Posted on February 24, 2012 by wahsapi
Al-Hafizh
Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama
ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan
tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang
sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar,
sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat
kisah berikut ini.
“Pada
tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan
tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah
yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan
hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal
penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi
Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal
(zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu
ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ. (الحديد : ٤).
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ. (المجادلة : ٧).
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.”
Saya
berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat
yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa
ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya
sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya
kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya
sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya
mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan
kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar
tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat
dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh
(menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar