Kemarin sore, Sabtu, 20 November 2010, tak lama setiba di rumah, dari Kota Bandung yang macet, saya pun membuka facebook. Begitu melihat sebuah foto (lihat facebook “Simbah Kakung”) yang menampilkan adegan Gus Mus sedang berjabat tangan dengan seorang pejabat utama negeri ini, entah kenapa saya lama tercenung dan termenung. Lama saya mencoba mencermati dan “membaca” foto itu. Dari pelbagai sisi. Saya pun mencoba membayangkan, dialog di antara dua tokoh itu. Tapi, gagal. Tentu saja, karena yang tahu dialog yang berlangsung di antara dua tokoh itu adalah Gus Mus sendiri dan beberapa orang di sekitar kejadian itu. Dan, tak lama selepas itu, saya pun bergumam pelan, “Andai saja Gus Mus mau bercerita tentang apa yang terjadi ketika foto itu diambil. Andai saja, Gus.”
Kemudian, ketika kian lama mencermati dan “membaca” foto itu, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya “menggeliat” kenangan tentang dialog yang terjadi antara Sulaiman bin ‘Abdul Malik dan Abu Hazim: dialog antara seorang penguasa dan seorang ulama berhati bening. Dialog itu adalah sebagai berikut:
“Wahai Abu Hazim, mengapa begitu dingin sambutanmu kepadaku?” tanya Sulaiman bin ‘Abdul Malik, penguasa ke-7 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah, ketika berada di tempat kediaman seorang ulama terkemuka Madinah Al-Munawwarah kala itu, Abu Hazim Salamah bin Abu Dinar. Kala itu sendiri, putra kedua ‘Abdul Malik bin Marwan itu sedang beristirahat di Kota Nabi, alias Madinah Al-Munawwarah, di tengah perjalanan menuju Makkah dengan tujuan untuk menunaikan ibadah haji.
“Mengapa demikian, wahai Amir Al-Mukminin?” jawab ulama berambut pirang yang terkenal enggan menemui penguasa.
“Masyarakat Kota Nabi ini begitu bersemangat menyambutku. Sedangkan engkau tak mau datang menemuiku. Engkau hanya mau menemuiku selepas aku mendatangimu!”
“Saya berlindung kepada Allah Swt. Kiranya engkau tak menyatakan sesuatu yang tak engkau alami. Apa yang terjadi antara diriku dan dirimu tentu sepenuhnya telah engkau ketahui!”
“Engkau benar, wahai Abu Hazim,” sahut sang penguasa seraya menganggukkan kepalanya. Dan, selepas berdiam diri beberapa lama, kemudian ia berucap, “Wahai Guru, mengapakah orang-orang tampak begitu betah di dunia, sedangkan pesona duniawi sejatinya hanya semu belaka?”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut ulama berdarah Persia dan mantan budak Al-Aswad bin Sufyan Al-Makhzumi itu. “Itu karena mereka sibuk membangun dunia. Tapi, mereka lupa membangun akhirat. Itulah sebabnya, kami enggan mengikuti jejak langkahmu!”
Mendengar jawaban demikian, penguasa yang lebih banyak mencurahkan waktunya untuk menghadapi gempuran pasukan Bizantium dan memburu orang-orang yang pernah berusaha menggeser kedudukannya sebagai putra mahkota itu sejenak menarik napas panjang. Dan, beberapa saat kemudian, ia bertanya lagi, “Wahai Abu Hazim! Bagaimanakah gambaran orang yang ingin menghadap kepada Allah Swt.?”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Adapun orang yang senantiasa berbuat kebaikan, ia laksana orang yang usai menempuh perjalanan lama dan kembali kepada keluarganya (sangat bersemangat dan gembira). Sedangkan orang yang berbuat kejahatan, ia laksana budak yang melarikan diri dan kemudian kembali kepada majikannya (sangat ketakutan).”
“Duh, bila demikian halnya, bagaimanakah kedudukan diri saya ini di hadapan Allah Swt., wahai Abu Hazim?” keluh sang penguasa seraya merundukkan kepalanya.
“Wahai Amir Al-Mukminin! Arahkanlah dirimu pada Kitab Allah Swt. Lantas, renungkanlah firman-Nya, ‘Sungguh, orang-orang yang senantiasa berbakti benar-benar berada dalam surga yang sarat kenikmatan. Dan, sungguh, orang-orang yang durhaka benar-benar dalam neraka.” (QS Al-Infithâr [82]: 13-14).”
“Wahai Abu Hazim, di manakah rahmat Allah?”
“Berada di dekat orang-orang yang berbuat kebaikan!”
“Siapakah orang yang paling berakal?”
“Orang yang mencermati hikmah dan mengajarkannya kepada khalayak ramai!”
“Siapakah hamba Allah Swt. yang paling mulia?”
“Orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa!”
“Perbuatan apakah yang paling utama?”
“Menunaikan hal yang fardhu dan menjauhkan diri dari hal yang haram!”
“Perkataan apakah yang paling didengar orang?”
“Perkataan benar kepada orang yang engkau takuti dan harapkan!”
“Siapakah orang beriman yang paling pintar?”
“Orang yang berusaha mematuhi Allah dan mengajak manusia mendekatkan diri kepada-Nya!”
“Siapakah orang beriman yang merugi?”
“Orang yang melangkah demi memenuhi hawa nafsu saudaranya dan melakukan tindakan aniaya. Orang yang demikian itu adalah orang yang menjual akhiratnya dengan mengambil dunia orang lain!”
“Wahai Abu Hazim, bagaimanakah pendapatmu tentang diri kami?”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Apakah engkau akan memaafkan saya manakala saya berucap apa adanya?”
“Tentu, karena itu adalah nasihat yang engkau kemukakan kepadaku!”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Kakek-kakekmu gemar memaksa orang-orang lain dengan pedang dan merebut kekuasaan dengan kekerasan dan tanpa bermusyawarah dengan kaum Muslim serta tanpa kerelaan mereka. Akibatnya, sebagian mereka binasa dalam suatu peperangan yang dahsyat. Kini, mereka semua telah berpulang. Andai engkau merasakan apa yang mereka rasakan dan apa yang dikatakan orang tentang diri mereka!”
“Betapa buruk apa yang engkau ucapkan itu, wahai Abu Hazim!” sergah seseorang yang hadir di majelis itu.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” ucap selanjutnya ulama yang berdarah Persia dan mantan budak Al-Aswad bin Sufyan Al-Makhzumi itu tanpa perasaan gentar sama sekali menerima sergahan demikian. “Sungguh, Allah telah mengambil ikatan janji terhadap para ulama dan ilmuwan untuk mengemukakannya kepada khalayak ramai dan tak menyembunyikannya!”
“Bagaimanakah sebaiknya cara kita memperbaiki kerusakan ini?” tanya penguasa yang konon “petah berbicara, sombong, dan rakus” serta mendirikan Kota Ramallah, Palestina itu.
“Ambillah hal-hal yang halal dan kemudian letakkanlah pada hal-hal yang benar!”
“Siapakah yang kuasa melakukan hal yang demikian itu, wahai Abu Hazim?”
“Orang yang memburu surga dan menghindarkan diri dari neraka!”
Mendengar jawaban demikian, sejenak penguasa yang berpulang selepas tiga tahun menjadi penguasa, tepatnya pada Shafar 99 H/Oktober 717 M, diam merenung lama. Dan, kemudian, ia berucap, “Berdoalah untukku, wahai Abu Hazim.”
Maka, Abu Hazim pun berdoa, “Ya Allah, Tuhanku! Jikalau Sulaiman memang seorang penguasa sejati, mudahkanlah ia dalam meraih kebaikan dunia dan akhirat. Sedangkan jikalau ia adalah seorang penguasa yang menjadi musuh-Mu, hancurkanlah kepalanya sesuai dengan yang Engkau kehendaki dan ridhai.”
Seusai Abu Hazim berdoa demikian, Sulaiman bin ‘Abdul Malik kemudian berucap, “Wahai Abu Hazim! Berilah aku nasihat dan masukan.”
“Baiklah, saya akan memberikan nasihat yang ringkas kepadamu, wahai Amir Al-Mukminin: agungkanlah Tuhanmu dan sucikanlah Dia bahwa Dia melihatmu dalam kaitannya dengan sesuatu yang Dia larang untuk dilakukan dan tak melihatmu dalam kaitannya dengan sesuatu yang Dia perintahkan untuk dilaksanakan!”
Seusai menerima nasihat demikian, Sulaiman bin ‘Abdul Malik kemudian meninggalkan tempat kediaman Abu Hazim.