah kami  memberi salam dan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tertarik, maka beliau  bertanya, “Siapakah kalian ini ?”

               Kami menjawab, “Kami adalah orang beriman.”  

               Kemudian baginda  Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya, “Setiap perkataan ada buktinya, apakah bukti keimanan kalian?”

               Kami menjawab, “Ada limabelas perkara sebagai bukti keimanan kami. Pertama, lima perkara yang baginda perintahkan kepada kami. Lalu  lima perkara yang diperintahkan oleh utusan baginda kepada kami.  Lima perkara yang  lain, adalah  kebiasaan yang kami jalankan  sejak zaman jahiliyyah”

             Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya, “Apakah lima perkara yang aku perintahkan kepada kalian  itu ?”

             Mereka menjawab, “Baginda Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam telah memerintahkan kami untuk beriman kepada Allah,  kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”

             Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya lagi, “Apakah lima perkara yang diperintahkan oleh para utusanku itu ?”

             Mereka menjawab, “Kami diperintahkan oleh para utusan baginda  untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan baginda Muhammad adalah utusan Allah, kami hendaknya mendirikan sholat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat,  dan  pergi haji bila mampu.”

             Rasulullah  Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya lagi, “Apakah lima perkara yang  masih kalian kerjakan sebagai sisa kebiasaan sejak  zaman jahiliyyah ?”

              Mereka menjawab,  “Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu perang, ridha pada waktu kena ujian,  dan tidak merasa gembira dengan sesuatu musibah yang menimpa pada musuh.”

              Mendengar ucapan mereka yang amat menarik ini, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Sungguh kamu ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir-hampir saja kalian  ini serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kalian katakan tadi.”

            Kemudian Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda  melanjutkan, “Maukah kalian  aku tunjukkan kepada lima perkara amalan lagi yang akan menyempurnakan dari apa  yang  sudah kalian  punyai ?”
              Mereka menjawab serentak, ”Tentu kami bergembira menerimanya, baginda.”

            Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, ”Janganlah kalian  mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kalian  makan. Janganlah kalian  mendirikan rumah yang tidak akan kalian  tempati.  Janganlah  kalian  berlomba-lomba dalam sesuatu yang bakal kalian  tinggalkan. Berusahalah sebaik-baiknya  mencari bekal untuk kehidupan akhirat.”

            Sukiran termangu-mangu mendengar  kisah Al-Qamah bin Al-Haris r.a yang diriwayatkan Al-Hakim. Dalam kisah itu, ternyata Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam  tidak melarang Al-Qamah bin Al-Haris beserta kaumnya untuk menjalankan nilai-nilai sisa kebiasaan jahiliyah, bahkan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam menambahkan pesan tambahan baru lagi. “Jadi Mbah Kyai…,” kata Sukiran akan bertanya.

             Guru Sufi menyahut,”Al-Mukhafadah ‘ala qadhiimi shalih…..,” sambil memberi isyarat kepada Sukiran untuk melanjutkan kaidah ushuliyah yang diucapkannya.

             “Wah saya lupa lanjutannya Mbah Kyai,” sahut Sukiran ketawa  kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,”Tapi saya faham maksudnya, Mbah Kyai.”

Cerita Ringan dari Agus Sunyoto