Kebangkitan Bangsa
Sejarah keberagamaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari budaya yang telah mengakar pada urat nadi masyarakat Indonesia, sejarah panjang bangsa indonesia telah menunjukkan keberhasilan walisongo dalam mengemban tugas da’wah dengan mengunakan pendekatan-pendekatan yang dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Nusantara.
Penjajahan mengakibatkan keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat menjadi problemtika yang secara estafet berlangsung lama, hingga menggugah kesadaran semangat nasionalisme untuk bangkit.Kebangkitan nasional pada tahun 1908 menjadi embrio lahirnya semangat-semangat baru hingga menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Kaum pelajar yang muncul dari pesantren juga tak lepas turut andil untuk menjadi bagian dari semangat kebangkitan ini, hingga muncullah Nahdlatul wathan yang dimotori oleh KH Wahab Hasbullah dan Kyai Raden Mas Mansur.
Sebelumnya Kyai Wahab juga telah mendirikan Sarekat Islam cabang mekkah ketika beliau sedang belajar disana, lantas terjadi perang dunia I pada tahun 1914 berpengaruh pada stabilitas organisasi tersebut. lantas KH Wahab pulang mendirikan Nahdlatul tujjar (kebangkitan kaum saudagar ) Pada tahun berikutnya 1918 beliau pindah ke surabaya mendirikan kelompok Taswirul Afkar/konseptualisasi pemikiran atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.sebagai langkah konkrit dari taswirul afkar kemudian muncul madrasah Nahdlatul Wathan, madrasah Nahdlatul Wathan mempunyai cabang di beberapa kota hingga bermuncullan madrasah serupa dengan nama hidayatul wathan, far’ul Wathan. Istilah Wathan yang berarti “bangsa”, merupakan pilihan nama sebagai salah satu bukti jiwa nasionalisme yang timbul pada saat itu.
Daulah Utsmaniyah
Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.
Pada akhirnya kekuasaan berhembus ke Mekkah, walaupun seacara De facto tidak seperti sesungguhya kekuasan Daulah-daulah sebelumnya, namun letak kawasan ini ditunjang dengan keberadaan aktivitas haji yang di langsungkan di tempat tersebut, memberikan dampak yang terasa pada kaum muslim di Negara-negara lain, hingga pada akhirnya Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, hal ini mendapat tanggapan keras dari kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, kalangan pesantren di Indonesia khususnya menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban yang direncanakan oleh raja Saud. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah bersama Syekh Ahmad Ghonaim (mesir) dan Kyai Asnawi (kudus) dengan dukungan penggalangan dana dari H Hasan Gipo dan H Burhan utusan Komite Hejaz akhirnya diberangkatkan.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Nahdlatul Ulama
Setelah Komite Hijez menjalankan tugasnya, maka muncullah inisiatif terhadap pembentukan organisasi yang meneruskan konsep dan pikiran-pikiran kalangan pesantren pada saat itu, hingga akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Dalam rapat para pengagas yang dilaksanakan di kertopaten Surabaya muncullah nama organisasi (Nahdltul Ulama) yang sampai hari ini kita kenal, nama tersebut pertama di usulkan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Azis yang istilah tersebut pernah disampaikan oleh Kyai Abdul Hamid pimpinan pesantren Sedayu gresik, menurut Gus Dur istilah tersebut mendapat inspirasi dari Maqolah Syekh Ibn Atho’illah Al isskndari dalam kitab Syarah Hikam :
لاتصحب من لم ينهضك حاله ولا يدلك على الله مقاله
Jangan engkau jadikan teman orang yang tingkah dan perkataannya tidak membangkitkan dan menunjukkan terhadap ALLAH.
Nahdlatul Ulama di pimpin oleh Rais Akbar pertama Yaitu KH Hasyim Asyari serta ketua Tanfidz pada saat itu H Hasan Gipo, organisasi ini juga didukung oleh ulama-ulama pada saat itu diantaranya Kyai Ahyat (kebondalem), Kyai Mas Alwi Bin Abdul Aziz, Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Mas Nawawi (pasuruan) Kyai Bisri syamsuri, Kyai Abdullah Faqih maskumambang (Gresik), Kyai Asnawi (kudus), Kyai Dahlan Abdul kohar (mojokerto), Kyai Raden Muntoha (madura), serta sederet nama Kyai yang tidak tersebut.
Selanjutnya untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU dan Perjuangan Bangsa.
Perjalanan bangsa Indonesia seiring dengan terjadinya penjajahan memberikan ruang yang jelas terhadap bukti dan komitmen kebangsaan terhadap para pejuang dan patriot-patriot bangsa. NU yang diisi oleh putra-putra bangsa dari kalangan pesantren juga tak kalah telah memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan mempertahankan tanah air, walaupun tak tercatat secara jelas di buku-buku sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, para kyai dan generasi dari kalangan pesantren ini telah mampu membuktikan jiwa nasionalismenya, kita tengok saja diantaranya ketika muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin menghasilkan consensus terhadap kewajiban membela tanah air meskipun dibawah kekuasaan pemerintah hindia belanda, karena para ulama berpendapat meski saat itu Indonesia berada dibawah kekuasaan hindia belanda, namun masyarakat muslim menjadi sebuah komunitas yang harus dilindungi meskipun berada pada entitas Negara tidak berasas islam.
Pada tahun 1937 Kyai wahab, Kyai dahlan (kebon dalem) dan Kyai Mas Mansur serta beberpa tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mempelopori pembentukan majelis Islam A’la yang menuntut Indonesia untuk berparlemen. Seiring dengan pembentukan majelis Islam A’la, nahdlatul ulama juga mendirikan badan waqaf yang menangani harta Waqaf untuk mengurusi kepentingan social Nahdlatul ulama, atas prakarsa ketua Tanfidz PBNU Kyai Mahfud Sidiq pada saat itu juga dibentuk badan-badan koperasi yag disebut syirkah mu’awanah yang tersebar pada cabang NU pada saat pemerintahan Hindia Belanda . Pada Muktamar ke 13 di Menes (Banten) NU membentuk lembaga pendidikan Ma’arif yang diketuai oleh Kyai Wahid Hasyim.
Pada saat penjajahan jepang, Para tokoh-tokoh NU juga memberikapan sikap yang jelas terhadap penyimpangan-penyimpangan kebijakan pemerintah jepang diantaranya ketika pemberlakuan kebijakan membunkukkan badan 90 derajat pada kaisar jepang tenoheka yang dianggap sebagai manefistasi keturunan dewa matahari, Kyai Hasyim Menolak keras kebijakan tersebut hingga beliau dan beberapa Ulama NU yang lain ditangkap kemudian dijebloskan kedalam penjara di mojokerto kemudian di pindah Kepenjara Bubutan Surabaya selama Kurang lebih selama 6 bulan, Pada saat dipenjara, Kyai Hasyim juga mendapatka perlakuan keras dari jepang hingga pernah tangan beliau yang kiri di pukul hingga memar hancur tidak bisa digerakkan, Reaksi keras kemudian dating dari para ulama, berkat jasa Kyai Wahab dan Kyai Wahid Hasyim akhirnya Kyai Hasyim dibebaskan, setelah Kyai Hasyim keluar dari penjara, beberapa kali pemerintah Jepang menawarkan jabatan kepada beliau, Namun beliau menolak tawaran Tersebut.
Pada Perang 10 November di Surabaya, Bung Tomo juga mendapatkan Inspirasi dan dukungan penuh dari tokoh-tokoh NU, karena sebelumnya tepatnya pada tanggal 21-22 Oktober, Kyai dan Ulama Se jawa dan Madura Bekumpul di bubutan Surabaya yang menghasilkan fatwa Jihad, dari resolusi jihad yang ditanda tangani Kyai hasyim ini muncullah patriot-patriot yang berasal dari santri yang tergabung dalam lascar-laskar pembela kemerdekaan diantaranya Laskar Hizbullah pimpinan kyai Zainul Arifin,Laskar Sabilillah pimpinan kyai maskur , dan lascar Condromowo Kyai munasir Ali (mojokerto). Dari Markas besar Oelama yang terletak di daerah Waru Sidoarjo para ulama melakukan konsolidasi dan menyaipkan logistic perang, Hasilnya pada tanggal 10 November belanda dan sekutunya tidak mampu menguasai tanah air khusunya Surabaya, meskipun para ulama dan tokoh pesantren yang menjadi inspirasi semangat dan gigihnya perjuangan pada 10 november tidak tertuliskan dalam sejarah, namun jiwa nasionalisme yang mereka miliki telah membuktikan bahwa NU dan bangsa Indonesia mempunyai pengalaman sejarah yang nyata, resolusi jihad yang dikeluarakan oleh NU adalah fatwa jihad pertama yang berlaku pada Negara yang tidak berasaskan Islam. Selanjutnya peran para tokoh NU juga bisa kita lihat pada penumpasan Gerakan 30 SPKI, dan juga pembelaan terhadap tanah air melalui gerakan-gerakan fisik dan pemikiran.
Pesantren dan karya ulama
Pondok pesantren panji buduran sidoarjo didirikan tahun 1850, dipesantren ini para ulama NU menggali ilmu, diantranya Kyai HasyimAsyari, Kyai Bisri Samsuri, Kyai Umar (jember), Kyai Samsul arifin (asembagus), Syaikhona Kholil (Bangkalan,Madura).
Syaikhona Kholil yang merupakan guru dari bebrapa Ulama khususnya dijawa telah mengantarkan para ulama meneruskan silsilah keilmuan yang dikembangkan lewat pesantren-pesantren, beberapa kitab-kitab yang menjadi literatur pesantren adalah kitab yang berskala international, hingga tak jarang banyak alumni pesantren yang meneruskan pendidikan ditimur tengah dapat beradaptasi dengan cepat, selain itu karya-karya ulama juga banyak yang menjadi literatur dan dikenal dinegara lain diantaranya : Kitab Sirajut Tholibin Syarah Minhajul abidin (al-Ghozali) Yang dikarang oleh kyai Ihsan Jampes (kediri) menjadi litertur diperguruan tinggi Al-Azhar Mesir , Syek Nawawi yang berkarya dalam Tafsir An-nur, Kyai Mahfudz (Tremas) yang kitabnnya tentang Mustolah Hadis juga menjadi literature Di Al-azhar Mesir,
Itulah sejarah singkat Nahdlatul Ulama yang mengalami sejarah panjang bersama bangsa Indonesia.
kelasssssssssssssss
BalasHapus