Senin, 06 Juni 2011

Mashadir al-Syari'at


Dalam konteks pembahasan fiqh, kita tidak bisa lepas dari pembahasan ushul fiqh dan sumber-sumber pengambilan hukum atau yang kerap dikenal sebagai mashadir al-syari'at atau ushul al-ahkam atau adillat al-ahkam. Ada perdebatan menarik seputar ushul fiqh dan mashadir al-syari'at yang selalu muncul sejak bertahun-tahun lalu. Apakah dalam permasalahan ini, ijtihad (aktivitas penalaran hukum) dan tajdid (pembaharuan) dapat dilakukan seperti dalam cabang-cabang fiqh (furu' fiqh) atau apakah ia qath'i (bernilai pasti), alias tidak ada peluang tajdid, pengembangan dan ijtihad?

Mahmud 'Abd al-Karim Hasan mengemukakan bahwa sebagaimana ushul fiqh, mashadir al-syari'at haruslah sesuatu yang qath'i. karena mashadir al-syari'at adalah bagian dari prinsip dasar (al-ushul al-kulliyyat) sebagaimana aqidah, tidak dapat dijadikan pedoman hanya berdasarkan zhann (persangkaan). Allah berfirman : 
"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti keduali persangkaan saja. sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran." (QS.Yunus 36).

Al-Syathibi berkata: "Ushul Fiqh dalam agama adalah sesuatu yang qath'i, bukan zhanni. hal ini karena ushul fiqh adalah bagian dari prinsip dasar syari'at (kulliyyat al-syari'at). Sedangkan prinsip dasar syari'at, haruslah bersifat qath'i." Selanjutnya ia berkata: "Sebagian ulama berkata bahwa tidak ada peluang bagi penetapan ushul al-syari'at (sumber-sumber hukum syari'at) dengan zhann (dugaan). Karena ia adalah tasyri' (pensyari'atan). Sedangkan kita tidak diperbolehkan beribadah dengan dasar zhann kecuali dalam permasalahan cabang (furu'). Berdasarkan hal di atas, maka ushul fiqh, termasuk di dalamnya mashadir al-syari'at  haruslah sesuatu yang qath'i".

Dalam hal ini Imam Al-Syafi'i menegaskan bahwa dalam menetapkan suatu hukum, seorang qadli ataupun mufti (pemberi fatwa) haruslah berpedoman pada sumber-sumber yang valid. Dalam Al-Ummnya beliau berkata:
           "Dari apa yang telah saya ungkapkan, baik yang terucap maupun yang tersirat, berkaitan dengan hukum Allah, kemudian hukum RasulNya saw., serta hukum yang dicetuskan oleh kaum muslimin, adalah bahwa bagi orang yang memiliki kapasitas sebagai hakim atau mufti tidak diperbolehkan memberikan putusan hukum atau berfatwa melainkan harus berdasarkan khabar lazim (riwayat terpercaya). Hal ini meliputi Al-Kitab, kemudian al-Sunnah, atau apa yang dicetuskan oleh ahli ilmu yang tidak mengandung muatan pertentangan, atau qiyas (analogi) atas sebagian dari hukum-hukum di atas. Dan tidak diperkenankan baginya memberikan putusan hukum atau fatwa berdasarkan istihsan tatkala penerapannya bukanlah merupakan hal yang wajib dilakukan, atau tidak bersumber pada hal-hal di atas (Al-Kitab, al-Sunnah, Ijma', dan Qiyas)."
Yusuf al-Qardhawi mempunyai pandangan berbeda. Ia berpendapat bahwa Ushul fiqh, sebagaimana cabng-cabnag fiqh yang lain, di antaranya ada yang bersifat qth'i , sperti sumber Al-Qur'an dan Al-Sunnah serta kaidah-kaidah qath'i yang digali dari keduanya. Seperti kaidah "taklif (pembebanan) sesuai dengan kemampuan", kaidah "segala urusan berdasarkan maksud dan tujuannya  (al-umur bi al-maqashid), dan kaidah "tidak membahayakan dirinya dan orang lain (la dlarar wa la dlirar)". Di antara bidang ushul fiqh juga ada yang bersifat zhanni yakni menerima ijtihad dan tajdid. Karena hal inilah, kerp sekali terjadi perbedaan di antara ulama 'ahli ushul dalam berbagai masalah.
                                                                                                          
oleh: Forum Karya Ilmiah 2004 PP. Lirboyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar