Kamis, 02 Agustus 2012

Penjelasan Tentang Penetapan Waktu Imsakiyyah Oleh al-Imam ibn Hajar al-Asqallani Rahimahullaah


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ada sebagian pendapat dari beberapa kalangan bahwasanya penetapan waktu imsakiyyah adalah bid’ah, perkara baru yang tidak ada asalnya di dalam agama. Apakah demikian?
Untuk itu, sebaiknya mari kita kaji penjelasan dari salah seorang imam kita, imam ahlussunnah wal jama’ah, imam yang diakui keilmuannya, seorang imam yang memiliki kompetensi di dalam agama ini untuk menjelaskan al-Quran dan as-Sunnah, yaitu al-Imam ibn Hajar al-Asqallani rahimahullaah. Bagaimana pendapat dan penjelasan beliau berkaitan dengan penetapan waktu imsakiyyah ini?
Di dalam kitab shahih al-Bukhari disebutkan sebuah hadits shahih:

“Telah meriwayatkan hadits kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah meriwayatkan hadits kepada kami Hisyam, telah meriwayatkan hadits kepada kami Qatadah, dari Anas dari Zaid bin Tsabit Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata: Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami berangkat mendirikan sholat (Shubuh). Maka aku (Anas) berkata: Berapa lama jeda waktu antara adzan dengan sahur? Zaid menjawab: Khomsiina Aayah (lamanya kurang lebih sekadar membaca 50 ayat daripada al-Qura’an).” [Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=3000].

Mengenai hadits ini, mari kita kaji bersama-sama syarah atas hadits ini di dalam kitab beliau yang bernama Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=7&vbid=26&vtocid=2668) :

“Mengenai perkataan beliau (Bab Tentang Jeda Waktu antara Sahur dengan Sholat Shubuh). Yakni antara berakhirnya waktu sahur dan dimulainya sholat, karena sesungguhnya yang dimaksud dengan penetapan jeda waktu adalah waktu dari berhentinya makan (sahur), dan yang dimaksud dengan melakukan shalat adalah permulaan  daripada dimulainya shalat. Sebagaimana dikatakan oleh az-Zain bin al-Munir.”

Kemudian beliau melanjutkan:

“Perkataan (Beliau berkata: kadar waktu membaca 50 ayat) yaitu bacaan yang pertengahan (sedang-sedang saja) bukan bacaan yang panjang atau bacaan yang pendek, tidak dibaca secara cepat maupun dibaca secara  lambat.”


“Telah berkata al-Mihlab dan yang lainnya: di dalamnya terdapat penentuan atas perkiraan kadar lamanya jeda waktu itu dengan berdasarkan atas perbuatan badan, dan pada umumnya orang-orang Arab menentukan perkiraan waktu dengan amalan badan, seperti halnya dengan ukuran sekedar memerah susu kambing, atau ukuran waktu sekadar memotong akar, maka Zaid bin Tsabit menetapkan perkiraan kadar waktu tersebut dengan qiro’ah (bacaan ayat-ayat al-Qur’an), selain itu hal yang demikian ini juga menandakan bahwa waktu tersebut adalah waktu untuk ibadah dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an, andaikata kebiasaan orang-orang Arab di dalam menentukan kadar waktu itu tidak dengan amalan badan, maka Zaid pun akan berkata dengan perkataan seperti: seukuran derajat sekian, atau sepertiga, seperlima jam.”

Dari penjelasan al-Imam ibn Hajar al-Asqallani rahimahullaah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya jeda waktu antara selesainya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dari makan sahur hingga adzan Shubuh adalah sekitar bacaan 50 ayat al-Qur’an yang dibaca tidak terlalu cepat maupun terlalu lambat, dan ayat yang dibaca juga bukan ayat-ayat yang terlalu panjang maupun ayat-ayat yang terlalu pendek.
Dan sungguh tidak tepat jika diambil kesimpulan bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam makan sahur hingga adzan shubuh sebagaimana yang diklaim oleh beberapa kalangan, dan bahkan mereka menganggap penetapan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh termasuk bid’ah. Tentu kesimpulan dan pendapat yang seperti ini sangat bertentangan dengan sunnah. Karena penetapan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh sekitar bacaan 50 ayat-ayat al-Qur’an ini ada dalilnya yang shahih.
Masih di dalam kitab Shahih al-Bukhari, di situ juga dicantumkan hadits lain berkenaan dengan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh:

“Meriwayatkan hadits kepada kami Hasan bin Shabbaah, ia mendengar dari Rawwah bin ‘Ubadah, meriwayatkan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit keduanya bersahur bersama-sama. Maka apabila telah selesai mereka berdua daripada makan sahur, maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan sholat (shubuh). Kami bertanya kepada Anas: Berapa lama jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu sholat? Ia menjawab: Lamanya jeda waktu adalah sekira bacaan seseorang daripada 50 ayat-ayat al-Qur’an.” (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=921).

Selain itu, masih di kitab Shahih al-Bukhari disebutkan pula riwayat dengan redaksi yang sama namun berbeda jalur periwayatan:

“Telah meriwayatkan hadits kepada kami Ya’qub bin Ibrahim ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Rawwah, ia berkata telah meriwayatkan hadits kepada kami Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qatadah dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ;anhu makan sahur bersama-sama. Maka apabila selesai mereka berdua daripada makan sahur, maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan sholat. Maka kami bertanya kepada Anas: Berapa lama jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu sholat? Ia menjawab: Lamanya jeda waktu adalah sekira bacaan seseorang daripada 50 ayat-ayat al-Qur’an.” (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=1798).

Demikian sedikit penjelasan tentang disunnahkannya waktu imsak sebagai sanggahan bagi mereka yang berpendapat bahwa penetapan waktu imsak adalah termasuk bid’ah.
Wallaahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar