Wednesday, 20 June 2012 09:31
Pada
tahun 1936 Samuel Zwemer memberi trik-trik metode Kristenisasi kepada
para missionaries di Jerussalem. Ia berpesan “tugas kalian bukan
mengkristenkan orang Islam tapi merobah cara berfikir orang Islam, agar
nanti lahir generasi Muslim yang memusuhi agamanya”. Trik itu kini
berjalan dengan baik dan relatif berhasil. Trik penyebaran agama a la Zwemer itu nampak tidak memaksa tapi sejatinya menipu.
Islam
tidak mengajarkan cara-cara berda’wah seperti itu. Prinsip Islam jelas
“tidak ada paksaan dalam beragama ” (QS 2:256). Beragama bukan
basa-basi. Artinya orang tidak boleh terpaksa atau pura-pura dalam
beragama Islam. Islam hanya menunjukkan dan mengajak ke jalan yang benar
dari jalan yang salah atau sesat. Ajakan itu ada tiga tingkatan dengan
argumentasi yang bijak (hikmah), nasehat yang baik (mauizah hasanah) atau dengan debat yang sehat (jadal).
Jika mereka menolak maka tidak perlu dan tidak boleh memaksa. Muslim
bahkan tetap harus melindungi mereka, membebaskan mereka menganut agama
mereka. Itulah toleransi dalam Islam.
Terma untuk makna toleransi dalam Islam adalah samahah. Tasamuh artinya
bersikap mudah dan tenang, halus atau moderat alias tidak ekstrim.
Orang Arab biasa membuat ungkapan asmih yusmah, permudahlah niscaya akan
dipermudah. Tahanawi dalam al-Ta’rifat mengartikan tasamuh sebagai melakukan sesuatu yang tidak berlebihan. Dalam kamus Tajul Arus terdapat istilah millatun samhah atau agama yang tidak sulit. Tapi dalam kamus Arabic-English Dictionary, samaha diartikan toleran.
Dalam hadith riwayat Ibn Abi Syaybah dan Bukhari Nabi bersabda: ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyyah al-samhah (beragama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan mudah). Dalam hadith lain Nabi bersabda: Ursiltu bi al-hanafiyyat al-samhah (aku diutus [Allah] dengan [sikap] lurus dan mudah).
Ajaran
ini benar-benar di praktekkan dengan baik dalam aktifitas da’wah para
ulama di zaman dulu. Di Andalusia dan Cordoba, misalnya kebebasan untuk
para pemeluk agama selain Islam sungguh dijamin. Penduduk Kristen diberi
hak memiliki pengadilan sendiri berdasarkan “hukum” Kristen. Ibadah
Kristen tidak terganggu sedikitpun. Kebaktian massal masih bebas di
adakan di lapangan. Semua itu tidak dinikmati Muslim dinegara Barat
sekarang.
Bahkan pendirian gereja tidak perlu izin
khalifah. Dalam aktifitas sehari-hari umat Kristiani bebas memilih
pakaiannya. Biarawati tidak dilarang memakai jilbab atau pakaian
keagamaan mereka. Bahkan para pemeluk agama Kristen mendapat hak yang
sama dengan Muslim menjadi pegawai sipil mapun militer. Tidak
terbayangkan Negara non-Muslim saat ini ada yang bisa setoleran itu.
Muhammad al-Makkari dalam bukunya The History of the Muhammedan Dynasties of Spain
(jld.I) mencatat bahwa karena umat Kristen tidak toleransi terhadap
keyakinan kaum pagan, maka mereka membenci agama itu. Merasa dihargai
mereka berbondong-bondong masuk Islam. Toleransi ternyata memiliki
hikmah yang dalam, dan efektifitas da’wah yang tinggi.
Akibat
dari tingginya sikap toleransi ini, kaum Yahudi dan Nasrani di Spanyol
merasa hidup nyaman berabad-abad lamanya. Orang tentu akan ingat akan
zaman Umar bin Khattab ketika memerintah Yerussalem. Mithaq Umar
adalah masa indah hubungan tiga agama yang tidak pernah dilupakan oleh
Yahudi dan Nasrani yang tulus. Tentu kerukunan beragama seperti ini
tidak mereka temui dalam lingkungan agama Kristen.
Anehnya,
energi damai dan toleransi umat Islam di Spanyol itu telah merembes ke
bidang-bidang lain. Pelajaran bahasa Arab lebih disukai ketimbang
pelajaran bahasa Latin di sekolah-sekolah Kristen waktu itu. Akibatnya,
banyak syair Arab yang ditulis oleh para penyair Kristen abad ke 11.
Yang lebih menyolok lagi para pendeta justru lebih menguasai bahasa Arab
ketimbang bahasa Latin. Maka tidak heran jika seorang penulis Spanyol
berkeluh kesah:”kita sibuk mengkaji hukum-hukum Islam seperti beo dan
lalai membaca Injil.”
Bukan hanya toleransi, tapi
kedamaian, kesantuan, dan keterpelajaran umat Islam telah mencuri hati
orang Kristen. Banyak orang Kristen yang meniru-niru gaya hidup orang
Islam atau orang Arab. Tren ini kemudian disebut Mozarab. Cara
berpakaian, makanan, minuman dan bahkan khitan pun diikuti oleh
orang-orang Kristen. Lebih dari sekedar ke Arab-Araban banyak orang
Kristen Spanyol yang lebih nyaman menjadi Muslim daripada tetap memeluk
Kristen. Akhirnya lahirlah generasi Muslim dari golongan Muwallah,
yakni penduduk Muslim tapi keturunan Spanyol. Mungkin ini aneh, sebab
wajah bukan Arab tapi Muslim, kulit putih tapi terpelajar.
Banyak
kisah tentang keindahan peradaban Islam di Spanyol yang dirindukan
orang yang suka damai. Namun, toleransi yang tulus bagai susu itu
dibalas dengan air toba. Ketika pasukan Ferdinand dan Isabela merebut
Malaga tahun 1487 orang-orang Muwallah ini disiksa sampai mati.
Pada tahun 1610, umat Islam diusir secara biadab (baca: tanpa adab)
dari Spanyol. orang-orang Muawallah itu juga ikut diusir oleh tim
Inquisisi.
Di antara saksi sejarah yang selamat
dari pengusiran itu menulis catatatan protes:”pernahkan nenek moyang
kami mengusir orang-orang Kristen dari Spanyol? Tidakkah mereka memberi
kebebasan kepada kalian beribadah? Orang masuk Islam semata-mata atas
keinsyafan sendiri dan tanpa suatu paksaan. Anda tidak akan pernah
menemukan perlakuan umat Islam seperti yang dilakukan oleh tim Inquisisi
yang menjijikkan itu.”
Karena perlakuan tidak
manusiawi itu seorang Archbishop dari Valencia tahun 1602 sadar dan
menulis kepada Raja Philip III “mereka (para Muwallah) tidak selayaknya dihukum seberat itu, mengingat sikap mereka yang sangat toleran dalam soal-soal keyakinan agama”.
Namun, apapun yang terjadi Islam adalah agama misi, tapi tidak memaksa. Aqidahnya meneguhkan keesaan Tuhan, dan syariatnya memuliakan kemanusiaan.
Namun, apapun yang terjadi Islam adalah agama misi, tapi tidak memaksa. Aqidahnya meneguhkan keesaan Tuhan, dan syariatnya memuliakan kemanusiaan.
Peperangannya untuk kedamaian dan kedamaiannya untuk
kemakmuran. Keindahan kehidupan sosialnya mencerminkan ketulusan
persahabatan dan keluhuran nurani. Prinsip-prinsip keilmuannya
mencerahkan dan implikasi amalnya menjadi rahmat bagi siapapun yang
merasakan dengan lubuk hati yang paling dalam. Sungguh tepat kesimpulan
Thomas Walker Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam bahwa “Islam adalah agama yang penuh toleransi, dan disiarkan dengan penuh damai”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar