Wednesday, 18 May 2011 09:47
Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar symposium di Tokyo. Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam”,
yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari
negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis,
Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari
Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa
depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan
radikal atau moderat.
Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan
disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya
berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme
tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta
merespon dengan datar-datar saja. “Moderate” artinya tidak berlebihan ghuluww
(ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui Abdelmajid,
dari Tunis moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan,
hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan
nyata.
Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation
Amerika Syerikat mendefinisikan. Muslim moderat adalah yang mau
menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi,
humanisme dan civil society. Dr.Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar
London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim
menurut kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan
pluralisme, feminisme, humanisme dsb.
Saya pun ikut merespon.
“Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam
Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu
tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah
moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal,
termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak
moderat.
Masataka Takeshita, Professor Studi Islam dari
Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud “Islam liberal”?
saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu kontekstual, artinya cenderung
menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam
konteks masyarakat Barat. Contohnya, di kalangan liberal ada yang
menafikan hukum Tuhan (syariah), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an,
menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan
lesbi, nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar
forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang
liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.
Rabasa tak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual “Islam moderat”. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat
tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas.
sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam.
Definisi
Islam moderat yang anti Islam dalam dilihat pada situs
“muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti
bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap
Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau
netral, tidak berreaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik,
menentang pakaian Islam, syariah, dan terrorisme. Andrew McCarthy dalam
National Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma.
Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam
memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan
persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama
lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur
moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam
mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan
moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah
Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak
percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental
bau orientalismenya.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”.
Tapi yang justru menemukan kesalahannya adalah John L Esposito. Dengan
bijak dan adil dia kritik begini: pertama jika definisi Barat itu
diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak
moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Sholat Jumat
menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut
agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru
tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh
Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang
pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum
dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi
masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus
mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari
kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan
tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua.
Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah
“a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and
heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all
Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi
Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang
berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar
ma’ruf nahi munkar (QS 5:48; 3:110), tidak ada intimidasi dan kekerasan.
Sahabatnya Ubid Ullah Jan, menambahi Muslim yang menolak ketidak adilan
atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat.
Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, untuk mengalahkan radikalisme
tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme
Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan
kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar