Imam Abu Hamid Al Ghozzali dan Imam Junaid Al Baghdadi berupaya meredakan ketegangan itu dengan formula-formula “jalan tengah”, misalnya: “Barangsiapa beramal dengan syari’at tanpa (memperhatikan) haqiqat akan menjadi fasiq, dan barangsiapa beramal dengan haqiqat tanpa (berpegang pada) syari’at alan menjadi zindiq (menyeleweng dari agama tanpa menyadarinya)”. Tapi ketegangan itu tak pernah sirna. Fiqih dan Tasawwuf laksana sepasang tesa dan antitesa yang terus-menerus berdialektika, bahkan dalam laku sehari-hari para pengampu agama.
Ketika mukim di Mesir, Gus Dur yang sekamar dengan Gus Mus ditamui seorang teman dari Aceh yang sangat fiqih-minded dan kurang respek terhadap tasawwuf –jadi bukan Kiyai Syukri Zarkasi sebagaimana versi populer dari kisah ini, dan mengenai hal ini saya memperoleh konfirmasi langsung dari Gus Dur. Lazimnya adab tuan rumah, Gus Dur menyiapkan minuman untuk disuguhkan. Tapi, dalam keterbatasan, ia tak menemukan lap untuk mengeringkan gelas. Maka ia membuka lemari dan memungut sepotong celana dalam milik Gus Mus yang ia tahu baru dibeli dan belum sempat dipakai. Didepan hidung tamunya, Gus Dur melap gelas dengan celana dalam itu.
Hingga pamitan, si tamu sama sekali tak menyentuh minuman yang disuguhkan, walaupun tuan rumah berkali-kali mempersilahkan. Ia terpaku pada wujud lahiriah celana dalam, tanpa memperhitungkan hakikat kebaruannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar