Rabu, 09 November 2011

Sluku-sluku Bathok



Islam bukan Arab, tapi tak bisa dipisahkan dari Arab. Sesulit apa pun, ketika berislam, orang terpaksa sedikit-banyak berarab juga, setidak-tidaknya dalam bahasa.
Pernahkah kau bayangkan, betapa asingnya agama ini ketika pertama kali datang di Jawa? Hanya separuh (15 dari 29) fonem Arab (dari huruf Hijaiyyah) punya padanan dalam fonem Jawa (dari Honocoroko). Sedangkan transliterasi pun tidak mungkin: bagaimana menulis “kho” atau “dzal”, misalnya, dengan aksara Jawa?
Karena itu, para pionir Islam di tanah Jawa mentolerir “transfoni”, alih bunyi: “dho” jadi “lo” (“dhuhur” jadi “luhur”), “‘ain” jadi “ngo” (“‘ashr” jadi “ngasar”) dan seterusnya. Bahkan, sangking repotnya memperkenalkan Islam kepada basis budaya yang begitu jauh jaraknya ini, dengan sengaja dijalankan strategi “alter-foni” (“plesetan” bunyi).
Tokoh-tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak dikenal dalam babon pewayangan yang asli dari India. Itu adalah tokoh-tokoh kreasi Sunan Kalijogo. Sepintas, nama-namanya terdengar sebagai nama-nama Jawa. Tapi nama harus punya makna. Dan nama Jawa mestinya bisa dimaknai berdasarkan bahasa Jawa.

Joko Santoso, misalnya. “Joko” artinya perjaka. “Santoso”: sehat (tidak sakit dan tidak cacat, baik lahir maupun batin). Maka, kalau cari menantu, pilihlah joko santoso. Tapi kalau sesudah kawin dia tidak ganti nama, itu namanya kebohongan publik!

Susilo Bambang Yudhoyono. “Su” = baik, “silo” = lagak-lagu. “Bambang” = laki-laki tampan. “Yudho” = perang, “yono” = beruntung alias bejo sekaligus slamet. Bayangkan: berdasarkan khazanah Muhammad-Ronny-isme dan Nurul-Huda-Syam-isme, “slamet” saja sudah koplaknya minta ampun [KLIK DISINI], apalagi sekaligus “bejo”! [KLIK DISINI]

Bagaimana dengan Semar, Gareng, Petruk, Bagong?

Saya punya Kamus Bahasa Jawa susunan Zoetmulder, tebalnya 10 sentimeter. Sudah berulang kali saya membelasah halaman-halaman kamus itu, tak saya temukan satu pun entri yang bisa menjelaskan makna dari nama-nama tersebut! Maklum, nama-nama itu sebenarnya merupakan alter-foni dari lafadh-lafadh Arab:

شمر خيرا فاترك بغـيا

Syammir (semar) khoiron (gareng) fatruk (petruk) baghyan (bagong)

Artinya: bersegeralah (kepada) kebaikan kemudian (segera) tinggalkanlah kebangsatan.

Diantara tembang mainan yang paling populer bagi masyarakat Jawa adalah “Sluku-sluku Bathok”:

Sluku-sluku bathok
bathoke ela-elo
si romo menyang solo
leh-olehe payung muntho
pak jenthit lolo lobah
wong mati ora obah
yen obah medeni bocah
yen urip goleko dhuwit

Tembang ini entah siapa yang menciptakan. Terkadang dinisbatkan kepada Sunan Kalijogo, terkadang Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I), atau entah siapa lagi, tergantung penafsiran tentang kata “solo” –apakah itu nama daerah seperti yang kita kenal sekarang atau yang lain? Dibutuhkan penelitian lebih serius untuk memastikannya. Yang jelas, tidak mungkin memahami makna tembang itu berdasarkan khazanah bahasa Jawa, karena sebagian besar baik-baitnya merupakan alter-foni dari kalam-kalam Arab:

اسلك اسلك بطنك

usluk, usluk bathnak

بطنك لا اله الا الله

bathnuka laa ilaaha illallaah

سرما يصل

sirru maa yashilu

لااله الاالله فيموت

laa ilaaha illallaah fayamuutu

فجد د الليل لبه

fajaddid allaila lubbah

Artinya:

Jalankanlah, jalankanlah batinmu
Batinmu (melantunkan): laa ilaaha illallaah
Rahasia yang akan bertemu
(Mengucap) Laa ilaaha illallah kemudian (langsung) mati
Maka perbaruilah (imanmu dengan ucapan laa ilaaha illallaah) pada malam ini, yaitu pada tengah (malam)-nya.

Selebihnya (“wong mati ora obah / yen obah medeni bocah / yen urip goleko dhuwit”) memang sepenuhnya kalimat-kalimat Jawa (“orang mati tidak bergerak / kalau bergerak menakuti kanak-kanak / kalau hidup mencari duit”), merupakan penjelasan metaforis atas salah satu aforisma dalam kitab “Al Hikam” karya Asy Syaikh Muhammad ibn ‘Athoillah As Sakandari:

الاعمال صور قائمة وارواحها وجود سر الاخلاص فيها


(Amal itu [barulah] merupakan sosok yang siaga. Nyawanya adalah eksistensi rahasia ikhlas didalamnya)

Hingga sekarang, kecenderungan alter-foni itu masih kental pada orang Jawa. Salah seorang anggota jama’ah KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) “Al Ibriz”, Rembang, bernama Mbah Juliyah, seorang perempuan tua yang sejak kecil tidak memperoleh pendidikan agama dan belum lama mulai menjalankan ibadah. Entah apakah “Juliyah” itu alter-foni dari “jaliyyah” (perempuan yang mengkilat) atau hanya karena ia lahir di bulan Juli.

Kepada semua anggota jama’ah, sejak penataran manasik telah diajarkan doa “sapu jagad”, yaitu “robbanaa aatinaa fid dun-yaa…” dan seterusnya hingga “…waqinaa ‘adzaaban naar”. Saat itu Mbah Juliyah pun kelihatan tekun mengikuti dan komat-kamit menirukan doa yang dituntunkan oleh pembimbing KBIH. Sepulang dari tanah suci, dirubung oleh sanak-keluarga, para tetangga dan handai-taulan, Mbah Juliyah memimpin doa,

“Robbanaa aatinaa fidun-yaa yang benar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar