Kamis, 21 Juni 2012

SEBUAH KEJAHATAN



Sebuah bentuk kejahatan terhadap kaum muslimin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Mereka masih mempertanyakan dalil atas kebiasaan kaum muslim di negeri kita yang berziarah kubur menjelang puasa Ramadhan.
Mereka katakan bahwa kebiasaan tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga termasuk bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah) dan setiap kesesatan akan bertempat di neraka.
Alangkah malangnya kaum muslim di negeri kita dan kenapa pula Majelis Ulama Indonesia tidak memperingatkan kaum muslim di negeri kita akan bahayanya kebiasaan ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan akan bertempat di neraka
Salah satu tanda akhir zaman telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya yang artinya: “Apabila ada seseorang atau sebuah kaum (sekte) yang mengatakan bahwa kaum muslim pada umumnya telah rusak, maka sebenarnya orang atau sebuah kaum (sekte) itu sendiri yang rusak” (HR Muslim 4755)
Ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja. Tidak ada larangan dari Allah Azza wa Jalla ataupun disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengenai waktu-waktu terlarang untuk melakukan Ziarah Kubur.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda Kuntu nahaitukum `an ziyaratil qubur, fazuurul qubura, fainnaha tuzhidu fiddunya watudzkirul akhirah …..
Saya pernah melarang kalian berziarah ke kubur , maka sekarang berziarahlah ke kubur. Sesungguhnya berziyarah kubur menyebabkan zuhud akan dunia dan mengingatkan akan akhirat” . ( HR dari Ibnu Mas’ud riwayat Ibnu Majah).
Pada awal masa Islam disyiarkan , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhawatirkan akan terjadinya syirik namun setelahnya maupun sampai kini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak khawatir akan terjadinya syirik karena telah tegaknya agama Islam. Andaikan terjadi kesalahan dalam tata cara melakukan ziarah kubur  maka cukuplah diluruskan saja bukan melarangnya. Ziarah kubur adalah salah satu bentuk silaturrahim dengan para ahli kubur.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام
Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم
Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih mengkhawatirkan umatnya egois, individualis dan berlomba-lomba dengan kekayaan bumi, harta dunia dan kekuasaan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar, “sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah (sikap egoism, individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompok). Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)”. (HR Bukhari 3509)
Terhadap kebiasaan (adat) ziarah kubur menjelang puasa Ramadhan adalah perkara di luar perkara syariat atau di luar dari apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla berlaku kaidah ushul fiqih
wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah
yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat adalah boleh saja (mubah) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya atau sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya“.
Maksudnya adalah segala kebiasan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat (diluar dari apa yang telah disyariatkanNya) selama tidak melanggar satupun laranganNya atau selama tidak ada laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta ijma dan qiyas maka hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum asalnya tergantung jenis perbuatannya.
Hal yang harus kita ingat selalu adalah perkara larangan  adalah urusan agama atau disebut juga “urusan kami” yakni urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya. Perkara larangan hanya bersumber dari Allah Azza wa Jalla.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh).
Firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Dalam perkara larangan berlaku kaidah ushul fiqih “al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim” yang artinya “hukum asal ibadah adalah haram” maksudnya ibadah dalam perkara syariat (apa yang telah disyariatkanNya) harus berdasarkan dalil yang menetapkannya.
Kita tidak boleh menetapkan hukum perkara terkait dosa, baik sesuatu yang ditinggalkan berdosa (perkara kewajiban) maupun sesuatu yang dikerjakan / dilanggar berdosa (perkara larangan/pengharaman) tanpa ada dalil yang menetapkannya.
Jadi kita tidak boleh melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.
Segelintir orang mengaku menegakkan tauhid namun pada kenyataannya  tanpa disadarinya telah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah Azza wa Jalla tidak turunkan keterangan padanya dengan mengada-ada (bid’ah) larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma’i, Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyar bin Utsman, teks milik Ghassan dan Ibnu Al Mutsanna, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepadaku ayahku dari Qatadah dari Mutharrif bin Abdullah bin Asy Syakhir dari Iyadh bin Himar Al Mujasyi’i Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda pada suatu hari dalam khutbah beliau: Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Hal ini serupa dengan pelarangan-pelarangan puasa di bulan rajab.
Al Hafidh Imam Nawawi mengatakan bahwa tidak ada riwayat pelarangan puasa di bulan rajab, maka pelarangan akan hal itu adalah hal yang mungkar.
Al Hafidh Imam Nawawi menjelaskan bahwa sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyukai puasa di bulan haram, dan rajab adalah termasuk bulan haram, maka puasa di bulan rajab adalah mulia
Diriwayatkan dalam sunan Abi Dawud bahwa Nabi menyunnahkan puasa di bulan haram dan rajab termasuk padanya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 60) dan berkata Al Hafidh Imam Assyaukaniy bahwa disunnahkannya puasa di bulan rajab (Naylul Awthar Juz 4 hal 333).
Ummulmukminin Aisyah radliallahu ‘anha  menegur Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu bahwa apakah betul ia melarang orang berpuasa Rajab, maka Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu berkata : “Bagaimana dengan puasa seumur hidup?”,
Hal ini menunjukkan tidak ada pelarangan dari Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu mengenai puasa Rajab, dan pertanyaan itu muncul dari Aisyah radliallahu ‘anha  memberikan pemahaman pada kita bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan puasa Rajab oleh karenyanya  Aisyah radliallahu ‘anha  menegur Abdullah bin Umar radliallahu ‘anha  apakah betul ia melarang orang puasa rajab.
Hal sama dapat kita ketahui dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya; Telah mengabarkan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari ‘Abdul Malik dari ‘Abdullah -budak- dari Asma’ binti Abu Bakr dan dia juga adalah paman anaknya ‘Atha, dia berkata; Asma’ binti Abu Bakar pernah menyuruh saya untuk menemui Abdullah bin Umar agar menyampaikan pesannya yang berbunyi, ‘Telah sampai kepada saya bahwasanya, engkau telah mengharamkan tiga hal; pakaian yang terbuat dari campuran sutera, pelana sutera yang berwarna merah tua, dan berpuasa di bulan Rajab seluruhnya.’ Abdullah bin ‘Umar berkata kepadaku; ‘Mengenai berpuasa di bulan Rajab yang telah kamu singgung tadi, maka bagaimana dengan orang yang berpuasa selama-lamanya? ‘ (HR Muslim 3855)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “……….Di dalam satu tahun ada dua belas bulan dan di antaranya terdapat empat bulan yang mulia, tiga di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari 2958 dari Abu Bakrah).
Berkata Ibnu Katsir: “Di bulan-bulan yang Allah tetapkan di dalam setahun kemudian Allah khususkan dari bulan-bulan tersebut empat bulan, yang Allah menjadikan sebagai bulan-bulan yang mulia dan mengagungkan kemulyaaannya, dan menetapkan perbuatan dosa di dalamnya sangat besar, begitu pula dengan amal shalih pahalanya begitu besar.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada QS. at-Taubah:36)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mencontohkan tidak membuat sesuatu larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dengan tidak melarang para Sahabat berpuasa sunnah setiap bulan hijriah melebihi apa yang telah beliau contohkan hanya 3 hari karena Allah Azza wa Jalla memang tidak melarangnya
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan menghindari mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih berjama’ah sepanjang bulan Ramadhan adalah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa.
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Tidak ada komentar:

Posting Komentar