3 April 2010 oleh mutiarazuhud
1. Pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, yang dituliskan hanyalah Al-Qur’an. Hadits tidak dituliskan. Pada masa Khalifah yang ke III, Saidina Ustman bin Affan Rda (23 -35H) ayat Al-Qur’an yang ditulis cerai berai itu dikumpulkan menjadi satu mushaf yang sekarang dinamakan Mushaf ustman bin Affan Rda.
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, yakni ucapan-ucapan, perbuatan Beliau yang dinamakan Sunnah Rasul semuanya tersimpan dalam dada para Sahabat yang boleh dinamakan “Pemangku Hadits”. Para Sahabat, Pemangku Hadits ini, baik sebelum Nabi Muhammad wafat maupun sesudahna, telah mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah Islam. Ada diantara mereka yang tetap di Mekkah, di Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, Iraq, Yaman, Persia, Hadharal-maut, Ethiopia, Sudan dan bahkan kabarnya ada yang sampai ke Timur jauh, ke Tiongkok dan lain sebagainya. Nasib Hadits agak malang ketika itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi tersimpan dalam ribuan dada dan hati Sahabat-Sahabat Nabi yang telah mengembara ke sana-sini.
3. Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 H sampai 70 H (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa agama dan hokum-hukum dalam pengadilan dipegang oleh para Sahabat Nabi.
Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam menghadapi masalah hukum sesuatu peristiwa, karena mereka mempunyai kitab suci Al-Qur’an dan banyak pula diantara mereka yang hafal Sunnah Rasul di luar kepala.
Sesuatu persoalan yang datang / timbul ditetapkan hukumnya sesuai dengan Al-Qur’an dan sesuai pula dengan Hadits yang dihafalnya. Apabila ia tidak banyak menghafal Hadits, maka ditanyaklan kepada kawannya sesame Sahabat, kiranya diantara mereka ada yang menghafal Hadits yang dapat dipakai dalam menghadapi persoalan yang baru timbul.
Masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal yang baru tidak banyak. Selain dari itu baik diketahui bahwa para Sahabat Nabi seakan-akan sudah menjadi dua golongan:
- Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak, ialah Pemangku Hadits saja dengan pekerjaannya hanya menyampaikan Hadits-hadits yang dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya tanpa komentar tentang isinya. Golongan ini dinamakan “Ahli Riwayah”, yakni golongan yang menyampaikan/ merawikan Hadits- hadits.
- Golongan kedua yang jumlahnya lebih sedikit, selain Pemangku Hadits, juga berfatwa dan menghadapi hokum-hukum masalah yang ditanyakan kepada mereka. Golongan ini dinamakan golongan “Mufti”, “Fuqaha” atau “Pemberi Fatwa”. Tidak banyak Sahabat yang masuk golongan kedua ini, hanya kira-kira 130 orang saja.
Para Tabi’in ini sudah besar jumlahnya dari jumlah Sahabt karena setiap Sahabt mengajar 10 sampai 50 orang Tabi’in.
Para Tabi’in itu setelah belajar dari Sahabat, lantas bertebaran keseluruh pelosok dunia untuk mengajar, bertabligh dan menjadi hakim dalam pelbagai pengadilan.
Masa Tabi’in ini dapat kita katakana dari tahun 70 H s/d 130 H (yaitu kira-kira 60 tahun).
Para Tabi’in ini sama juga dengan para Sahabat, terbagi dalam dua golongan tadi, yaitu
- Golongan pertama, yaitu pemangku Hadits saja (perawi)
- Golongan kedua, selain pemangku Hadits, juga memberikan fatwa, menjadi Qadli, menjadi Mufti dan menjadi Muballigh.
Beliau ini Ulama Besar sehingga sampai derajat ilmunya kepada bisa menjabat Imam Mujtahid.
Beliau melaksanakan istinbath (menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits) dan beliau menjadi Imam Mujtahid dalam Ilmu Fiqih yang kemudian dinamai Madzhab Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit atau Madzhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu:
Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.
Guru-gurnya yang lain para Tabi’in. Abu Hanifah menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.
5. Pada waktu hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang Ulama Besar dalam ilmu Fikih, yaitu Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki. (Lahir 93H – Wafat 179H)
Beliau hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in (orang yang berjumpa dengan Sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang telah berjumpa dengan Sahabat Nabi)
Perbedaan umur antara Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir tahun 93H dan Imam Hanafi tahun 80H.
Walaupun pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda
Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama fungsinya.
Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in banyak tinggal di madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi, Sunnah Rasul.
Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya.
Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya, diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai untuk dasar hukum.
Satu keistimewaan yang harus dicatat bahwa di kota Madinah waktu itu, boleh dikatakan hanya didiami semula oleh nabi dan Sahabat-sahabat Beliau, kemudian oleh Tabi’in dan sesudah itu Tabi’ Tabi’in. Orang yang tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dari luar daerah tetapi bukan Sahabat dan tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun berjumpa tetapi tidak iman dengan Nabi dan orang yang bukan Tabi’in (orang yang berada di Madinah tetapi tidak berjumpa dengan Sahabat, karena berada tinggal di pinggir kota, sehingga tidak berjumpa dengan Sahabat Nabi). Orang yang demikian tidak ada di Madinah pada zaman Imam Maliki.
Hal ini penting untuk dimaklumi karena Imam Maliki memakai pula dasar “amalan orang Madinah” sebagai dasar hukum
6. Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang Tabi’ Tabi’in, yaitu Muhammad bin Idris yang kemudian ternyata pembangun Madzhab Syafi’I Rhl.
Imam Syafi’I sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.
Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pndah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama.
Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’I Rhl, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).
Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui bliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.
7. Pada tahun 164H , lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih muda dari Imam Syafi’I 14 tahun. Beliau wafat tahun 214H, yaitu 37 tahun terkemudian dari Imam Syafi’I Rhl.
Barang siapa yang mempelajari riwayat Imam hanbali ini, ia akan kagum dengan ke’alimannya, ketaqwaannya, ketabahannya menghadapi cobaan, kezuhudannya dengan harta dunia dan kepintarannya yang luar biasa.
Beliau Imam Hanbali belajar Agama di Baghdad dengan Ulama-ulama Tabi’ Tabi’in.
Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’I Rhl, ketika beliau berada di Bagdad.
Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurnya. Sebagai bukti atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “ayahku telah menghafal diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta).
Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dari yang 10.000.000 itu.
Di antara Imam Mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara-cara mengagali hukum (istinbath) dalam menghadapi peristiwa-peristiwa / permasalahan yang terjadi.
Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al-Qur’an untuk menjadi dasar hukum. Setiap beliau yang berempat ini sama halnya, yakni mula-mula sekali melihat dan mencari hukum dalam Al-Qur’an.
Kalau dalam satu masalah yang terjadi ada hukumnya dalam Al-Qur’an, syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang kedua yaitu Hadits / Sunnah Rasul.
Berikut daftar ringkas mengambil hukum dikalangan Imam Mujtahid yang empat.
a. Sumber Madzhab Hanafi
- Al-Qur’an
- Hadits Nabi yang kuat , sahih-sahih dan masyur saja
- Ijma’ sahabat Nabi
- Qiyas (pendapat)
- Ihtisan (pendapat, kebaikan umum atau yang “lebih baik”).
- Al-Quran
- Hadits Nabi yang sahih menurut pandangan beliau.
- Amalan para Ulama Ahli Madinah ketika itu.
- Qiyas (pendapa)
- Masalihul-mursalah (kepentingan umum)
- Al-Qur’an
- Hadits yang sahih menurut pandangan beliau (hadits shahih mutawatir, hadits shahih aahaad, hadits shahih masyur)
- Ijma’ para Mujtahid
- Qiyas
- Al-Qur’an
- Ijma Sahabat nabi
- Hadits, termasuk hadits mursal dan hadits dha’if.
- Qiyas (pendapat)
Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa Dunia Islam dari dulu sampai sekarang telah menerima dan mengikuti madzhab-madzhab itu. Tidak seorang pun dari mereka yang membantah. Jadi seolah-olah ijma’ (sepakat), yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
Dari Mekkah, sampai Madinah, sampai Kufah dab Baghdad terus ke Mesir, Maroko, Spanyol sampai ke pelosok-pelosok Afrika dan dari Timur sampai ke Persi, ke India, ke Thailand, ke Indonesia, ke Philipina dan bahkan sampai ke Amrika, kesemuanya adalah penganut Madzhab
Jadi, melarang orang mengikut madzhab adalah bertentangan dengan ijma’ dan berlawanan dengan dunia Islam.
Di mesjid Mekkah berabad-abad lamanya didirikan tempat-tempat khusus bagi Imam-imam yang berempat, ada maqam Hanafi, ada maqam Maliki, ada maqam Syafi’I, dan ada maqam Hanbali. Setiap maqam itu mempunyai sepihak Ka’bah.
Rupanya sudah satu isyarat dari Tuhan yang menjadikan Ka’bah bersegi empat, sehingga setiap Imam yang berempat mempunyaiu satu segi.
Walaupun sekarang pada zaman pemerintahan Wahabi maqam-maqam itu sudah ditiadakan dengan alasan untuk memperluas tempat Thawaf, akan tetapi madzhab-madzhab itu berjalasn terus dan penguasa-penguasa Wahabi menganut madzhab Hanbali dalam furu’ syariat.
Sumber: Sejarah & Keagungan MADZHAB SYAFI’I, K.H Siradjuddin Abbas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar