Oleh Redaksi
Sejauh ini, hormat bendera, menyanyikan lagu
kebangsaan tidak pernah merusak akidah. Sebenarnya masalahnya
wajar-wajar saja dan sangat sederhana. Dulu ketika 10 November, KH
Hasyim Asyari sebagai ulama terkemuka di Jawa Timur justru memfatwakan
fardlu ‘ain membela negara dan bangsa ini dari serangan penjajah. Pada
waktu itu, bendera merah putih, sebagai lambang perjuangan dihormati dan
dihargai. Masalahnya Islam pada masa Nabi Saw memang belum mengenal
konsep negara-bangsa (nation-state) sehingga belum mengenal atribut
seperti bendera.
Akomodasi dan apresiasi terhadap budaya lokal serta lihai
menerapkan strategi dakwah merupakan kunci integrasi antara dunia
pesantren dengan masyarakat. Menurut KH Muhyiddin Abdusshomad,
Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama cabang Jember, pesantren adalah
sub-kultur yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Jika
ada pesantren yang ekslusif bak hidup di atas menara gading, maka
sejatinya dia telah kehilangan akar historis dan sosiologis kehadiran
pesantren.
Berikut ini petikan wawancara Burhanuddin dari Kajian Islam Utan Kayu dengan KH Muhyiddin yang juga pimpinan Pesantren Nurul Islam, Jember, pada Kamis, 16 Januari 2003:
Pak Kiai, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang sudah lama eksis di Tanah Air, kini terkena getahnya akibat tudingan sebagai sarang terorisme pasca bom Bali. Menurut pak Kyai, kenapa tudingan itu mengarah ke dunia pesantren?
Dalam memandang dan menilai suatu persoalan, setiap orang tentu akan
dipengaruhi oleh bekal pengetahuan yang dia miliki. Hal ini juga berlaku
dalam penilaian orang tersebut atas pesantren; sebagai sarang teroris
atau bukan. Akan tetapi, pandangan ini tentu tidak bisa digeneralisasi
secara serampangan, karena adanya pengecualian-pengecualian. Yang perlu
diingat, kebanyakan pesantren yang ada di tanah air, berkembang secara
tradisional. Artinya sedari awal pesantren itu berdiri, dia memang sudah
menyesuaikan diri dengan tradisi setempat dan berjalan dengan cara dan
metode yang bernuansa damai dan sukarela.
Apakah pada umumnya pesantren mengembangkan budaya inklusif dan bersahabat dengan tradisi lokal?
Saya kira, dalam hal ini kita bisa melakukan generalisasi, sebab
mayoritas pesantren di Indonesia memang begitu adanya. Pesantren
senantiasa menanamkan akhlakul karimah, budi pekerti yang baik dan
santun. Sebagai contoh, beberapa buku standar yang diajarkan di
pesantren tradisional, seperti kitab Bidâyat al-Hidâyah karya
Al-Ghazali, Ta’lîm al-Muta’allim karangan Zarnûji, dan kitab-kitab
sejenis,—meskipun perlu dikritisi—semuanya lebih menanamkan cara-cara
dakwah dengan metodologi yang damai dan sukarela. Dan ajaran-ajaran
seperti ini, oleh para kiai yang mengatur kehidupan di pesantren, memang
diimplementasikan dalam kehidupan yang nyata.
Kalau pada dasarnya potensi radikalisme tidak berkembang dari
kalangan pesantren, lantas bagaimana menjelaskan keberadaan beberapa
pesantren yang dituding mengembangkan radikalisme ini?
Saya akan mencoba memberi penjelasan. Tapi tentu penjelasan ini masih
perlu diteliti dan sekaligus dikritisi, karena berangkat dari
subjektivitas saya sebagai orang yang sehari-hari bergelut dengan santri
dan pesantren. Begini: secara historis dan sosiologis, pesantren tumbuh
dan berkembang dengan bermula dari seorang kiai. Beberapa pengasuh
pesantren,—termasuk saya—semula mukim di satu kampung atau desa di mana
dia berfungsi sebagai dai. Selanjutnya datanglah orang-orang yang ingin
belajar pengetahuan agama. Dalam proses selanjutnya, terjadi semacam
respon atau perkembangan bagaimana menyikapi Islam dan bagaimana caranya
supaya Islam yang didakwahkan menjadi menarik. Dengan begitu, warga
masyarakat yang ingin menitipkan putra-putrinya jadi ikut tertarik,
sehingga pesantren bisa berkembang dengan pesat.
Nah, mungkin ada perbedaan latar belakang historis dan sosiologis
antara kebanyakan pesantren di Indonesia dengan pesantren al-Mukmin di
Ngruki atau al-Islam di Lamongan itu. Saya mempunyai dugaan kuat, bahwa
sejak semula, mereka yang mendirikan pesantren tersebut sudah mempunyai
ideologi tertentu, dengan pemahaman Islam yang serba literal, harfiah,
dan –tentunya—lepas dari teori-teori dakwah yang telah dikembangkan para
dai atau pendahulu kita.
Penjelasan Anda menunjukkan adanya proses akomodasi dan asimilasi
dunia pesantren dengan masyarakat dan budaya lokal. Nah, apakah
segelintir pesantren itu mengalami proses ketegangan dengan masyarakat
dan budaya lokal?
Saya melihat,—sebatas bacaan dan informasi di media massa
saja—pesantren al-Mukmin Ngruki dan al-Islam Lamongan, memang terputus
dengan masyarakat. Akibatnya, sedari awal sudah tidak memberi peluang
interaksi yang baik dengan orang lain. Seolah-olah yang ada hanya dia
saja, hanya pikiran yang ada di pesantren itu saja, dan itu yang harus
diamalkan dan dikembangkan. Sementara apa yang muncul di permukaan
masyarakat tidak mendapat respon memadai.
Pesantren tradisional yang ada berbeda dalam hal ini. Perkembangan
dakwah pesantren lebih banyak mencari jalan penyesuaian. Contoh tentang
penyesuaian itu dapat diteladani dari para du’ât al-qudamâ (juru dakwah
masa lampau, Red) seperti Sunan Demak dan Sunan Kalijaga. Dari mereka
kita dapat meniru bagimana tolerannya mereka dengan orang yang berbeda,
baik dalam tradisi maupun agama. Konon, pada masa itu wilayah Jawa masih
dikuasai umat Hindu, sehingga mereka melarang melakukan ritual kurban
(Idul Adha) berupa sapi. Itu dilakukan semata-mata demi menjaga perasaan
umat Hindu yang menganggap atau berkeyakinan bahwa sapi adalah binatang
yang suci. Sebagai gantinya, mereka mengajurkan berkorban dengan
kerbau. Nah, sikap toleran demikian tampaknya banyak diadopsi oleh para
kiai kita dalam berdakwah.
Faktor apa yang membuat pesantren tradisional nampak lebih
inklusif, sementara beberapa pesantren justru terlihat kaku, keras dan
eksklusif?
Masalahnya pesantren yang berkembang secara tradisonal sudah
dilengkapi dengan pengalaman. Faktor ini yang paling berharga.
Pengalaman adalah guru yang sangat berarti dalam kehidupan ini, the
experience is the best teacher. Pengalaman itulah yang kemudian menjadi
satu bagian ilmu yang diamalkan. Artinya, para dai kita dulunya, juga
telah mengalami beberapa kegagalan. Berangkat dari kegagalan masa lampau
itulah kemudian muncul evaluasi gagasan yang coba dielaborasi kembali
dan dikembangkan menjadi metodologi yang diterapkan pesantren-pesantren
yang ada sekarang.
Dari sudut ilmu yang diajarkan, pesantren tradisonal juga cukup
mumpuni dan boleh dikatakan meliputi berbagai perangkat ilmu pokok
keislaman, seperti fikih, ushul fikih dan lain-lain. Bahkan di pesantren
biasa diajarkan kita al-Fiqh alâ al-Mazâhib al-Arba’ah (fikih menurut
perspektif empat mazhab, Red) karangan Al-Jazâ’iri. Selain itu, dalam
buku fikih itu sendiri, sebetulnya secara implisit sudah ditanamkan kiat
untuk bertoleransi dalam perbedaan. Ini dapat disimpulkan misalnya
dalam ungkapan fîhi tsalâtsat aujuh (dalam persoalan ini ada tiga opini
yang berkembang, Red).
Lebih lanjut, dalam teori fikih al-Syâfi’i akan ditemukan penekanan
bahwa ini pendapat al-azhar (yang lebih jelas, Red), al-masyhûr (yang
populer, Red) dan macam-macam lagi. Biasanya, dalam akhir polemik selalu
ditutup dengan kalimat wallâhu a’lam bi al-shawâb (Allah yang
Mahatahu). Kalimat ini berarti tidak ada semacam monopoli kebenaran,
bahkan dari ulama mumpuni sekalipun. Kebenaran menjadi hak prerogratif
Allah. Jadi sebetulnya, adalah satu hal yang tragis bila saudara-saudara
kita mengumandangkan slogan al-rujû ilâ al-kitâb wa al-sunnah (Kembali
ke Alkitab dan Sunnah, Red), lalu tidak membuka peluang ijtihad,
ditambah lagi tidak dibarengi dengan ilmu yang cukup. Akibatnya
fatalnya, dia bisa menafsirkan Alquran sekehendaknya sendiri.
Mungkin, karena tidak dibarengi semacam metodologi atau perangkat
untuk memahami Alquran dan Sunnah akhirnya berujung pada literalisme?
Bukankah literalisme merupakan cara yang paling gampang dilakukan?
Ya, mungkin apa adanya. Pemahaman “apa adanya” di sini dalam artian
pemahaman yang selain literal, juga sempit. Kalau pemahaman “apa adanya”
itu dibarengi dengan pengetahuan tafsir yang cukup dari beberapa
literatur yang ada, baik klasik atau kontemporer, saya kira, tidak akan
terjadi tindak kekerasan. Kalau kita mau membaca Alquran dan Hadis itu
sendiri sebenarnya akan banyak larangan-larangan untuk tidak membuat
kerusakan di muka bumi ini. Contohnya, dalam Q.s al-Qashash: 77, Allah
berfirman: “Walâ tabghî al-fasâd fi al-ardl, inna-Allâh lâ yuhibb
al-mufsidîn”. Artinya: “Janganlah berbuat keonaran di muka bumi, karena
Allah tidak suka orang yang berbuat keonaran.”
Apakah pandangan ideologis pemimpin pesantren berpotensi membuat
suatu pesantren lebih toleran, sementara yang lain sangat kaku dan
cenderung radikal?
Oh, saya kira, pengaruhnya sangat signifikan. Sebab apa yang
ditanamkan oleh kiai, akan diserap para santri dan akan ditiru dan
diamalkan. Ini disebabkan cara dakwah kyai itu lebih pada faktor uswatun
hasanah atau keteladanan yang baik. Umumnya, mereka bertolak dari Q.s
al-Fushilat: 33 yang berbunyi: “Waman ahsan qaulan min man da’â
ila-Allâh wa’amila shâlihan, waqâla innanî min al-muslimîn” (siapakah
yang lebih baik ajakannya daripada orang yang mengajak (orang lain) ke
jalan Allah, dibarengi dengan perbuatan yang saleh, dan mendeklarasikan
diri sebagai orang yang penuh kepasrahan, Red). Nah, para kyai
meneladani ayat ini dari sisi implementasinya amila shalihan-nya dulu.
Berbuat baik dulu, baru qâla atau berkata. Sehingga, setiap sikap dan
tingkah lakunya, oleh para santri akan dicontoh. Oleh karena itu, apa
yang diajarkan para kyai, dan apa yang ada dalam kurikulum pesantren,
sangat besar pengaruhnya.
Beberapa ekspresi kebangsaan seperti hormat bendera merah-putih,
menyanyikan lagu kebangsaan, dan lain-lain dilarang di Pesantren
Ngruki. Alasannya mungkin dianggap menjurus pada pengenceran akidah.
Menurut Pak Kiai, apakah larangan itu relevan bila dilandasi dengan
alasan semacam itu?
Menurut saya tidak. Sejauh ini, hormat bendera, menyanyikan lagu
kebangsaan tidak pernah merusak akidah. Sebenarnya masalahnya
wajar-wajar saja dan sangat sederhana. Dulu ketika 10 November, KH
Hasyim Asyari sebagai ulama terkemuka di Jawa Timur justru memfatwakan
fardlu ‘ain membela negara dan bangsa ini dari serangan penjajah. Pada
waktu itu, bendera merah putih, sebagai lambang perjuangan dihormati dan
dihargai. Masalahnya Islam pada masa Nabi Saw memang belum mengenal
konsep negara-bangsa (nation-state) sehingga belum mengenal atribut
seperti bendera.
Artinya, kemusliman dan keindonesiaan itu tidak harus dibenturkan?
Oh, ya. Kalau sekadar menghormat bendera, apa salahnya? Kita ‘kan
harus membedakan antara menyembah atau menghormat. Dalam Q.s al-Baqarah:
34, Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
malaikat: sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis;
ia enggan dan takabur dan ia adalah termasuk golongan orang-orang yang
kafir.” Apakah sujud di sini diartikan menyembah? Saya kira tidak! Kalau
ya, mengapa Allah memerintahkan malaikat bersujud pada Adam? Sujud
dalam ayat itu berarti menghormat.
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari saja mudah dibedakan antara
menghormati dengan menyembah. Kalau kemudian setiap orang yang
menghormati orang lain disebut menyembah, itu akan susah nantinya.
Misalnya murid yang menjabat tangan gurunya. Di pesantren yang
mengajarkan radikalisme, saya yakin, juga ada pengajaran bagaimana
seorang murid menghormati gurunya. Apa bedanya menghormati pimpinan
pesantren dengan menghormati sehelai kain itu?
Pak Kiai, kebanyakan pesantren tentu megajarkan materi al-târikh
al-islâmy atau sejarah Islam. Akan tetapi, studi kritis atas sejarah
Islam agaknya kurang mendapat proporsi di dunia pesantren. Kita tahu,
dalam sejarah Islam ada kenyataan sejarah yang memilukan dan kelam. Nah,
bagaiamana laiknya kita menyikapi sejarah Islam yang tak sepenuhnya
baik itu?
Saya kira, di situ sangat diperlukan kejujuran, karena kejujuran
merupakan inti ajaran Islam. Jadi, sejarah kelam memang tidak perlu kita
pungkiri adanya. Justru, dengan itu kita bisa belajar. Sebagian besar
pesantren di Jawa Timur, memang mengajarkan sejarah secara komprehensif.
Itu misalnya, diperoleh dari buku-buku seperti Al-Kâmil fi al-Târikh
karya Ibnu Atsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, Tarikh
al-Umam wa Al-Mulûk karya Ibnu Jarir Al-Thobari, al-Iqd al-Farîdl karya
Ibn Abd Rabi’ al-Andalusi, Sîrah Ibn Hisyâm, dan Sîrah Ibn Ishâq.
Kitab-kitab itu merupakan kitab sejarah yang menuturkan kepada kita
fakta-fakta masa lalu. Di Alquran, kita dianjurkan untuk bercermin dari
masa lalu sebagai pertimbangan untuk menyikapi hal-hal di masa
mendatang. Misalnya ayat “wal-tandzur nafs-un mâ qaddamat lighadd”,
hendaklah seseorang me-review masa lampau untuk mengantisipasi masa
depan.
Nah, sejarah-sejarah kita itu, khususnya sejarah al-Khilâfah
al-Islâmiyyah, juga dipenuhi dengan catataan-catatan kelam; dan kabarnya
juga berdarah-darah. Fakta itu dibaca oleh kiai-kiai dan para santri.
Sekarang justru banyak kelompok Islam begitu romantik melihat
kekhilafahan Islam. Seakan-akan mereka melihat masa itu dahsyat,
berjalan linear dan selalu relevan. Bagaimana tanggapan pak Kyai?
Saya kira, hebat oke! Misalnya dalam hal ilmu pengetahuan, khususnya
pada masa keemasan Islam semasa Harun Al-Rasyid dan lain-lain. Akan
tetapi, sikap penguasa saat itu juga sangat menyedihkan, terlebih ketika
mengaburkan antara urusan agama dengan ambisi pribadinya. Kita membaca,
misalnya, bagaimana Muawiyah bin Abi Sufyan merebut kekuasaan Ali bin
Abu Thalib. Konflik itu akhirnya berujung terbunuhnya Sayyidina Husein
dan diracuninya Sayyidina Hasan. Betapa ironis peristiwa itu; cucu
Rasulullah dibunuh dan dipancung kepalanya! Ini tragedi yang luar biasa
kejamnya.
Masa peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah, juga
memilukan. Ada cerita bahwa Bani Abbasiyyah mendendam Bani Umayyah,
sampai tega menggali kuburan keluarga Umayyah; tulang belulangnya
ditumbuk halus; lalu dibakar. Tokoh-tokoh Bani Umayyah, bahkan dipanggil
ke kerajaan satu persatu, baik yang ada di Baghdad maupun di daerah
lain. Semula mereka memang diundang untuk resepsi tertentu, tapi
kemudian mereka dipancung satu per satu.
Intinya, kita harus mendudukkan sejarah secara proporsional dan adil, sehingga kita bisa belajar dari sejarah?
Ini yang perlu saya tambahkan. Kalau melihat pemimpin-pemimpin Islam
masa lalu itu, akan sulit membedakan antara mereka yang mengaku
“mewakili kehendak Tuhan” atau berperilaku atas landasan nafsu duniawi
mereka. Kalau Nabi Saw jelas ada garansinya dari Allah langsung. Ia
berfirman: “Wa ma yantiqu ani al-hawa in huwa illa wahyu yuuha.”
Tapi, kalau manusia biasa bagaimana? Bayangkan, salah satu sultan
zaman Khalifah Ustmaniyyah, Sultan Muhammad III, membunuh 10 ibu tirinya
dan 18 saudara seayahnya dengan mendasarkan diri pada hadis: “Idza
bu’ia al-khilafataeni, faqtulu al-akhir minhuma” (ketika ada dua
khalifah dibaiat, maka bunuhlah salah satu di antaranya, Red). Kita
berbicara begini bukan berarti mengajak membenci sejarah. Tapi
seyogyanya kita rajin menggali dan menimbang baik-buruknya agar kita
dapat menarik pelajaran berharga dari sejarah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar