Jalur perkembangan pemahaman ulama Ibnu Taimiyah
Dua tulisan kami sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/
dan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/18/istilah-yang-menyesatkan/
adalah himbauan untuk meniadakan istilah manhaj salaf atau mazhab salaf yang menyesatkan atau membingungkan kaum muslim.
Mereka bertanya istilah apa sebaiknya untuk menggantikan istilah “manhaj salaf” atau “mazhab salaf”.
Sungguh istilah manhaj salaf atau mazhab salaf tidak pernah dikatakan maupun dianjurkan oleh para Salafush Sholeh maupun oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jadi pada dasarnya istilah “manhaj salaf” maupun “mazhab salaf” adalah istilah yang difatwakan oleh ulama Ibnu Taimiyah.
Fatwa Ibnu Taimiyah
“Tidak ada aib atas orang-orang yang menonjolkan manhaj salaf, menisbatakan dan menasabkan padanya, bahkan wajib menerimayang demikian itu dengan kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya tidak ada pada manhaj salaf kecuali kebenaran “ (Majmu’ Fatawa 4/129).
“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Berdasarkan fatwa tersebut maka pada hakikatnya manhaj salaf adalah manhaj Ibnu Taimiyah dan mazhab salaf adalah mazhab Ibnu Taimiyah. Keduanya kita kenal dengan istilah salafi .
Jadi salafi pada hakikatnya adalah jalan/cara/metode atau upaya pemahaman atau pemikiran ulama Ibnu Taimiyah untuk mencapai kebenaran melalui memahami tulisan-tulisan para Salafush Sholeh.
Kami katakan memahami tulisan-tulisan karena ulama Ibnu Taimiyah tidak bertemu dengan para Salafush Sholeh.
Kita paham bahwa apa yang dipahami beliau terhadap tulisan-tulisan para Salafush Sholeh , bisa benar dan bisa juga salah. Jadi apa yang difatwakan oleh beliau diatas tentang “adalah kebenaran” dan “pasti benar” adalah sebuah kesalahpahaman.
Salafi disebarluaskan oleh ulama Ibnu Taimiyah dengan muridnya yang setia yakni ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah.
Empat ratus lima puluh tahun lebih setelah beliau wafat, pemahaman salafi diangkat kembali oleh tiga pihak yakni,
Oleh Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita kenal sebagai pendiri Salafi Wahhabi atau disingkat Wahhabi. Pihak yang anti hizb / organisasi / jama’ah minal muslimin
Oleh Ulama Jamaludin Al-Afghany bersama muridnya ulama Muhammad Abduh kemudian dilanjutkan oleh ulama Rasjid Ridha, ulama Hasan Al Banna, Sayyid Quthb dll. Pihak yang tidak mempermasalahkan hizb atau organisasi atau jama’ah minal muslimin
Juga oleh kaum non muslim sebagai bahan mereka untuk mempelajari tentang Islam dan mereka menyenangi metode pemahaman Ibnu Taimiyah yang kami katakan sebagai metodologi “terjemahkan saja” diantaranya adalah Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang harum namanya di Saudi dan disebut sebagai Lawrence of Arabia. Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah) yang menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani. Snouck Hurgronje (Yahudi Belanda) yang pura-pura masuk Islam dan menggunakan ‘keIslamannya’ sebagai senjata untuk menghancurkan umat Islam Indonesia.
Dua tulisan telah kami sampaikan tentang peta salafi dunia pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/15/peta-salafy/
dan peta sebagian salafi di Indonesia
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/01/inikah-salafi-indonesia/
Ulama Ibnu Taimiyah adalah pemikir yang ulung. Tentu apa yang beliau sampaikan tidak semuanya kesalahpahaman namun banyak juga kebenaran dan itu memang diakui oleh dunia Islam. Hal yang paling pokok yang sebaiknya kita hindari adalah,
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah yang diteruskan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau dikenal sebagai salafi wahhabi masuk ke Indonesia melalui pelajar dan mahasiswa kita yang mengenyam pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah yang diteruskan oleh ulama Jamaludin Al-Afghany dan ulama Muhammad Abduh masuk ke Indonesia dipelopori oleh ulama Taher Jalaludin , ulama asal Minangkabau yang mengenyam pendidikan di universitas Al-Azhar sekitar tahun 1310 H (1892 M) yang ketika itu ulama Muhammad Abduh sedang terkenal di Mesir. Mereka mengikuti pemahaman dibidang politik atau pergerakan, jurnalistik, menyerap pola kehidupan modern (kehidupan ala barat) termasuk modernisasi (kehidupan) agama dan sistem pendidikan agama.
Pada kawasan Sumatera, ulama yang mengikuti selanjutnya dan yang terkenal adalah
Ulama Muhammad Djamil Djambek (yang tertua diantara mereka), Ulama ‘Abdullah Ahmad dan Ulama ‘Abdul Karim Amrullah (Ayahanda dari ulama Buya Hamka)
Ulama ‘Abdullah Ahmad menetap di kota Padang dan beliau sendirilah yang mengepalai penerbitan “Al-Munir”. Ulama ‘Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan Ulama Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi.
Ulama Djamil Djambek ahli falak dan beliaulah yang mula-mula menyatakan pendapat bahwa memulai dan menutup puasa Ramadhan boleh dengan memakai hisab dan beliau amat ahli memikat hati orang supaya kuat beribadah dan membantah keras kepercayaan-kepercayaan yang salah tentang tasawuf.
Ulama ‘Abdul Karim Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dan menyatakan dengan terang-terangan dalam satu bukunya bahwa beliau membantah faham yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader-kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum.
Dan Ulama ‘Abdullah Ahmad adalah seorang pengarang dan wartawan, yang dengan penanya dapat menyiarkan fahamnya, bukan saja kepada orang kampung, bahkan dalam kalangan orang-orang yang berpendidikan barat. Diantara peminatnya waktu itu ialah seorang pemuda bernama Mohammad Hatta! dan kelak menjadi seorang pemimpin besar Indonesia.
Wilayah pulau Jawa, ulama yang mengikuti selanjutnya dan yang terkenal adalah Ulama Ahmad Soorkati as As-Sudani, asal usul keturunannya dari Sudan dan lama berdiam di Madinah Munawwarah. Beliau berangkat ke Indonesia atas undangan masyarakat Arab Hadramaut yang telah berboyong ke Indonesia sekitar abad kesembilan belas. Jasa mereka besar dalam penyiaran agama Islam di Indonesia.
Kalangan sebagian bangsa Arab di pulau Jawa berlangganan “Al-Manar” dari Ulama Rasyid Ridha dan tersebarnya pemahaman ulama Jamaluddin Al-Afghany, ulama Muhammad ‘Abduh dan ulama Rasjid Ridha melalui ulama Ahmad Soorkati sehingga mendirikan perkumpulan “Al-Irsyad”.
Murid ulama Ahmad Soorkati diantaranya adalah ulama Omar Hobais, Pemimpin Besar Al-Irsyad dan ulama ‘Abdur Rahman Baswedan
Kalau Ulama Ahmad Soorkati penyebar pemahaman Muhammad Abduh dalam kalangan Arab, maka adalah K.H. Ahmad Dahlan penyiarnya dalam kalangan orang Indonesia. Beliaulah pendiri organisasi massa Muhammadiyah. Beliau dilahirkan di Jogjakarta. Sulthan telah memberikan kepadanya jabatan agama, yaitu menjadi Khathib dari Masjid Sulthan dan diberi gelar “Khathib Amin”.
Tetapi setelah beliau berlangganan dengan majalah Al ‘Urwatul Wustqa dan Al-Manar mendapatlah beliau pemikiran baru tentang Islam, ditambah lagi dengan membaca Tafsir Muhammad ‘Abduh dan kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qayyim al Jauziah beliau melepaskan jabatan tersebut dan lebih meluangkan waktu untuk memperhatikan pendidikan dan kemajuan umat Islam di kala itu.
Orang yang ketiga yang menjadi penyiar pemahaman ulama Muhammad Abduh di wilayah Jawa ialah
Ulama Ahmad Hassan , tinggal dan mengajar di Bangil, Jawa Timur. Beberapa tahun yang lalu beliau tinggal di kota Bandung dan menjadi guru serta pemimpin dari Perkumpulan Persatuan Islam (PERSIS). Banyaklah buku-buku karangan beliau dalam bahasa Indonesia, menyiarkan pemahaman Islam dengan dasar Al-Quran dan Hadits, memerangi taqlid dan menganjurkan kebebasan berfikir, menolak bid’ah dan khurafat dan membersihkan ‘aqidah daripada pengaruh ajaran lain. Dan beliaupun mengarang Tafsir Al Quran, bernama “Al-Furqan”. Salah satu perjuangan beliau adalah menentang ajaran Ahmadiyah Qadiani dan Lahore.
Ditahun 1930 beliau mengeluarkan sebuah majalah bernama “Pembela Islam”, beliau sendiri menjadi pemimpinnya, dan muridnya, Mohammad Natsir, menjadi kepala pengarangnya.
Mohammad Natsir, Pemimpin Islam Indonesia itu, dan Ketua Umum Partai Masyumi, adalah murid dari Syekh Ahmad Hassan, demikian juga seorang pemimpin Islam dan anggota Parlemen dan Konstituante yang terkenal yaitu Haji Mohammad Isa Anshary.
Demikianlah keterangan peredaran pemahaman ulama Ibnu Taimiyah melalui ulama Muhammad Abduh yang kami cuplikan dari pidato Buya Hamka yang berjudul pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia ketika beliau menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir , pada tanggal 21 Januari 1958
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Dua tulisan kami sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/
dan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/18/istilah-yang-menyesatkan/
adalah himbauan untuk meniadakan istilah manhaj salaf atau mazhab salaf yang menyesatkan atau membingungkan kaum muslim.
Mereka bertanya istilah apa sebaiknya untuk menggantikan istilah “manhaj salaf” atau “mazhab salaf”.
Sungguh istilah manhaj salaf atau mazhab salaf tidak pernah dikatakan maupun dianjurkan oleh para Salafush Sholeh maupun oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jadi pada dasarnya istilah “manhaj salaf” maupun “mazhab salaf” adalah istilah yang difatwakan oleh ulama Ibnu Taimiyah.
Fatwa Ibnu Taimiyah
“Tidak ada aib atas orang-orang yang menonjolkan manhaj salaf, menisbatakan dan menasabkan padanya, bahkan wajib menerimayang demikian itu dengan kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya tidak ada pada manhaj salaf kecuali kebenaran “ (Majmu’ Fatawa 4/129).
“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Berdasarkan fatwa tersebut maka pada hakikatnya manhaj salaf adalah manhaj Ibnu Taimiyah dan mazhab salaf adalah mazhab Ibnu Taimiyah. Keduanya kita kenal dengan istilah salafi .
Jadi salafi pada hakikatnya adalah jalan/cara/metode atau upaya pemahaman atau pemikiran ulama Ibnu Taimiyah untuk mencapai kebenaran melalui memahami tulisan-tulisan para Salafush Sholeh.
Kami katakan memahami tulisan-tulisan karena ulama Ibnu Taimiyah tidak bertemu dengan para Salafush Sholeh.
Kita paham bahwa apa yang dipahami beliau terhadap tulisan-tulisan para Salafush Sholeh , bisa benar dan bisa juga salah. Jadi apa yang difatwakan oleh beliau diatas tentang “adalah kebenaran” dan “pasti benar” adalah sebuah kesalahpahaman.
Salafi disebarluaskan oleh ulama Ibnu Taimiyah dengan muridnya yang setia yakni ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah.
Empat ratus lima puluh tahun lebih setelah beliau wafat, pemahaman salafi diangkat kembali oleh tiga pihak yakni,
Oleh Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita kenal sebagai pendiri Salafi Wahhabi atau disingkat Wahhabi. Pihak yang anti hizb / organisasi / jama’ah minal muslimin
Oleh Ulama Jamaludin Al-Afghany bersama muridnya ulama Muhammad Abduh kemudian dilanjutkan oleh ulama Rasjid Ridha, ulama Hasan Al Banna, Sayyid Quthb dll. Pihak yang tidak mempermasalahkan hizb atau organisasi atau jama’ah minal muslimin
Juga oleh kaum non muslim sebagai bahan mereka untuk mempelajari tentang Islam dan mereka menyenangi metode pemahaman Ibnu Taimiyah yang kami katakan sebagai metodologi “terjemahkan saja” diantaranya adalah Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang harum namanya di Saudi dan disebut sebagai Lawrence of Arabia. Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah) yang menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani. Snouck Hurgronje (Yahudi Belanda) yang pura-pura masuk Islam dan menggunakan ‘keIslamannya’ sebagai senjata untuk menghancurkan umat Islam Indonesia.
Dua tulisan telah kami sampaikan tentang peta salafi dunia pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/15/peta-salafy/
dan peta sebagian salafi di Indonesia
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/01/inikah-salafi-indonesia/
Ulama Ibnu Taimiyah adalah pemikir yang ulung. Tentu apa yang beliau sampaikan tidak semuanya kesalahpahaman namun banyak juga kebenaran dan itu memang diakui oleh dunia Islam. Hal yang paling pokok yang sebaiknya kita hindari adalah,
- Kekufuran dalam i’tiqod (dalam akhir hidupnya ulama Ibnu Taimiyah bertaubat dari pemahaman i’tiqodnya yang keliru)
- menghujat saudara muslim lain sebagai ahlu bid’ah namun pemahaman tentang bid’ah berbeda
- mentakfir atau mensesatkan saudara muslim lainya dengan pemahaman (kaum) sendiri dan
- akhlak-akhlak buruk lainnya yang ditimbulkan dari perbedaan atau perselisihan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah yang diteruskan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau dikenal sebagai salafi wahhabi masuk ke Indonesia melalui pelajar dan mahasiswa kita yang mengenyam pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah yang diteruskan oleh ulama Jamaludin Al-Afghany dan ulama Muhammad Abduh masuk ke Indonesia dipelopori oleh ulama Taher Jalaludin , ulama asal Minangkabau yang mengenyam pendidikan di universitas Al-Azhar sekitar tahun 1310 H (1892 M) yang ketika itu ulama Muhammad Abduh sedang terkenal di Mesir. Mereka mengikuti pemahaman dibidang politik atau pergerakan, jurnalistik, menyerap pola kehidupan modern (kehidupan ala barat) termasuk modernisasi (kehidupan) agama dan sistem pendidikan agama.
Pada kawasan Sumatera, ulama yang mengikuti selanjutnya dan yang terkenal adalah
Ulama Muhammad Djamil Djambek (yang tertua diantara mereka), Ulama ‘Abdullah Ahmad dan Ulama ‘Abdul Karim Amrullah (Ayahanda dari ulama Buya Hamka)
Ulama ‘Abdullah Ahmad menetap di kota Padang dan beliau sendirilah yang mengepalai penerbitan “Al-Munir”. Ulama ‘Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan Ulama Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi.
Ulama Djamil Djambek ahli falak dan beliaulah yang mula-mula menyatakan pendapat bahwa memulai dan menutup puasa Ramadhan boleh dengan memakai hisab dan beliau amat ahli memikat hati orang supaya kuat beribadah dan membantah keras kepercayaan-kepercayaan yang salah tentang tasawuf.
Ulama ‘Abdul Karim Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dan menyatakan dengan terang-terangan dalam satu bukunya bahwa beliau membantah faham yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader-kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum.
Dan Ulama ‘Abdullah Ahmad adalah seorang pengarang dan wartawan, yang dengan penanya dapat menyiarkan fahamnya, bukan saja kepada orang kampung, bahkan dalam kalangan orang-orang yang berpendidikan barat. Diantara peminatnya waktu itu ialah seorang pemuda bernama Mohammad Hatta! dan kelak menjadi seorang pemimpin besar Indonesia.
Wilayah pulau Jawa, ulama yang mengikuti selanjutnya dan yang terkenal adalah Ulama Ahmad Soorkati as As-Sudani, asal usul keturunannya dari Sudan dan lama berdiam di Madinah Munawwarah. Beliau berangkat ke Indonesia atas undangan masyarakat Arab Hadramaut yang telah berboyong ke Indonesia sekitar abad kesembilan belas. Jasa mereka besar dalam penyiaran agama Islam di Indonesia.
Kalangan sebagian bangsa Arab di pulau Jawa berlangganan “Al-Manar” dari Ulama Rasyid Ridha dan tersebarnya pemahaman ulama Jamaluddin Al-Afghany, ulama Muhammad ‘Abduh dan ulama Rasjid Ridha melalui ulama Ahmad Soorkati sehingga mendirikan perkumpulan “Al-Irsyad”.
Murid ulama Ahmad Soorkati diantaranya adalah ulama Omar Hobais, Pemimpin Besar Al-Irsyad dan ulama ‘Abdur Rahman Baswedan
Kalau Ulama Ahmad Soorkati penyebar pemahaman Muhammad Abduh dalam kalangan Arab, maka adalah K.H. Ahmad Dahlan penyiarnya dalam kalangan orang Indonesia. Beliaulah pendiri organisasi massa Muhammadiyah. Beliau dilahirkan di Jogjakarta. Sulthan telah memberikan kepadanya jabatan agama, yaitu menjadi Khathib dari Masjid Sulthan dan diberi gelar “Khathib Amin”.
Tetapi setelah beliau berlangganan dengan majalah Al ‘Urwatul Wustqa dan Al-Manar mendapatlah beliau pemikiran baru tentang Islam, ditambah lagi dengan membaca Tafsir Muhammad ‘Abduh dan kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qayyim al Jauziah beliau melepaskan jabatan tersebut dan lebih meluangkan waktu untuk memperhatikan pendidikan dan kemajuan umat Islam di kala itu.
Orang yang ketiga yang menjadi penyiar pemahaman ulama Muhammad Abduh di wilayah Jawa ialah
Ulama Ahmad Hassan , tinggal dan mengajar di Bangil, Jawa Timur. Beberapa tahun yang lalu beliau tinggal di kota Bandung dan menjadi guru serta pemimpin dari Perkumpulan Persatuan Islam (PERSIS). Banyaklah buku-buku karangan beliau dalam bahasa Indonesia, menyiarkan pemahaman Islam dengan dasar Al-Quran dan Hadits, memerangi taqlid dan menganjurkan kebebasan berfikir, menolak bid’ah dan khurafat dan membersihkan ‘aqidah daripada pengaruh ajaran lain. Dan beliaupun mengarang Tafsir Al Quran, bernama “Al-Furqan”. Salah satu perjuangan beliau adalah menentang ajaran Ahmadiyah Qadiani dan Lahore.
Ditahun 1930 beliau mengeluarkan sebuah majalah bernama “Pembela Islam”, beliau sendiri menjadi pemimpinnya, dan muridnya, Mohammad Natsir, menjadi kepala pengarangnya.
Mohammad Natsir, Pemimpin Islam Indonesia itu, dan Ketua Umum Partai Masyumi, adalah murid dari Syekh Ahmad Hassan, demikian juga seorang pemimpin Islam dan anggota Parlemen dan Konstituante yang terkenal yaitu Haji Mohammad Isa Anshary.
Demikianlah keterangan peredaran pemahaman ulama Ibnu Taimiyah melalui ulama Muhammad Abduh yang kami cuplikan dari pidato Buya Hamka yang berjudul pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia ketika beliau menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir , pada tanggal 21 Januari 1958
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar