08/06/2006 00:26
Kediri, NU OnlinePesantren-pesantren tradisional atau salafi diharap tetap mempertahankan tradisi sorogan, bandongan, halaqah, sholat jamaah, istighotsah dan tradisi salafi lainnya. Pesan itu menjadi penting dan mendesak mengingat saat ini tradisi-tradisi salafi diserang dari berbagai penjuru.
Demikian disampaikan KH. Imam Yahya Mahrus, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri kepada NU Online, Selasa (6/6). Selain oleh arus budaya global, tradisi-tradisi pesantren salaf setidaknya terancam punah oleh dua hal yang yang nampak di depan mata, yakni tuntutan untuk memperoleh ijazah yang setara dengan pendidikan umum dan peran aktif pesantren dalam kancah politik praktis.
Menurut Gus Imam (panggilan akrab KH. Imam Yahya Mahrus), pesantren salaf tidak perlu khawatir karena beberapa madrasah diniah di pesantren-pesantren seperti madrasah Hidayatul Mubtadiin di Pesantren Lirboyo sendiri telah diakui sejajar dengan pendidikan umum. Jika pengennya izajah sekarang lulusan Lirboyo sudah bisa masuk perguruan tinggi manapun, katanya.
Soal keterlibatan pesantren ke dalam kancah politik praktis terutama sejak reformasi 1988, Gus Imam mengatakan, tidak menjadi persolan sepanjang pesantren yang bersangkutan tetap menjalankan tradisi salafi.
Ikut politik itu urusan pribadinya masing-masing, urusan kiainya, gus-gusnya tau alumninya, bukan atas nama pesantren atau institusinya. Tradisi pesantren salaf harus dipertahankan karena itu adalah benteng ajaran Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah, kata Gus Imam.
Ditambahkannya, kegiatan Musabaqah Qiraatil Qutub Nasional II oleh Departemen Agama Pusat pada 14-16 mendatang yang kebetulan bertempat di Pesantren Lirboyo, sedianya menjadi pemompa semangat pesantren-pesantren salaf dalam mempertahankan kesalafannya, dalam hal ini terkait dengan kitab kuning atau kitab kunonya. (nam)
Berita Terkait:
Pesantren Lirboyo Tuan Rumah Musabaqah Qira'atil Kutub Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar