Senin, 09 Juli 2012

Ahlussunnah wal Jama’ah


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاةوالسلام على سيدنا محمد وعلىءاله وصحبه الطيبين الطاهرين وبعد
قال الله تعالى: وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِمَا تَبَيَّنَ لَه الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَسَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّه مَاتَوَلَّى وَنُصْلِه جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرا (سورة النساء:115)

Maknanya: “Barangsiapa menentang Rasulullah setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti jalan selain orang-orang mukmin, Kami biarkan dia menempuh jalan kesatan yang dia tempuh itu, dan Kami akan menjadikannya penyulut jahannam dan ini adalah sejelek-jelek tempat kembali”(QS. An-Nisa’: 115).
Para hadirin sekalian!

Ketahuilah –semoga Allah merahmati kalian dengan taufiq-Nya- bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok mayoritas ummat Muhammad, mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip keyakinan (I’tiqad), yaitu keyakinan pada enam perkara yang tersebut dalam hadits Jibril bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره

Maknanya: “Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, qadar (ketentuan Allah), dan apa-apa yang ditentukan oleh Allah (al maqdur) yang baik dan yang buruk”.

Generasi paling mulia dari seluruh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang hidup pada tiga abad pertama, sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

Maknanya: “Sebaik-baik ummatku adalah mereka yang hidup seabad denganku, kemudian abad berikutnya, kemudian abad berikutnya.”
 
Makna “qarn” yang tersebut dalam hadits tersebut adalah seratus tahun, ini sesuai dengan pemaknaan yang dipilih oleh al Hafizh Abu al Qasim Ibnu Asakir dan para ulama lainnya, dan mereka –kaum Ahlussunnah wal Jama’ah- juga yang dimaksudkan dalam hadits riwayat at Tirmidzi dan lainnya:

أصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم وفيه قوله عليكم بالجماعة وإياكم والفرقة فإن الشيطان مع الواحد وهو منالاثنين أبعد فمن أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة
Maknanya:”Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka”. dalam terusan hadits tersebut terdapat: “Tetap berpegang teguhlah kalian pada mayoritas umat, dan jangan terpecah belah, karena setan itu bersama satu orang, dan dia akan lebih jauh dari dua orang, barangsiapa menginginkan tempat yang lapang di surga maka hendaklah ia berpegang teguh dengan ajaran al Jama’ah.”

Hadits tersebut dinilai shahih oleh al Hakim dan at-Tirmidzi menilai hadits ini adalah hadits hasan shahih.
Mereka –kaum Ahlussunnah wal Jama’ah- juga yang dimaksudkan dengan al Jama’ah yang tersebut dalam hadits riwayat Abu Dawud bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وإن هذه الملة ستفترق إلى ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة وهي الجماعة
Maknanya:”Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di antaranya akan masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga, yaitu al Jama’ah.”
Yang dimaksud dengan al Jama’ah di sini adalah kelompok mayoritas ummat, bukan shalat berjama’ah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Zaid ibn Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثلاث لا يغل عليهن قلب المؤمن إخلاص العمل والنصيحة لولي الأمر ولزوم الجماعة فإن دعوتهم تكون من وراءهم
al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani menilai hadits ini adalah hadits hasan.
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mayoritas ummat dan kelompok yang selamat. Semenjak tahun 260 Hijriyyah telah menyebar bid’ah dalam aqidah dari golongan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lain-lain, akan tetapi Allah ta’ala menjadikan dua imam besar Abu al Hasan al Asy’ari (w. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333) –semoga Allah meridlai keduanya-, mereka berdua berjuang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan aqidah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan menetapkan dalil-dalil naqli dan aqli serta bantahan terhadap syubhat-syubhat golongan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga akhirnya Ahlussunnah dinisbatkan kepada mereka berdua, dan dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Asy’ariyyun (pengikut Imam Asy’ari) dan Maturidiyyun (pengikut Imam Maturidi).

al ‘Izz ibn Abdissalam menyebutkan bahwa aqidah imam al Asy’ari telah disepakati oleh para penganut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan pemuka-pemuka madzhab Hanbali, dan pernyataan beliau tersebut disetujui oleh tokoh ulama madzhab Maliki yang hidup di masanya, yaitu Abu ‘Amr ibn al Hajib, dan tokoh Madzhab Hanafi Jamaluddin al Hushairi, dan juga disepakati oleh as-Subki .

Tajuddin as-Subki berkata: “Dan mereka penganut madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan pemuka-pemuka madzhab Hanbali semuanya adalah satu dalam aqidah, mereka semua mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, tunduk beragama kepada Allah dengan mengikuti madzhab Syaikhussunnah Abu al Hasan al Asy’ari –semoga Allah merahmatinya- lalu beliau berkata juga: Secara garis besar aqidah yang diajarkan oleh Imam al Asy’ari adalah ajaran-ajaran aqidah yang dimuat oleh kitab aqidah Imam Abu Ja’far at-Thahawi (al Aqidah ath-Thahawiyyah) yang diterima oleh para ulama berbagai madzhab dan diridlai sebagai aqidah yang benar”.

Al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya’ Ulum ad-Din berkata : “Jika disebutkan Ahlussunnah wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.

al Faqih al Hanafi Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya berkata : "Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.

Abu Bakar ibn Qadli Syuhbah dalam kitab Thabaqat-nya : “Syeikh Abu al Hasan al Asy’ari al Bishri Imam para mutakallimin, pembela ajaran sayyidil mursalin, dan penegak agama”.

Syeikh Abu Ishaq as-Syirazi –semoga Allah merahmatinya- menulis: “al Asy’ariyyah adalah Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri dan penegak syari’at, mereka bangkit untuk membantah para penyebar bid’ah seperti kelompok Qadariyyah dan lain-lain, maka siapapun yang mencela mereka, berarti telah mencela ahlussunnah, dan jika diajukan perkara dia itu kepada pemimpin yang mengurus perkara umat Islam, maka wajib untuk diberi pelajaran dengan hukuman yang membuat setiap orang jera”. Syeikh Abu BakrMuhammad ibn Ahmad as-Syasyi murid Syeikh Abu Ishaq menyetujui dan menandatangani pernyataan gurunya ini.

Inilah agama Allah yang dianut oleh generasi as-Salaf as-Shalih dan ajaran itu diwarisi dari para generasi salaf oleh generasi al khalaf as-shalih, dan Mazhab Asy’ari dan Maturidi dalam aqidah adalah satu. Madzhab yang benar yang dianut oleh as-Salaf as-Shalih adalah madzhab yang dianut oleh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, pengikutnya berjumlah ratusan juta ummat Islam, lalu bagaimana mungkin mereka yang mayoritas itu dikatakan sesat, dan sebaliknya bagaimana bisa kelompok minoritas yang hanya berjumlah sekitar tiga jutaan dianggap benar. Yang benar adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mayoritas ummatnya tidak akan berada dalam kesesatan secara bersama-sama, dan ini adalah salah satu keistimewaan bagi ummat Nabi Muhammad ini, hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah menunjukkan akan hal ini, yaitu sabda beliau:

إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة
Maknanya:”Allah tidak menjadikan umat ini bersepakat semuanya dalam kesesatan”.
Dan dalam riwayat Ibnu Majah dengan tambahan:

فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم
Maknanya: “Kalau kalian melihat adanya perselisihan, maka berpegang teguhlah pada ajaran mayoritas umat.”

Hadits mauquf Abu Mas’ud al Badri juga menguatkan kebenaran hal ini, yaitu perkataan beliau:

وعليكم بالجماعة فإن الله لا يجمع هذه الأمة على ضلالة
Maknanya:”Berpegang teguhlah kalian pada ajaran al Jama’ah, karena Allah tidak menjadikan umat ini bersepakat semuanya dalam kesesatan.”

Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani menilai hadits ini dan mengatakan: “Sanadnya hasan”, juga hadits mauquf Abdullah ibn Mas’ud yang juga shahih nisbatnya kepada beliau, yaitu perkataan beliau:

ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح
Maknanya:”Apa yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai kebaikan, maka itulah sejatinya kebaikan yang dianjurkan oleh Allah, dan apa yang dilihat oleh mereka sebagai keburukan, maka itulah sebenarnya keburukan yang dilarang oleh Allah.”
al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ini adalah hadits mauquf yang hasan”.

Maka jelaslah bahwa aqidah yang benar yang dianut oleh generasi as-Salaf as-Shalih adalah ajaran yang dianut oleh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, jumlah mereka mencapai ratusan juta umat Islam, mereka adalah kelompok mayoritas dalam ummat ini, penganut Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan pemuka-pemuka Mazhab Hanbali yang lurus, dan Rasulullah telah mengabarkan bahkan mayoritas ummatnya tidak akan tersesat, maka sungguh beruntung orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran ini.

Maka wajib hukumnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari aqidah al Firqah an Najiyyah ini, yang mana mereka itu adalah kelompok mayoritas ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling utama, ilmu yang menjelaskan tentang fundamen agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Amalan apakah yang paling utama”, beliau menjawab: beriman kepada Allah dan Rasul-Nya” (H.R. al Bukhari). Maka tidak perlu dihiraukan ocehan-ocehan golongan musyabbihah yang menjelek-jelekkan ilmu ini, mereka mengatakan bahwa ilmu aqidah adalah ilmu kalam yang dicela oleh generasi salaf, dan mereka tidak tahu bahwa ilmu kalam yang tercela adalah ilmu kalam yang dicetuskan dan ditekuni oleh sekte-sekte mu’tazilah, musyabbihah dan golongan-golongan ahli bid’ah yang serupa dengan mereka, adapun ilmu kalam yang terpuji adalah ilmu kalam yang ditekuni oleh Ahlussunnah, yang mana dasar-dasarnya sudah ada di zaman sahabat, dan kami telah sebutkan mengenai hal itu. Banyak ulama yang menulis kitab-kitab berisi penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti kitab al-Aqidah ath-Thahawiyyah karya Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H), al Aqidah an-Nasafiyyah karya al Imam an-Nasafi (w. 573 H), al Aqidah al Mursyidah karya Abu Abdillah Muhammad ibn Abdillah al Hasani yang lebih dikenal dengan julukan Ibnu Tumart (w. 524 H), yang mana kitab ini diajarkan oleh Syekh Fakhruddin Ibnu Asakir (w. 620 H), al Aqidah as-Shalahiyyah karya Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (w. 599 H) yang diberi nama Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kitab ini kemudian dihadiahkan oleh pengarangnya kepada Sultan Shalahuddin al Ayyubi (w. 589 H), dan sang sultan pun menerimanya dengan penuh kegembiraan, beliau pun memerintahkan agar kitab tersebut diajarkan untuk semua kalangan bahkan kepada anak-anak di madrasah-madrasah sehingga kitab ini akhirnya dinamakan dengan al Aqidah ash-Shalahiyyah, dan Sultan Shalahuddin sendiri yang tercatat sebagai seorang alim dalam fiqih Madzhab Syafi’i memiliki perhatian khusus dalam menyebarkan aqidah sunniyyah ini, beliau memerintahkan kepada para muadzdzin pada waktu tasbih untuk mengumandangkan aqidah ini setiap malam, baik di Mesir, daratan Syam, Makkah atau Madinah, sebagaimana hal ini telah dinukil oleh Imam as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya al Wasail ila Musamarah al Awail dan lain-lain, dan masih banyak lagi kitab-kitab lain dalam bidang aqidah yang masih juga dikarang dan ditulis hingga sekarang.

Beberapa nash yang menunjukkan keutamaan Asya’irah
Allah ta’ala berfirman:

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لائم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم (المائدة: 54)
Maknanya: “Wahai orang-orang yang beriman, siapapun dari kalian yang keluar dari agamanya (Islam), maka Allah akan mendatangkan kaum yang Ia ridlo kepada mereka dan mereka itu cinta kepada Allah, mereka itu bersikap lembut kepada sesama orang-orang mukmin, dan bersikap keras kepada orang-orang kafir, berjihad di jalan yang diridlai oleh Allah, dan tidak takut pada celaan orang yang mencela, itulah kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada siapapun yang Ia kehendaki, dan Allah Maha Pemurah lagi Maha Mengetahui.”

al Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari dan al Hakim dalam Mustadraknya menyebutkan bahwa ketika turun ayat:

فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Mereka adalah kaummu wahai Abu Musa”, seraya tangan beliau menunjuk kepada Abu Musa al Asy’ari”, al Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim”, juga diriwayatkan oleh Imam at-Thabari dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, dan juga oleh Ibnu Sa’d dalam thabaqatnya, juga at-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir.al Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid berkata mengenai hadits ini: “Para perawinya adalah perawi-perawi hadits shahih”.

al Qusyairi berkata: “Jadi para pengikut Abu al Hasan al Asy’ari adalah kaum Abu Musa, karena di manapun jika disandarkan kaum kepada nabi maka yang dimaksud adalah para pengikutnya, disebutkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya (juz. 6, hal. 220)”.

al Baihaqi berkata: “Hal itu dikarenakan fadhilah yang agung dan martabat yang mulia dalam hadits ini bagi Imam Abu al Hasan al Asy’ari –semoga Allah meridlainya-, beliau adalah termasuk anak cucu dan keturunan Abu Musa al Asy’ari yang diberi kelebihan ilmu, dikaruniai kefahaman, dan diberi kekhususan oleh Allah sebagai penegak ajaran nabi dan pemberantas bid’ah dengan mengungkapkan dalil dan membantah syubhat.”

Pernyataan ini disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam Tabyin Kadzibal Muftari.
Imam al Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya: “Bab datangnya kaum Asy’ariyyin dan penduduk Yaman.” Abu Musa meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Mereka adalah bagian dariku dan aku bagian dari mereka.”

Ketika turun ayat ini, tidak lama kemudian datanglah serombongan kaum asy’ariyyin dan kabilah-kabilah dari Yaman, al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أتاكم أهل اليمن هم أرق أفئدة وألين قلوبا الإيمان يمان والحكمة يمانية
Maknanya: “Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman, mereka lebih lembut hatinya dan lebih halus perasaannya, termasuk salah satu keimanan yang sempurna adalah keimanan orang-orang Yaman, dan hikmah yang sempurna adalah hikmah dari Yaman.”

Imam al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Imran ibn al Hushain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh sekelompok orang dari Bani Tamim, lalu Rasulullah mengatakan kepada mereka: terimalah kabar gembira wahai Bani Tamim, namun mereka menjawab: Engkau telah memberi kabar gembira kepada kami, maka berilah kami dua kali, maka seketika itu raut muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah –karena menyesalkan sikap mereka itu yang lebih mengutamakan dunia- lalu kemudian beliau didatangi juga oleh sekelompok orang dari Yaman, beliau pun mengatakan kepada mereka: Wahai orang-orang Yaman terimalah kabar gembira yang tidak diterima oleh Bani Tamim”, mereka pun menjawab: kami telah menerimanya wahai Rasulullah, kami mendatangimu untuk mempelajari ilmu agama dan bertanya tentang awal mula penciptaan alam ini, Rasulullah menjawab:

كان الله ولم يكن شىء غيره

Maknanya: “Allah ada (tanpa permulaan), dan tidak ada sesuatupun selain-Nya.”
Allah ada (dengan keberadaan yang azali/tanpa permulaan), dan belum ada tempat, waktu, arah arsy langit, benda, gerak, diam, makhluk, lalu Allah menciptakan makhluk, dan setelah diciptakan makhluk-makhluk Allah tetap ada seperti sediakala (sebelum diciptakan makhluk), Ia subhanahu wa ta’ala ada tanpa bersifat dengan sifat makhluk, tanpa tempat dan tanpa arah.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, kita semua termasuk penganut aqidah sunniyyah yang kita yakini ini, dan yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan, yang mana Rasulullah telah memuji pengikut aqidah ini dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al Bazzar, ath-Thabarani, al Hakim dengan sanad yang shahih:

لتفتحن القسطنطينية فلنعم الأمير أميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش
Maknanya: “Konstantinopel akan ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang berhasil menaklukkannya, dan sebaik-baik bala tentara adalah bala tentara yang menaklukkannya”.
Dan konstantinopel telah ditaklukkan setelah 900 tahun dari masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, penakluknya adalah as-Sulthan Muhammad al Fatih al Maturidi –semoga Allah merahmatinya- dan beliau beraqidah sunni, meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat, mencintai para shufi, dan bertawassul dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sulthan Muhammad al Fatih dan bala tentaranya yang ikut bersamanya, telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka itu dalam keadaan yang baik, dan demikian juga para raja-raja di kerajaan Turki Utsmani lainnya, mereka semua telah berjuang mempertahankan bendera kaum muslimin dan melindungi agama dalam berabad-abad lamanya.

Ratusan juta umat Islam mengikuti ajaran aqidah ini, baik salaf maupun khalaf, di barat ataupun di timur, dalam pengajaran dan pembelajaran, kenyataan menjadi saksi kebenaran hal ini, dan kiranya cukup sebagai bukti kebenaran aqidah ini bahwa para sahabat, tabi’in, atba’ at-tabi’in (dan mereka itulah yang dimaksud dengan as-salaf ash-shalih) dan termasuk orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan baik meyakini aqidah ini, para huffazh pemuka-pemuka ahli hadits, seperti al Hafizh Abu Bakr al Isma’ili pengarang al Mustakhraj ‘ala al Bukhari, al Hafizh al ‘Alam al Masyhur Abu Bakr al Baihaqi, al Hafizh yang disebut-sebut sebagai Afdlalul Muhadditsin di daratan Syam pada zamannya al Hafizh Ibnu Asakir, kemudian datang setelah beliau seorang alim yang menyamai beliau dalam keilmuan, yang disebut-sebut sebagai Amirul Mukminin fil Hadits Ahmad Ibnu Hajar al Asqalani, dan orang yang betul-betul melihat dengan teliti pasti akan mengetahui bahwa kaum Asya’irah adalah tokoh-tokoh ternama dalam berbagai disiplin ilmu dan hadits, di antaranya: Mujaddid abad keempat hijriyyah al Imam Abu at-Thayyib Sahl ibn Muhammad, Abu al Hasan al Bahili, Abu Bakr ibn Furak, Abu Bakr al Baqillani, Abu Ishaq al Isfirayini, al Hafizh Abu Nu’aim al Ashbahani, al Qadli Abdul Wahhab al Maliki, as-Syaikh Abu Muhammad al Juwaini dan putranya Abu al Ma’ali Imamul Haramain al Juwaini, Abu Manshur al Baghdadi, al Hafizh ad-Daraqutni, al Hafizh al Khatib al Baghdadi, al Ustadz Abu al Qasim al Qusyairi, dan putranya Abu Nashr, asy-Syaikh Abu Ishaq as-Syirazi, Nashr al Maqdisi, al Ghazali, al Furawi, Abu al Wafa Ibnu Aqil al Hanbali, Qadli al Qudlat ad-Damaghani al Hanafi, Abu al Walid al Baji al Maliki, al Imam as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i, Ibn as-Sam’ani, al Qadli ‘Iyadl, al Hafizh as-Silafi, an-Nawawi, Fakhruddin ar-Razi, al ‘Izz ibn Abdissalam, Abu Amr ibn al Hajib al Maliki, Ibnu Daqiq al ‘Id, ‘Alauddin al Baji, Qadli al Qudlat Taqiyyuddin as-Subki, al Hafizh al ‘Ala’i, al Hafizh Zainuddin al ‘Iraqi, dan putranya al Hafizh Waliyuddin al ‘Iraqi, al Hafizh Murtadla az-Zabidi al Hanafi, asy-Syaikh Zakariya al Anshari, asy-Syaikh Bahauddin ar-Rawwas as-Shufi, Mufti Makkah Ahmad Zaini Dahlan, Mufti India Waliyullah ad-Dihlawi, Mufti Mesir asy-Syaikh Muhammad ‘Illaisy, Syaikh al Jami’ al Azhar Abdullah asy-Syarqawi, asy-Syaikh Abu al Hasan al Qawuqji Nuqthat al Bikar fi Asanid al Mutaakhkhirin, Syaikh Husain al Jisr at-Tharabulsi, as-Syaikh Abdul Basith al Fakhuri Mufti Beirut, al Allamah ‘Alawi ibn Thahir al Hadlrami al Haddad dan Syafi’iyyul Ashr Rifa’iyyul Awan as-Syaikh al Faqih al Muhaddits Abdullah al Harari, as-Syaikh as-Shufi as-Shadiq Mushthofa Naja Mufti Beirut, dan lain-lain para pemuka agama yang teramat banyak dan tidak mengetahui keseluruhan jumlah mereka kecuali Allah semata.

Termasuk juga al Wazir al Masyhur Nizham al Mulk, as-Sulthan al Adil al ‘Alim al Mujahid Shalahuddin al Ayyubi –semoga Allah merahmatinya-, pada masa kekuasaannya beliau memerintahkan agar dikumandangkan dasar-dasar aqidah sesuai dengan ibarat-ibarat Imam al Asy’ari di atas menara-menara sebelum adzan Shubuh, dan agar diajarkan nazhaman yang dikarang oleh Muhammad ibn Hibatillah al Barmaki untuk anak-anak di kuttab-kuttab, di antara bait-baitnya adalah sebagai berikut:

وصانع العالم لا يحويه قطر تعالى الله عن تشبيه
قد كان موجودا ولا مكان وحكمه الآن على ما كان
سبحانه جل عن المكان وعز عن تغير الزمان
فقد غلا وزاد في الغلو من خصه بجهة العلو
Maknanya:”Dan pencipta alam ini tidak diliputi oleh arah, Maha Suci Allah dari serupa”
“Allah ada (tanpa permulaan/azali) dan belum ada tempat, dan setelah menciptakan tempat Ia tetap ada seperti semula (tanpa tempat)”

“Maha Suci Allah dari bertempat, dan Maha Suci Allah dari perubahan masa.”
“Telah berlebihan dan bertambah berlebihan, orang yang menetapkan Allah ada di arah atas.”
Inilah aqidah yang diajarkan di Universitas al Azhar di Mesir, dan di Universitas az-Zaitunah di Tunisia, bahkan diseluruh wilayah Maghrib, juga di Indonesia, Malaysia, Pakistan, Turki, daratan Syam, Sudan, Yaman, Irak, India, Afrika, Bukhara, Daghistan, Afganistan, dan semua Negara-negara Islam.
Termasuk juga al Malik al Kamil al Ayyubi dan Sulthan al Asyraf Khalil ibn al ManshurSaifuddin Qalawun, dan semua sulthan-sultan di berbagai dinasti Mamluk.

Kami tidak bermaksud dengan apa yang kami sebutkan ini untuk menghitung secara keseluruhan kaum asya’irah dan maturidiyyah, karena siapa yang bisa menghitung bintang-bintang di langit, atau mengetahui secara persis jumlah butiran-butiran pasir di gurun?

Jadi Asya’irah dan Maturidiyyah mereka itulah Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya, dan merekalah al Firqah an-Najiyah.

Dan sepantasnya saya mengkhususkan negara penyelenggara acara seminar ini yaitu Indonesia, yang mana mayoritas penduduknya adalah penganut ajaran sunni asy’ari, semenjak Islam masuk ke negara ini, dan kemudian disebarluaskan dan dipertahankan oleh para ulama yang shalih.

Sikap ghuluw pada banyak orang yang mengaku pengikut madzhab Hanbali
Dinamakan Hanabilah karena mereka berafiliasi kepada Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal as-Syaibani (w. 241 H), salah seorang ulama mujtahid yang terkemuka, terkenal dengan kezuhudan dan kawara’annya, jauh dari raja-raja, hanya menyibukkan diri dengan ilmu agama, meski kesulitan ekonomi melilit –semoga Allah merahmati dan meridloinya-.

Imam Ahmad diberikan ujian dengan banyaknya orang yang berafiliasi kepada beliau, sebagaimana Imam Ja’far as-Shadiq diuji dengan banyak orang yang berafiliasi kepadanya, dan sebagaimana beberapa ulama lainnya diuji dengan murid-murid mereka yang menyimpang, menambah-nambah pada pendapat mereka hal-hal yang sebetulnya jauh di luar pendapat mereka itu, dan berbohong dengan mengatasnamakan mereka.
Oleh karenanya kita temukan banyak ulama-ulama terkemuka seperti al Baihaqi, Ibnu al Jauzi, Abu al Hasan al Asy’ari meriwayatkan dari Imam Ahmad dengan sanad-sanad yang kuat, berbeda dengan riwayat-riwayat para pengikut beliau sendiri yang berlebihan dan menyimpang.

Tapi yang saya maksudkan di sini, kita tidak boleh menisbatkan kepada Imam Ahmad semua yang dinisbatkan kepada beliau oleh setiap orang yang berafiliasi kepada beliau.

Imam Ahmad sendiri terkenal dengan keteguhan iman beliau setelah dilakukan imtihan dalam peristiwa mihnah khalq al Qur’an yang terjadi pada awal abad ketiga hijriyyah. Dan Imam Ahmad saat itu teguh mempertahankan keyakinan beliau dan tidak tergelincir pada jurang kesalahan sebagaimana yang terjadi pada beberapa ulama lain saat dilakukan imtihan kepada mereka oleh penguasa Abbasiyyah.
Tidak diragukan lagi bahwa aqidah tajsim dan tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya telah dimunculkan oleh beberapa orang sebelum Hanabilah, seperti al Mughirah ibn Said, Hisyam ibn al Hakam, dan yang semasa dengan mereka seperti al Karramiyyah pengikut Muhammad ibn Karram as-Sijzi (dan kebanyakan as-Sijziyyin memiliki aqidah tajsim), jadi sebenarnya pengikut-pengikut madzhab Hanbali yang menyimpang tidak merintis bid’ah tajsim dan tasybih ini, tapi mereka menghimpun apa yang terpisah-pisah dari pendahulu mereka, lalu menambah-nambahinya, menyebarkan dan membelanya sebagai akibat permusuhan mereka dengan kelompok Mu’tazilah dan lain-lain yang teramat berlebih-lebihan dalam menafikan sifat.

Sejarah kemunculan pengikut-pengikut madzhab Hanbali yang ekstrim dan gerakan-gerakan mereka berkaitan dengan paham tajsim, tasybih, menggunakan kekerasan yang membuat jengkel, dan penyebaran fitnah, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu al Atsir dalam tarikhnya tentang fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh para pengikut Madzhab Hanbali yang menyimpang pada beberapa tahun; 310 H, 317 H, 323 H, 329 H, 447 H, 469 H, 475 H, 488 H, 567 H, 596 H.

Para pengikut madzhab Hanbali yang ekstrim itu menamakan diri mereka sebagai ahlussunnah wal jama’ah atau pengikut as-salaf as-shalih, mengaku-ngaku mengikuti jalan mereka, tapi mayoritas ummat para pengikut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali yang lurus tidak menyetujui mereka dan sebaliknya menentang mereka.

Di antara kitab-kitab yang paling terkenal sebagai rujukan para mujassimah yang barafiliasi pada Madzhab Hanbali (baik yang mereka karang sendiri atau karangan orang lain di luar kelompok mereka) adalah sebagai berikut:
al Haydah karya al Kinani (w. 240 H), as-Sunnah (yang dinisbatkan kepada) Abdullah ibn Ahmad (w. 291 H), Kitab an-Naqdl ‘ala Bisyr al Mirrisi karya ad-Darimi Utsman ibn Sa’id (w. 281 H), as-Sunnah karya al Khallal (w. 311 H), Kitab at-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Syarh as-Sunnah karya al Barbahari (w. 329 H), Kitab al Iman dan Kitab at Tauhid karya Ibnu Mandah (w. 395 H), Kitab as-Syari’ah karya al Ajurri (w. 360 H), al Ibanah karya Ibnu Baththah al Hanbali (w. 387 H), Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnahkarya Abu al Qasim al Lalika’i (w. 418 H), Kumpulan beberapa risalah yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), al Azhamah karya Abu as-Syaikh al Ashbahani (w. 369 H), dan kitab-kitab Abu Ya’la al Hanbali (w. 548 H).

Dalam kitab-kitab para pengikut Madzhab Hanbali yang ekstrim ini banyak disebutkan kesalahan fatal mereka dan masih juga menjadi fitnah pemecah belah ummat hingga kini, sepert; takfir syumuli (pengkafiran secara menyeluruh) , penyesatan tanpa dalil, pembid’ahan tanpa dalil, menvonis fasiq tanpa dalil, kezhaliman, sikap berlebihan kepada para masyayikh, celaan, kebohongan, tajsim, takwil yang bathil, lebih mengutamakan orang-orang kafir dari pada kaum muslimin, pembolehan membunuh siapa saja yang mereka anggap sebagai musuh, isra’iliyyat, dan lain-lain.

Contoh-contoh Pengkafiran Dari Para Pengikut Mazhab Hanbali Yang Ekstrim
* Pengkafiran Imam Abu Hanifah dan penganut Mazhab Hanafi, serta pencelaan dan pembid’ahan terhadap mereka yang terdapat dalam kitab-kitab pengikut Mazhab Hanbali yang ekstrim!!:

Dalam kitab as-Sunnah yang dinisbatkan kepada Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal (w. 290 H) menyebutkan kalimat yang berisi tuduhan dan celaan dari musuh-musuh Abu Hanifah yang mensifati beliau sebagai; kafir, zindiq, meninggal dalam keadaan sebagai pengikut aqidah Jahmiyyah, merusak Islam sedikit demi sedikit, tidak pernah dilahirkan dalam lingkungan ummat Islam orang yang lebih jelek dan lebih berbahaya kepada ummat darinya, Abu al Khathaya (sumber kesalahan-kesalahan), menipu agama, Abu Jifah (bangkai), dan bahwa beliau adalah orang pertama yang mengatakan al Qur’an adalah makhluk.

Saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa kitab as-Sunnah ini dipalsukan penisbatannya kepada Imam Ahmad dan banyak dimasukkan sisipan-sisipan tidak benar di dalamnya, siapapun dari kita yang mencoba membandingkan antara kitab as-Sunnah ini dengan kitab beliau Musnad al Imam Ahmad, maka akan menemukan perbedaan yang teramat jelas, atau juga jika dibandingkan dengan kitab-kitab induk dalam Mazhab Hanbali seperti kitab al Mughni karya Ibnu Qudamah dan lain-lainnya, maka akan menemukan perbedaan yang sama.

Mujassimah zaman sekarang –yaitu kelompok Wahhabiyyah- juga seperti ini, salah satu pemuka mereka yang bernama al Qanuji menyebutkan dalam kitabnya yang dia beri nama ad-Din al Khalish (juz 1/hal 140): “Taqlid kepada mazhab adalah kesyirikan”, dengan ini berarti bahwa dia telah mengkafirkan semua ummat Islam pada masa sekarang ini, karena ummat Islam saat ini semuanya adalah penganut mazhab empat, dan mereka itu menurut kelompok Wahhabi adalah kafir.

Ali ibn Muhammad ibn Sinan pengajar di masjid an-Nabawi dan perguruan tinggi yang dinamakan al Jami’ah al Islamiyyah dalam kitabnya yang dinamakan al Majmu’ al Mufid min Aqidah at Tauhid, hal 55, dia berkata: “Wahai umat Islam tidak bermanfaat Islam kalian, kecuali jika kalian terang-terangan memerangi tarekat-tarekat shufiyyah dan menghabisinya, perangilah mereka sebelum kalian memerangi Yahudi dan Majusi.”

Orang–orang Wahabi mengkafirkan penduduk semua negara-negara Islam dan ulama–ulamanya sebagaimana tersebut dalam kitab mereka yang dinamakan Fath al Majid mereka mengatakan dalam kitab tersebut pada hal. 190:”Khususnya telah diketahui bahwa kebanyakan ulama–ulama di daerah–daerah tidak mengetahui tentang tauhid kecuali yang di tetapkan oleh orang–orang musyrik saja”.

Kemudian penulis buku itu berkata: “Penduduk Mesir semuanya kafir karena mereka menyembah Ahmad al Badawi, juga penduduk Irak dan sekitarnya seperti Omman, mereka semua kafir karena mereka menyembah al Jilani, dan penduduk Syam semuanya kafir, mereka menyembah Ibnu Arabi dan begitu juga dengan penduduk Yaman, Najd dan Hijaz”.

Dan di dalam kitab mereka yang dinamakan I’shar at-Tauhid karya Nabil Muhammad mereka mengkafirkan para kaum sufi dan ahli tarekat dan semua penduduk negara–negara Islam seperti Mesir,Libya, Maroko, India, Persia, Asia Barat, negara–negara di dataran Syam, Nigeria, Turki, negara-negara di wilayah Romawi, Afganistan, negara–negaraTurkistan di China, Sudan, Tunisia, al Jazair.

Sampai Sayyidah Hawa tidak lepas dari pengkafiran Wahabiyah, sebagaimana disebutkan oleh al Qanuji dalam kitab yang dia namakan ad Din al Khalis, juz.1, hal. 160, dia mengatakan: “Pendapat yang benar adalah bahwa kesyirikan telah dilakukan oleh Hawa saja, dan bukan Nabi Adam.” Dari sini diketahui bahwa orang–orang Wahabi menjadikan semua manusia adalah anak–anak zina.

Dan dalam kitab mereka dinamakan at-Tauhid yang merupakan buku panduan kurikulum untuk kelasa 1 madrasah aliyah, karangan al Fauzan dari kementerian bidang pendidikan dan pengajaran kerajaan Saudi Arabia terbitan tahun 1424 H,hal. 66 dan 67, mereka mensifati kaum Asya’irah dan Maturidiyah dengan kesyirikan, dan mereka berkata tentang orang–orang musyrik zaman dahulu: “Mereka orang–orang musyrik adalah pendahulu bagi kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah dan Asya’irah”.

Dalam kitab Ibn Baz yang dinamakan Fatawa fil Aqidah surat–surat petunjuk untuk pimpinan lembaga keamanan Negara, halaman 13, Ibnu Baz berkata tentang orang–orang yang beristighosah dan bertawasul dengan para nabi dan para wali bahwa mereka itu adalah orang–orang musyrik dan kafir yang tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh bagi mereka untuk masuk masjidil haram dan tidak diberlakukan seperti perlakuan terhadap orang–orang Islam meskipun mereka tidak tahu, dan tidak dihiraukan ketidaktahuan mereka itu bahkan wajib hukumnya untuk diperlakukan (menurutnya) seperti perlakuan terhadap orang–orang kafir.

Muhammad Ahmad Basymil dalam kitabnya yang dinamakan Kaifa Nafhamu at-Tauhid mengatakan pada halaman 16: “Abu Jahal dan Abu Lahab lebih kuat tauhidnya dan lebih murni keimanannya kepada Allah dari pada orang Islam yang megatakan lailaha ilallah-muhammadur rasulullah, karena mereka bertawasul dengan para wali dan orang–orang shalih”.

Pengkafiran Menurut Ibnu Taimiyah
Landasan pengkafiran sudah ada pada perkataan-perkataan Ibnu Taimiyah (w. 728 H), ketika dia sangat berlebihan dalam membedakan antara tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah, dia terlalu mempermudah dalam permasalahan pertama, sebaliknya terlalu keras dan berlebihan dalam permasalahan kedua, bahkan pembedaan semacam itu pada dasarnya adalah pembedaan yang dia ada-adakan yang tidak ada dalam al Qur’an dan hadits Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam, bahkan sebelumnya tidak ada satupun dari para sahabat atau tabi’in yang mengatakan tentang pembedaan ini. Padahal kita tahu bahwa tauhid itu hanyalah satu, dan pembedaan semacam inilah yang membuat Ibnu Taimiyah dan pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa Allah tidak mengutus para rasul kecuali hanya untuk tujuan tauhid uluhiyyah saja, adapun tauhid rububiyyah, maka orang-orang kafir juga mengakuinya!!

Makna uluhiyyah dan rububiyyah menurutnya adalah saling bertentangan, dia meyakini bahwa rububiyyah adalah khaliqiyyah (keberadaan Tuhan sebagai pencipta) saja, Ibnu Taimiyah telah memasukkan dalam aqidah ini permasalahan yang tidak ada di dalamnya, terutama dalam permasalahan furu’, dan semua tuduhan kufur dan syirik darinya masuk kepada permasalahan furu’ saja, seperti tawassul, istighatsah, ziarah qubur, dll.

Pengkafiran Menurut Ibnu al Qayyim
Ibnu al Qayyim menulis satu fasal dalam nuniyyahnya yang diberi judul (Fasal: Menjelaskan bahwa muaththil adalah musyrik)!! Yang dia maksud dengan muaththil di sini sebagaimana disebutkan oleh penyarah kitab ini Muhammad Khalil Haras: adalah para filosof, Muktazilah, Asy’ariyyah, Qaramithah dan Shufiyyah, ada percampuran antara Qaramithah dan Asy’ariyyah!! Selain percampuran antara Qaramithah dan Shufiyyah!! Ibnu al Qayyim berkata dalam nuniyyahnya:

لكن أخو التعطيل شر من أخي ال إشراك بالمعقول والبرهان
Maknanya: “Tapi orang yang muaththil itu lebih keji dari orang yang melakukan kesyirikan, sesuai dengan logika dan dalil”.

Tajsim dan Tasybih Yang Terdapat Dalam Kitab-Kitab Pengikut Madzhab Hanbali yang Ekstrim
Syeikh Abdul Mughits al Harbi al Hanbali menshahihkan hadits istilqa’, yaitu hadits yang di dalamnya terdapat bahwa Allah setelah selesai menciptakan makhluk-makhluk Ia telentang dan meletakkan kaki satu di atas kaki yang lain , dan ini adalah tasybih yang amat jelas sekali.

al Ahwazi al Hanbali menulis sebuah kitab yang cukup besar tentang sifat-sifat, di antaranya hadits ‘araqal khail yang redaksinya menyebutkan bahwa Allah ketika hendak menciptakan Dzat-Nya Ia menciptakan kuda dan membuatnya berlari, sampai berkeringat, lalu menciptakan dzat-Nya dari keringat itu , Maha Suci Allah dari semua itu.

Mereka meriwayatkan bahwa al maqam al Mahmud bagi Nabi Muhammad adalah duduknya beliau bersama Tuhan di atas Arsy, dan mereka menganggap orang yang menyalahi ini sebagai pengikut Jahmiyyah atau zindiq!! Dan bahwa adanya hari penghitungan amal tidak wajib diyakini

al Barbahari tokoh Mujassimah dari pengikut Madzhab Hanbali pada masanya, di setiap majlisnya dia selalu menyebutkan bahwa Allah mendudukkan nabi bersamanya di atas ‘Arsy .

Dalam kitab mereka yang dinamakan kitab as-Sunnah hal. 75, mereka mengatakan: “Allah berada di atas Arsy, dan Kursi adalah tempat kedua kakinya”. Dan pada hal. 76 mereka mengatakan tentang Allah: “Ia bergerak”.

Ibnu Taimiyah Adalah Pembaharu Aqidah Tajsim
* Ibnu Bathuthah dalam Rihlahnya hal. 90 menyebutkan: “Di Damaskus pernah ada seorang yang merupakan salah satu pembesar Madzhab Hanbali yang bernama Ibnu Taimiyah, ia banyak berbicara dalam berbagai macam disiplin keilmuan, tapi ada ketidakberesan di akalnya, …. pada saat itu aku sedang di Damaskus, aku menghadiri majlisnya pada hari Jum’at, dan dia memberi mauizhah kepada orang-orang di atas minbar masjid Jami’,seraya mengingatkan orang-orang, dan di antara yang diomongkannya adalah: “Allah turun ke langit pertama seperti turunnya aku dari mimbar ini! Lalu dia turun setingkat demi setingkat di atas tangga mimbar, lalu dibantahlah oleh seorang Faqih Maliki yang dikenal dengan sebutan Ibnu az-Zahra’, Ia mengingkari apa yang diucapkan Ibnu Taimiyah, dan orang-orangpun mendekati faqih tersebut, lalu memukuli Ibnu Taimiyah dengan tangan dan sandal berkali-kali sampai terlepas surbannya.”

al Hafizh Ibnu Hajar dalam ad-Durar al Kaminah juz. 1/hal.154 berkata: “Mereka menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah menyebutkan hadits nuzul, lalu dia turun dari atas mimbar seraya berkata: ‘Seperti turunnya aku ini’, maka akhirnya dia dikenal sebagai penganut ajaran tajsim.”

* Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’nya juz.4/hal. 374: “Muhammad didudukkan oleh tuhannya di atas Arsy bersamanya”. Dan berkata dalam kitabnya Talbis al Jahmiyyah juz.1, hal. 573: “Allah berada di atas Arsy dan para malaikat yang menyangga Arsy merasakan berat badan Allah.”

Ibnu al Qayyim murid Ibnu Taimiyah berkata: “Allah duduk di atas Arsy, dan Ia mendudukkan Muhammad bersamanya”, pernyataan ini dia sebutkan dalam kitab Badai’ al Fawa’id juz. 4, hal. 40.

* Abu Hayyan al Andalusi dalam kitabnya an-Nahr al Madd: “Aku membaca di kitab Ibnu Taimiyah -yang semasa denganku- sebuah tulisan tangannya sendiri, yang dia beri nama Kitab al ‘Arsy, ia menulis: “Allah duduk di atas Kursi dan Ia mengosongkan tempat untuk mendudukkan Rasulullah bersamanya”, at-Taj Muhammad ibn Ali ibn Abdil Haq al Barinbari membuat tipu daya terhadapnya, ia berpura-pura mendukungnya, sampai akhirnya ia mendapatkan kitab itu, dan kami membaca perkataannya itu di kitab tersebut.”

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Bayan Talbis al Jahmiyyah juz.1/hal.568 menukil dari salah seorang mujassim dan menyepakatinya: “Kalau seandainya Allah berkehendak, maka ia akan menempat di atas punggung nyamuk, dan nyamuk itu akan kuat mengangkatnya dengan kekuasaannya dan pengaturannya yang menjadikan nyamuk seperti itu, (menurutnya kalau nyamuk saja dijadikan oleh Allah mampu mengangkatnya) apalagi Arsy yang begitu besar.”

Dan Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya yang dinamakan Minhaj as-Sunnah juz.1/hal.210: Kita mengatakan bahwa Allah bergerak dan muncul pada dzatnya sifat-sifat baharu dan sifat-sifat makhluk, lalu apa dalil yang menunjukkan kesalahan pendapat kami ini?”

Dan berkata dalam kitabnya Muwafaqatu Sharih al Ma’qul li Shahih al Manqul juz.2/hal. 29 menukil dari salah seorang mujassim dan menyetujuinya: “Allah memiliki batasan yang tidak diketahui kecuali oleh Dia saja, dan tidak boleh bagi seorang untuk membayang-bayangkan batasan itu, tetapi wajib baginya untuk beriman akan adanya batasan itu, serta menyerahkan ilmu tentang hakikat batasan tersebut hanya kepada Allah, dan tempat Allah pun memiliki batasan, Dia di atas Arsy di atas langit yang tujuh dan inilah dua batasan baginya.”

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Muwafaqat Sharih al Ma’qul li Shahih al Manqul, juz.2/hal. 29-30 menukil perkataan salah seorang mujassimah dan menyetujuinya: “Telah bersepakat kaum muslimin dan kafirin dalam satu kata bahwa Allah ada di atas langit, dan mereka membatasi Allah dengan batasan itu.”

Dan Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Talbis al Jahmiyyah, juz 1/hal. 427: “Ini semua dan yang semisalnya adalah bukti dan dalil tentang adanya batasan bagi Allah, dan orang yang tidak mau mengakui adanya batasan baginya, berarti dia telah mengingkari al Qur’an dan menentang ayat-ayat Allah.” Perkataan ini dia nukil dari salah seorang mujassimah dan dia menyetujuinya.

Dan Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitabnya at Ta’sis fi Radd Asas at-Taqdis juz 1/hal. 100: “Dan tidak mencela seseorangpun dari generasi salaf orang lain karena dia adalah seorang mujassim, dan tidak ada satupun dari mereka yang mencela kaum mujassimah.”

Dan dia berkata juga dalam kitab yang sama juz. 1/hal. 101: “Dan tidak terdapat dalam kitab Allah, hadits Rasulullah, atau perkataan salah seorang dari generasi salaf dan para ulamanya bahwa Allah bukanlah benda, dan bahwa sifat-sifatnya bukanlah benda atau sifat-sifat benda?! Maka menafikan sifat-sifat yang ditetapkan dalam nash-nash syara’ dan akal dengan menafikan lafazh-lafazhnya yang mana syara’ tidak menafikan makna-maknanya adalah suatu kesesatan dan kebodohan.”

Dan berkata juga dalam kitab yang sama juz. 1/hal 109: “Jika demikian, maka nama musyabbihah tidak disebutkan dengan celaan baik dalam al Qur’an, hadits, atau perkataan sahabat dan tabi’in.”m

Dan dia juga berkata dalam kitab yang sama juz. 1/hal. 111 perkataan yang menetapkan arah bagi Allah dengan tegas yang berbunyi: “Dan al Bari subhanahu wa ta’aladi atas alam secara hakiki dan bukan ketinggian derajat”.

Dan dalam kitab Bayan Talbis al Jahmiyyah karya Ibnu Taimiyah diterbitkan di Saudiyah Majma’ al Malik Fahd halaman 358, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Perkataannya:”maka aku bersama tuhanku dalam bentuk yang paling bagus”, jelas sekali menerangkan bahwa yang memiliki bentuk yang paling bagus adalah tuhan”.

Lihatlah pada tasybihnya yang begitu jelas di sini,IbnuTaimiyah menyifati Allah dengan bentuk dan rupa, dan sudah diketahui di kalangan umat Islam bahwa makna hadits tersebut bukanlah seperti itu, akan tetapimaksud dari hadits tersebut adalah tentang Nabi Muhammad, artinya yang sedang dalam rupanya yang paling bagus adalah Nabi Muhammad.

Dan pada hal. 365 pada kitab yang sama Ibnu Taimiyah berkata: “Nabi Muhammad menyebutkan bahwa beliau melihat tuhannya dalam berupa seorang pemuda yang kedua kakinya lebat dengan bulu dengan warna kehijauan, mamakai dua alas kaki dari emas, di wajahnya terdapatkupu-kupu dari emas.

Dan pada hal. 375 ia berkata: “Perkataan orang yang mengatakan bahwa Dia meletakkan kedua tangannya di atas kedua pundakku sampai aku merasakan dinginnya ujung-ujung jarinya di dadaku atau antara kedua tetekku adalah jelas sekali menegaskan bahwa meletakkan tangan adalah tangan yang hakiki dan tidak mengandung kemungkinan makna nikmat dari segi apapun.

Kemudian dia juga berkata pada halaman 407 perkataan yang menampakkan sebenarnya akidahnya yang meyakini jism bagi Allah, dia berkata: “Kedua: telah kami sebutkan bahwa semua yang disebutkan dari dalil-dalil ini ialah yang menafikan jism sesuai dengan istilah mereka adalah dalil-dalil yang salah”.

Dan dia juga berkata pada halaman 543: “Bahkan kami mengatakan semua yang ada itu berdiri sendiri, dan hakikatnya seperti itu.Dan bahwa apa yang tidak seperti itu ialah ‘aradl (sifat benda) yang berdiri pada selainnya, dan tidak diterima akal suatu yang ada kecuali apa yang bisa ditunjukkan atau yang seperti apa-apa yang bisa ditunjukkan”.

Aqidah Imam Ahmad ibn Hanbal dan Terlepasnya Beliau Dari Sangkut Paut Dengan Para Penganut Aqidah Tajsim

Hal terpentingdari Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal radliyallahu ‘anhu semasa hidup beliau adalah manhaj beliau dalam aqidah dan keteguhan beliau dalam berpegang teguh dengan ajaran al Qur’an dan Sunnah dan ajaran generasi salaf:

- Dalam mentauhidkan Allah dan menyucikan-Nya dari benda, tempat, arah, bergerak dan diam, Imam Abu al fadl at-Tamimi al Hanbali dalam kitab I’tiqad al Imam Ahmad hal. 38, dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata:

والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش، وكان ينكر الإمام أحمد على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة
Maknanya: “Allah tidak berubah dan tidak mengalami pergantian, tidak diliputi oleh batasan sebelum menciptakan ‘Arsy, dan Imam Ahmad mengingkari orang yang mengatakan bahwa Allah dengan dztNya berada di semua tempat, karena tempat-tempat itu ada batasannya”.
- Imam Abu al Fadl at-Tamimi pemuka madzhab hanbali di Baghdad dan putra pemuka madzhab Hanbali dalam kitabnya (I’tiqad al Imam Ahmad hal. 45):

وأنكر أحمد على من يقول بالجسم وقال إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة، وأهل اللغة وضعوا هذا الاسم على ذي طول وعرض وسمك وتركيب وصورة وتأليف والله تعالى خارج عن ذلك كله فلم يجز أن يسمى جسما لخروجه عن معنى الجسمية ولم يجئ في الشريعة ذلك فبطل
Maknanya: “Imam Ahmad mengingkari orang yang mengatakan bahwa Allah adalah jism, dan beliau berkata bahwa nama-nama itu diambil dari ajaran syara’ dan bahasa, dan para ahli bahasa menggunakan kata jism untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, kedalaman, susunan, dan bentuk, dan Allah di luar semua itu, maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah adalah jism karena Allah bukanlah jism, dan dalam ajaran syari’at tidak ada nash yang menyebutkan itu, maka perkataan orang bahwa Allah itu jism adalah bathil”.

- Al Imam al Hafizh Ibnu al Jauzi berkata dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih hal. 56 berkata:

براءة أهل السنة عامة والإمام أحمد خاصة عن عقيدة المجسمة وقال: كان أحمد لا يقول بالجهة للبارئ
Maknanya: “Terlepasnya Ahlussunnah umumnya dan Imam Ahmad khususnya dari aqidah tajsim, dan berkata: Imam Ahmad tidak menisbatkan arah bagi Allah”.

- Al Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitabnya Idlah ad-Dalil fi Qath’i Syubahi ahli at-Ta’thil hal. 108 menyebutkan bahwa Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa Allah berada di suatu arah tertentu.

- Al Imam al Hafizh al Iraqi, al Imam al Qarafi, Syeikh Ibnu Hajar al Haitami , Mulla Ali al Qari , Muhammad Zahid al Kautsari dan lain-lain menukil dari para imam madzhab empat, penunjuk ummat Imam Syafi’i , Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah perkataan mereka yang berisi tentang pengkafiran orang yang mengatakan bahwa Allah ada di suatu arah atau beraqidah tajsim”, bahkan penulis kitab al Khishalyang merupakan salah seorang pengikut madzhab Hanbali menukil dari Imam Ahmad tentang pengkafiran orang yang mengatakan:

الله جسم لا كالأجسام
Dan perkataan beliau yang masyhur yang diriwayatkan oleh Abu al Fadl at-Tamimi al Hanbali:

مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك
Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu”.
Ini merupakan dalil yang menunjukkan kejernihan aqidah Imam Ahmad dan bahwa beliau meyakini aqidah tanzih.

- Begitu juga Imam Ahmad mentakwil ayat-ayat mutasyabihat yang beirisi tentang sifat-sifat, al Baihaqi meriwayatkan dari al Hakim dari Abu Amr ibn as-Sammak dari Hanbal bahwa Ahmad ibn hanbal mentakwil firman Allah: وجاء ربك bahwa yang datang adalah pahala amalan yang diberi oleh-Nya, al Baihaqi berkata: ini sanadnya bersih dan tidak ada sedikitpun debu di atasnya, dan ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tarikhnya (juz. 10/hal. 327).

Dalam riwayat lain yang dinukil oleh al Baihaqi dalam manaqib Ahmad bahwa Imam berkata:

جاءت قدرته أي أثر من آثار قدرته
Maknanya:”Datang tanda-tanda kekuasaan-Nya”.
Al Baihaqi berkata: “Di sini terdapat dalil bahwa Imam Ahmad tidak berkeyakinan bahwa “al maji”jika disandarkan kepada Allah seperti tersebut dalam al Qur’an, atau “nuzul” jika dinisbatkan kepada Allah seperti tersebut dalam hadits berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lainseperti datangnya makhluk yang memiliki bentuk, tapi bermakna ungkapan nampaknya tanda-tanda kekuasaan Allah”

Dalam kitab al Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al Adzkar an-Nawawiyyah karya seorang ulama ahli tafsir bernama Muhammad ibn ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’I al Asy’ari al Makki (w. 1057 H), pada “Bab: Anjuran Untuk Berdo’a Dan Beristighfar Pada Paruh Kedua Setiap Malam” juz. 2/hal. 196: “Dan Allah Maha Suci dari arah, tempat, bentuk, dan semua sifat-sifat baharu, dan ini adalah keyakinan penganut kebenaran, termasuk Imam Ahmad ibn Hanbal, dan apa saja yang dinisbatkan oleh sebagian orang kepada beliau yang berisi tentang penisbatan arah bagi Allah atau yang semisalnya, semuanya itu adalah kebohongan yang nyata terhadap beliau, dan terhadap para pengikutnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu al Jauzi yang merupakan salah satu pembesar dalam Madzhab Hanbali”.

al Hafizh Ibnu Asakir –semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari fi Ma Nusiba Ila al Imam Abi al Hasan al Asy’ari hal. 164: “Ibnu Syahin mengatakan: dua orang yang shalih diuji dengan orang-orang yang buruk, Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal”.

Dalam al Fatawa al Haditsiyyahkarya Ibnu Hajar al Haitami (w. 973 H), pada halaman 144 mengatakan: “Aqidah Imam as-Sunnah Ahmad ibn Hanbal adalah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu aqidah tanzih (mensucikan) Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang yang zhalim dan orang-orang yang menentang, mensucikan Allah dari arah dan kebendaan dan lain-lain yang termasuk tanda-tanda kekurangan dan bahkan dari semua sifat yang tidak mengandung arti kesempurnaan secara muthlaq, dan yang terkenal di kalangan orang-orang bodoh yang berafiliasi kepada Imam Ahmad bahwa beliau menisbatkan arah kepada Allah adalah kebohongan semata, laknat Allah bagi orang yang menisbatkan itu kepada Imam Ahmad, atau menuduh beliau dengan kejelekan-kejelekan ini, semoga Allah membebaskan beliau dari itu semua”.

Penutup
Berisi Nasehat

Allah ta’ala berfirman:

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر (آل عمران: 110)
Maknanya: “Kalian adalah sebaik-baik umat di antara seluruh umat manusia, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran” (QS Ali Imran: 110).
Allah ta’ala berfirman:

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسولهأولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم (التوبة: 71).
Maknanya: “Orang-orang yang beriman baik laki-laki atau perempuan sebagaian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka memerintahkan kepada keta’atan, dan mencegah kemunkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menta’ati Allah dan rasul-Nya, mereka itu yang dirahmati oleh Allah, dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
Allah ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam:

أبلغكم رسالات ربي وأنصح لكم وأعلم من الله ما لا تعلمون (الأعراف: 62).
Maknanya: “Aku sampaikan kepada kalian risalah dari Tuhanku dan aku mengetahui dari wahyu Allah apa yang tidak kalian ketahui”.

Dan tentang Nabi Hud ‘alaihissalam:

أ بلغكم رسالات ربي وأنا لكم ناصح أمين (الأعراف: 68 ).
Maknanya: “Aku sampaikan kepada kalian risalah dari Tuhanku dan aku adalah pemberi nasehat kepada kalian yang terpercaya”.
Dari Tamim ad-Dari –semoga Allah meridloinya- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الدين النصيحة”، قلنا لمن؟ قال: “لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم (رواه مسلم). Maknanya: “(termasuk perkara yang teramat penting dalam) Agama ini adalah nasehat”, para sahabat bertanya: “Apa nasehat itu?” Rasulullah menjawab: “Nasehat untuk beriman kepada Allah, beriman kepada kitab Allah, beriman kepada Rasulullah, membantu para pemimpin umat Islam, dan menasehati orang awam kepada mashlahat dan keta’atan”.
Dan dari Jarir –semoga Allah meridloinya- berkata:

بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقام الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم (رواه البخاري ومسلم).
Maknanya: “Aku berjanji kepada Rasulullah untuk selelu menjalankan shalat, mengeluarkan zakat, dan menasehati setiap muslim”.

Nasehat kami kepada setiap muslim untuk selalu berpegang teguh dengan aqidah sunniyyah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, dan bersungguh-sungguh untuk menyebar dan menegakkannya, terutama para ulama dan umara’, dan setiap kita dimanapun dia berada. Dengan ini ummat Islam akan menjadi kuat dan disegani oleh ummat-ummat lain. Dan ini adalah penjagaan dan benteng untuk setiap daerah, dan keamanan serta ketentraman bagi setiap Negara.

Ketahuilah wahai saudaraku yang seiman –semoga Allah merahmatimu dengan taufiq-Nya- bahwa jalan untuk mencapai penyatuan ummat dan penyeragaman kata mereka adalah dengan menyatukan hati mereka dalam satu aqidah yang benar yaitu aqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah Ahlussunnah wal Jama’ah, aqidah as-Salaf as-Shalih, aqidah Nabi Muhammad dan para sahabatnya dan ahlul bait dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan.

Kalau kita mengambil dua contoh ini:
Pertama: Sulthan Muhammad al Fatih al Utsmani al Maturidi
Kedua: Sulthan Shalahuddin al Ayyubi al asy’ari asy-Syafi’i

Keduanya telah berjuang dalam menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan mengumpulkan hati orang-orang dalam satu kalimat tauhid, sehingga mempermudah mereka dalam menyatukan tentara Islam dalam satu barisan, akhirnya sulthan Muhammad al Fatih berhasil menaklukkan konstatinopel, dan Sultan Shalahuddin berhasil membebaskan Masjid al Aqshadari cengkeraman pasukan salib setelah dikuasai oleh mereka selama 90 tahun.

Sulthan Muhammad al Fatih
Nama lengkapnya sulthan Muhammad Khan Fatihul Qisthanthiniyyah ibn Murad, dilahirkan pada tahun 835 H, termasuk salah satu raja terkemuka di kalangan raja-raja keluarga Utsman dan yang paling kuat dalam berjuang. Melaksanakan beberapa kali peperangan, yang paling besar adalah perang dalam penaklukan Konstatinopel setelah dikepung selama 51 hari, tepatnya pada tanggal 24 Jumada al akhirah tahun 857 H, dan beliau memiliki karamah-karamah yang aneh dan peninggalan-peninggalan yang mengagumkan, berkuasa selama 31 tahun, sampai akhirnya meninggal pada tahun 886 H.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuji beliau dan tentara beliau, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al Bazzar, at-Thabarani, al Hakim dengan sanad yang shahih:

لتفتحن القسطنطينية فلنعم الأمير أميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش
Maknanya: “Konstantinopel akan ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang berhasil menaklukkannya, dan sebaik-baik bala tentara adalah bala tentara yang menaklukkannya”.
Dan konstantinopel akhirnya takluk setelah lewat 900 tahun dari meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di tangan sulthan Muhammad al Fatih al Maturidi –semoga Allah merahmatinya- dan beliau adalah seorang penganut ajaran sunni, meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat, mencintai kaum shufi yang lurus, dan bertawassul dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sulthan Shalahuddin :

Dilahirkan pada tahun 532 H, beliau –semoga Allah merahmati beliau- seorang penganut Madzhab Asy’ari dalam aqidah dan pengamal Mazhab Syafi’I dalam fiqih, seorang yang berilmu, shalih, dan mutawadli’ (rendah hati), wara’, beragama, bersahaja (zuhud), sangat rajin untuk shalat berjama’ah, tekun dalam melaksanakan amalan-amalan sunnah dan shalat malam, memperbanyak dzikir, senang mendengar bacaan al Qur’an, hatinya khusyu’, banyak meneteskan air mata (karena sedih meratapi kekurangannya), teman yang pengasih, lemah lembut dan suka memberi nasehat, adil, menyayangi rakyatnya, belas kasihan dan suka menolong kepada orang-orang yang dizhalimi dan orang-orang yang lemah, pemberani, pemurah, penyabar, akhlaqnya mulia, hafal al Qur’an, hafal kitab Tanbih dalam fiqih Syafi’i, banyak bertalaqqi hadits-hadits, selalu berdo’a kepada Allah dan tidak membuatnya gentar -dalam berjuang di jalan yang diridloi Allah- celaan orang yang mencela.

Wilayah kekuasaannya dari ujung Yaman sampai Maushil, dari Tripoli barat sampai Naubah, diserahi tampuk pemerintahan untuk seluruh daerah syam, Yaman dan cakupannya seperti Emirat, Qatar, Bahrain, Oman, juga seluruh Hijaz, seluruh daerah di Mesir, banyak membangun dan menyemarakkan masjid-masjid dan madrasah-madrasah, menyemarakkan benteng di gunung, pagar di Kairo, membangun Kubah makam Imam Syafi’i, menghapus penarikan pajak, membuka sekitar tujuh puluh lebih kota dan benteng-benteng, membebaskan Quds (palestina) dan menyucikannya setelah dikuasai selama 90 tahun oleh orang-orang kafir.
Wafat pada tahun 589 H, pada saat meninggal beliau berumur 57 tahun, dan tidak mewariskan kekuasaan ataupun tanah.

Di antara manaqib-manaqibnya:
Beliau memerintahkan pada muadzin untuk mengumandangkan aqidah al Mursyidahdiatas menara menjelang shubuh dan para muadzin pun melaksanakannya di setiap malam diseluruh masjid– masjid jami’, kebiasaan itupun berlanjut sekitar 400 tahun lebih.

Sejarawan Taqiyuddin al–Maqrizi (w.845H)dalam kitabnya al Mawaizh Wal I’tibath Bidzikril Alkhithoti Wal Atsar berkata: “Ketika Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayyub diserahijabatan pemerintahan,beliau mengeluarkan satu perintah kepada para muadzin untuk mengumandangkan di atas menara–menara pada malam hari menjelang shubuh pembacaan aqidah yang dikenal dengan al Aqidah al Mursidah dan selanjutnya para muadzin melaksanakan secara terus menerus perintah itu dengan membacakan kitab aqidah tersebut di setiap malam di seluruh masjid jami’ di Mesir sampai sekarang.

al Hafidz Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H)dalam kitabnya al Wasail ila Ma’rifat al Awail: “Ketika Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayyub diserahi pemerintahan,beliau membuat satu perintah kepada para muadzin untuk mengumandangkan di atas menara–menara pada malam hari menjelang shubuh pembacaan aqidah yang dikenal dengan al Aqidah al Mursyidahdan selanjutnya para muadzin melaksanakan secara terus menerus perintah itu dengan membacakan kitab aqidah tersebut di setiap malam di selruh masjid jami’ di Mesir sampai sekarang”.

Al a’lamah al Muhammad ibn A’lan ash-Shidiqi as-Syafi’i (w. 157 H)dalam kitabnya al Futuhat ar-Rabbaniyah a’la al Adzkar an-Nawawiyah berkata: “Ketika Shalahuddin ibn Ayub diserahi jabatan pemerintahan dan beliau menghimbau masyarakat untuk teguh mempertahankan aqidah Asy’ari, beliau memerintahkan kepada para muadzin untuk mengumandangkan aqidah asy’ariyah yang di kenal dengan sebutan al Aqidah al Mursyidah, dan mereka terus menjalankan perintah itu dan membacakan aqidah ini setiap malamnya sebelum shubuh”.

Dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyah Tajuddin sa-Subki mengatakan bahwa Syekh Fahruddin ibn Asakir mengajarkan al Aqidah al Mursyidah .

Di Damaskus al Hafidz Shalahuddin al A’la’i (W.761.H) sebagaimana dinukil oleh as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyahberkata dan al Aqidah al Mursyidah ini pengarangnya benar–benar berada di jalan yang lurus dan dia telah benar dalam mensucikan Allah yang maha agung.

Tajuddin as-Subki (w.771H)dalam kitabnya Mu’id an-Nia’am waMubid an-Niqam mengatakan: “Aqidah Asy’ari ialah aqidah yang terdapat pada kitab aqidah karya Abu Ja’far ath-Thahawi,Aqidah Abu al Qasim al Qusyairi, dan aqidah yang terkenal yang bernama al Aqidah al Mursyidahke empat–empatnya sama-sama meyakini dasar-dasar aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.

Imam Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi (w.895H)dalam Syarahnya: “al Aqidah al Mursyidah yang dinamakan dengan al-Anwar al Mubayyinah li Ma’ani I’qdi al Aqidah al Mursyidah bersepakat para imam-imam atas kebenaran aqidah ini dan aqidah ini adalah aqidah mursyidah rosyidah.

Oleh Syeikh Dr. Salim ‘Alwan Al-Husaini
(Ketua Umum Darul Fatwa Australia (Mufti Australia/Ketua Majelis Ulama Australia)
Disampaikan pada acara Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Sabtu, 30 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar