Pada bulan Juli 2010, Majlis Ulama Indonesia (MUI) kembali membuat berita. Yaitu keputusannya tentang arah kiblat. Sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas orang awam dikejutkan dengan fatwa arah kiblat. Bertahun-tahun umat meyakini bahwa arah kiblat adalah barat, tanpa ribet. Tiba-tiba ada pengumuman bahwa sebetulnya arah yang benar adalah barat daya. Bila anda shalat menghadap barat, bukan pada kiblat anda menghadap, tetapi anda menghadap Afrika.
Sebenarnya masalah ini bukan masalah baru, seratus tahun yang lalu Muhammadiyah sudah berjuang meluruskan arah kiblat yang benar. Sementara Nahdlatul Ulama’ bersikap lebih lunak, menghadap barat sudah cukup. Hal ini ditegaskan dalam Muktamar NU ke-9, tahun 1934.
Namun bukan berarti semua warga NU berpegangan dengan arah barat, karena menurut madzhab Syafi’i, arah kiblat harus benar-benar tepat. Madzhab Hanafi lah yang lebih lunak memperbolehkan arah barat. Dulu, Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, kiyai Mahfudz Anwar, mengundurkan diri dari jabatan ketua Ta’mir Masjid “Baitul Mu’minin” Jombang gara-gara saat masjid itu dibangun, pemerintah tidak mau menuruti arahan beliau tentang posisi arah kiblat. Beliau kemudian membangun masjid sendiri di Kebon Rojo, di sebelah Pesantren “Sunan Ampel” miliknya.
Tapi bagaimanapun juga kepanikan ini melanda umat. Para kiyai sibuk meladeni pertanyaan jamaah perihal masalah tersebut. Serasa kontroversi ini terangkat kembali dan menuntut energi yang banyak untuk menuntaskannya.
Kiyai Nashir Badrus, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri, Kediri, punya cerita. Ketika sowan kepada Mbah Maemoen Zubair gurunya, seorang santri dari kampung bertanya kepada Mbah Maemoen apakah perlu megukur dan meluruskan arah kiblat bagi masjid dan mushalla-mushalla di kampungnya. “Tidak usah, apa kamu juga mau membongkar kuburan untuk meluruskan arah kiblatnya ahli kubur?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar