Menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang
mewarnai peradaban global umat manusia adalah salah satu gagasan dan
proyek besar cendekiawan ini. Seluruh hidupnya, ia persembahkan bagi
upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa
lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat
menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.
Seluruh daya upaya itu telah dan terus dilakukan oleh Syed Naquib
Al-Attas, intelektual yang di masa kini menjadi salah satu menara
keilmuan Islam modern. Proyek besarnya itu dikemasnya dalam 'Islamisasi
Ilmu Pengetahuan' melalui lembaga pendidikan yang ia dirikan, yakni
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC),
Kuala Lumpur, Malaysia.
Guru Besar dalam bidang studi Islam di
ISTAC-IIUM Kuala Lumpur ini lahir di Bogor, Indonesia, pada 5 September
1931. Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (keturunan Arab Yaman). Dari
garis ibu, Naquib keturunan Sunda, sekaligus memperoleh pendidikan Islam
di kota Hujan itu. Sementara dari jalur ayah, ia mendapatkan pendidikan
kesusastraan, bahasa, dan budaya Melayu. Ayahnya yang masih keturunan
bangsawan Johor itu, membuat Naquib memiliki banyak perhatian tentang
budaya Melayu sejak muda. Tampaknya kedua orang tuanya ingin Naquib
kecil mendalami ilmu di negeri jiran, Malysia. Lantaran itu, sejak usia 5
tahun, Naquib dikirim menetap di Malaysia. Di sinilah ia mendapatkan
pendidikan dasarnya di Ngee Heng Primary School.
Namun, sejak
Jepang menduduki Malaya pada pertengahan 40-an, Naquib kembali ke
Indonesia dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Madrasah Urwatul
Wutsqa, Sukabumi. Ia tamat sekolah atas, dan kembali ke Malaysia. Naquib
sempat bergabung dengan dinas ketentaraan negeri itu, dan sempat pula
dikirim untuk belajar di Royal Military Academy, Inggris.
Namun
pada 1957, ia keluar dari militer dan melanjutkan studi di University
Malaya. Selanjutnya, ia mengambil studi Islam di McGill University,
Montreal, Kanada hingga meraih gelar master. Sementara strata
doktoralnya ia raih dari School of Oriental and Africa Studies,
University of London (1965). Ia lantas kembali ke Malaysia dan pernah
memegang beberapa jabatan penting, antara lain Ketua Jurusan Kajian
Melayu, University Malaya (UM).
Naquib sempat menjadi perhatian
publik intelektual Malaysia dan mendapat tentangan keras beberapa
kalangan ketika ia mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
pengantar di sekolah. Saat itu, bahasa resmi pengantar adalah Bahasa
Inggris.
Ia juga menentang keras penghapusan pengajaran bahasa
Melayu-Jawi (yang ditulis dengan huruf Arab) di sekolah-sekolah dasar
dan lanjutan. Kini, sistem tersebut masih diberlakukan di negeri jiran
tersebut. Naquib memang memberi perhatian besar pada bahasa dan budaya
Melayu. Ia ingin putra bumi (pribumi) benar-benar terdidik sehingga
tidak menjadi obyek dari penjajahan kultural dunia Barat.
Selain itu, Naquib amat memberi perhatian besar pada bidang pendidikan
Islam. Pada Konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah, 1977,
ia mengungkapkan konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas.
Respons bagus muncul dan ditindaklanjuti oleh Organisasi Konferensi
Islam (OKI) yang menjadi sponsor pendirian Universitas Islam
Internasional (IIU) Malaysia pada 1984.
Tak hanya berhenti di
situ, Naquib juga mendirikan ISTAC, lembaga pendidikan Islam yang
dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai-nilai peradaban Islam dan
islamisasi ilmu pengetahuan. Lembaga ini sempat menjadi perhatian publik
intelektual internasional dan dipandang sebagai salah satu pusat
pendidikan Islam terpandang. Sayangnya, akibat tragedi 11 September
2001, pemerintah Malaysia bersikap berlebihan dan mencurigai beberapa
pengajar sebagai pengembang gerakan Islam.
Akibatnya pemerintah
negeri itu mengeluarkan keputusan menggabungkan ISTAC ke dalam UM,
sebagai salah satu departemen tersendiri, dan tak lagi sebagai lembaga
pendidikan Islam independen. Atas berbagai prestasinya itu, Naquib
meraih banyak penghargaan internasional. Di antaranya, Al-Ghazali Chair
of Islamic Thought.
Sebagai intelektual dan ilmuwan Muslim yang
sangat dihormati dan berpengaruh, Selama ini Naquib dikenal sebagai
pakar di bidang filsafat, teologi, dan metafisika. Gagasannya di sekitar
revitalisasi nilai-nilai keislaman, khususnya dalam bidang pendidikan,
tak jarang membuat banyak kalangan terperanjat lantaran konsep yang
digagasnya dinilai baru dan karena itu mengundang kontroversi.
Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis
dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib
Al-Attas (1998) yang telah di-Indonesiakan oleh Mizan (2003), yaitu
mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam
pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika)
dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan
dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.
Naquib
cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim.
Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab
berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan
kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat
terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.
Sementara,
bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya
terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan
hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme,
humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur
dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab
atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama
dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Dalam masa sekarang
ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di
bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan
ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu
tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu
pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau
diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).
Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki
dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari
berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir
kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan
nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua
kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan
sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi
lain, Naquib berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual,
termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan
pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang
menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan
manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara
pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya
dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan.
Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral
atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu
fardhu kifayah.
Berkaitan dengan islamisasi ilmu pengetahuan,
sosok Naquib amat mencemaskan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Sosok ini termasuk orang pertama yang menyerukan pentingnya islamisasi
"ilmu". Dalam salah satu makalahnya, seperti ditulis Ensiklopedi of
Islam, Naquib menjelaskan bahwa "masalah ilmu" terutama berhubungan
dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di
negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat
lemah.
Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya
cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai
ilmu. Naquib menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian
kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis,
karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang
hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan
seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses
pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu
bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."
Naquib,
seperti disinggung di atas, juga memberi perhatian besar pada
nilai-nilai Melayu. Pemikir ini berpendapat, jati diri Melayu tak
terpisahkan dengan Islam. Bahkan menurutnya, kemelayuan itu dibentuk
oleh Islam. Bukti-bukti yang diajukannya bukan berdasarkan
peninggalan-peninggalan fisik, tapi terutama berkaitan dengan pandangan
dunia orang melayu.
Ia berpandangan, dakwah Islam datang ke
wilayah Melayu sebagai "Islamisasi". Proses ini, ujarnya, berjalan dalam
tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi
Abad Pertengahn Eropa. Segenap apa yang dilakukan Naquib jelas
menunjukkan komitmennya tentang upaya peradaban Islam tampil kembali ke
permukaan dan mewarnai kancah pergaulan.
Hingga kini, Naquib
masih terus menulis. Ia tergolong intelektual yang produktif. Puluhan
buku telah ia tulis, antara lain: Rangkaian Ruba'iyat; Some Aspects of
Shufism as Understood and Practised Among the Malays; Raniri and the
Wujudiyyah of 17th Century Acheh; The Origin of the Malay Sya'ir;
Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesia Archipelago.
Selain itu, ia juga menulis Islam
Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu; Risalah untuk Kaum Muslimin; Islam,
Paham Agama dan Asas Akhlak; Islam and Secularism; The Concept of
Education in Islam; The Nature of Man and the Psychology of the Human
Soul; dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam.
Sebagian dari karyanya tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa,
seperti Inggris, Arab, Persia, dan Indonesia. Di usianya yang uzur kini,
pemikir yang banyak pengaruhnya dalam kancah intelektualisme
kontemporer ini terus aktif merealisasikan gagasan dan pemikirannya
melalui lembaga ISTAC. (republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar