Oleh: KH. Sahal Mahfud
Ditulis dalam Dialog Probelmatika Umat (Khalista Surabaya)
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan kebersihan. Telinga
kita begitu akrab dengan an-nadhafatu minal iman, kebersihan merupakan
sebagian dari iman. Atau at-thuhuru syartul iman, kesucian merupakan
separoh dari keimanan. Namun demikian, seringkali realitas umat Islam
kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan
keseharian.Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan
kesucian itu adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air
besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja’
terlebih dahulu, selain wudhu kalau dalam keadaan hadats kecil, dan
mandi jika dalam kondisi hadats besar.
Meski istinja’ pada hakikatnya menghilangkan najis yang keluar dari
kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan.
Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula
dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.
Berbeda dengan wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan
tayamum dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak
ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah
yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan dan fungsi
diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT, dalam hal ini,
shalat.
Seperti disebutkan di atas bahwa shalat tanpa istinja’ lebih dahulu
tidak sah hukumnya. Dunia ini menurut para pakar, sebagian besar adalah
lautan. Kurang lebih 85% dan sisanya daratan.
Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi
perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tetapi ada pula yang sedikit.
Kalau istinja’ hanya dilakukan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan
bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur
Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.
Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju
pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan
atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab
hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.
Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan
hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat
menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori banda-benda muhtaram
(dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik
kasar, dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk
istinja’. Dengan demikian, hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki
lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu
yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukukmnya jelas,
karena ada persamaan antara keduanya dalam illat (alasan terjadinya
hukum).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar
dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah
mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung
memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam
masalah istinja’.
Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain
sudah tidak dipergunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue.
Banyak hotel yang tidak menyediakan air toiletnya, namun yang tersedia
hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman,
karena pakaian tetap kering.
Seperti diterangkan di atas bahwa istinja’ dapat dilakukan dengan air
dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Tissue bukan air, bukan pula
hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja’?
Merujuk dari beberapa literature madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’
Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh
Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan
bahwa tissue dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Yaitu
benda benda padat (jamid), tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap
mulia dan berharga), karena tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika
terdapat tulisan dalam tissue (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan
menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan
itu.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah, kalau istinja’ memakai hajar
hakiki atau syar’i disyaratkan tiga kali usapan, dan dapat membersihkan
kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali
dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga
benar-benar bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar