Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim.
Dijelaskan di dalam kitab al-Haawi li
al-Fatawi karangan imam Jalaluddin as-Suyuthi mengenai permasalahan
mungkinkah seseorang dapat melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
secara sadar. Berikut ini kajiannya (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=5&vbid=31&vtocid=619 baris ke-sepuluh dari atas):
Tanwir al-Halak fi Imkaan Ru’yah an-Nabi (Shollallaahu ‘alaihi wa sallam) wal malak
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah Ta’aala, dan
Salaam atas hamba-Nya yang terpilih (Sayyidinaa Muhammad Shollallaahu
‘alaihi Wa Sallam). Wa Ba’du.
Sungguh banyak pertanyaan mengenai
perkara melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di alam sadar bagi
orang-orang tertentu yang memiliki ahwal. Banyak orang di zaman ini yang
kurang ilmu justru berlebih-lebihan di dalam mengingkari akan perkara
itu, bahkan merasa heran dan menyangka bahwa hal itu mustahil
terjadi. Oleh sebab itu, saya menulis karangan ini dan menamainya
“Tanwirul Halak fi Imkani Ru’yatin Nabiyyi wal Malak”. Dan saya hanya
berpegang pada hadits-hadits shohih saja.
Imam al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud
meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam tidur, maka ia akan melihatku
ketika terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.”
Para Ulama ada berbeda pendapat mengenai maksud sabda Beliau “Maka ia akan melihatku ketika terjaga”. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah “Ia akan melihatku pada hari kiamat nanti”.
Namun, pendapat ini dikritik, karena kalau demikian maka tidak ada
gunanya pengkhususan bagi orang yang melihatnya di alam tidur, karena
seluruh umatnya akan melihatnya pada hari kiamat kelak, baik yang pernah
melihat sebelumnya ataupun yang tidak.
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa
maksudnya adalah orang yang beriman kepadanya dan belum pernah
melihatnya karena saat itu ia sedang tidak hadir bersamanya, maka hadits
ini menjadi kabar gembira baginya, yakni ia akan melihatnya di alam
sadar sebelum mati.
Sebagian ulama yang lain mengartikannya
secara dzahir, yakni barangsiapa melihatnya di alam tidur, maka ia pasti
akan melihatnya di alam sadar dengan kedua mata kepalanya. Ada juga
yang menafsirkan dengan mata hatinya sebagaimana yang dikatakan al-Qadhi
Abu Bakr ibn Al-Arabi.
Berkata Abu Bakr bin Abi Jamrah di dalam
catatannya terhadap hadits-hadits yang ia pilih dari Shahih Bukhari:
“Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa melihat Nabi Shollallaahu
‘alaihi wa sallam dalam mimpi, maka ia akan melihatnya di alam sadar.
Apakah ini dipahami secara umum yaitu sebelum dan sesudah wafatnya,
ataukah secara khusus sebelum wafatnya saja? Apakah itu juga mencakup
semua orang yang melihatnya sacara mutlak ataukah khusus bagi yang
memiliki ahliah (kapabilitas) dan ittiba’ (pelaksanaan) terhadap
sunnah-sunnahnya saja?
Teks hadits itu memberikan pengertian
umum, maka barangsiapa mengklaim kekhususan tanpa adanya indikasi
pengkhususan, maka ia telah melanggar. Sebagian orang ada yang tidak
mempercayai keumuman teks hadits itu. Ia mengatakan – sesuai dengan
kadar akalnya, “Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal dapat
dilihat orang yang masih hidup di alam nyata?”
Sebenarnya, ucapan ini mengandung dua
konsekuensi berbahaya. Pertama, tidak percaya terhadap sabda Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan Beliau tidak pernah
berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri. Kedua, tidak mengetahui
kemampuan Sang Pencipta dan mukjizat-Nya, seakan-akan ia belum mendengar
ayat dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, “Pukullah ia dengan
sebagiannya. Demikianlah Allah menghidupkan yang sudah mati.” Begitu
juga dengan kisah Ibrahim bersama burung yang terbagi menjadi empat dan
juga kisah Aziz. Allah yang telah menghidupkan semua itu mampu
menjadikan mimpi melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penyebab melihatnya di alam nyata. Menurut riwayat dari sebagian sahabat
-sepertinya Ibnu Abbas, bahwa ia melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam mimpi, lalu ia teringat hadits ini dan selalu memikirkannya
lalu ia pergi menemui sebagian istri Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam- sepertinya Maimunah, lalu menceritakan mimpinya padanya. Lalu
Maimunah berdiri mengambil cermin Nabi dan memberikannya kepada Ibnu
Abbas. Lalu Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat bayangan Nabi Shollallaahu
‘alaihi wa sallam dalam cermin itu, bukan bayanganku.”
Menurut riwayat dari sebagian salaf dan
khalaf juga demikian, mereka melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam mimpi seraya membenarkan hadits ini, lalu mereka pun
melihatnya di alam nyata. Mereka menanyakan berbagai persoalan yang
mereka bingung menyikapinya, lalu Nabi pun memberitahu solusinya.
Orang yang mengingkari semua ini ada dua
kemungkinan, ia termasuk orang yang percaya terhadap karomah wali atau
termasuk orang yang tidak percaya terhadapnya. Kalau ia termasuk orang
yang tidak percaya terhadap karomah wali, maka selesai masalah, tidak
perlu dibahas, karena ia mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan oleh
sunnah dengan bukti-bukti yang jelas. Jika ia termasuk orang yang
percaya terhadap karomah wali, maka ini adalah salah satunya, karena
para wali sering ditampakkan melalui kejadian luar biasa pada dua alam,
atas dan bawah. Maka, tidak selayaknya mengingkari hal semacam ini
selama ia percaya terhadap karomah wali. Selesai perkataan Ibnu Abi
Jamrah.
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar