Rabu, 20 Juni 2012

Ustadz Muhammad Idrus Romli : “Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah”

InpasOnline, 29 Mei 2009  

Ustadz Muhamamd Isrus Romli: “Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah”  
          
Hari itu, Kamis, 28 Mei 2009 terjadi kesibukan di gedung GEMA IAIN Sunan Ampel Surabaya. IPNU dan IPPNU IAIN Sunan Ampel rupanya tengah mempersiapkan acara bedah buku “Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi” karangan Muhammad Idrus Ramli, salah seorang narasumber InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya di diskusi dua bulanan InPAS.
Selain Ustadz Muhammad Idrus Ramli, dalam acara bedah buku yang dihadiri oleh mahasiswa IAIN Sunan Ampel maupun dari orang luar, termasuk InPAS Surabaya ini juga menghadirkan Ustadz Choirul Anshori, MA salah satu Dewan Pimpinan Syahamah (Syabab Ahlussunnah Wal-Jama’ah) Jakarta, Pof.Dr.Zainul Arifin (Guru Besar Ilmu Hadits IAIN Sunan Ampel), dan Ahmad Ma’ruf Asrori (Direktur Penerbit Khalista).   
      
Bedah buku yang disponsori oleh Penerbit Khalista ini momennya dirasa sangat tepat, jika dikaitkan dengan fenomena gerakan Wahhabi yang menimbulkan kontroversi, termasuk ketika baru-baru ini muncul buku “Ilusi Negara Islam” yang mencoba menguatkan sentiment anti Wahhabi dalam rangka meraih kepentingan politik. Dalam buku tersebut, isu Wahhabi digunakan sebagai senjata ampuh untuk mendiskreditkan (baca : menggembosi) sebuah partai politik yang meraih dukungan suara cukup signifikan di Pemilu 2009. Namun bukan itu yang menjadi pokok bahasan utama buku setebal 301 halaman ini. 

Ustadz Muhammad Idrus Ramli mengkaji Madzab Al-Asy’ari demi meluruskan kesalahpahaman sebagian kelompok Islam yang menyatakan bahwa Madzhab Al-Asy’ari dan Asy’ariyah (pengikut Madzhab Al-Asy’ari) bukan termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kelompok yang muncul belakangan, yang menamakan dirinya Salafi dan mengklaim sebagai pengikut ulama salaf yang saleh ini bahkan berani mengatakan bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengkafirkan pengikut Al-Asy’ari. Berawal dari fenomena memprihatinkan inilah, maka Ustadz Muhammad Idrus Romli menulis buku ini.           Benarkah tuduhan kelompok Salafi yang mengatakan bahwa Al-Asy’ari bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Menjawab pertanyaan tersebut, secara jelas dan tegas Ustadz Muhammad Idrus Romli menyatakan bahwa berdasarkan ijma’ ulama yang mengikuti madzhab fiqih Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali; Madzhab Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. “Dewasa ini, aliran Wahhabi yang menamakan dirinya kelompok Salafi, juga mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Akan tetapi, para ulama terkemuka dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqih yang mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali tidak mengakui mereka sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah,” jelas Gus Idrus.     
     
Ustadz Choirul Anshori memberikan pandangan terhadap kelompok Salafi dari segi sanad keilmuan. Dari segi ini, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih banyak mengambil dari pendapat Taqiyuddin Ahmad ibn Taimiyyah al-Harrani. Jadi jelas tidak ada mata rantai sanad yang bersambung karena Ibn Taimiyyah hidup pada abad ke-8 Hijriyah sedang Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada abad ke-12. Apalagi Muhammad bin Abdul Wahhab pernah mengatakan bahwa guru-gurunya tidak ada yang mengetahui makna La ilaha illallohu. “Kalau guru-guru Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ada yang mengetahui makna Laa ilaaha illallohu, bagaimana ia memahami tauhid? Apakah hanya sekedar membaca atau buah dari pergolakan pemikirannya sendiri? Jika benar demikian, bagaimana ia mengklaim bahwa golongannya yang paling benar padahal sanad keilmuannya tidak jelas?”, tegas salah satu Dewan Pimpinan Syahamah ini. 

Ustadz Choirul Anshori mengatakan bahwa pada tanggal 24 Mei 2009 seharusnya dia melakukan debat dengan kelompok Salafi di daerah Bogor. Mereka menantang debat kepada Ustadz Choirul dan setelah beliau menyanggupi, mereka malah tidak mau menghadiri debat yang mereka gagas sendiri.      
          
Ditemui secara terpisah, Ustadz Abdurrahman Nafis, Lc. M.HI, Ketua Bidang Fatwa MUI Jatim menyatakan bahwa aliran Salafi berawal dari pemahaman terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits secara tekstual ansich. “Mereka menafsirkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara zhahirnya saja dengan menafikan tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama mujtahidin yang ahli di bidangnya baik dari kalangan sahabat, tabi’ tabi’in, salafush shaleh, dan para mufassir kontemporer, sehingga mereka menggunakan tafsir bi ra’yi atau ditafsirkan dengan pendapat mereka sendiri sementara kapasitas mereka belum mencapai tingkatan mufassir”, ungkap pengasuh pondok pesantren Nurul Huda ini.
Ustadz Abdurrahman Nafis lebih lanjut menambahkan, bahwa Salafi yang ada di Arab Saudi tidak sekeras dan seekstrem Salafi yang ada di Indonesia. Ulama Saudi sendiri bahkan jauh lebih toleran terhadap kelompok atau golongan yang tidak satu pemahaman dengan mereka. Namun dalam hal memandang Madzhab Al-Asy’ari, Salafi sepakat bahwa Madzhab Al-Asy’ari bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan memberikan dalil-dalil yang bertentangan dengan ijma’ ulama yang ahli dalam berbagai bidang, termasuk ulama yang ahli di bidang hadits.          
Adapun Madzhab Al-Asy’ari memang menjadi madzhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam sedunia, dari dulu hingga sekarang, dan didukung oleh ulama-ulama ahli hadits seperti Al-Hafizh Abu Bakar al-Isma’ili (277-371 H), Al-Hafizh Abu al-Hasan al-Daruquthni (306-385 H), Al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H), Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Al-Hafizh al-Lalikai (w.418 H), Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani (336-430 H), Al-Hafizh Abu Dzar al-Harawi (355-434 H), Al-Hafizh Abu Amr al-Dani (371-444 H), Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi (384-458 H), Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H), Al-Hafizh Ibn Abdil Barr (368-463 H), Al-Hafizh Abu al-Walid al-Baji (403-474 H), Al-Hafizh Abdul Ghafir al-Farisi (451-529 H), Al-Imam Abu Adillah al-Farawi (441-530 H), Al-Hafizh Ibn al-‘Arabi (468-543 H), Al-Qadhi Iyadh al-Yahshubi (476-544 H), Al-Hafizh Abu Sa’ad al-Sam’ani (506-562 H), Al-Hafizh Ibn Asakir (499-571 H), Al-Hafizh Abu Thahir al-Silafi (478-576 H), Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H), Al-Hafizh al-Shalah al-Syahrazuri (577-643 H), Al-Hafidz al-Mundziri (581-656 H), Al-Hafizh an-Nawawi (631-676 H), Al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Id (625-702 H), Al-Hafizh al-Dimyathi (613-705 H), Al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi (654-742 H), Al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’I (694-761 H), Al-HAfizh Ibn Katsir (701-774 H), Al-Hafizh al-‘Iraqi (725-806 H), Al-Hafizh Nuruddin al-Haitsami (735-807 H), Syamsuddin Ibn al-Jazari (751-833 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Astqalani (773-852 H), dan lain-lain.  
       
Apa sebenarnya makna Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan apa saja kriteria sebuah kelompok  disebut Ahlussunah Wal-Jama’ah? Ustadz Muhammad Idrus Romli menjelaskan dalam bukunya pada Bab Empat yang bertajuk “Metodologi Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah”, bahwa secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata. Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut, atau golongan.  Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-thariqah (jalan dan perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar maupun keliru. Sedangkan secara terminologis, al-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu. Ketiga, al-jama’ah. Secara etimologis kata al-jama’ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-firqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-jama’ah ialah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a’zham), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Harari berikut ini : Hendaklah diketahui  bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad SAW. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip aqidah…Sedangkan al-jama’ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a’zham) kaum Muslimin. Pengertian bahwa al-jama’ah adalah al-sawad al-a’zham (mayoritas kaum Muslimin) seiring dengan hadits Nabi SAW :Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW  bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069). Al-Hafizh al-Suyuthi menilainya shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir (I/88)] Hadits diatas memberikan penjelasan, bahwa ketika umat Islam terpecah-belah dalam beragam golongan dan aliran, maka kelompok yang harus diikuti adalah kelompok mayoritas, karena kelompok mayoritas adalah golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah)Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda :Ibnu Mas’ud berkata, Nabi SAW bersabda : “Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya.” [HR.Tirmidzi 92582), Ahmad (12871) dan al-Hakim (I/88) yang menilainya shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim]. 

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa orang yang selalu mengikuti ajaran dan mainstream mayoritas kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal saleh, maka baraokah doa mereka akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari mainstream mayoritas kaum Muslimin, maka dia tidak akan memperoleh barokah doa mereka, sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Hadits tersebut secara tidak langsung mendorong kita agar selalu menjaga kebersamaan dengan mayoritas kaum Muslimin.Di sisi lain, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa maksud al-sawad al-a’zham dalam hadits tersebut adalah mayoritas ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan pendapatnya dapat diikuti (mu’tabar). 

Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah bi al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain. Tentu saja pendapat ini sesuai juga dengan madzhab al-Asy’ari karena berdasarkan kesepakatan para pakar, madzhab al-Asya’ri diikuti oleh mayoritas ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tashawuf dan lain-lain. Realita bahwa mayoritas ulama terkemuka mengikuti madzhab al-Asy’ari juga diakui oleh Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud, seorang ulama Saudi Wahhabi kontemporer, yang mengatakan :Di antara sebab tersebarnya madzhab al-Asy’ari ialah, bahwa mayoritas ulama berpegangan dengan madzhab tersebut dan menjadi pembelanya, lebih-lebih para fuqaha madzhab Syafi’I dan Maliki…Tokoh-tokoh yang mengadopsi madzhab al-Asy’ari antara lain adalah al-Baqillani, Ibn Furak, al-Baihaqi, al-Asfarayini, al-Syirazi, al-Juwaini, al-Qusyairi, al-Baghdadi, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, al’Izz bin Abdissalam, Badruddin bin Jama’ah, al-Subki dan masih banyak ulama-ulama yang lain. Mereka bukan sekedar pengikut madzhab al-Asy’ari, tetapi mereka juga penulis dan pengajak kepada Madzhab ini. Oleh karena itu mereka menyusun banyak karangan dan menggembleng murid-murid yang begitu banyak. 
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tidak tepat diterapkan terhadap aliran-aliran seperti Syiah Imamiyah, Syiah Zaidiyah, Khawarij, Wahhabi (Salafi), dan lain-lain, karena kelompok mereka minoritas, diikuti oleh sebagian kecil kaum Muslimin. Hal tersebut berbeda dengan Madzhab al-Asy’ari yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, baik dari kalangan awam maupun kalangan ulama.     
     
Dewasa ini, kalangan Wahhabi berupaya mengacaukan maksud hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa, dengan berpendapat bahwa jumlah mayoritas tidak dapat menjadi bukti terhadap benar dan tidaknya suatu ajaran. Menurut mereka, justru dengan jumlah kelompok mereka (Wahhabi) yang sedikit, menjadi bukti bahwa merkalah kelompok yang benar, karena dalam Al-Qur’an sendiri seringkali disebutkan, bahwa kebenaran selalu bersama kelompok yang jumlahnya minoritas, seperti dalam ayat :“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini” [QS. Shad : 24]“Dan sedikit sekali mereka dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [QS. Saba’ : 13]“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” [QS.Yusuf : 106]Asumsi kalangan Wahhabi tersebut tidak dapat dibenarkan. Para ulama mengatakan, bahwa ketiga ayat di atas tidak tepat dijadikan dalil yang membenarkan kelmpok yang memiliki jumlah minoritas, karena beberapa alas an. Pertama, berkaitan dengan dua ayat yang pertama, kata “sedikit”, dalam dua ayat tersebut, harus diposisikan pada konteks “sedikit” yang relatif dan nisbi, yaitu adakalanya diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat khusus. Dalam pengertian umum, kaum Muslimin selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum non-Muslim. Sedangkan dalam pengertian khusus, kaum Muslim yang tulus, istiqomah dan konsisten secara sempurna dalam menjalankan perintah agama selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah mereka yang tidak konsisten secara sempurna. Tetapi semua kaum Muslim yang konsisten dengan sempurna, yang konsisten kurang sempurna, dan yang tidak konsisten menjalankan perintah agama, juga tetap dikatakan Muslim yang beriman. Dan selama mereka mengikuti akidah mayoritas kaum Muslimin, mereka termasuk pengikut Ahluusnnah Wal-Jama’ah.Kedua, penempatan ayat ketiga, yaitu ayat Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan semabahan-sembahan lain), [QS. Yusuf : 106], terhadap mayoritas kaum Muslimin adalah tidak tepat, karena berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir, ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum penyembah bintang, penyembah berhala, umat Yahudi serta Kristen. Menempatkan ayat di atas terhadap kaum Muslimin, berarti mengikuti tradisi kaum Khawarij, seperti yang dikatakan oleh Ibn Umar dalam riwayat Shahih al-Bukhari.     
      
Sedangkan dalam ranah akidah, ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah meyakini bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat. Hal ini merupakan salah satu ajaran yang membedakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan madzhab lain. Terdapat sekian banyak dalil, baik dari Al-Qur’an, hadits, dan dalil-dalil ‘aqli yang menunjukkan bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat, misalnya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia [QS.Al-Syura : 11]           

Ayat ini adalah ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah secara mutlak dari menyerupai apapun. Allah SWT tidak menyerupai makhluk-Nya dari aspek apapun, sehingga Allah itu tidak butuh pada tempat yang menjadi tempat-Nya dan tidak butuh pada arah yang menentukan-Nya. Keberadaan Allah SWT tanpa tempat dan tanpa arah, seperti yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra : “Allah SWT itu ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya tempat.” Mungkin di sini ada yang bertanya, apakah akal dapat menerima terhadap keberadaan sesuatu tanpa arah dan tanpa tempat? Jawaban dari pertanyaan ini adalah dalil berikut ini yang juga menunjukkan bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat, yaitu hadits shahihImran bin Hushain ra berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya [HR. Bukhari : 2953)           

Keyakinan bahwa wujud Allah itu tanpa tempat dan tanpa arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh, berdasarkan  pernyataan al-Imam al-Thahawi dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Thahawiyyah yang merupakan rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan : Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. Oleh karena Ahlussunnah Wal-Jama’ah sepakat meyakini bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka kelompok yang meyakini bahwa Allah ada di Arsy itu bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan tetapi disebut kelompok Mujassimah dan Musyabbihah, seperti yang ditegaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Astqalani dalam Fath al-Bari : Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.            

Dengan semua penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka kita bisa melihat bahwa Madzhab al-Asy’ari adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebab memenuhi semua kriteria kelompok yang disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta didukung oleh mayoritas ulama salaf maupun khalaf. (kpl)

1 komentar: