InpasOnline, 29 Mei 2009
Ustadz Muhamamd Isrus Romli: “Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah”
Hari
itu, Kamis, 28 Mei 2009 terjadi kesibukan di gedung GEMA IAIN Sunan
Ampel Surabaya. IPNU dan IPPNU IAIN Sunan Ampel rupanya tengah
mempersiapkan acara bedah buku “Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah
Wal-Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi” karangan Muhammad Idrus
Ramli, salah seorang narasumber InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban
Islam) Surabaya di diskusi dua bulanan InPAS.
Selain
Ustadz Muhammad Idrus Ramli, dalam acara bedah buku yang dihadiri oleh
mahasiswa IAIN Sunan Ampel maupun dari orang luar, termasuk InPAS
Surabaya ini juga menghadirkan Ustadz Choirul Anshori, MA salah satu
Dewan Pimpinan Syahamah (Syabab Ahlussunnah Wal-Jama’ah) Jakarta,
Pof.Dr.Zainul Arifin (Guru Besar Ilmu Hadits IAIN Sunan Ampel), dan
Ahmad Ma’ruf Asrori (Direktur Penerbit Khalista).
Bedah
buku yang disponsori oleh Penerbit Khalista ini momennya dirasa sangat
tepat, jika dikaitkan dengan fenomena gerakan Wahhabi yang menimbulkan
kontroversi, termasuk ketika baru-baru ini muncul buku “Ilusi Negara
Islam” yang mencoba menguatkan sentiment anti Wahhabi dalam rangka
meraih kepentingan politik. Dalam buku tersebut, isu Wahhabi digunakan
sebagai senjata ampuh untuk mendiskreditkan (baca : menggembosi) sebuah
partai politik yang meraih dukungan suara cukup signifikan di Pemilu
2009. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan utama buku setebal 301
halaman ini.
Ustadz
Muhammad Idrus Ramli mengkaji Madzab Al-Asy’ari demi meluruskan
kesalahpahaman sebagian kelompok Islam yang menyatakan bahwa Madzhab
Al-Asy’ari dan Asy’ariyah (pengikut Madzhab Al-Asy’ari) bukan termasuk
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kelompok yang muncul belakangan, yang menamakan
dirinya Salafi dan mengklaim sebagai pengikut ulama salaf yang saleh
ini bahkan berani mengatakan bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengkafirkan
pengikut Al-Asy’ari. Berawal dari fenomena memprihatinkan inilah, maka
Ustadz Muhammad Idrus Romli menulis buku ini. Benarkah tuduhan
kelompok Salafi yang mengatakan bahwa Al-Asy’ari bukan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah? Menjawab pertanyaan tersebut, secara jelas dan tegas Ustadz
Muhammad Idrus Romli menyatakan bahwa berdasarkan ijma’ ulama yang
mengikuti madzhab fiqih Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali; Madzhab
Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. “Dewasa ini, aliran
Wahhabi yang menamakan dirinya kelompok Salafi, juga mengaku sebagai
pengikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Akan tetapi, para ulama terkemuka dari
kalangan ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqih yang mengikuti
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tidak mengakui mereka
sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah,” jelas Gus Idrus.
Ustadz
Choirul Anshori memberikan pandangan terhadap kelompok Salafi dari segi
sanad keilmuan. Dari segi ini, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih banyak
mengambil dari pendapat Taqiyuddin Ahmad ibn Taimiyyah al-Harrani. Jadi
jelas tidak ada mata rantai sanad yang bersambung karena Ibn Taimiyyah
hidup pada abad ke-8 Hijriyah sedang Muhammad bin Abdul Wahhab hidup
pada abad ke-12. Apalagi Muhammad bin Abdul Wahhab pernah mengatakan
bahwa guru-gurunya tidak ada yang mengetahui makna La ilaha
illallohu. “Kalau guru-guru Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ada yang
mengetahui makna Laa ilaaha illallohu, bagaimana ia memahami tauhid?
Apakah hanya sekedar membaca atau buah dari pergolakan pemikirannya
sendiri? Jika benar demikian, bagaimana ia mengklaim bahwa golongannya
yang paling benar padahal sanad keilmuannya tidak jelas?”, tegas salah satu Dewan Pimpinan Syahamah ini.
Ustadz
Choirul Anshori mengatakan bahwa pada tanggal 24 Mei 2009 seharusnya
dia melakukan debat dengan kelompok Salafi di daerah Bogor. Mereka
menantang debat kepada Ustadz Choirul dan setelah beliau menyanggupi,
mereka malah tidak mau menghadiri debat yang mereka gagas sendiri.
Ditemui
secara terpisah, Ustadz Abdurrahman Nafis, Lc. M.HI, Ketua Bidang Fatwa
MUI Jatim menyatakan bahwa aliran Salafi berawal dari pemahaman
terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits secara tekstual ansich. “Mereka
menafsirkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara zhahirnya saja dengan
menafikan tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama mujtahidin yang ahli
di bidangnya baik dari kalangan sahabat, tabi’ tabi’in, salafush shaleh,
dan para mufassir kontemporer, sehingga mereka menggunakan tafsir bi
ra’yi atau ditafsirkan dengan pendapat mereka sendiri sementara
kapasitas mereka belum mencapai tingkatan mufassir”, ungkap pengasuh pondok pesantren Nurul Huda ini.
Ustadz
Abdurrahman Nafis lebih lanjut menambahkan, bahwa Salafi yang ada di
Arab Saudi tidak sekeras dan seekstrem Salafi yang ada di Indonesia.
Ulama Saudi sendiri bahkan jauh lebih toleran terhadap kelompok atau
golongan yang tidak satu pemahaman dengan mereka. Namun dalam hal
memandang Madzhab Al-Asy’ari, Salafi sepakat bahwa Madzhab Al-Asy’ari
bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan memberikan dalil-dalil yang
bertentangan dengan ijma’ ulama yang ahli dalam berbagai bidang,
termasuk ulama yang ahli di bidang hadits.
Adapun
Madzhab Al-Asy’ari memang menjadi madzhab yang diikuti oleh mayoritas
umat Islam sedunia, dari dulu hingga sekarang, dan didukung oleh
ulama-ulama ahli hadits seperti Al-Hafizh Abu Bakar al-Isma’ili (277-371
H), Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Daruquthni (306-385 H), Al-Hafizh
al-Khaththabi (319-388 H), Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H),
Al-Hafizh al-Lalikai (w.418 H), Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani
(336-430 H), Al-Hafizh Abu Dzar al-Harawi (355-434 H), Al-Hafizh Abu Amr
al-Dani (371-444 H), Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi (384-458 H),
Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H), Al-Hafizh Ibn Abdil Barr
(368-463 H), Al-Hafizh Abu al-Walid al-Baji (403-474 H), Al-Hafizh Abdul
Ghafir al-Farisi (451-529 H), Al-Imam Abu Adillah al-Farawi (441-530
H), Al-Hafizh Ibn al-‘Arabi (468-543 H), Al-Qadhi Iyadh al-Yahshubi
(476-544 H), Al-Hafizh Abu Sa’ad al-Sam’ani (506-562 H), Al-Hafizh Ibn
Asakir (499-571 H), Al-Hafizh Abu Thahir al-Silafi (478-576 H),
Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H), Al-Hafizh al-Shalah al-Syahrazuri
(577-643 H), Al-Hafidz al-Mundziri (581-656 H), Al-Hafizh an-Nawawi
(631-676 H), Al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Id (625-702 H), Al-Hafizh
al-Dimyathi (613-705 H), Al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi (654-742 H),
Al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’I (694-761 H), Al-HAfizh Ibn Katsir
(701-774 H), Al-Hafizh al-‘Iraqi (725-806 H), Al-Hafizh Nuruddin
al-Haitsami (735-807 H), Syamsuddin Ibn al-Jazari (751-833 H), Al-Hafizh
Ibn Hajar al-‘Astqalani (773-852 H), dan lain-lain.
Apa
sebenarnya makna Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan apa saja kriteria sebuah
kelompok disebut Ahlussunah Wal-Jama’ah? Ustadz Muhammad Idrus Romli
menjelaskan dalam bukunya pada Bab Empat yang bertajuk “Metodologi
Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah”, bahwa secara kebahasaan,
Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata. Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut, atau golongan. Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-thariqah (jalan dan perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar maupun keliru. Sedangkan secara terminologis, al-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu. Ketiga, al-jama’ah. Secara etimologis kata al-jama’ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-firqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-jama’ah ialah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a’zham),
dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aliran yang diikuti
oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh
Abdullah al-Harari berikut ini : Hendaklah diketahui bahwa
Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad SAW. Mereka adalah para
sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip
aqidah…Sedangkan al-jama’ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad
al-a’zham) kaum Muslimin. Pengertian bahwa al-jama’ah adalah al-sawad al-a’zham (mayoritas kaum Muslimin) seiring dengan hadits Nabi SAW :Dari
Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena
itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah
kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069). Al-Hafizh al-Suyuthi menilainya shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir (I/88)] Hadits
diatas memberikan penjelasan, bahwa ketika umat Islam terpecah-belah
dalam beragam golongan dan aliran, maka kelompok yang harus diikuti
adalah kelompok mayoritas, karena kelompok mayoritas adalah golongan
yang selamat (al-firqah al-najiyah)Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda :Ibnu
Mas’ud berkata, Nabi SAW bersabda : “Tiga perkara yang dapat
membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu
tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti
kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya.” [HR.Tirmidzi 92582), Ahmad (12871) dan al-Hakim (I/88) yang menilainya shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim].
Hadits di atas memberikan pengertian bahwa orang yang selalu mengikuti ajaran dan mainstream mayoritas
kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal saleh, maka baraokah doa mereka
akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan
dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari mainstream mayoritas
kaum Muslimin, maka dia tidak akan memperoleh barokah doa mereka,
sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam
beragama. Hadits tersebut secara tidak langsung mendorong kita agar
selalu menjaga kebersamaan dengan mayoritas kaum Muslimin.Di sisi lain,
sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa maksud al-sawad al-a’zham dalam hadits tersebut adalah mayoritas ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan pendapatnya dapat diikuti (mu’tabar).
Pendapat
ini diriwayatkan dari Abdullah bi al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan
lain-lain. Tentu saja pendapat ini sesuai juga dengan madzhab al-Asy’ari
karena berdasarkan kesepakatan para pakar, madzhab al-Asya’ri diikuti
oleh mayoritas ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tashawuf
dan lain-lain. Realita bahwa mayoritas ulama terkemuka mengikuti
madzhab al-Asy’ari juga diakui oleh Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud,
seorang ulama Saudi Wahhabi kontemporer, yang mengatakan :Di antara
sebab tersebarnya madzhab al-Asy’ari ialah, bahwa mayoritas ulama
berpegangan dengan madzhab tersebut dan menjadi pembelanya, lebih-lebih
para fuqaha madzhab Syafi’I dan Maliki…Tokoh-tokoh yang mengadopsi
madzhab al-Asy’ari antara lain adalah al-Baqillani, Ibn Furak,
al-Baihaqi, al-Asfarayini, al-Syirazi, al-Juwaini, al-Qusyairi,
al-Baghdadi, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, al’Izz bin Abdissalam,
Badruddin bin Jama’ah, al-Subki dan masih banyak ulama-ulama yang lain.
Mereka bukan sekedar pengikut madzhab al-Asy’ari, tetapi mereka juga
penulis dan pengajak kepada Madzhab ini. Oleh karena itu mereka menyusun
banyak karangan dan menggembleng murid-murid yang begitu banyak.
Hadits-hadits
yang telah disebutkan di atas tidak tepat diterapkan terhadap
aliran-aliran seperti Syiah Imamiyah, Syiah Zaidiyah, Khawarij, Wahhabi
(Salafi), dan lain-lain, karena kelompok mereka minoritas, diikuti oleh
sebagian kecil kaum Muslimin. Hal tersebut berbeda dengan Madzhab
al-Asy’ari yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, baik dari kalangan
awam maupun kalangan ulama.
Dewasa
ini, kalangan Wahhabi berupaya mengacaukan maksud hadits di atas dan
hadits-hadits lain yang serupa, dengan berpendapat bahwa jumlah
mayoritas tidak dapat menjadi bukti terhadap benar dan tidaknya suatu
ajaran. Menurut mereka, justru dengan jumlah kelompok mereka (Wahhabi)
yang sedikit, menjadi bukti bahwa merkalah kelompok yang benar, karena
dalam Al-Qur’an sendiri seringkali disebutkan, bahwa kebenaran selalu
bersama kelompok yang jumlahnya minoritas, seperti dalam ayat :“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini” [QS. Shad : 24]“Dan sedikit sekali mereka dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [QS. Saba’ : 13]“Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” [QS.Yusuf
: 106]Asumsi kalangan Wahhabi tersebut tidak dapat dibenarkan. Para
ulama mengatakan, bahwa ketiga ayat di atas tidak tepat dijadikan dalil
yang membenarkan kelmpok yang memiliki jumlah minoritas, karena beberapa
alas an. Pertama, berkaitan dengan dua ayat
yang pertama, kata “sedikit”, dalam dua ayat tersebut, harus diposisikan
pada konteks “sedikit” yang relatif dan nisbi, yaitu adakalanya
diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat khusus. Dalam
pengertian umum, kaum Muslimin selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah
kaum non-Muslim. Sedangkan dalam pengertian khusus, kaum Muslim yang
tulus, istiqomah dan konsisten secara sempurna dalam
menjalankan perintah agama selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah
mereka yang tidak konsisten secara sempurna. Tetapi semua kaum Muslim
yang konsisten dengan sempurna, yang konsisten kurang sempurna, dan yang
tidak konsisten menjalankan perintah agama, juga tetap dikatakan Muslim
yang beriman. Dan selama mereka mengikuti akidah mayoritas kaum
Muslimin, mereka termasuk pengikut Ahluusnnah Wal-Jama’ah.Kedua, penempatan ayat ketiga, yaitu ayat Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan semabahan-sembahan lain), [QS.
Yusuf : 106], terhadap mayoritas kaum Muslimin adalah tidak tepat,
karena berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir, ayat tersebut turun
berkenaan dengan kaum penyembah bintang, penyembah berhala, umat Yahudi
serta Kristen. Menempatkan ayat di atas terhadap kaum Muslimin, berarti
mengikuti tradisi kaum Khawarij, seperti yang dikatakan oleh Ibn Umar
dalam riwayat Shahih al-Bukhari.
Sedangkan
dalam ranah akidah, ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah meyakini
bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat. Hal ini merupakan salah
satu ajaran yang membedakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan madzhab
lain. Terdapat sekian banyak dalil, baik dari Al-Qur’an, hadits, dan
dalil-dalil ‘aqli yang menunjukkan bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat, misalnya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia [QS.Al-Syura : 11]
Ayat
ini adalah ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah
secara mutlak dari menyerupai apapun. Allah SWT tidak menyerupai
makhluk-Nya dari aspek apapun, sehingga Allah itu tidak butuh pada
tempat yang menjadi tempat-Nya dan tidak butuh pada arah yang
menentukan-Nya. Keberadaan Allah SWT tanpa tempat dan tanpa arah,
seperti yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra : “Allah SWT itu ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya tempat.” Mungkin
di sini ada yang bertanya, apakah akal dapat menerima terhadap
keberadaan sesuatu tanpa arah dan tanpa tempat? Jawaban dari pertanyaan
ini adalah dalil berikut ini yang juga menunjukkan bahwa Allah itu ada
tanpa arah dan tanpa tempat, yaitu hadits shahih : Imran
bin Hushain ra berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya [HR. Bukhari : 2953)
Keyakinan
bahwa wujud Allah itu tanpa tempat dan tanpa arah, adalah kesepakatan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh, berdasarkan
pernyataan al-Imam al-Thahawi dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Thahawiyyah yang
merupakan rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh
sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga
mengatakan : Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. Oleh
karena Ahlussunnah Wal-Jama’ah sepakat meyakini bahwa Allah itu ada
tanpa tempat dan tanpa arah, maka kelompok yang meyakini bahwa Allah ada
di Arsy itu bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan tetapi disebut kelompok
Mujassimah dan Musyabbihah, seperti yang ditegaskan oleh Al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Astqalani dalam Fath al-Bari : Sesungguhnya kaum
Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan
tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.
Dengan
semua penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka kita bisa melihat
bahwa Madzhab al-Asy’ari adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebab
memenuhi semua kriteria kelompok yang disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah
serta didukung oleh mayoritas ulama salaf maupun khalaf. (kpl)
ijin copy mas ya..
BalasHapus