Rabu, 20 Juni 2012

K.H. Muhyiddin Abdusshomad: Hormat Bendera, Apa Salahnya?


Oleh Redaksi
Sejauh ini, hormat bendera, menyanyikan lagu kebangsaan tidak pernah merusak akidah. Sebenarnya masalahnya wajar-wajar saja dan sangat sederhana. Dulu ketika 10 November, KH Hasyim Asyari sebagai ulama terkemuka di Jawa Timur justru memfatwakan fardlu ‘ain membela negara dan bangsa ini dari serangan penjajah. Pada waktu itu, bendera merah putih, sebagai lambang perjuangan dihormati dan dihargai. Masalahnya Islam pada masa Nabi Saw memang belum mengenal konsep negara-bangsa (nation-state) sehingga belum mengenal atribut seperti bendera.
Akomodasi dan apresiasi terhadap budaya lokal serta lihai menerapkan strategi dakwah merupakan kunci integrasi antara dunia pesantren dengan masyarakat. Menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama cabang Jember, pesantren adalah sub-kultur yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Jika ada pesantren yang ekslusif bak hidup di atas menara gading, maka sejatinya dia telah kehilangan akar historis dan sosiologis kehadiran pesantren.
Berikut ini petikan wawancara Burhanuddin dari Kajian Islam Utan Kayu dengan KH Muhyiddin yang juga pimpinan Pesantren Nurul Islam, Jember, pada Kamis, 16 Januari 2003:

Pak Kiai, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang sudah lama eksis di Tanah Air, kini terkena getahnya akibat tudingan sebagai sarang terorisme pasca bom Bali. Menurut pak Kyai, kenapa tudingan itu mengarah ke dunia pesantren?
Dalam memandang dan menilai suatu persoalan, setiap orang tentu akan dipengaruhi oleh bekal pengetahuan yang dia miliki. Hal ini juga berlaku dalam penilaian orang tersebut atas pesantren; sebagai sarang teroris atau bukan. Akan tetapi, pandangan ini tentu tidak bisa digeneralisasi secara serampangan, karena adanya pengecualian-pengecualian. Yang perlu diingat, kebanyakan pesantren yang ada di tanah air, berkembang secara tradisional. Artinya sedari awal pesantren itu berdiri, dia memang sudah menyesuaikan diri dengan tradisi setempat dan berjalan dengan cara dan metode yang bernuansa damai dan sukarela.
Apakah pada umumnya pesantren mengembangkan budaya inklusif dan bersahabat dengan tradisi lokal?
Saya kira, dalam hal ini kita bisa melakukan generalisasi, sebab mayoritas pesantren di Indonesia memang begitu adanya. Pesantren senantiasa menanamkan akhlakul karimah, budi pekerti yang baik dan santun. Sebagai contoh, beberapa buku standar yang diajarkan di pesantren tradisional, seperti kitab Bidâyat al-Hidâyah karya Al-Ghazali, Ta’lîm al-Muta’allim karangan Zarnûji, dan kitab-kitab sejenis,—meskipun perlu dikritisi—semuanya lebih menanamkan cara-cara dakwah dengan metodologi yang damai dan sukarela. Dan ajaran-ajaran seperti ini, oleh para kiai yang mengatur kehidupan di pesantren, memang diimplementasikan dalam kehidupan yang nyata.
Kalau pada dasarnya potensi radikalisme tidak berkembang dari kalangan pesantren, lantas bagaimana menjelaskan keberadaan beberapa pesantren yang dituding mengembangkan radikalisme ini?
Saya akan mencoba memberi penjelasan. Tapi tentu penjelasan ini masih perlu diteliti dan sekaligus dikritisi, karena berangkat dari subjektivitas saya sebagai orang yang sehari-hari bergelut dengan santri dan pesantren. Begini: secara historis dan sosiologis, pesantren tumbuh dan berkembang dengan bermula dari seorang kiai. Beberapa pengasuh pesantren,—termasuk saya—semula mukim di satu kampung atau desa di mana dia berfungsi sebagai dai. Selanjutnya datanglah orang-orang yang ingin belajar pengetahuan agama. Dalam proses selanjutnya, terjadi semacam respon atau perkembangan bagaimana menyikapi Islam dan bagaimana caranya supaya Islam yang didakwahkan menjadi menarik. Dengan begitu, warga masyarakat yang ingin menitipkan putra-putrinya jadi ikut tertarik, sehingga pesantren bisa berkembang dengan pesat.
Nah, mungkin ada perbedaan latar belakang historis dan sosiologis antara kebanyakan pesantren di Indonesia dengan pesantren al-Mukmin di Ngruki atau al-Islam di Lamongan itu. Saya mempunyai dugaan kuat, bahwa sejak semula, mereka yang mendirikan pesantren tersebut sudah mempunyai ideologi tertentu, dengan pemahaman Islam yang serba literal, harfiah, dan –tentunya—lepas dari teori-teori dakwah yang telah dikembangkan para dai atau pendahulu kita.
Penjelasan Anda menunjukkan adanya proses akomodasi dan asimilasi dunia pesantren dengan masyarakat dan budaya lokal. Nah, apakah segelintir pesantren itu mengalami proses ketegangan dengan masyarakat dan budaya lokal?
Saya melihat,—sebatas bacaan dan informasi di media massa saja—pesantren al-Mukmin Ngruki dan al-Islam Lamongan, memang terputus dengan masyarakat. Akibatnya, sedari awal sudah tidak memberi peluang interaksi yang baik dengan orang lain. Seolah-olah yang ada hanya dia saja, hanya pikiran yang ada di pesantren itu saja, dan itu yang harus diamalkan dan dikembangkan. Sementara apa yang muncul di permukaan masyarakat tidak mendapat respon memadai.
Pesantren tradisional yang ada berbeda dalam hal ini. Perkembangan dakwah pesantren lebih banyak mencari jalan penyesuaian. Contoh tentang penyesuaian itu dapat diteladani dari para du’ât al-qudamâ (juru dakwah masa lampau, Red) seperti Sunan Demak dan Sunan Kalijaga. Dari mereka kita dapat meniru bagimana tolerannya mereka dengan orang yang berbeda, baik dalam tradisi maupun agama. Konon, pada masa itu wilayah Jawa masih dikuasai umat Hindu, sehingga mereka melarang melakukan ritual kurban (Idul Adha) berupa sapi. Itu dilakukan semata-mata demi menjaga perasaan umat Hindu yang menganggap atau berkeyakinan bahwa sapi adalah binatang yang suci. Sebagai gantinya, mereka mengajurkan berkorban dengan kerbau. Nah, sikap toleran demikian tampaknya banyak diadopsi oleh para kiai kita dalam berdakwah.
Faktor apa yang membuat pesantren tradisional nampak lebih inklusif, sementara beberapa pesantren justru terlihat kaku, keras dan eksklusif?
Masalahnya pesantren yang berkembang secara tradisonal sudah dilengkapi dengan pengalaman. Faktor ini yang paling berharga. Pengalaman adalah guru yang sangat berarti dalam kehidupan ini, the experience is the best teacher. Pengalaman itulah yang kemudian menjadi satu bagian ilmu yang diamalkan. Artinya, para dai kita dulunya, juga telah mengalami beberapa kegagalan. Berangkat dari kegagalan masa lampau itulah kemudian muncul evaluasi gagasan yang coba dielaborasi kembali dan dikembangkan menjadi metodologi yang diterapkan pesantren-pesantren yang ada sekarang.
Dari sudut ilmu yang diajarkan, pesantren tradisonal juga cukup mumpuni dan boleh dikatakan meliputi berbagai perangkat ilmu pokok keislaman, seperti fikih, ushul fikih dan lain-lain. Bahkan di pesantren biasa diajarkan kita al-Fiqh alâ al-Mazâhib al-Arba’ah (fikih menurut perspektif empat mazhab, Red) karangan Al-Jazâ’iri. Selain itu, dalam buku fikih itu sendiri, sebetulnya secara implisit sudah ditanamkan kiat untuk bertoleransi dalam perbedaan. Ini dapat disimpulkan misalnya dalam ungkapan fîhi tsalâtsat aujuh (dalam persoalan ini ada tiga opini yang berkembang, Red).
Lebih lanjut, dalam teori fikih al-Syâfi’i akan ditemukan penekanan bahwa ini pendapat al-azhar (yang lebih jelas, Red), al-masyhûr (yang populer, Red) dan macam-macam lagi. Biasanya, dalam akhir polemik selalu ditutup dengan kalimat wallâhu a’lam bi al-shawâb (Allah yang Mahatahu). Kalimat ini berarti tidak ada semacam monopoli kebenaran, bahkan dari ulama mumpuni sekalipun. Kebenaran menjadi hak prerogratif Allah. Jadi sebetulnya, adalah satu hal yang tragis bila saudara-saudara kita mengumandangkan slogan al-rujû ilâ al-kitâb wa al-sunnah (Kembali ke Alkitab dan Sunnah, Red), lalu tidak membuka peluang ijtihad, ditambah lagi tidak dibarengi dengan ilmu yang cukup. Akibatnya fatalnya, dia bisa menafsirkan Alquran sekehendaknya sendiri.
Mungkin, karena tidak dibarengi semacam metodologi atau perangkat untuk memahami Alquran dan Sunnah akhirnya berujung pada literalisme? Bukankah literalisme merupakan cara yang paling gampang dilakukan?
Ya, mungkin apa adanya. Pemahaman “apa adanya” di sini dalam artian pemahaman yang selain literal, juga sempit. Kalau pemahaman “apa adanya” itu dibarengi dengan pengetahuan tafsir yang cukup dari beberapa literatur yang ada, baik klasik atau kontemporer, saya kira, tidak akan terjadi tindak kekerasan. Kalau kita mau membaca Alquran dan Hadis itu sendiri sebenarnya akan banyak larangan-larangan untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Contohnya, dalam Q.s al-Qashash: 77, Allah berfirman: “Walâ tabghî al-fasâd fi al-ardl, inna-Allâh lâ yuhibb al-mufsidîn”. Artinya: “Janganlah berbuat keonaran di muka bumi, karena Allah tidak suka orang yang berbuat keonaran.”
Apakah pandangan ideologis pemimpin pesantren berpotensi membuat suatu pesantren lebih toleran, sementara yang lain sangat kaku dan cenderung radikal?
Oh, saya kira, pengaruhnya sangat signifikan. Sebab apa yang ditanamkan oleh kiai, akan diserap para santri dan akan ditiru dan diamalkan. Ini disebabkan cara dakwah kyai itu lebih pada faktor uswatun hasanah atau keteladanan yang baik. Umumnya, mereka bertolak dari Q.s al-Fushilat: 33 yang berbunyi: “Waman ahsan qaulan min man da’â ila-Allâh wa’amila shâlihan, waqâla innanî min al-muslimîn” (siapakah yang lebih baik ajakannya daripada orang yang mengajak (orang lain) ke jalan Allah, dibarengi dengan perbuatan yang saleh, dan mendeklarasikan diri sebagai orang yang penuh kepasrahan, Red). Nah, para kyai meneladani ayat ini dari sisi implementasinya amila shalihan-nya dulu. Berbuat baik dulu, baru qâla atau berkata. Sehingga, setiap sikap dan tingkah lakunya, oleh para santri akan dicontoh. Oleh karena itu, apa yang diajarkan para kyai, dan apa yang ada dalam kurikulum pesantren, sangat besar pengaruhnya.
Beberapa ekspresi kebangsaan seperti hormat bendera merah-putih, menyanyikan lagu kebangsaan, dan lain-lain dilarang di Pesantren Ngruki. Alasannya mungkin dianggap menjurus pada pengenceran akidah. Menurut Pak Kiai, apakah larangan itu relevan bila dilandasi dengan alasan semacam itu?
Menurut saya tidak. Sejauh ini, hormat bendera, menyanyikan lagu kebangsaan tidak pernah merusak akidah. Sebenarnya masalahnya wajar-wajar saja dan sangat sederhana. Dulu ketika 10 November, KH Hasyim Asyari sebagai ulama terkemuka di Jawa Timur justru memfatwakan fardlu ‘ain membela negara dan bangsa ini dari serangan penjajah. Pada waktu itu, bendera merah putih, sebagai lambang perjuangan dihormati dan dihargai. Masalahnya Islam pada masa Nabi Saw memang belum mengenal konsep negara-bangsa (nation-state) sehingga belum mengenal atribut seperti bendera.
Artinya, kemusliman dan keindonesiaan itu tidak harus dibenturkan?
Oh, ya. Kalau sekadar menghormat bendera, apa salahnya? Kita ‘kan harus membedakan antara menyembah atau menghormat. Dalam Q.s al-Baqarah: 34, Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat: sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan ia adalah termasuk golongan orang-orang yang kafir.” Apakah sujud di sini diartikan menyembah? Saya kira tidak! Kalau ya, mengapa Allah memerintahkan malaikat bersujud pada Adam? Sujud dalam ayat itu berarti menghormat.
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari saja mudah dibedakan antara menghormati dengan menyembah. Kalau kemudian setiap orang yang menghormati orang lain disebut menyembah, itu akan susah nantinya. Misalnya murid yang menjabat tangan gurunya. Di pesantren yang mengajarkan radikalisme, saya yakin, juga ada pengajaran bagaimana seorang murid menghormati gurunya. Apa bedanya menghormati pimpinan pesantren dengan menghormati sehelai kain itu?
Pak Kiai, kebanyakan pesantren tentu megajarkan materi al-târikh al-islâmy atau sejarah Islam. Akan tetapi, studi kritis atas sejarah Islam agaknya kurang mendapat proporsi di dunia pesantren. Kita tahu, dalam sejarah Islam ada kenyataan sejarah yang memilukan dan kelam. Nah, bagaiamana laiknya kita menyikapi sejarah Islam yang tak sepenuhnya baik itu?
Saya kira, di situ sangat diperlukan kejujuran, karena kejujuran merupakan inti ajaran Islam. Jadi, sejarah kelam memang tidak perlu kita pungkiri adanya. Justru, dengan itu kita bisa belajar. Sebagian besar pesantren di Jawa Timur, memang mengajarkan sejarah secara komprehensif. Itu misalnya, diperoleh dari buku-buku seperti Al-Kâmil fi al-Târikh karya Ibnu Atsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, Tarikh al-Umam wa Al-Mulûk karya Ibnu Jarir Al-Thobari, al-Iqd al-Farîdl karya Ibn Abd Rabi’ al-Andalusi, Sîrah Ibn Hisyâm, dan Sîrah Ibn Ishâq. Kitab-kitab itu merupakan kitab sejarah yang menuturkan kepada kita fakta-fakta masa lalu. Di Alquran, kita dianjurkan untuk bercermin dari masa lalu sebagai pertimbangan untuk menyikapi hal-hal di masa mendatang. Misalnya ayat “wal-tandzur nafs-un mâ qaddamat lighadd”, hendaklah seseorang me-review masa lampau untuk mengantisipasi masa depan.
Nah, sejarah-sejarah kita itu, khususnya sejarah al-Khilâfah al-Islâmiyyah, juga dipenuhi dengan catataan-catatan kelam; dan kabarnya juga berdarah-darah. Fakta itu dibaca oleh kiai-kiai dan para santri.
Sekarang justru banyak kelompok Islam begitu romantik melihat kekhilafahan Islam. Seakan-akan mereka melihat masa itu dahsyat, berjalan linear dan selalu relevan. Bagaimana tanggapan pak Kyai?
Saya kira, hebat oke! Misalnya dalam hal ilmu pengetahuan, khususnya pada masa keemasan Islam semasa Harun Al-Rasyid dan lain-lain. Akan tetapi, sikap penguasa saat itu juga sangat menyedihkan, terlebih ketika mengaburkan antara urusan agama dengan ambisi pribadinya. Kita membaca, misalnya, bagaimana Muawiyah bin Abi Sufyan merebut kekuasaan Ali bin Abu Thalib. Konflik itu akhirnya berujung terbunuhnya Sayyidina Husein dan diracuninya Sayyidina Hasan. Betapa ironis peristiwa itu; cucu Rasulullah dibunuh dan dipancung kepalanya! Ini tragedi yang luar biasa kejamnya.
Masa peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah, juga memilukan. Ada cerita bahwa Bani Abbasiyyah mendendam Bani Umayyah, sampai tega menggali kuburan keluarga Umayyah; tulang belulangnya ditumbuk halus; lalu dibakar. Tokoh-tokoh Bani Umayyah, bahkan dipanggil ke kerajaan satu persatu, baik yang ada di Baghdad maupun di daerah lain. Semula mereka memang diundang untuk resepsi tertentu, tapi kemudian mereka dipancung satu per satu.
Intinya, kita harus mendudukkan sejarah secara proporsional dan adil, sehingga kita bisa belajar dari sejarah?
Ini yang perlu saya tambahkan. Kalau melihat pemimpin-pemimpin Islam masa lalu itu, akan sulit membedakan antara mereka yang mengaku “mewakili kehendak Tuhan” atau berperilaku atas landasan nafsu duniawi mereka. Kalau Nabi Saw jelas ada garansinya dari Allah langsung. Ia berfirman: “Wa ma yantiqu ani al-hawa in huwa illa wahyu yuuha.”
Tapi, kalau manusia biasa bagaimana? Bayangkan, salah satu sultan zaman Khalifah Ustmaniyyah, Sultan Muhammad III, membunuh 10 ibu tirinya dan 18 saudara seayahnya dengan mendasarkan diri pada hadis: “Idza bu’ia al-khilafataeni, faqtulu al-akhir minhuma” (ketika ada dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah salah satu di antaranya, Red). Kita berbicara begini bukan berarti mengajak membenci sejarah.  Tapi seyogyanya kita rajin menggali dan menimbang baik-buruknya agar kita dapat menarik pelajaran berharga dari sejarah. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar