Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka[1]
Oleh; H Kholil Abou Fateh
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl).
Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada
pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad
dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu
keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin
ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang
menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam
sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah
dan Rasul-Nya.
Di
antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai
usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal
ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi
Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan
mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa
lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah
karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa
sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah
kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh
Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula
kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga
datang hari kiamat.
Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:
إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)
“Sesungguhnya
ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah
kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
mukadimah kitab Shahîh-nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:
الإسْنَادُ مِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad
adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang
benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia
inginkan”.
Tasawuf
tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang
bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang
yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat,
atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat
yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat
mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini
sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian
mereka tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena
mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara
beragama mereka.
Adapun yang dimaksud dengan khirqah
secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”. Bahasa-bahasa dengan
penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari
ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut
terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad. Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah “ar-Râyah” (bendera), “al-Hizâm”
(sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya
sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid,
namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata
benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa
dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.
Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari mengutip perkataan al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm
dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan
utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun
yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadah an-Nafs) dan
menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan
Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara batin. Dan
karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].
Namun
demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun
sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga
Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmah as-Saudâ’ (kain
atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara turun-temurun di
kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara
memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari
Rasulullah. Ini artinya, bahwa lambang-lambang berupa fisik tersebut
memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran
yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang
tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi.
Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya “sebuah
pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya
memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan
tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri
yang menjadi identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah
menjadi turun-temurun sebagai sanad.
Kemudian
para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah
disiplin ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan
pertama-tama oleh seorang Imam agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh,
Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah
di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu
Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan
pemuka mereka (Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah).
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan
bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih
empat yang berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i,
misalkan, beliau merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat
ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang
dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i. Kemudian seperti itu pula yang
dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu
Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan
madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid
al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau
adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan
tasawuf tersebut.
Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth)
oleh para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang
menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah dengan
segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan
tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan
Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi
memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam
‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah.
Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi
mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam
as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-Karkhi, dari Imam Dawud
ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri, dari
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:
Rasulullah
↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
↓
Imam al-Hasan al-Bashri
↓
Imam Habib al-‘Ajami
↓
Imam Dawud ath-Tha’i
↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi
Ini adalah sanad tasawuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Selain
sanad tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat
kebenaran mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf
al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa
al-Kadlim, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya
sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal
‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari
ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata
rantai berikut:
Rasulullah
↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
↓
Imam al-Husain (Syahid Karbala)
↓
Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin
↓
Imam Muhammad al-Baqir
↓
Imam Ja’far ash-Shadiq
↓
Imam Musa al-Kadlim
↓
Imam ‘Ali ar-Ridla
↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi
Sanad
yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam
rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad
kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus
sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena
sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di
atas dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’)
antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya
beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan antara Imam
al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan
alat untuk menanamkan keraguan tentang kebenaran sanad tasawuf. Namun
tentang sanad yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali
mereka yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawuf.
Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn.
Setelah membahas panjang lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di
atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia
(Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang
paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi
Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah
‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di tempat kejadian.
Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat belas
tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn
Abi Thalib.
Cukup
bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam
al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasan al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi yang beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau menolaknya.
Dalam
risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat
kuat, dengan melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut:
Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî). Ini karena seorang al-Mutsbit memiliki keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nâfî.
Kedua;
Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua
tahun dari masa khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama
Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah. Ummu
salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke hadapan
para sahabat terkemuka untuk memintakan doa keberkahan baginya. Termasuk
salah satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab
sendiri yang saat mendoakannya berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman
tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai manusia”.
Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-Kamâl.
Kemudian al-‘Askari dalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh
al-Mizzi dalam kitabnya di atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya
Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah berumur empat
belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman
tersebut. Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai
diperintah mengerjakan shalat hingga umur empat belas tahun, al-Hasan
al-Bashri selalu berkempul dan bertemu dengan para sahabat senior,
paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan
saat itu sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama
beberapa sahabat senior lainnya. Dan beliau baru berhijrah ke Kufah
setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya
pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah
merupakan kepastian. Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib
seringkali berziarah kepada istri-istri Rasulullah, termasuk salah
satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah;
ibunda al-Hasan al-Bashri, dan -tentunya- al-Hasan al-Bashri sendiri.
Maka kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi
Thalib tidak dapat lagi diragukan.
Ketiga;
Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil
riwayat dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl,
Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung kepada Yûnus
ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata kepada al-Hasan
al-Bashri: “Wahai Abu Sa’id, seringkali engkau berkata “Rasulullah
bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”. Al-Hasan
al-Bashri menjawab: “Wahai putra saudaraku, engkau telah bertanya
kepadaku suatu pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan orang-orang
sebelummu. Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan
memberitahukan jawabannya kepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa
seperti yang engkau lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf
al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari kalangan Bani Umayah yang
banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar dariku
“Rasulullah bersabda…” maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi
Thalib”[3].
Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan
para ahli hadits dalam karya-karya mereka dengan sanad al-Hasan
al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antaranya riwayat yang
ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata:
“Menghkabarkan kepada kami Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan
al-Bashri, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ
النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُصَابِ حَتّى يُكْشَفَ عَنْهُ
“Beban
syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia
baligh, dari seorang yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang
terkena mushibah hingga dibukakan dari musibahnya tersebut”.
Hadits
ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang
telah menilainya berkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam
an-Nasa’i, oleh Imam al-Hakim yang menilainya shahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtârah. Kemudian dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi
dalam menjelaskan hadits di atas berkata mengutip pernyataan Imam ‘Ali
al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib
saat keduanya masih berada di Madinah. Sementara Abu Zur’ah al-‘Iraqi
berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah,
al-Hasan al-Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu
semua, al-Hasan al-Bashri sendiri berkata: “Saya melihat al-Zubair
membai’at ‘Ali”[4].
Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:
1. Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya
dengan sanad berikut; Mengkhabarkan kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn
Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn Fayyadl, dari ‘Umar
ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi
Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:
أفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ (روَاهُ النّسَائيّ)
“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. an-Nasa’i).
2. Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya tentang
zakat fitrah dengan sanad berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah
ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sinan
berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawil dari al-Hasan al-Bashri
berkata; Berkata ‘Ali ibn ‘Abi Thalib:
إنْ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاجْعَلُوْهُ صَاعًا مِنْ بُرٍّ وَغَيْرِهِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)
“Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlah zakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan lainnya” (HR. ad-Daraquthni).
3. Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata;
Mengkhabarkan kepada kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan
kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad
al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Muhammad ibn Ghalib
berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata;
Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri
dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa ia berkata:
كَفَّنْتُ النَّبِيَّ فِي قَمِيْصٍ أبْيَض وَثَوْبَي حَبْرَة (رَواهُ الْخَطيْبُ الْبَغْدَادِيّ)
“Aku telah menkafani Rasulullah dengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar” (HR. al-Khatib al-Baghdadi).
4. Abu Ya’la dalam Musnad-nya
berkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyah ibn Asyras berkata;
Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili berkata;
Aku mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar Rasulullah
bersabda:
مَثَلُ أُمّتِيْ مَثَلُ الْمَطَر (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى)
“Perumpamaan umatku seperti hujan” (HR. Abu Ya’la).
As-Sayyid As’ad (w 1016 H), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisan beliau adalah bahwa sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari
pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, namun
pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang
tersebut. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu hadits[5].
Masih menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqah memiliki
dasar yang berasal dari Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat
ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam
dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para
sahabatnya, lalu Rasulullah berkata: “Siapakah menurut kalian orang yang
hendak aku pakaikan baju ini padanya?”. Semua sahabat terdiam sambil
berharap untuk mendapatkan baju tersebut. Kemudian Rasulullah berkata:
“Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang Rasulullah lalu
memakaikan baju tersebut kepadanya seraya berkata: “Pakailah, semoga
banyak memberikan manfa’at bagimu”. Setelah Rasulullah memakaikan baju
tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat kepada pernik-pernik warna
kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata: “Wahai Ummu
Khalid ini adalah pakaian yang indah”[6].
Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqah ini
adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat
‘Ali ibn Abi Thalib dan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab memakaikan al-Khirqah kepada Uwais al-Qarani. Simak perkataan Imam asy-Sya’rani berikut ini:
“Uwais al-Qarani telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan memakai selendang (ar-ridâ’) dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah ini adalah para Imam yang agung dari umat ini. Adapun beberapa huffâzh al-hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda tersebut saja. Seperti khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau surban dililitkan pada kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’), bahwa Sanad al-’Imâmah as-sauda’ ini telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-’Imâmah as-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab sahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah seperti
ini”. Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad
tasawuf adalah lewat jalur al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan
seterusnya -hingga ‘Ali ibn Abi Thalib-. Di samping itu jalur sanad
tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana telah disebutkan--”[7].
Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang berupa al-’Imâmah as-saudâ’
secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam
riwayat Imam Muslim, Imam ath-Thabarani dan lainnya. Di antaranya sebuah
hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau berkata: “Pada
hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan ‘Imâmah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:
إنّ
اللهَ عَزّ وَجَلّ أمَدَّنِيْ يَوْمَ بَدْرٍ وَحُنَيْنِ بِمَلاَئِكَةٍ
يَعْتَمُّوْنَ هذِهِ العِمَامَةَ، وَقَالَ: إنّ العِمَامَةَ حَاجِزٌ بَيْنَ
الْكُفْرِ وَالإيْمَانِ (رَوَاهُ الحَافِظُ أبُو مُوْسَى الْمَدَنِيّ فِي
كِتَابِ السّنَّة فِي سَدْلِ العِمَامَةِ وَغَيْرُهُ)
“Sesungguhnya
Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan perang Hunain
dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘Imâmah semacam ini”. (Kemudian juga Rasulullah bersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan”. (HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmah dan oleh lainnya).
Wa Allahu A’lam.
Wa Shallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa Alihi Wa Sallam.
DAFTAR PUSTAKA
Ashbahâni, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut
‘Asqalâni, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasah al-‘Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.
Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dâr al-Fikr, Bairut.
Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr
Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman, al-Maqâlât al-Sunniyah Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M.
Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhât al-Makkiyyah, ta’lîq Mahmûd Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut
_________, Nasab al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo Mesir
Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, Bairut, Dâr al-Âfâq al-Jadidah, t. th.
Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih al-Jailâni, al-Gunyah, Dâr al-Fikr, Bairut
Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi, Cairo
Khalîfah, Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut.
Nabhâni, al, Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut
Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji, Dâr al-Khair.
Rifâ’i, al, Abu al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân ‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004, Dâr al-Masyârî’, Bairut.
Sarrâj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir
Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb, al-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-Ahdlar, Cairo Mesir.
_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhût al-Makkiyyah, Bairut, Dâr al-Fikr, t. th.
_________, Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq, ‘Alam al-Fikr, Cairo
Suhrâwardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut
Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah, tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dâr al-Jail, Bairut.
Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar al-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dâr al-Masyârî’, 1423 H, 2002 M.
_________, al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf, Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M
********************************************************
Catatan Kaki
[1]
Pembahasan lebih luas lihat buku Membersihkan Nama Ibnu Arabi; Kajian
Komprehensif Tasawuf Rasulullah ditulis oleh H Kholil Abou Fateh, cet.
Fattah Arbah Banten, 2010, klik link ini
http://allahadatanpatempat.blogspot.com/2011/05/buku-baru-membersihkan-nama-ibnu-arabi.html
[2] Lihat mukadimah risalah Ibn ‘Arabi yang berujud “Nasab al-Khirqah”, ditulis oleh al-Hâfizh al-Ghumari. Secara khusus risalah ini penulis kaji pada bab tentang kajian terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi.
[3] as-Suyuthi, Ithâf al-Khirqah Bi Rafw al-Khirqah dalam al-Hâwi Li al-Fâtâwi, j. 2, h. 102
[4] Ibid. j. 2, h. 102-104
[5] at-Tasyarruf…, h. 103-104
[6] Ibid, h. 104. Imam Ibn ash-Shalah mengatakan bahwa nasab al-khirqah memiliki sanad ‘âli. Bahwa ada pendapat yang mengatakan sanad tersebut tidak sampai ke puncaknya, namun hal tersebut tidak menjadikan nasab al-khirqah ini menjadi cedera. Karena yang menjadi tujuan dari adanya al-khirqah adalah untuk mencari keberkahan dari Allah lewat orang-orang saleh, di mana al-khirqah turun-temurun berkesinambungan di antara mereka. Ibid, h. 108
[7] Ibid, h. 109-110