Oleh: Dean Sasmita
Golongan Salafi & Wahabi memiliki motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’.
Mereka mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kenapa?
Karena, tentunya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam
yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, sehingga siapa saja yang
menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada
ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah
Rasulullah SAW menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya ?
Secara global, motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ ini jelas tidak akan ditentang oleh siapapun, bahkan
semua umat harus mengikutinya agar selamat. Namun mungkin banyak
orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab
yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para
ulama di zamannya ? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang
merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah dianggap menyimpang
bahkan divonis sesat ? Dan apakah para ulama terdahulu di zamannya selain kedua ulama ini seolah tidak mengajak kepada hal yang sama ?
Mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat jelas ‘sumber masalah’ yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut. Mari kita cermati dengan hati yang lapang dan objektif agar kita tidak terjerumus dalam pola pikir satu arah yang hanya mau melihat dan mendengar hanya karena kita sudah terlanjur ‘taqlid’ pada satu sumber informasi saja, hingga akhirnya dengan angkuhnya kita membenarkan tanpa ada ‘perbandingan’ sedikitpun. Karena dengan jalan ini, insyaAllah kita mendapatkan jawaban kebenaran yang sesungguhnya, bukan ‘pembenaran’ yang menuruti hawa nafsu semata.
*****
1
Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah
benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku
beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang
benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang
kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami
al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang
menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat
penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman
yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku ‘terjemah’
al-Qur’an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat !
Mengapa? Tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka berupaya mengkajinya dengan
kemampuan dan kapasitasnya sendiri masing-masing. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin
(orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan
kesesatan mereka itu lahir dari sebab ‘Kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah’, mereka merasa benar dengan caranya sendiri atau mengikuti seseorang yang memiliki konsep dengan jalan pikirannya sendiri tanpa kesepakatan ulama terbanyak.
Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap
al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka
sendiri secara internal pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil
sehingga mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang saling menyesatkan. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.
*****
2
Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama
tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam
rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan
terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup
dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama
yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai ‘ahludz-dzikr’, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.
Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam
memahami Islam dengan cara ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’
dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan
oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal
penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena
mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah).
Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya.
Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak
kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga
abad ke-8 hijriyah. Dan lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus
jauh itu, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi
pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama
salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman
mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf.
Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah
murid-murid mereka ? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian
menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus
berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan
maupun tulisan ?
Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad
itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka
campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk
memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut ? Sungguh, ini bukan
saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin
disebut ‘kebodohan dan pembodohan’ !. Jadi, kaum Salafi
& Wahabi bukan cuma menggaungkan motto ‘Kembali kepada al-Qur’an
dan Sunnah’ secara langsung, tetapi juga secara langsung maupun tidak,
menggaungkan motto ‘Kembali kepada pendapat para ulama salaf’
dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin
menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan
orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan
air.
*****
3
Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah ‘hasil jadi’. Para
ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat
memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang
rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar
terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut.
Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak
mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini,
menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup
Rasulullah SAW & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum
lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan
yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan
lain sebagainya. Belum lagi jika kita membaca sejarah hidup mereka yang
penuh dengan keshalehan dan selalu hidup manjauhi dari segala dorongan
hawa nafsu.
Para ulama seakan-akan telah menghidangkan ‘makanan siap
saji’ yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau
memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa
kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Inilah
yang disebut sebagai ulama ‘warasatul anbiya’. Saat kaum Salafi &
Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, lalu
mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah
dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran ‘pendapat’ manusia (ulama)
yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama
saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap
disantapnya, lalu menyuruhnya dari awal untuk menanam padi.
Seandainya tidak demikian, berarti mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah ‘mencemarkan agama’,
lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi &
Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya
mengambil pemahaman al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan
‘pemurnian agama’. Inilah kesombongan yang paling hebat yang tidak pernah dilakukan para ulama sebelumnya !
Sesungguhnya, ‘pencemaran’ yang dilakukan para ulama yang
shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat
dari kesesatan. Sedangkan ‘pemurnian’ yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi
terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu
banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah; saat
mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis
sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah SAW,
padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan
Rasulullah SAW tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (Hadits)-nya.
*****
Dari uraian ini, nyatalah bahwa orang yang ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ itu belum tentu dapat dianggap benar,
dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak
mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Alangkah ironisnya bila
karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang
al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai
kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
‘Kembali pada Al-Qur’an
& Sunnah’ ? Ya! Tapi bukan dalam ‘perspektif’ Salafi & Wahabi,
karena kami dari dulu sampai sekarang mengikuti para Ulama Ahlussunnah
Waljama’ah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar