Rabu Wage malam Kamis Kliwon tepat tengah malam, ustadz Sukijo As-Salaf dengan diantar Sukiran bin Sukirin menemui Guru Sufi yang sedang duduk-duduk di teras mushola bersama Sufi Majnun, Sufi tua, Sufi Sudrun, dan Dullah. Sekalipun kepada Sukiran menyatakan ingin “mengaji” kepada Guru Sufi, namun ustadz Sukijo As-Salaf tidak sedikit pun berkenan mundur dari prinsip-prinsip ajaran yang sudah diyakininya. Demikianlah, dalam perbincangan sepintas yang dihangatkan ceramah Sufi tua tentang keabsahan menta’wil Al-Qur’an, telah dijadikan senjata ampuh bagi ustadz Sukijo As-Salaf untuk mengecam ajaran sufisme sebagai ajaran sesat karena kegemaran kaum sufi menta’wil Al-Qur’an.
“Maknanya, ke mana pun engkau menghadap, di sanalah wajah Allah,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf ketus.
“Jadi kata wajhullah (wajah Allah) tidak perlu dita’wil ya?” tanya Sufi tua ketawa.
“Tidak perlu ta’wil. Titik,” tukas ustadz Sukijo As-Salaf.
“Jadi Ka’batullah itu apa bisa dimaknai “Mata Kaki Allah” di mana manusia harus menyembah, begitukah kira-kira maknanya ustadz?” tanya Guru Sufi minta penjelasan.
“Bisa saja dimaknai begitu,” kata ustadz Sukijo.
Dengan garang ustadz Sukijo As-Salaf mengecam Sufi tua yang menta’wil Surah Thaha ayat 5 “al-Rahmaan ‘ala al-‘Arsy istawa” sebagai suatu tindak kesesatan yang nyata. “Ayat ini jelas bermakna al-Rahman itu bersemayam di Arsy. Bagaimana ada ta’wil bahwa al-Rahman tidak bertempat? Itu sama dengan menyatakan Allah tidak ada,” kata ustadz Sukijo As-Salaf.
“Anda tahu tidak apa itu definisi tempat?” sahut Dullah mewakili Sufi tua yang diam tak menanggapi kecaman ustadz Sukijo As-Salaf,”Tempat adalah sesuatu yang ada setelah adanya ciptaan. Padahal, Allah sudah Ada sebelum ada ciptaan. Allah itu memiliki sifat mukhalafatuhu lil hawaditsi, yaitu wajib tidak menyerupai makhluk ciptan-Nya. Jadi menyatakan Allah berkedudukan di sebuah tempat itu menyalahi prinsip akidah. Itu sebabnya, ayat “al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa” itu harus dita’wil supaya tidak membawa kesesatan.”
“Tidak bisa,” sergah ustadz Sukijo As-Salaf bertahan,”Apa pun alasannya, menta’wil Qur’an adalah sesat. Itu hanya dilakukan oleh orang tidak beriman.”
“Tahukah Anda wahai ustadz Sukijo,” tukas Sufi Sudrun sambil garuk-garuk kepala,”Bahwa al-Imam al-Bukhari sang perawi hadits telah memberikan ta’wil atas Qur’an Surah Al-Qashash ayat 88 “kullu syai’in halikun illa wajhahu”, memaknai kata wajhahu (wajah-Nya) dengan mulkahu (kekuasaan-Nya)? Bagaimana itu menurut ustadz?”
“Al-Imam al-Bukhari sesungguhnya telah sesat dengan ta’wil itu,” kata ustadz Sukijo As-Salaf,”Sebab syaikh kami, yaitu Syaikh Al-Albani telah menegaskan bahwa dengan ta’wil atas ayat Al-Qur’an itu, al-Imam al-Bukhari telah melakukan tindakan yang tidak patut dilakukan orang iman.”
“Bagaimana dengan Surah Al-Baqarah ayat 115 “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah” apakah tidak perlu ta’wil?” tanya Sufi tua.
“Sebagaimana sudah saya tegaskan, bahwa Al-Qur’an tidak boleh dita’wil!”
“Jadi apa makna dari ayat “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah?” tanya Sufi tua.“Maknanya, ke mana pun engkau menghadap, di sanalah wajah Allah,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf ketus.
“Jadi kata wajhullah (wajah Allah) tidak perlu dita’wil ya?” tanya Sufi tua ketawa.
“Tidak perlu ta’wil. Titik,” tukas ustadz Sukijo As-Salaf.
“Bagaimana dengan surah Az-Zumar ayat 67 “wal ardhu jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi” apakah maknanya yang benar dan apakah tidak perlu dita’wil juga?” tanya Dullah minta penjelasan.
“Makna ayat “wal ardhu jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi” adalah “dan bumi seutuhnya dalam genggaman-Nya dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”. Itu tidak perlu ta’wil. Titik,” sahut ustadz Sukijo As-Salaf tegas.
“Mohon tanya al-ustadz, saya kurang pintar bahasa Arab,” kata Guru Sufi mendadak melontarkan pertanyaan,”Apa ya kira-kira makna Ka’batullah, yaitu batu segi empat di Makkah yang kita jadikan kiblat dan kita jadikan arah pesujudan dalam shalat?”
“Ee maksudnya apa?” tanya ustadz Sukijo As-Salaf tergagap. “Makna Ka’batullah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Maksudnya, makna Ka’bah itu apa dan Allah itu apa dalam rangkaian kata Ka’batullah?”
“Seingat saya, Ka’ba – Ki’aaba itu artinya mata kaki,” kata ustadz Sukijo.“Jadi Ka’batullah itu apa bisa dimaknai “Mata Kaki Allah” di mana manusia harus menyembah, begitukah kira-kira maknanya ustadz?” tanya Guru Sufi minta penjelasan.
“Bisa saja dimaknai begitu,” kata ustadz Sukijo.
“Bagaimana kalau kata Ka’batullah itu dipungut dari kata Ka’aba yang bermakna tetek atau susu, apakah itu harus bermakna tetek Tuhan?; Bagaimana pula jika kata itu dipungut dari kata Ka’abati – Ki’abatan yang bermakna gadis montok, apakah boleh dimaknai Tuhan itu serupa gadis montok?; dan bagaimana pula jika kata itu dipungut dari kata Ka’aba yang bermakna segi empat, apakah boleh dimaknai Tuhan itu segi empat wujudnya; mana kira-kira yang benar dari kata Ka’ba untuk Ka’batullah, wahai ustadz?” tanya Dullah.
“Pertanyaan Anda itu haram hukumnya karena Tuhan tidak boleh dibanding-bandingkan dan diserupakan dengan sesuatu dari makhluk-Nya,” kata ustadz Sukijo bersungut-sungut.
“Lho ustadz tadi bilang Al-Qur’an tidak boleh dita’wil, sekarang Ka’bah pun tidak boleh dimaknai sesuai makna konotasi kita, bagaimana ini?” kata Dullah heran dengan jalan pikiran ustadz Sukijo As-Salaf.
“Sudahlah Dul,” sahut Sufi tua menyela,”Ustadz kita ini benar sekali ketika melarang kita menta’wil Al-Qur’an. Sebab, beliau itu berpikir dengan cara tekstual sesuai makna kata denotasi.”
“Maksudnya bagaimana, pakdhe?” tanya Dullah ingin tahu. “Ayat 5 surah Thaha “al-Rahmaan ‘ala al-‘Arsy istawa” dimaknai “Tuhan benar-benar bersemayam di tempat yang disebut ‘Arsy”; al-Rahman itu dimaknai juga sebagai “Tuhan” yang punya wajah sebagaimana ayat 115 surah Al-Baqarah “fa’ainamaa tuwallu fatsamma wajhullah” dan ayat 88 surah al-Qashash “kullu syai’in halikun illa wajhahu”; al-Rahman juga dimaknai tanpa ta’wil sebagai “Tuhan” yang punya tangan sebagaimana ayat 67 surah Az-Zumar “wal ardhu jamii’a qabdlotuhu yaumal qiyaamati wa samaawaatu muthwiyyaatun biyamiinihi”; dan sekarang ustadz Sukijo ini malah memaknai kata Ka’batullah dengan “mata kaki Allah” yang tak perlu dita’wil; sungguh, akidah kita sudah sangat berbeda dengan akidah ustadz Sukijo As-Salaf ini,” sahut Sufi tua.
“Anda jangan menta’wilkan apa yang saya pikirkan tentang makna Qur’ani dari ayat-ayat yang kita bahas tadi!” sergah ustadz Sukijo As-Salafi marah.
“Justru saya mengikuti petunjuk ustadz, tidak menta’wil apa pun, tapi yang muncul justru makna riil dari ayat-ayat Al-Qur’an itu sebagaimana sudah saya kemukakan, yaitu Allah bertempat, berwajah, bertangan, dan bermata kaki seperti makhluk,” kata Sufi tua.
“Sudah, sudah,” kata Sufi Majnun menengahi,”Tidak perlu ribut. Semua orang punya hak memaknai ajaran agama sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing; orang badui, silahkan memahami agama secara badui dan jangan sekali-kali memaksa kaum beradab kota untuk mengikuti cara pandang dan cara menalar badui. Sebaliknya, orang kota juga silahkan memahami agama secara orang kota dan jangan pernah mengajak-ajak badui untuk mengikuti cara menalar orang kota; sungguh, sejatinya Nabi Muhammad Saw itu adalah orang kelahiran kota Makkah dan kemudian hijrah ke kota Madinah sampai wafatnya, jadi kalian wahai orang kota, ikutilah jalan agama Islam menurut contoh pembawanya, yaitu orang kota bernama Muhammad Saw.”
Ustadz Sukijo As-Salaf berdiri dengan wajah merah padam. Lalu tanpa pamit, ia meninggalkan para sufi yang ketawa-ketiwi sambil geleng-geleng kepala karena tidak bisa mengikuti alur pemikiran ustadz Sukijo As-Salaf yang sangat baduistis.
Cerita Ringan oleh: Agus Sunyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar