Ikhtilaf dan I’tilaf
Thursday, 16 February 2012 14:02
Pada bulan-bulan ini di Kuwait, persisnya di Markaz al-Alami lil al-Wasatiyah, diadakan daurah atau
training. Training selama seminggu itu sedikitnya diikuti oleh 17
kelompok dari Negara yang berbeda-beda. Semula saya, sebagai peserta,
ragu jangan-jangan ini adalah training untuk menjadi Muslim moderat
dalam pengertian liberal. Dari materi dan traininernya, saya menjadi
tahu ini bukan liberal.
Moderat dalam mensikapi perbedaan diantara umat Islam. Materinya hampir semuanya tentang syariah, utamanya adalah Fiqh al-I’tilaf wa al-Ikhtilaf (Fiqih persatuan dan perbedaan) dan Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqih Prioritas). Trainernya adalah para pakar dalam bidang syariah pula, dan yang pasti dalam mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Untuk memahami peta ikhtilaf dalam
Islam Dr.al-Bayanuni menggambar 3 lapisan lingkaran kecil sedang dan
besar. Lingkaran pertama adalah perbedaan diseputar masalah ijtihadiyah.
Statusnya tidak jauh dari khata’ (salah) dan sawab (betul). Disini yang pertama masih mendapat pahala satu dan yang benar mendapat pahala dua.
Lingkaran kedua berkutat pada masalah yang lebih berat yaitu masalah usul atau hal-hal yang muhkamat. Statusnya adalah haqq (benar) dan batil (salah). Disini bukan masalah ijtihadiyah, karena itu bagi yang salah tidak mendapat pahala. Hukumnya adalah sesat dan harus diingatkan.
Lingkaran terakhir lebih berat lagi karena berkaitan dengan masalah
usul yang menyangkut masalah keimanan. Maka, statusnya sudah bukan haqq dan batil lagi, tapi sudah Mu’min atau kafir.
Dalam masalah ijtihadiyah, khilafiyah atau perbedaan meruncing pada masyarakat awam, tapi tidak pada ulama. Perbedaan masalah jumlah qunut sangat tajam dikalangan masyarakat bawah. Padahal, konon Imam Syafii tidak sekeras pengikutnya.
Ketika
beliau berkunjung ke Baghdad ia diminta menjadi Imam oleh tokoh mazhab
Hanafi. Pengikut Imam Syafii sudah tidak sabar untuk menyatakan menang
atas mazhab Hanafi. Pengikut Hanafi pun hatinya menjadi ciut. Pada
rakaat kedua shalat subuh itu ternyata Imam Syafii tidak qunut.
Ketika para pengikutnya protes pada Imam Syafii, beliau menjawab
singkat “ta’adduban” artinya untuk menghormati pengikut Hanafi.
Ketika
Buya Hamka berkunjung ke Blitar beliau diminta menjadi Imam shalat
subuh. Disana mayoritas adalah pendukung Nahdhatul Ulama. Mungkin
panitia sengaja menguji Hamka. Tapi Hamka yang ketua MUI dan
Muhammadiyah itu ternyata melakukan qunut.
Saat ini perbedaan masalah khata dan sawab
ini masih saja meruncing. Seorang anggota kelompok pengajian keluar
dari dan pindah kelompok lain hanya karena ustadhnya tidak pakai baju
taqwa. Seorang peserta sebuah seminar keislaman protes dan keluar
ruangan gara-gara pemakalahnya tidak berjanggut. Seorang Imam tidak
mulai shalatnya kecuali semua jamaah laki-lakinya mengangkat celana
diatas lutut.
Padahal dalam masalah ijtihadiyah Nabi sangat
toleran. Dalam suatu perjalanan Nabi memerintahkan “Tidak ada yang
shalat kecuali di Bani Quraidah” (La shalata illa fi bani quraidah). Bagi sebagian sahabat ini perintah Nabi dan wajib ditaati. Bagi sahabat lain karena masyaqqah
(kesulitan) tidak bisa mentaati perintah Nabi. Ternyata Nabi tidak
marah dan tidak menghukum sahabat yang tidak shalat di Bani Quraidah.
Masih banyak kasus yang lain.
Yang lebih massif lagi ikhtilaf
tahunan umat Islam Indonesia adalah masalah hari raya. Ada yang beda
sehari, ada yang beda tiga hari bahkan ada yang beda seminggu. Umat
Islam yang terpelajar pasti bertanya mengapa tidak menyatukan ru’yat dengan hisab? Dan mengapa ru’yat
tidak diserahkan kepada para pakar astronomi atau falak? Mengapa Depag
tidak mengambil otoritas ithbat melalui tim professional dari berbagai
ormas, sehingga tidak ada lagi ormas yang menetapkan ithbat?
Ketika
Dr.al-Bayanuni mendengar hal ini beliau mengeluarkan dalil maslahatnya.
Katanya “mengikuti ijtihad yang salah tapi membawa maslahat umat lebih
afdal daripada mengikuti ijtihad yang benar tapi mengandung madarat
(bahaya)”.
Artinya terlepas dari masalah keilmuan, nampaknya
maqasid syariah (maslahat) belum masuk dalam pertimbangan. Maka jika ada
ormas yang menetapkan hari raya “asal beda” dari kelompok lain itu
berarti telah memilih “madarat” daripada “maslahat”. Memilih ikhtilaf (berselisih) daripada i’tilaf (bersatu). Padahal di hampir seluruh Negara Islam tidak ada perselisihan tentang awal hari raya Idul Fitri.
Lingkaran kedua tentang haqq dan batil. al-Bayanuni tidak banyak memberi contoh. Demikian pula lingkaran ketiga. Mungkin karena tujuannya adalah meredam ikhtilaf masalah furu’ umat
Islam yang berkepanjangan. Tapi begitu disebut nama Nasr Hamid, Syahrur
dan Arkoun beliau menyimpulkan pemikiran orang-orang ini banyak yang
batil. Bahkan ada yang sudah pada lingkaran ketiga. Itulah sebabnya di
Mesir Nasr Hamid di fatwa murtad.
Jadi sabda Nabi ikhtilaf umatku
adalah rahmat, tidak bisa diplesetkan menjadi “perselisihan” umatku
adalah rahmat. Tidak pula di kaburkan dengan “pluralisme teologis umatku
adalah rahmat”. Ikhtilaf disitu sebenarnya mengandung makna i’itilaf,
artinya perbedaan sudut pandang umatku dalam berbagai masalah agama
adalah rahmat asalkan tetap bersatu dalam aqidah atau masalah-masalah
usul. Maka pengikut mazhab ahlussunnah wal jamaah harus bersatu meskipun kelompok-kelompok didalamnya berbeda dalam masalah furu’iyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar