Selasa, 18 Oktober 2011

Lo, Imam Al-Syafi'i Tidak Shalat Tahajjud?



“Alhamdulillah, buku-buku yang Anda kirimkan kepada saya telah sampai.” Demikian pesan penulis kemarin kepada seorang sahabat, seorang mahasiswa asal Cirebon yang sedang mengikuti program pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan sedang pulang ke Indonesia. Dua buku itu adalah dua buku menarik yang disusun dua ulama dan pemikir kondang dari Negeri Piramid: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dan Dr. Muhammad ‘Imarah. Dua ulama terkemuka itu memang terkenal sebagai pemikir-pemikir yang disegani di Dunia Islam. Buku pertama tentang “Lagu dan Musik Menurut Al-Quran dan Sunnah”. Sedangkan buku kedua tentang “Al-Bukhari dan Muslim, Dua Tokoh Hadits”.

Melihat dua karya penting tersebut, malam harinya penulis pun segera terasyikkan dalam menyimak dan mencermati kedua karya itu. Menyimak kedua karya itu, penulis kian tersadarkan, betapa Hukum Islam demikian luas. Dan, hukum itu tidak dapat dimengerti dan difahami dengan baik bila kita menggunakan “pandangan mata kuda”: pandangan picik yang melihat hukum itu dari aspek yang sempit. Mengenai lagu dan musik saja, hingga dikaji Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam 255 halaman, ternyata pembahasan para ulama dan pakar demikian mendalam dan luas. Dan, ternyata pula, para ulama dan pakar Hukum Islam telah semenjak lama telah membahas persoalan lagu dan musik.

Entah kenapa, ketika sedang asyik “menikmati” dua karya tersebut, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang”, teringat kisah memikat tentang dua raksasa di bidang Hukum Islam: Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Al-Syafi’i. Juga, pendekatan mereka dalam memahami dan memaknai kehidupan sehari-hari menurut ajaran Islam. Berikut kisahnya:

Betapa gembira hati putri Ahmad bin Hanbal hari itu. Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis, hukum Islam, dan ilmu kalam yang juga salah seorang tokoh dari empat imam mazhab fikih. Bernama lengkap Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al-Syaibani Al-Bashri, ia lahir di Baghdad pada Rabi‘ Al-Akhir 164 H/Desember 780 M. Lantas, ketika masih menyusu, ia dibawa ibundanya pindah ke Baghdad. Tokoh yang telah hapal Al-Quran sejak dini ini gemar merantau untuk memperluas wawasan keilmuannya. Di antara gurunya kala itu adalah Abu Yusuf, sejawat dan murid Abu Hanifah Al-Nu‘man. Guru-gurunya yang lain, antara lain, adalah Hasyim bin Basyir. Ia menjadi murid Hasyim bin Basyir hingga sang guru berpulang ke hadirat Allah Swt. pada 183 H/799 M. Selepas itu, ia belajar di bawah bimbingan Abu Yusuf. Bertolak dari Baghdad, pada 186 H/802 M, Ahmad muda lantas menapakkan kakinya menuju Bashrah. Dari sana, ia lalu menuju Kufah. Selanjutnya ia menuju Makkah dan kemudian ke San‘a, Yaman.

Tak aneh bila Imam yang satu ini memiliki sederet guru, antara lain ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, Sufyan bin ‘Uyainah, Yahya bin Sa‘id Al-Qaththan, Yazid bin Harun, Abu Dawud Al-Thayalisi, Waki‘ bin Al-Jarrah, Al-Hasan bin Ziyad, ‘Abdurrazzaq Al-Shan‘ani, dan Ibn Hammam. Selain itu, ia juga sempat bertemu dengan dan menimba ilmu dari Al-Syafi‘i, pengasas Mazhab Syafi‘i, di Makkah dan Baghdad. Dan, sejak 204 H/817 M, ia menetap di Baghdad sampai berpulang ke hadirat Allah pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 241 H/31 Juli 855 M. Di kota itu pula ia meniti kehidupannya untuk menebarkan ilmu, terutama ilmu hadis. Karena keluasan ilmunya, ia segera berhasil memikat banyak murid, antara lain para ahli terkemuka seperti Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj, dan Abu Dawud Al-Sijistani.

Kegembiraan putri ulama yang kala berpulang meninggalkan sederet karya tulis, antara lain Al-Musnad, yang menghimpun sekitar tiga puluh ribu hadis, Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, ‘Ilal Al-Hadîts wa Ma‘rifah Al-Rijâl, Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah wa Al-Zanâdiqah, Fadhâ’il Al-Shahâbah, Kitâb Al-Shalâh wa Mâ Yalzam Fîhâ, Kitâb Al-Sunnah, dan Kitâb Al-Zuhd itu dipicu oleh kabar gembira dari sang ayahanda yang akan menerima kunjungan seorang guru yang acap ia bincangkan bersama sang putri. Sang putri tahu, ayahandanya acap menyanjung gurunya yang lahir di Gazza, Palestina itu, karena keluasan ilmu dan wawasannya. Karena itu, ia ingin tahu bagaimanakah sejatinya akhlak dan perilaku tokoh yang pernah menyatakan bahwa “perhiasan yang paling indah yang dikenakan ulama adalah kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” itu.

Benar saja, Al-Syafi‘i tak lama selepas itu datang berkunjung ke rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ketika larut malam tiba, ulama yang berpulang Jumat, 30 Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir meminta izin kepada tuan rumah untuk beristirahat. Selama Al-Syafi‘i beristirahat malam itu, putri Ahmad bin Hanbal sengaja begadang dan mengamati apa saja yang dilakukan tamu mulia ayahandanya itu.

Kemudian, pagi harinya, seusai melaksanakan shalat subuh, sang putri memberanikan diri bertanya kepada ayahandanya dengan suara lirih, “Wahai ayahanda! Benarkah dia Al-Syafi‘i yang acap ayahanda bincangkan tentang kebaikan dan ketakwaannya itu?”
“Benar, wahai putriku,” jawab sang ayahanda penasaran. “Dia memang adalah Al-Syafi‘i yang acap kubincangkan denganmu. Ada apa?”
“Wahai ayahanda,” jawab sang putri tetap dengan suara pelan. “Semalam, saya sengaja tak memejamkan mata. Betapa saya ingin sekali tahu perihal perilaku guru ayahanda yang satu itu. Sejak guru dan tamu ayahanda itu datang, saya senantiasa mencermati seluruh gerak dan lakunya. Ternyata, selama itu, saya mengamati tiga hal yang saya sayangkan terhadap diri guru dan tamu ayahanda itu. Ketika saya menghidangkan makanan, duh, ternyata ia lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan. Ketika ia sedang beristirahat, ternyata ia sama sekali tak melakukan shalat malam dan tahajud. Dan, ketika ia menjadi Imam shalat subuh tadi, ternyata ia tak berwudhu!”

Tentu, sang ayahanda kaget sekali dan sangat penasaran mendapat penjelasan dari putrinya tentang Imam besar yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metoda Hijaz dan metoda Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan rasio, itu. Karena itu, selepas berbagi sapa beberapa lama, Imam yang salih dan hidup sederhana itu pun mengemukakan kepada Al-Syafi‘i perihal pengamatan putrinya.

Mendengar pertanyaan demikian, wajah Al-Syafi‘i tak menunjukkan rasa tak senang sama sekali. Malah, ia menjawab dengan wajah berbinar, “Wahai Imam Ahmad! Memang saya lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan tersebut. Ini karena saya tahu, makanan yang kalian sajikan adalah makanan yang halal dan baik. Engkau adalah seorang ulama mulia. Sedangkan makanan yang disajikan orang mulia dan halal adalah obat. Berbeda dengan makanan orang pelit yang malah dapat menjadi penyakit. Jadi, saya makan tidaklah untuk memuaskan selera makan saya. Tapi, saya makan untuk berobat dengan makanan yang disajikan semalam. Sedangkan berkenaan dengan malam yang saya lewatkan tanpa shalat malam atau tahajud, semalam seakan saya melihat Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. ada di depan mata saya. Sehingga, dengan merenungi keduanya, saya menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fikih yang bermanfaat bagi kaum Muslim. Akibatnya, saya tak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat malam. Dan, berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sejatinya karena sepanjang malam saya tak tidur sama sekali dan tiada sesuatu pun yang membatalkan wudhu saya. Sehingga, saya shalat subuh dengan wudhu shalat isya.”

Betapa lega Ahmad bin Hanbal mendengar jawaban Al-Syafi’i tersebut yang tak selaras dengan pengamatan putrinya. Demikian pula putrinya yang mendengarkan penjelasan guru ayahandanya itu dari balik tirai. Malah, Ahmad bin Hanbal kemudian menekankan kepada putrinya bahwa hasil perenungan Al-Syafi’i yang bermanfaat bagi kemaslahatan kaum Muslim itu jauh lebih utama nilainya dibandingkan dengan shalat malam yang dilakukannya. (arofiusmani.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar