Selasa, 31 Juli 2012

Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka


Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka[1]
Oleh; H Kholil Abou Fateh


Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.

Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata: 

إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)

“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”.  (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).

Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:

الإسْنَادُ مِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”.

Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian mereka tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.

Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”. Bahasa-bahasa dengan penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad. Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah “ar-Râyah” (bendera), “al-Hizâm” (sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid, namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.

Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari mengutip perkataan al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf  bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadah an-Nafs) dan menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].

Namun demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmah as-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya “sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad.

Kemudian para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka (Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah).

Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih empat yang berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i. Kemudian seperti itu pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf tersebut.

Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah. Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-Karkhi, dari Imam Dawud ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri, dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah.  Lihat mata rantai berikut:


Rasulullah
       ↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
       ↓
Imam al-Hasan al-Bashri
       ↓
Imam Habib al-‘Ajami
       ↓
Imam Dawud ath-Tha’i
       ↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
       ↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
       ↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi

Ini adalah sanad tasawuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Selain sanad tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:

Rasulullah
      ↓
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib
      ↓
Imam al-Husain (Syahid Karbala)
      ↓
Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin
      ↓
Imam Muhammad al-Baqir
      ↓
Imam Ja’far ash-Shadiq
      ↓
Imam Musa al-Kadlim
      ↓
Imam ‘Ali ar-Ridla
      ↓
Imam Ma’ruf al-Karkhi
      ↓
Imam as-Sirri as-Saqthi
      ↓
Imam al-Junaid al-Baghdadi

Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk menanamkan keraguan tentang kebenaran sanad tasawuf. Namun tentang sanad yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawuf.

Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn. Setelah membahas panjang lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.

Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasan al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi yang beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau menolaknya.

Dalam risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sangat kuat, dengan melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut:

Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî). Ini karena seorang al-Mutsbit memiliki keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nâfî.

Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah. Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke hadapan para sahabat terkemuka untuk memintakan doa keberkahan baginya. Termasuk salah satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat mendoakannya berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-Kamâl.

Kemudian al-‘Askari dalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman tersebut. Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan shalat hingga umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkempul dan bertemu dengan para sahabat senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya. Dan beliau baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah merupakan kepastian. Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib seringkali berziarah kepada istri-istri Rasulullah, termasuk salah satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah; ibunda al-Hasan al-Bashri, dan -tentunya- al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi diragukan.

Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung kepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata kepada al-Hasan al-Bashri: “Wahai Abu Sa’id, seringkali engkau berkata “Rasulullah bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”. Al-Hasan al-Bashri menjawab: “Wahai putra saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku suatu pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan orang-orang sebelummu. Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan memberitahukan jawabannya kepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari kalangan Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar dariku “Rasulullah bersabda…” maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi Thalib”[3].

Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam karya-karya mereka dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antaranya riwayat yang ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata: “Menghkabarkan kepada kami Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan al-Bashri, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُصَابِ حَتّى يُكْشَفَ عَنْهُ

“Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari musibahnya tersebut”.

Hadits ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah menilainya berkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, oleh Imam al-Hakim yang menilainya shahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtârah. Kemudian dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi dalam menjelaskan hadits di atas berkata mengutip pernyataan Imam ‘Ali al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih berada di Madinah. Sementara Abu Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah, al-Hasan al-Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri berkata: “Saya melihat al-Zubair membai’at ‘Ali”[4].

Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:

1.   Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut; Mengkhabarkan kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:

أفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ (روَاهُ النّسَائيّ)

“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. an-Nasa’i).

2.  Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya tentang zakat fitrah dengan sanad berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata; Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawil dari al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali ibn ‘Abi Thalib:

إنْ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاجْعَلُوْهُ صَاعًا مِنْ بُرٍّ وَغَيْرِهِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)

“Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlah zakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan lainnya” (HR. ad-Daraquthni).

3.   Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan kepada kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata; Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa ia berkata:

كَفَّنْتُ النَّبِيَّ فِي قَمِيْصٍ أبْيَض وَثَوْبَي حَبْرَة (رَواهُ الْخَطيْبُ الْبَغْدَادِيّ)

“Aku telah menkafani Rasulullah dengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar” (HR. al-Khatib al-Baghdadi).

4.   Abu Ya’la dalam Musnad-nya berkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyah ibn Asyras berkata; Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili berkata; Aku mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar Rasulullah bersabda:

مَثَلُ أُمّتِيْ مَثَلُ الْمَطَر (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى)

“Perumpamaan umatku seperti hujan” (HR. Abu Ya’la).

As-Sayyid As’ad (w 1016 H), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisan beliau adalah bahwa sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, namun pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu hadits[5].

Masih menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah berkata: “Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?”. Semua sahabat terdiam sambil berharap untuk mendapatkan baju tersebut. Kemudian Rasulullah berkata: “Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang Rasulullah lalu memakaikan baju tersebut kepadanya seraya berkata: “Pakailah, semoga banyak memberikan manfa’at bagimu”. Setelah Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat kepada pernik-pernik warna kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata: “Wahai Ummu Khalid ini adalah pakaian yang indah”[6].

Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqah ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab memakaikan al-Khirqah kepada Uwais al-Qarani. Simak perkataan Imam asy-Sya’rani berikut ini:

“Uwais al-Qarani telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan memakai selendang (ar-ridâ’) dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah ini adalah para Imam yang agung dari umat ini. Adapun beberapa huffâzh al-hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda tersebut saja. Seperti khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau surban dililitkan pada kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’), bahwa Sanad al-’Imâmah as-sauda’ ini telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-’Imâmah as-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab sahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah seperti ini”. Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan seterusnya -hingga ‘Ali ibn Abi Thalib-. Di samping itu jalur sanad tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana telah disebutkan--”[7].

Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang berupa al-’Imâmah as-saudâ’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam ath-Thabarani dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau berkata: “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan ‘Imâmah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:

إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ أمَدَّنِيْ يَوْمَ بَدْرٍ وَحُنَيْنِ بِمَلاَئِكَةٍ يَعْتَمُّوْنَ هذِهِ العِمَامَةَ، وَقَالَ: إنّ العِمَامَةَ حَاجِزٌ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإيْمَانِ (رَوَاهُ الحَافِظُ أبُو مُوْسَى الْمَدَنِيّ فِي كِتَابِ السّنَّة فِي سَدْلِ العِمَامَةِ وَغَيْرُهُ)

“Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘Imâmah semacam ini”. (Kemudian juga Rasulullah bersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan”.  (HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmah dan oleh lainnya).

Wa Allahu A’lam.
Wa Shallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa Alihi Wa Sallam.


DAFTAR PUSTAKA
Ashbahâni, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut

‘Asqalâni, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasah al-‘Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.

Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dâr al-Fikr, Bairut.

Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr

Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman, al-Maqâlât al-Sunniyah Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M.

Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhât al-Makkiyyah, ta’lîq Mahmûd Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut 

_________, Nasab al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo Mesir

Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, Bairut, Dâr al-Âfâq al-Jadidah, t. th.

Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih al-Jailâni, al-Gunyah, Dâr al-Fikr, Bairut

Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi, Cairo

Khalîfah, Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut.

Nabhâni, al, Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut

Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji, Dâr al-Khair.

Rifâ’i, al, Abu al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân ‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004, Dâr al-Masyârî’, Bairut.

Sarrâj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir

Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb, al-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-Ahdlar, Cairo Mesir.

_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhût al-Makkiyyah, Bairut, Dâr al-Fikr, t. th.

_________, Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq, ‘Alam al-Fikr, Cairo

Suhrâwardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut

Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah, tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dâr al-Jail, Bairut.

Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar al-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dâr al-Masyârî’, 1423 H, 2002 M.

_________, al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf, Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M


 ********************************************************
Catatan Kaki
[1] Pembahasan lebih luas lihat buku Membersihkan Nama Ibnu Arabi; Kajian Komprehensif Tasawuf Rasulullah ditulis oleh H Kholil Abou Fateh, cet. Fattah Arbah Banten, 2010, klik link ini http://allahadatanpatempat.blogspot.com/2011/05/buku-baru-membersihkan-nama-ibnu-arabi.html
[2]  Lihat mukadimah risalah Ibn ‘Arabi yang berujud “Nasab al-Khirqah”, ditulis oleh al-Hâfizh al-Ghumari. Secara khusus risalah ini penulis kaji pada bab tentang kajian terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi.
[3]  as-Suyuthi, Ithâf al-Khirqah Bi Rafw al-Khirqah dalam al-Hâwi Li al-Fâtâwi, j. 2, h. 102
[4]  Ibid. j. 2, h. 102-104
[5]  at-Tasyarruf…, h. 103-104
[6]  Ibid, h. 104. Imam Ibn ash-Shalah mengatakan bahwa nasab al-khirqah memiliki sanad ‘âli. Bahwa ada pendapat yang mengatakan sanad tersebut tidak sampai ke puncaknya, namun hal tersebut tidak menjadikan nasab al-khirqah ini menjadi cedera. Karena yang menjadi tujuan dari adanya al-khirqah adalah untuk mencari keberkahan dari Allah lewat orang-orang saleh, di mana al-khirqah turun-temurun berkesinambungan di antara mereka. Ibid, h. 108
[7]  Ibid, h. 109-110

Kamis, 26 Juli 2012

Akidah ala Badui


  

 Rabu Wage malam Kamis Kliwon tepat tengah malam, ustadz Sukijo As-Salaf dengan diantar Sukiran bin Sukirin menemui Guru Sufi yang sedang duduk-duduk di teras mushola bersama Sufi Majnun, Sufi tua, Sufi  Sudrun, dan Dullah. Sekalipun kepada Sukiran  menyatakan ingin “mengaji” kepada Guru Sufi, namun ustadz Sukijo As-Salaf tidak sedikit pun berkenan mundur dari prinsip-prinsip ajaran yang sudah diyakininya. Demikianlah, dalam perbincangan sepintas yang dihangatkan ceramah Sufi tua tentang keabsahan  menta’wil Al-Qur’an, telah dijadikan senjata ampuh bagi ustadz Sukijo As-Salaf  untuk  mengecam ajaran sufisme sebagai ajaran sesat karena kegemaran kaum sufi menta’wil Al-Qur’an.

   Dengan garang  ustadz Sukijo As-Salaf  mengecam Sufi tua yang menta’wil  Surah Thaha ayat 5 “al-Rahmaan ‘ala al-‘Arsy istawa” sebagai suatu tindak  kesesatan yang nyata. “Ayat ini jelas bermakna al-Rahman itu bersemayam di Arsy. Bagaimana ada ta’wil bahwa al-Rahman tidak bertempat? Itu sama dengan menyatakan Allah tidak ada,” kata ustadz Sukijo As-Salaf.

   “Anda tahu tidak apa itu definisi tempat?” sahut Dullah mewakili Sufi tua yang diam tak menanggapi kecaman ustadz Sukijo As-Salaf,”Tempat adalah sesuatu yang ada setelah adanya ciptaan. Padahal, Allah sudah Ada sebelum ada ciptaan. Allah itu memiliki sifat mukhalafatuhu lil hawaditsi, yaitu wajib tidak menyerupai makhluk ciptan-Nya. Jadi menyatakan Allah berkedudukan di sebuah tempat itu menyalahi prinsip akidah. Itu sebabnya, ayat “al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa” itu harus dita’wil supaya tidak membawa kesesatan.”

    “Tidak bisa,” sergah ustadz Sukijo As-Salaf bertahan,”Apa pun alasannya, menta’wil Qur’an adalah sesat. Itu hanya dilakukan oleh orang tidak beriman.”

    “Tahukah Anda wahai ustadz Sukijo,” tukas Sufi Sudrun sambil garuk-garuk kepala,”Bahwa al-Imam al-Bukhari sang perawi hadits telah memberikan ta’wil atas Qur’an Surah Al-Qashash  ayat 88  “kullu syai’in halikun illa wajhahu”,  memaknai kata wajhahu (wajah-Nya) dengan mulkahu (kekuasaan-Nya)? Bagaimana itu menurut ustadz?”

    “Al-Imam al-Bukhari sesungguhnya telah sesat dengan ta’wil itu,” kata ustadz Sukijo As-Salaf,”Sebab syaikh kami, yaitu Syaikh Al-Albani telah menegaskan bahwa dengan ta’wil atas ayat Al-Qur’an itu, al-Imam al-Bukhari telah melakukan tindakan yang tidak patut dilakukan orang iman.”

    “Bagaimana dengan Surah Al-Baqarah ayat 115 “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah” apakah tidak perlu ta’wil?” tanya Sufi tua.

    “Sebagaimana sudah saya tegaskan, bahwa Al-Qur’an tidak boleh dita’wil!”

    “Jadi apa  makna dari ayat “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah?” tanya Sufi tua.

“Maknanya, ke mana pun engkau menghadap, di sanalah wajah Allah,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf ketus.
“Jadi kata wajhullah (wajah Allah)  tidak perlu dita’wil ya?” tanya Sufi tua ketawa.
“Tidak perlu ta’wil. Titik,” tukas ustadz Sukijo As-Salaf.

    “Bagaimana dengan surah Az-Zumar ayat 67 “wal ardhu  jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi” apakah maknanya yang benar dan apakah tidak perlu  dita’wil juga?” tanya Dullah minta penjelasan.

    “Makna ayat “wal ardhu jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi” adalah “dan bumi seutuhnya dalam genggaman-Nya dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”. Itu tidak perlu ta’wil. Titik,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf tegas.

     “Mohon tanya al-ustadz, saya kurang pintar bahasa Arab,” kata Guru Sufi mendadak melontarkan pertanyaan,”Apa ya kira-kira makna Ka’batullah, yaitu batu segi empat di Makkah  yang kita jadikan kiblat dan kita jadikan arah pesujudan dalam shalat?”

    “Ee maksudnya apa?” tanya ustadz Sukijo As-Salaf tergagap.

    “Makna Ka’batullah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Maksudnya, makna Ka’bah itu apa dan Allah itu apa dalam rangkaian kata Ka’batullah?

    “Seingat saya, Ka’ba – Ki’aaba  itu artinya mata kaki,” kata ustadz Sukijo.

“Jadi Ka’batullah itu apa bisa dimaknai “Mata Kaki Allah” di mana manusia harus menyembah, begitukah kira-kira maknanya ustadz?” tanya Guru Sufi minta penjelasan.

“Bisa saja dimaknai begitu,” kata ustadz Sukijo.

    “Bagaimana kalau kata Ka’batullah itu dipungut dari kata Ka’aba  yang bermakna tetek atau susu, apakah itu harus bermakna tetek Tuhan?; Bagaimana pula jika kata itu dipungut dari kata Ka’abati – Ki’abatan  yang bermakna gadis montok, apakah boleh dimaknai Tuhan itu serupa gadis montok?; dan bagaimana pula jika kata itu  dipungut dari kata Ka’aba yang bermakna segi empat, apakah boleh dimaknai Tuhan itu segi empat wujudnya; mana kira-kira yang benar dari kata Ka’ba untuk Ka’batullah, wahai  ustadz?” tanya Dullah.

    “Pertanyaan Anda itu haram hukumnya karena Tuhan tidak boleh dibanding-bandingkan dan diserupakan dengan sesuatu dari makhluk-Nya,” kata ustadz Sukijo bersungut-sungut.

    “Lho ustadz tadi bilang Al-Qur’an tidak boleh dita’wil, sekarang Ka’bah pun tidak boleh dimaknai sesuai makna konotasi kita, bagaimana ini?” kata Dullah heran dengan jalan pikiran ustadz Sukijo As-Salaf.

    “Sudahlah Dul,” sahut Sufi tua menyela,”Ustadz kita ini benar sekali ketika melarang kita menta’wil Al-Qur’an. Sebab, beliau itu berpikir dengan cara tekstual sesuai makna kata denotasi.”

    “Maksudnya bagaimana, pakdhe?” tanya Dullah ingin tahu.

    “Ayat 5 surah Thaha “al-Rahmaan ‘ala al-‘Arsy istawa” dimaknai “Tuhan benar-benar bersemayam di tempat yang disebut ‘Arsy”; al-Rahman itu dimaknai juga sebagai “Tuhan” yang punya wajah sebagaimana ayat  115 surah Al-Baqarah “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah”  dan ayat 88 surah al-Qashash “kullu syai’in halikun illa wajhahu”; al-Rahman juga dimaknai tanpa ta’wil sebagai “Tuhan” yang punya tangan sebagaimana ayat 67 surah Az-Zumar “wal ardhu  jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi”; dan sekarang ustadz Sukijo ini malah memaknai kata Ka’batullah dengan “mata kaki Allah” yang tak perlu dita’wil; sungguh, akidah kita sudah sangat berbeda dengan akidah ustadz Sukijo As-Salaf ini,” sahut Sufi tua.

    “Anda jangan menta’wilkan apa yang saya pikirkan tentang makna Qur’ani dari ayat-ayat yang kita bahas tadi!” sergah ustadz Sukijo As-Salafi marah.

    “Justru saya mengikuti petunjuk ustadz, tidak menta’wil apa pun, tapi  yang muncul justru makna riil dari ayat-ayat Al-Qur’an itu sebagaimana sudah saya kemukakan, yaitu Allah bertempat, berwajah, bertangan, dan bermata kaki seperti makhluk,” kata Sufi tua.

    “Sudah, sudah,” kata Sufi Majnun menengahi,”Tidak perlu ribut. Semua orang punya hak memaknai ajaran agama sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing; orang badui, silahkan memahami agama secara badui dan jangan sekali-kali memaksa kaum beradab kota untuk mengikuti cara pandang dan cara menalar badui. Sebaliknya, orang kota juga silahkan memahami agama secara orang kota dan jangan pernah mengajak-ajak badui untuk mengikuti cara menalar orang kota; sungguh, sejatinya Nabi Muhammad Saw itu adalah orang kelahiran  kota Makkah dan kemudian hijrah ke kota Madinah sampai wafatnya, jadi kalian wahai orang kota, ikutilah jalan agama Islam menurut contoh pembawanya, yaitu orang kota bernama Muhammad Saw.”

    Ustadz Sukijo As-Salaf berdiri dengan wajah merah padam. Lalu tanpa pamit, ia meninggalkan para sufi yang ketawa-ketiwi sambil geleng-geleng kepala karena tidak bisa mengikuti alur pemikiran ustadz Sukijo As-Salaf yang sangat baduistis.

Cerita Ringan oleh: Agus Sunyoto

Kebiasaan Jahiliyah dan Pesan Tambahan Nabi Shollallaah 'alaih wa sallam


          
           Satu sore Sukiran anak Sukirin menghadap Guru Sufi dengan mata berkilat-kilat menahan amarah dan kejengkelan. Kepada Guru Sufi, Sukiran menanyakan berbagai dalil agama sekitar diselenggarakannya tradisi keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi, haul, dan lain-lain yang selama ini dijalankan keluarganya. Pasalnya, waktu tahlil peringatan tujuh hari Mbah Sukimin, kakeknya, salah seorang kerabat yang jadi guru mengaji membubarkan acara itu  dengan alasan bahwa tahlilan itu bid’ah dlolalah. “Kang Sukino marah-marah, katanya seluruh keluarga, termasuk arwah Mbah Sukimin akan masuk neraka kalau ditahlilkan,” kata Sukiran mengadu.

          “Sukino kuwi siapa le?” tanya Guru Sufi ingin tahu,”Apa itu Sukino anak Mbah Sukidin dan Mbah Sukinem?”

         “Iya benar Mbah Kyai,” sahut Sukiran bersungut-sungut,”Jadi ustadz baru berapa tahun, sombongnya setengah mati. Semua orang dianggap sesat. Keblinger. Ahli neraka. Hari-hari dilewati dengan marah-marah kepada orang-orang yang dianggap sesat. Namanya sekarang ditambahi, jadi  Ahad Sukino Al-Wahab,” lanjut Sukiran mengungkapkan bahwa marga Suki, belakangan ini terpecah-belah gara-gara Sukino membawa ajaran baru yang membingungkan  keluarga. Kelompok marga yang ikut Sukino seperti Sukijan, Sukiwil, Sukipan, Sukibat, Sukiri, Sukipas, Sukiyono  namanya  ditambahi “Ahad” dan “Al-Wahab” sehingga menjadi : Ahad Sukijan Al-Wahab, Ahad Sukiwil Al-Wahab, Ahad Sukipan Al-Wahab, Ahad Sukibat Al-Wahab, Ahad Sukiri Al-Wahab, dan seterusnya. Sedang marga yang enggan mengikuti Sukino tetap saja bernama  marga  Suki seperti Sukidul, Sukirun, Sukijo, Sukimo, Sukipas, dan bahkan yang bekerja sebagai TKI di Jepang namanya diganti menjadi: Sukiyaki, Suki Ono, Sukimorata, Sukiomura, Sukiyoto, Sukiyono.  
         
             Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Sukiran dan tidak pula mengomentari pandangan ustadz Ahad Sukino Al-Wahab yang membid’ah-bid’ahkan dan menyesat-nyesatkan masyarakat yang menjalankan tradisi keagamaannya. Ia juga tidak tertarik menanggapi terjadinya perpecahan di dalam keluarga besar marga Suki. Sebaliknya, ia mengutip hadits dan menceritakannya sebagai berikut:

               Al-Hakim meriwayatkan dari  Al-Qamah bin Al- Haris  r.a yang mengatakan,”Aku telah  datang kepada Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersama dengan tujuh orang dari kaumku. Setelah kami  memberi salam dan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tertarik, maka beliau  bertanya, “Siapakah kalian ini ?”

               Kami menjawab, “Kami adalah orang beriman.”  

               Kemudian baginda  Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya, “Setiap perkataan ada buktinya, apakah bukti keimanan kalian?”

               Kami menjawab, “Ada limabelas perkara sebagai bukti keimanan kami. Pertama, lima perkara yang baginda perintahkan kepada kami. Lalu  lima perkara yang diperintahkan oleh utusan baginda kepada kami.  Lima perkara yang  lain, adalah  kebiasaan yang kami jalankan  sejak zaman jahiliyyah”

             Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya, “Apakah lima perkara yang aku perintahkan kepada kalian  itu ?”

             Mereka menjawab, “Baginda Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam telah memerintahkan kami untuk beriman kepada Allah,  kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”

             Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya lagi, “Apakah lima perkara yang diperintahkan oleh para utusanku itu ?”

             Mereka menjawab, “Kami diperintahkan oleh para utusan baginda  untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan baginda Muhammad adalah utusan Allah, kami hendaknya mendirikan sholat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat,  dan  pergi haji bila mampu.”

             Rasulullah  Shollallaah ‘alaih wa sallam bertanya lagi, “Apakah lima perkara yang  masih kalian kerjakan sebagai sisa kebiasaan sejak  zaman jahiliyyah ?”

              Mereka menjawab,  “Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu perang, ridha pada waktu kena ujian,  dan tidak merasa gembira dengan sesuatu musibah yang menimpa pada musuh.”

              Mendengar ucapan mereka yang amat menarik ini, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, “Sungguh kamu ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir-hampir saja kalian  ini serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kalian katakan tadi.”

            Kemudian Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda  melanjutkan, “Maukah kalian  aku tunjukkan kepada lima perkara amalan lagi yang akan menyempurnakan dari apa  yang  sudah kalian  punyai ?”
              Mereka menjawab serentak, ”Tentu kami bergembira menerimanya, baginda.”

            Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda, ”Janganlah kalian  mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kalian  makan. Janganlah kalian  mendirikan rumah yang tidak akan kalian  tempati.  Janganlah  kalian  berlomba-lomba dalam sesuatu yang bakal kalian  tinggalkan. Berusahalah sebaik-baiknya  mencari bekal untuk kehidupan akhirat.”

            Sukiran termangu-mangu mendengar  kisah Al-Qamah bin Al-Haris r.a yang diriwayatkan Al-Hakim. Dalam kisah itu, ternyata Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam  tidak melarang Al-Qamah bin Al-Haris beserta kaumnya untuk menjalankan nilai-nilai sisa kebiasaan jahiliyah, bahkan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam menambahkan pesan tambahan baru lagi. “Jadi Mbah Kyai…,” kata Sukiran akan bertanya.

             Guru Sufi menyahut,”Al-Mukhafadah ‘ala qadhiimi shalih…..,” sambil memberi isyarat kepada Sukiran untuk melanjutkan kaidah ushuliyah yang diucapkannya.

             “Wah saya lupa lanjutannya Mbah Kyai,” sahut Sukiran ketawa  kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,”Tapi saya faham maksudnya, Mbah Kyai.”

Cerita Ringan dari Agus Sunyoto

Cikal Bakal Majelis Maulid yang Dikerjakan oleh para Shahabat di Zaman Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam



Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim.

Disebutkan di dalam sunan an-Nasa’i sebuah hadits shahih:

Dari Suwar bin Abdullah ia berkata: menceritakan kepada kami Marhum bin Abdul Aziz dari Abu Ni’amah dari Abu Utsman an-Nahdiy dari Abu Sa’id al-Khudriy ia berkata: Berkata Mu’awiyah Radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju halaqah para sahabat beliau, kemudian beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian semua duduk berkumpul?” Mereka para sahabat menjawab, “Kami duduk berkumpul tidak lain untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas karunia petunjuk agama-Nya dan menganugerahkan engkau (Wahai Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam) kepada kami.” Kemudian beliau bertanya, “Demi Allah, tidakkah kalian duduk berkumpul kecuali hanya untuk itu?” Jawab para sahabat, “Demi Allah, tiada kami duduk berkumpul kecuali hanya untuk itu.” Maka beliau pun bersabda, “Sungguh aku menyuruh kalian bersumpah bukan karena mencurigai kalian. Akan tetapi karena aku telah didatangi Jibril ‘alaihissalam. Kemudian ia memberitahukan kepadaku bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat” (Sunan an-Nasa’i). [Lihat  http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=17&vtocid=7791].

Hadits shahih tersebut diatas, disamping menjelaskan keutamaan berkumpul untuk berdzikir, juga menjelaskan tentang perbuatan para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang berkumpul dalam rangka untuk bersyukur kepada Allah  Ta’aala atas anugerah-Nya yang berupa diutusnya baginda Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Bersyukur dan bergembira atas diutusnya Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah merupakan salah satu tujuan dilaksanakannya majelis maulid Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

Status Para Perawi Hadits:

1. Suwar bin Abdullah. Tsiqat.

2. Marhum bin Abdul ‘Aziz. Tsiqat.

3.  Abu Ni’amah. Tsiqat.
(Maktabah Tsaqafat al-Islamiyyah, http://www.islamww.com/books/rawi_8436.html)

4. Abu Utsman an-Nahdiy. Tsiqat.


5. Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu, beliau adalah sahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Tsiqat.

6. Mu’awiyyah radhiyallaahu ‘anhu, beliau adalah sahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Tsiqat.

Semoga bermanfaat.

Ta’wil dan Tafwidh di Kalangan Ulama’ Salaf ash-Shalih

Akhir-akhir ini ada pendapat yang menyatakan bahwa melakukan Ta’wil terhadap teks-teks mutasyabihat di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadits adalah sama saja dengan melakukan tahrif, dianggap mu’aththil, mu’tazilah dan tuduhan keji lainnya, sehingga akhirnya memberikan vonis bahwa ta’wil itu tidak boleh dilakukan. Tidak sesuai dengan pemahaman para salafuna ash-shalih.  Benarkah demikian?

Ta’wil dan tafwidh adalah metode untuk memahami teks-teks mutasyabihat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.  Metode ini sebenarnya diajarkan oleh para ulama’ salaf ash-shalih. Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi menjelaskan:

“Telah berbeda pendapat para ulama’ mengenai ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabihat, pendapat-pendapat tersebut terbagi atas 3 kelompok:
Kelompok Pertama: Bahwasanya kelompok ini berpendapat tidak boleh dita’wil, namun diberlakukan sesuai dengan makna dzahirnya, dan tidak dilakukan ta’wil apapun daripadanya, dan kelompok ini adalah kelompok musyabbihah.
Kelompok yang Kedua: Bahwasanya kelompok ini berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu boleh dita’wil, akan tetapi kami sedapat mungkin menghindari untuk melakukannya, disertai dengan tanzih (menyucikan) I’tiqad kami dari tasybih (menyerupakan Allah Ta’aala dengan makhluk) dan ta’thiil (menafikan sifat-sifat Allah Ta’aala). Dan kami mengatakan: Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah Ta’aala semata. Dan yang demikian adalah perkataan dari kalangan salaf.
Kelompok yang Ketiga: Bahwasanya kelompok ini berpendapat bahwa  ayat-ayat mutasyabihat harus dita’wil. Dan mereka mena’wilnya sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah Ta’aala.
Pendapat yang diusung oleh kelompok pertama (musyabbihah) adalah bathil. Sedangkan pendapat yang diusung dua kelompok terakhir adalah pendapat yang dinukil dari para Shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.”
(Disarikan dari kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’aan juz 2 halaman 78, karya al-Imam Badruddin az-Zarkasyi, Tahqiiq: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Maktabah Daar at-Turaats, Kairo, cetakan ketiga, 1404H/1983M)

Al-Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani menuliskan perihal ta’wil di dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuul ilaa Tahqiiq al-Haq min ‘ilm al-Ushuul sebagai berikut:

“Fashal Kedua: Perihal ayat-ayat yang boleh dilakukan ta’wil, padanya terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: ayat yang berkaitan dengan furu’, hal ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama’.
Kedua: Ayat-ayat yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti aqidah, ushuluddin, dan sifat-sifat Allah Ta’aala.
Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan bagian yang kedua ini. Perbedaan pendapat ini terbagi menjadi 3 kelompok.
Kelompok Pertama: Kelompok yang berpendapat bahwasanya tidak boleh melakukan ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat, tetapi diberlakukan sesuai dengan makna dzahirnya dan tidak boleh melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Pendapat yang seperti ini adalah pendapat dari kalangan Musyabbihah.
Kelompok Kedua: Kelompok yang berpendapat bahwasanya ayat-ayat tersebut boleh dita’wil, akan tetapi kami menghindar untuk melakukan ta’wil disertai dengan tanzih (menyucikan) I’tiqad kami dari tasybih (menyerupakan Allah Ta’aala dengan makhluk) dan ta’thiil (menafikan sifat-sifat Allah Ta’aala) sebagaimana firman Allah Ta’aala:

وما يعلم تأويله إلا الله – سورة أۤل عمران  ٧


{Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali hanya Allah Ta’aala – QS. Aali ‘Imran: 7}
Ibn Burhan berkata: pendapat Ini adalah pendapat dari kalangan salaf.
Kelompok yang Ketiga: Kelompok yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut harus dita’wil.
Ibn Burhan berkata: Pendapat dari kelompok yang pertama adalah pendapat yang bathil. Sedangkan dua pendapat yang terakhir dinukil dari para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.  Dan pendapat dari kelompok yang ketiga ini dinukil dari Sayyidina ‘Ali, ibn Mas’ud, ibn ‘Abbas, dan Ummu Salamah.”
(Disarikan dari kitab Irsyad al-Fuhuul ilaa Tahqiiq al-Haq min ‘ilm al-Ushuul, karya imam asy-Syaukani, juz 2 halaman 757. Cetakan Daar al-Fadhiilah. Riyadh. Tahun 1421H/2000M).

Keterangan dari imam az-Zarkasyi dan imam asy-Syaukani (yang mana imam asy-Syaukani ini oleh kalangan Wahhabi dianggap pengikut faham salafi), dapat dipahami bahwa kedua imam ini berpendapat bahwa tafwidh dan ta’wil adalah pendapat yang diriwayatkan dari para salaf ash-shalih yang juga termasuk kalangan shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dimana para ulama’ salaf ash-Shalih tersebut adalah ulama’ panutan ahlussunnah wal jama’ah.

Disini perlu digarisbawahi, bahwasanya Ta’wil bukanlah tahrif sebagaimana yang sering dituduhkan oleh kalangan Wahhabi. Sehingga jika ada orang yang anti ta’wil, menganggap ta’wil adalah sesat,  maka dapat dipastikan orang tersebut mengikuti pendapat yang bathil sebagaimana dijelaskan oleh imam az-Zarkasyi dan imam asy-Syaukani tersebut.

Wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 22 Juli 2012

Muhamadiyah & NU di Persimpangan


Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah…. 

Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih juga sama-sama santri Kyai Sholet Darat Semarang. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.

Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum.

Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.

Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar membaca shalawat (diba’an).

Kelima, dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.

Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343-an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya Harus Beda dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalil, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.

Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.

Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha’il al-a’mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.

Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi’ie.

Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.

Tampil Beda dalam Penetapan Puasa & Lebaran??



Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu pakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama mengunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal.

Oleh karena itu, tahun 90an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadis yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur’an berisikan seruan ” taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr “dibuang dan arergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.
 
.
Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak ?. Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya tak kan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat ?.
 
Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?.

Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong moderen sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.

Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelemahan akademik pasti ada.

(Oleh: Timun Mas (Tumpas Gaji Tigabelasan)

Sholat Tarawih di Bulan Ramadhan 8 rakaat atau 20 rakaat?


Alhamdulillah, kita sudah memasuki puasa bulan Ramadhan hari ke-1. Umat muslim sedunia pada malam bulan Ramadhan melakukan Ibadah shalat Tarawih. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.

Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.

1. Hadis mauquf.

وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.

Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).

Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.

 “Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)

2. Ijma` para shahabat Nabi.

Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)

Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)

Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:

“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)

Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.

 Dalil Tarawih 8 Rakaat

Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.(15)

Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.

1. Hadis Ubay bin Ka`ab :

أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.

 

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).

Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16)

 2. Hadis Jabir :

حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.

Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani).(17)

Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)

3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).

Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.

Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.

Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :

1. Pemotongan hadis.

Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.

 

dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”

Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(20)

 2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.

Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.

Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.

عن عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».

 

Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)

 

 3. Pemenggalan Hadis.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.(22)

Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?

4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.

Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.

5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.

Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah,  Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)

 

Dalam hadis yang lain disebutkan :

اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ

“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)

Dalam hadis yang lain juga disebutkan :

إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه

“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)

6. Kerancuan linguistik.

Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27)[i] Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)

Kesimpulan

Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.

Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?

Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya.(29)

Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.