(arofiusmani.blogspot.com/)
Kemarin sore, ketika penulis sedang mengikuti perkembangan pergolakan politik yang sedang terjadi di Libya, lewat channel tivi: Al-Jazeera, CNN, dan Euronews, tiba-tiba penulis tersadarkan: para penguasa di kawasan Timur Tengah yang telah berkuasa ketika penulis masih menimba ilmu di Mesir (1978-1984), dan berkuasa terlalu lama, kini telah berjatuhan. Tiba-tiba pula dalam benak penulis membara pertanyaan, “Mengapa mereka terlenakan oleh kekuasaan, sehingga kekuasaan itu mereka genggam terlalu lama. Akibatnya, kekuasaan itu pun berubah menjadi “bara” di akhir perjalanan kekuasaan mereka.” Tidakkah para pemegang kekuasaan itu sadar, selain oleh rakyat, mereka akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Sang Khalik kelak di akhirat?
Merenung demikian, entah kenapa, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Damaskus, Suriah, teringat kegelisahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, penguasa ke-8 Dinasti Umawiyyah ketika menjabat sebagai khalifah. Kala itu, selama berhari-hari, betapa ia acap sulit memejamkan mata, walau malam telah sangat larut. Amanah yang ia sangga, sebagai khalifah, ternyata terasa sangat berat baginya.
Penguasa yang satu itu, sebagaimana termaktub dalam torehan sejarah Islam, terkenal adil dan bijak. Cicit ‘Umar bin Al-Khaththab ini lahir di Madinah pada 61 H/681 M (ada yang mengatakan 63 H/684 M) dan tumbuh dewasa di Helwan, Mesir hingga bersampai usia sekitar dua puluh tahun. Ia kemudian dikirim ke Madinah Al-Munawwarah, untuk menimba ilmu. Lantas, ketika ayahandanya berpulang, ia kembali ke Damaskus dan menikah dengan sepupunya, seorang putri ‘Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash, penguasa kelima Dinasti Umawiyyah, bernama Fathimah. Setahun selepas itu, pada 86 H/705 M, kala berusia dua puluh enam tahun, ia diangkat Al-Walid bin ‘Abdul Malik sebagai Gubernur Madinah, menggantikan Hisyam bin Isma‘il. Selanjutnya, putra ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash ini diangkat menjadi Gubernur Makkah. Selama menjabat gubernur, kedua wilayah itu menjadi kawasan yang stabil dan aman. Jabatan itu ia pegang sampai 93 H/712 M. Selepas itu, ia kembali ke Damaskus untuk menjadi menteri utama di masa pemerintahan Sulaiman bin ‘Abdul Malik. Jabatan sebagai orang nomor satu Dinasti Umawiyyah dipegang ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pada 99 H/717 M, menggantikan ipar yang juga saudara sepupunya: Sulaiman bin ‘Abdul Malik.
Tak kuasa mengatasi kegelisahan dan keresahan hatinya, akhirnya suami Fathimah binti ‘Abdul Malik dan ayahanda tiga belas putra dan putri itu mengirim sepucuk surat kepada Al-Hasan Al-Bashri, untuk meminta nasihat dan arahan. Terkenal sebagai seorang ulama generasi tâbi‘în dan sufi terkemuka abad 2 H/8 M, Al-Hasan Al-Bashri lahir di Madinah pada 21 H/642 M, di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab, dengan nama lengkap Abu Sa‘id Al-Hasan bin Yassar Al-Bashri. Namun, kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas terjadi Perang Shiffin pada 35 H/656 M. Sehingga, ia lebih terkenal dengan sebutan “Al-Bashri” (yang asal Bashrah). Ia tumbuh dewasa di Kota Nabi dalam lingkungan yang salih dan mendalam pengetahuan agamanya. Dan, selama bermukim di Kota Suci itu, ia bertemu tak kurang dari tujuh puluh sahabat.
Tak lama selepas menerima surat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Al-Hasan Al-Bashri pun segera membalasnya. Ia, antara lain, menulis, “Ammâ ba‘d. Wahai Amir Al-Mukminin! Sungguh, dunia adalah tempat berkelana, bukan tempat bermukim selamanya. Adam a.s. diturunkan dari surga ke dunia tak lain karena sebagai hukuman atas dirinya. Karena itu, waspadalah terhadap dunia. Sungguh, bekal dari dunia ini adalah sikap menghindarinya. Kekayaan dari dunia adalah kemiskinannya. Di setiap saat, sejatinya dunia melakukan pembunuhan. Juga, dunia melecehkan orang yang memuliakannya dan memiskinkan orang yang menghimpunnya. Dan, dunia laksana racun yang menelan orang yang tak mencermatinya dan kemudian mematikannya. Karena itu, berbekal di dalamnya adalah dengan meninggalkan dunia dan kekayaan di dalamnya adalah dengan kefakiran.
Wahai Amir Al-Mukminin! Hendaklah sikapmu terhadap dunia laksana sikap orang yang sedang mengobati luka dirinya. Ia menjaga diri sebentar, karena khawatir terhadap sesuatu yang tak disukainya dalam masa yang lama. Ia bersabar atas getirnya obat, karena takut atas derita yang berlama-lama. Sejatinya, orang mulia adalah orang yang berucap benar, menapakkan kaki dengan menundukkan kepala, hanya menyantap makanan yang baik dan halal, memejamkan mata dari hal-hal yang haram, penuh rasa khawatir, baik di kala di darat maupun di laut, dan senantiasa berdoa, baik dalam kesulitan maupun kelonggaran. Andai bukan karena ajal yang telah ditetapkan atas diri mereka, tentu mereka tak ingin nyawa mereka tetap berpadu dengan tubuh mereka. Ini, karena mereka takut hukuman-Nya dan mengharapkan balasan-Nya. Dalam hati mereka, Sang Khalik demikian agung. Sedangkan semua makhluk, di mata mereka, demikian tiada artinya.
Wahai Amir Al-Mukminin! Tafakur dapat membuahkan ajakan untuk melakukan kebaikan dan mengamalkannya. Sedangkan penyesalan atas keburukan mengajak pada sikap meninggalkannya. Dan, sesuatu yang bercorak fana dapat berpengaruh atas sesuatu yang bercorak abadi. Demikian halnya, bersusah payah yang membangkitkan kedamaian lebih baik ketimbang kesenangan sesaat yang mengakibatkan penyesalan dan kesengsaraan nan tiada henti. Waspadalah terhadap pesona duniawi yang dapat mengaparkan, merendahkan, dan mematikan siapa saja, karena mengaguminya lantas terlena. Bila demikian, yang kemudian terjadi adalah hari-hari yang telah melintas tak dapat dijadikan pelajaran atas hal-hal yang bakal terjadi di masa depan. Ini adalah akibat perbuatan di masa lalu, yang tak gentar terhadap kebenaran peringatan Allah yang dikemukakan, tak menyadarkannya. Yang ada dalam kalbu, dalam kaitannya dengan pesona duniawi, hanyalah cinta buta semata. Barang siapa kalbunya hanya tertuju pada kehidupan duniawi semata, hingga saat kematian menjemput pun ia akan senantiasa memburu pesona yang menurutnya merupakan sesuatu yang paling memikat baginya. Akibatnya, pada dirinya, berpadu dua derita. Yaitu, kepedihan sakratulmaut dan keperihan tak kuasa merengkuh pesona yang ia damba. Dengan demikian, ia meniti perjalanan panjang menuju ke hadirat Allah Swt. Tanpa bekal apa pun dan datang (ke akhirat)dan tanpa persiapan sama sekali.
Wahai Amir Al-Mukminin! Karena itu, waspadalah sepenuhnya terhadap pesona duniawi. Sebab, pesona itu laksana ular. Manakala disentuh sedikit saja, ia kuasa membunuh dengan bisanya. Berpalinglah dari pesona yang engkau kagumi segala sesuatu yang ada di dalamnya, karena hanya sedikit darinya yang akan kuasa menyertaimu. Lepaskanlah hasratmu kepadanya, karena engkau yakin akan berpisah dengannya. Jadikanlah kepahitan berat yang ada padanya sebagai dambaan yang senantiasa engkau idamkan selepasnya. Waspadalah, karena setiap kali seseorang hamba dunia terbuai oleh kesenangan yang ada di dalamnya, akibat buruknya akan senantiasa menyertai dirinya. Manakala sesuatu yang ia gemari dapat direngkuhnya, sesuatu yang ia benci kelak akan menjadi penggantinya. Karena itu, sesuatu yang kini menyenangkan, kelak akan menjadi menyedihkan. Yang kini bermanfaat, kelak akan membahayakan. Kemakmuran di dalamnya kelak akan mengantarkan pada kepedihan. Kenikmatannya pun kelak akan dikembalikan menjadi kepahitan.
Wahai Amir Al-Mukminin! Pandanglah pesona duniawi dengan tatapan selamat jalan. Bukan dengan tatapan jatuh cinta. Ketahuilah, dunia memedayakan. Seolah, yang tinggal di dalamnya akan hidup abadi selamanya, juga menyajikan kesenangan bagi pemburu kesenangan di dalamnya. Sejatinya, kunci kesenangan dan kekayaan dunia pernah ditawarkan kepada Nabi Saw. Namun, beliau menolaknya. Tak lain karena beliau mengetahui bahwa sesuatu yang tak disukai Allah, beliau pun tak menyukainya, dan sesuatu yang dipandang kecil oleh Allah Swt., beliau pun memandangnya kecil. Andai beliau menerima tawaran itu, tentu hal itu menjadi penanda bahwa beliau mencintai pesona duniawi.
Kiranya Allah Swt. berkenan melimpahkan rahmat kepada kami, dengan nasihat ini. Juga, kepada engkau,
Wassalâmu‘alaikum wa Rahmâtullâh wa Barakâtuh.”
Betapa gembira ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menerima surat dari tokoh yang ikut serta dalam pasukan ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Bashrah, dalam pelbagai ekspedisi militer hingga ke Kabul dan baru kembali ke Bashrah pada 53 H/673 M serta menetap di kota itu hingga berpulang pada Kamis, 1 Rajab 110 H/ 10 Oktober 728 M. Nasihat Al-Hasan Al-Bashri itu kemudian banyak ia jadikan sebagai pedoman dan acuan dalam bertindak dan mengambil keputusan selama ia menjadi penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar