Senin, 21 November 2011

Wawancara Ekslusif dengan iblis (wawancara ini telah mendapat persetujuan dari ALLAH SWT)


Apr 06


Iblis Terpaksa Bertamu Kepada Rasulullah SAW (dari Muadz bin Jabal dari Ibn Abbas)

Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW di kediaman seorang sahabat Anshar, tiba - tiba terdengar panggilan seseorang dari luar rumah: "Wahai penghuni rumah, bolehkah aku masuk..? Sebab kalian akan membutuhkanku. "

Rasulullah bersabda:"Tahukah kalian siapa yang memanggil?"

Kami menjawab: "Allah dan RasulNya yang lebih tahu."
 
Beliau melanjutkan, "Itu Iblis, laknat Allah bersamanya."

Umar bin Khattab berkata: "izinkan aku membunuhnya wahai Rasulullah"




Nabi menahannya: "Sabar wahai Umar, bukankah kamu tahu bahwa Allah memberinya kesempatan hingga hari kiamat? Lebih baik bukakan pintu untuknya, sebab dia telah diperintahkan oleh Allah untuk ini, pahamilah apa yang hendak ia katakan dan dengarkan dengan baik."

Ibnu Abbas RA berkata: pintu lalu dibuka, ternyata dia seperti seorang kakek yang cacat satu matanya. di janggutnya terdapat 7 helai rambut seperti rambut kuda, taringnya terlihat seperti taring babi, bibirnya seperti bibir sapi.

Iblis berkata: "Salam untukmu Muhammad,... . salam untukmu para hadirin..."

Rasulullah SAW lalu menjawab: Salam hanya milik Allah SWT, sebagai mahluk terlaknat, apa keperluanmu?"

Iblis menjawab: "Wahai Muhammad, aku datang ke sini bukan atas kemauanku, namun karena terpaksa."

" Siapa yang memaksamu?"

Seorang malaikat dari utusan Allah telah mendatangiku dan berkata:

"Allah SWT memerintahkanmu untuk mendatangi Muhammad sambil menundukkan diri.beritahu Muhammad tentang caramu dalam menggoda manusia. jawablah dengan jujur semua pertanyaannya. Demi kebesaran Allah, andai kau berdusta satu kali saja, maka Allah akan jadikan dirimu debu yang ditiup angin."

oleh karena itu aku sekarang mendatangimu. Tanyalah apa yang hendak kau tanyakan. jika aku berdusta, aku akan dicaci oleh setiap musuhku. tidak ada sesuatu pun yang paling besar menimpaku daripada cacian musuh."

Orang Yang Dibenci Iblis

Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Iblis: "Kalau kau benar jujur, siapakah manusia yang paling kau benci?"

Iblis segera menjawab: "Kamu, kamu dan orang sepertimu adalah mahkluk Allah yang paling aku benci."

"Siapa selanjutnya?"

"Pemuda yang bertakwa yang memberikan dirinya mengabdi kepada Allah SWT."

"lalu siapa lagi?"

"Orang Aliim dan wara' (Loyal)"

"Lalu siapa lagi?"

"Orang yang selalu bersuci."

"Siapa lagi?"

"Seorang fakir yang sabar dan tak pernah mengeluhkan kesulitannnya kepda orang lain."

"Apa tanda kesabarannya?"

"Wahai Muhammad, jika ia tidak mengeluhkan kesulitannya kepada orang lain selama 3 hari, Allah akan memberi pahala orang -orang yang sabar."

" Selanjutnya apa?"

"Orang kaya yang bersyukur."

"Apa tanda kesyukurannya?"

"Ia mengambil kekayaannya dari tempatnya, dan mengeluarkannya juga dari tempatnya."

"Orang seperti apa Abu Bakar menurutmu?"

"Ia tidak pernah menurutiku di masa jahiliyah, apalagi dalam Islam."

"Umar bin Khattab?"

"Demi Allah setiap berjumpa dengannya aku pasti kabur."

"Usman bin Affan?"

"Aku malu kepada orang yang malaikat pun malu kepadanya."

"Ali bin Abi Thalib?"

"Aku berharap darinya agar kepalaku selamat, dan berharap ia melepaskanku dan aku melepaskannya. tetapi ia tak akan mau melakukan itu." (Ali bin Abi Thalib selau berdzikir terhadap Allah SWT)

Amalan Yang Dapat Menyakiti Iblis

"Apa yang kau rasakan jika melihat seseorang dari umatku yang hendak shalat?"

"aku merasa panas dingin dan gemetar."

"Kenapa?"

"Sebab, setiap seorang hamba bersujud 1x kepada Allah, Allah mengangkatnya 1 derajat."

"Jika seorang umatku berpuasa?"

"Tubuhku terasa terikat hingga ia berbuka."

"Jika ia berhaji?"

"Aku seperti orang gila."

"Jika ia membaca al-Quran?"

"Aku merasa meleleh laksana timah diatas api."

"Jika ia bersedekah?"

"Itu sama saja orang tersebut membelah tubuhku dengan gergaji."

"Mengapa bisa begitu?"

"Sebab dalam sedekah ada 4 keuntungan baginya. yaitu keberkahan dalam hartanya, hidupnya disukai, sedekah itu kelak akan menjadi hijab antara dirinya dengan api neraka dan segala macam musibah akan terhalau dari dirinya."

"Apa yang dapat mematahkan pinggangmu?"

"Suara kuda perang di jalan Allah."

"Apa yang dapat melelehkan tubuhmu?"

"Taubat orang yang bertaubat."

"Apa yang dapat membakar hatimu?"

"Istighfar di waktu siang dan malam."

"Apa yang dapat mencoreng wajahmu?"

"Sedekah yang diam - diam."

"Apa yang dapat menusuk matamu?"

"Shalat fajar."

"Apa yang dapat memukul kepalamu?"

"Shalat berjamaah."

"Apa yang paling mengganggumu?"

"Majelis para ulama."

"Bagaimana cara makanmu?"

"Dengan tangan kiri dan jariku."

"Dimanakah kau menaungi anak - anakmu di musim panas?"

"Di bawah kuku manusia."

Manusia Yang Menjadi Teman Iblis

Nabi lalu bertanya : "Siapa temanmu wahai Iblis?"

"Pemakan riba."

"Siapa sahabatmu?"

"Pezina."

"Siapa teman tidurmu?"

"Pemabuk."

"Siapa tamumu?"

"Pencuri."

"Siapa utusanmu?"

"Tukang sihir."

"Apa yang membuatmu gembira?"

"Bersumpah dengan cerai."

"Siapa kekasihmu?"

"Orang yang meninggalkan shalat jumaat"

"Siapa manusia yang paling membahagiakanmu?"

"Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja."

Iblis Tidak Berdaya Di hadapan Orang Yang Ikhlas

Rasulullah SAW lalu bersabda : "Segala puji bagi Allah yang telah membahagiakan umatku dan menyengsarakanmu."

Iblis segera menimpali:

"Tidak,tidak... tak akan ada kebahagiaan selama aku hidup hingga hari akhir.

Bagaimana kau bisa berbahagia dengan umatmu, sementara aku bisa masuk ke dalam aliran darah mereka dan mereka tak bisa melihatku. Demi yang menciptakan diriku dan memberikan ku kesempatan hingga hari akhir, aku akan menyesatkan mereka semua. Baik yang bodoh, atau yang pintar, yang bisa membaca dan tidak bisa membaca, yang durjana dan yang shaleh, kecuali hamba Allah yang ikhlas."

"Siapa orang yang ikhlas menurutmu ?"

"Tidakkah kau tahu wahai Muhammad, bahwa barang siapa yang menyukai emas dan perak, ia bukan orang yang ikhlas. Jika kau lihat seseorang yang tidak menyukai dinar dan dirham, tidak suka pujian dan sanjunang, aku bisa pastikan bahwa ia orang yang ikhlas, maka aku meninggalkannya. Selama seorang hamba masih menyukai harta dan sanjungan dan hatinya selalu terikat dengan kesenangan dunia, ia sangat patuh padaku."

Iblis Dibantu oleh 70.000 anak - anaknya

Tahukah kamu Muhammad, bahwa aku mempunyai 70.000 anak. Dan setiap anak memiliki 70.000 syaithan.

Sebagian ada yang aku tugaskan untuk mengganggu ulama. Sebagian untuk menggangu anak - anak muda, sebagian untuk menganggu orang -orang tua, sebagian untuk menggangu wanta - wanita tua, sebagian anak -anakku juga aku tugaskan kepada para Zahid.

Aku punya anak ynag suka mengencingi telinga manusia sehingga ia tidur pada shalat berjamaah. tanpanya, manusia tidak akan mengantuk pada waktu shalat berjamaah.

aku punya anak yang suka menaburkan sesuatu di mata orang yang sedang mendengarkan ceramah ulama hingga mereka tertidur dan pahalanya terhapus.

Aku punya anak yang senang berada di lidah manusia, jika seseorang melakukan kebajikan lalu ia beberkan kepada manusia, maka 99% pahalanya akan terhapus.

Pada setiap seorang wanita yang berjalan, anakku dan syaithan duduk di pinggul dan pahanya, lalu menghiasinya agar setiap orang memandanginya.

Syaithan juga berkata,"keluarkan tanganmu", lalu ia mengeluarkan tangannya lalu syaithan pun menghiasi kukunya.

mereka, anak - anakku selalu meyusup dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya, dari satu pintu ke pintu yang lainnya untuk menggoda manusia hingga mereka terhempas dari keikhlasan mereka.

Akhirnya mereka menyembah Allah tanpa ikhlas, namun mereka tidak merasa.

Tahukah kamu, Muhammad? bahwa ada rahib yang telah beribadat kepada Allah selama 70 tahun. Setiap orang sakit yang didoakan olehnya, sembuh seketika. Aku terus menggodanya hingga ia berzina, membunuh dan kufur.

Cara Iblis Menggoda

Tahukah kau Muhammad, dusta berasal dari diriku?

Akulah mahluk pertama yang berdusta.

Pendusta adalah sahabatku. barangsiapa bersumpah dengan berdusta, ia kekasihku.

Tahukah kau Muhammad?

Aku bersumpah kepada Adam dan Hawa dengan nama Allah bahwa aku benar - benar menasihatinya.

Sumpah dusta adalah kegemaranku.

Ghibah (gossip) dan Namimah (Adu domba) kesenanganku.

Kesaksian palsu kegembiraanku.

Orang yang bersumpah untuk menceraikan istrinya ia berada di pinggir dosa walau hanya sekali dan walaupun ia benar. Sebab barang siapa membiasakan dengan kata - kata cerai, isterinya menjadi haram baginya. Kemudian ia akan beranak cucu hingga hari kiamat. jadi semua anak - anak zina dan ia masuk neraka hanya karena satu kalimat, CERAI.

Wahai Muhammad, umatmu ada yang suka mengulur ulur shalat. Setiap ia hendak berdiri untuk shalat, aku bisikan padanya waktu masih lama, kamu masih sibuk, lalu ia manundanya hingga ia melaksanakan shalat di luar waktu, maka shalat itu dipukulkannya kemukanya.

Jika ia berhasil mengalahkanku, aku biarkan ia shalat. Namun aku bisikkan ke telinganya 'lihat kiri dan kananmu', iapun menoleh. pada saat iatu aku usap dengan tanganku dan kucium keningnya serta aku katakan 'shalatmu tidak sah'

Bukankah kamu tahu Muhammad, orang yang banyak menoleh dalam shalatnya akan dipukul.

Jika ia shalat sendirian, aku suruh dia untuk bergegas. ia pun shalat seperti ayam yang mematuk beras.

jika ia berhasil mengalahkanku dan ia shalat berjamaah, aku ikat lehernya dengan tali, hingga ia mengangkat kepalanya sebelum imam, atau meletakkannya sebelum imam.

Kamu tahu bahwa melakukan itu batal shalatnya dan wajahnya akan dirubah menjadi wajah keledai.

Jika ia berhasil mengalahkanku, aku tiup hidungnya hingga ia menguap dalam shalat. Jika ia tidak menutup mulutnya ketika mnguap, syaithan akan masuk ke dalam dirinya, dan membuatnya menjadi bertambah serakah dan gila dunia.

Dan iapun semakin taat padaku.

Kebahagiaan apa untukmu, sedang aku memerintahkan orang miskin agar meninggalkan shalat. aku katakan padaknya, 'kamu tidak wajib shalat, shalat hanya wajib untuk orang yang berkecukupan dan sehat. orang sakit dan miskin tidak, jika kehidupanmu telah berubah baru kau shalat.'

Ia pun mati dalam kekafiran. Jika ia mati sambil meninggalkan shalat maka Allah akan menemuinya dalam kemurkaan.

Wahai Muhammad, jika aku berdusta Allah akan menjadikanku debu.

Wahai Muhammad, apakah kau akan bergembira dengan umatmu padahal aku mengeluarkan seperenam mereka dari islam?"

10 Hal Permintaan Iblis kepada Allah SWT

"Berapa hal yang kau pinta dari Tuhanmu?"

"10 macam"

"apa saja?"

"Aku minta agar Allah membiarkanku berbagi dalam harta dan anak manusia, Allah mengizinkan. Allah berfirman,

"berbagilah dengan manusia dalam harta dan anak. dan janjikanlah mereka, tidaklah janji setan kecuali tipuan." (QS Al-Isra :64)

Harta yang tidak dizakatkan, aku makan darinya. Aku juga makan dari makanan haram dan yang bercampur dengan riba, aku juga makan dari makanan yang tidak dibacakan nama Allah.

Aku minta agar Allah membiarkanku ikut bersama dengan orang yang berhubungan dengan istrinya tanpa berlindung dengan Allah, maka setan ikut bersamanya dan anak yang dilahirkan akan sangat patuh kepada syaithan.

Aku minta agar bisa ikut bersama dengan orang yang menaiki kendaraan bukan untuk tujuan yang halal.

Aku minta agar Allah menjadikan kamar mandi sebagai rumahku.

Aku minta agar Allah menjadikan pasar sebagai masjidku.

Aku minta agar Allah menjadikan syair sebagai Quranku.

Aku minta agar Allah menjadikan pemabuk sebagai teman tidurku.

Aku minta agar Allah memberikanku saudara , maka Ia jadikan orang yang membelanjakan hartanya untuk maksiat sebagai saudaraku.

Allah berfirman, "Orang -orang boros adalah saudara - saudara syaithan. " (QS Al-Isra : 27).

Wahai Muhammad, aku minta agar Allah membuatku bisa melihat manusia sementara mereka tidak bisa melihatku.

Dan aku minta agar Allah memberiku kemampuan untuk mengalir dalam aliran darah manusia.

Allah menjawab, "silahkan", dan aku bangga dengan hal itu hingga hari kiamat.

Sebagian besar manusia bersamaku di hari kiamat.

Iblis berkata : "wahai muhammad, aku tak bisa menyesatkan orang sedikitpun, aku hanya bisa membisikan dan menggoda."

jika aku bisa menyesatkan, tak akan tersisa seorangpun...!!!

Sebagaimana dirimu, kamu tidak bisa memberi hidayah sedikitpun, engkau hanya rasul yang menyampaikan amanah.

Jika kau bisa memberi hidayah, tak akan ada seorang kafir pun di muka bumi ini.

Kau hanya bisa menjadi penyebab untuk orang yang telah ditentukan sengsara.

Orang yang bahagia adalah orang yang telah ditulis bahagia sejak di perut ibunya. Dan orang yang sengsara adalah orang yang telah ditulis sengsara semenjak dalam kandungan ibunya.

Rasulullah SAW lalu membaca ayat :

"Mereka akan terus berselisih kecuali orang yang dirahmati oleh Allah SWT" (QS Hud :118 - 119) juga membaca,

"Sesungguhnya ketentuan Allah pasti berlaku" (QS Al-Ahzab : 38)

Iblis lalu berkata:

"Wahai Muhammad Rasulullah, takdir telah ditentukan dan pena takdir telah kering. Maha Suci Allah yang menjadikanmu pemimpin para nabi dan rasul, pemimpin penduduk surga, dan yang telah menjadikan aku pemimpin mahluk mahluk celaka dan pemimpin penduduk neraka. aku si celaka yang terusir, ini akhir yang ingin aku sampaikan kepadamu. dan aku tak berbohong."

Dari mulut ulama


Ambillah ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh
Dalam tulisan kami sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/31/gigitlah-as-sunnah/  kami menghimbau untuk “menggigit” As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Terhadap tulisan kami tersebut, mereka mengatakan bahwa kami telah memfitnah ulama  Al Albani.
Kami tidak bermaksud memfitnah maupun menghujat ulama Al Albani namun kami berupaya menyampaikan dan meluruskan kesalahpahaman yang telah terjadi selama ini karena Allah ta’ala semata dan sekaligus sebagai upaya menegakkan Ukhuwah Islamiyah ditengah-tengah perselisihan (perbedaan pemahaman) diantara kaum muslim dikarenakan kesalahpahaman mereka
Ulama Al Albani pada kitab beliau berjudul “Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa” , edisi Indonesia berjudul “Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, penerbit Media Hidayah  ada menyampaikan perkataan Imam Mazhab yang empat. Contohnya diuraikan dalam tulisan pada http://kajianislamsunnah.blogspot.com/2011/10/pernyataan-para-imam-untuk-mengikuti_3450.html
Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut adalah sebagai bentuk sikap tawadhu (rendah hati) mereka. Mereka mengingatkan kita untuk meninggalkan pendapat/pemahaman mereka khusus yang menyelisihi sunnah Rasulullah. Itupun kalau memang ada.
Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut  bukanlah perintah untuk meninggalkan keseluruhan pendapat/pemahaman mereka. Berdasarkan perkaatan para Imam Mazhab yang empat tersebut  maka kita mengikuti pendapat/pemahaman para Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Begitupula ulama Al Albani dalam kitab yang sama “menyalahgunakan” firman Allah ta’ala yang artinya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). “. (QS Al-A’raaf [7] : 3)
Para ahli tafsir menyampaikan larangan mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya maknanya adalah larangan mengikuti pemimpin yang membawa kepada kesesatan bukan larangan mengikuti pemimpin ijtihad kaum muslim atau imam mujtahid alias Imam Mazhab, mereka yang mentaati Allah dan RasulNya.
Kaum muslim pada umumnya adalah tidak berkompetensi sebagai imam mujtahid maka sebaiknyalah mengikuti pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim atau Imam Mazhab yang dikenal sebagai muqallid sambil merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Boleh dikatakan pada masa kini semakin sangat sulit untuk menjadi Imam Mujtahid Mutlak karena hadits tidak terbatas pada apa yang telah dibukukan namun sebagian dalam bentuk hafalan dan umumnya sudah terlupakan sanadnya dan sebagian matan/redaksinya masih ada yang mengingatnya.  Imam Mazhab pada sewaktu mereka berijtihad dan beristinbat mereka mengetahui hadits lebih banyak dari apa yang telah dibukukan.
Kita umat muslim sebaiknyalah mentaati dan mengikuti Imam Mazhab karena mereka telah disepakati oleh jumhur ulama memiliki kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Imam Mazhab telah diakui terbaik dalam memahami pemahaman Salafush Sholeh.
Segelintir umat muslim terkecoh oleh ulama yang tanpa disadari telah berbohong karena mereka mengatakan atau mengaku-aku bahwa apa yang mereka pahami dan sampaikan adalah  pemahaman Salafush Sholeh. Tentulah  mereka tidak pernah bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mengkonfirmasi pemahaman Salafush Sholeh sebenarnya.  Kenyataannya adalah  pemahaman mereka sendiri terhadap lafaz/tulisan perkataan Salafush Sholeh dimana upaya pemahaman mereka tentulah bisa benar dan bisa pula salah, terlebih lagi  mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama-ulama tersebut diantaranya ulama Ibnu Taimiyyah (pelopor) , Ibnu Qoyyim Al Jauziah (pengikut Ibnu Taimiyyah), Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikut Ibnu Taimiyyah) dan termasuk Al Albani yang merupakan pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab.
Mereka adalah ulama-ulama korban dari ghazwul fikri (perang pemahaman) kaum Zionis Yahudi. Upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) kaum Zionis Yahudi telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/26/bukti-korban/  atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/24/korban-perang-pemahaman/
Mereka dikenal oleh orang awam sebagai ulama pembaharu (mujaddid) namun pada hakikatnya pemahaman mereka yang baru dalam arti menyelisihi pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim.
Mereka adalah ulama-ulama yang tidak mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim atau imam mujtahid alias Imam Mazhab. Mereka berupaya memahami Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran mereka sendiri. Mereka dikenal belajar agama lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak).  Pemahaman mereka, kebanyakan bukan didapatkan dari mulut para ulama ( talaqqi ) atau tidak ber sama’  (mendegar) kepada lisan para guru namun mereka mencukupkan diri dengan muthala’ah (menelaah) kitab-kitab dengan akal pikiran mereka sendiri.
Al Hafidz Abu Bakar Al Khatibh Al Baghdady mengatakan bahwa “… ilmu tidak dapat diambil kecuali dari mulut para ulama” .
Para ulama menyampaikan bahwa ilmu yang hanya didapat dengan belajar sendiri (otodidak) maka kemungkinan besar akan dapat berakibat kepada pelaksanaan ibadah fasidah (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumuskan kedalam tasybihillah bikholqihi (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Terjerumus kedalam tasybihillah bikholqihi (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya)  sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra. Beliau  berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi)
Untuk itulah kita wajib menghindari terjerumus dalam kekufuran karena kesalahpahaman. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/16/terjerumus-kesyirikan/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/18/mereka-terindoktrinisasi/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/18/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/
Pada hakikatnya jalan kesalamatan (firqatun najiyah) adalah mengikuti pemahaman/pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim alias Imam Mazhab berikut penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ambillah ilmu dari mulut (talaqqi) ulama  bermazhab dan sholeh. Bermazhab adalah jalan keselamatan dan sholeh adalah indikator pengikut Rasulullah sebagaimana telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/24/indikator-dekat-denganya/
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya. Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan:
Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;  “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan”  Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi adalah ijazah. Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan. Memberikan ijazah sangat penting. Menimbang agar tak terjadinya penipuan dan dusta dalam penyandaran seseorang. Apalagi untuk zaman sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis  menjadi suatu keharusan
Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda artinya: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang. Yaitu, dari Abdillah ibn Mas’ud r.a., Saidina Salim r.a., Saidina Mu’az r.a. dan Saidina Ubai bin Ka’ab r.a.“. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Tulisan kami kali ini kami akhiri dengan pendapat Al Muhaddits Al Kabir Abdullah al Ghumari Al Hasany terhadap ulama Al Albani yang terkenal sebagai ulama yang memahami agama lebih banyak dari belajar sendiri (otodidak) dibandingkan bertalaqqi
Al Muhaddits Al Kabir Abdullah al Ghumari Al Hasany  yang merupakan guru dari Mufty Addiyar Al Mishriyah Al Allamah Al Imam Ali Jum’ah (mufti Mesir). Al Muhaddits Al Kabir Abdullah al Ghumari Al Hasany adalah Al Allamah di bidang hadits dan ilmu lain. Pada awalnya Hafalan hadits beliau mencapai 50.000 hadits baik sanad maupun matannya,namun setelah beliau meninggal banyak ulama yang menjuluki Al Hafidz.
***** awal kutipan *****
..dia adalah Nashiruddin, Al Albani adalah asalnya (Albania). Pada awalnya dia ber i’itikaf di dalam kamar perpustakaan “Al Dzahiriyah” Damaskus disana dia berkutat membaca buku dan betah untuk membaca.
Setelah itu dia menyangka bahwa dirinya telah menjadi profesional dalam urusan agama. Dia memberanikan diri untuk berfatwa dan mentashhieh hadits atau mendha’ifkannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Juga dia berani menyerang ulama yang mu’tabar (yang berkompeten di bidangnya) padahal dia mandakwa bahwa “hafalan”hadits telah terputus atau punah. Maka akibatnya bisa anda saksikan terkadang dia menganggap buruk pendapat para ulama juga mendha’ifkan hadits yang baik-baik dan menganggapnya lemah, sampai sampai shahih Bukhari dan shahih Muslim pun tidak selamat dari koreksinya.
Berdasarkan hal tersebut (dia tidak berguru) maka isnadnya maqthu’ (silsilah keilmuannya terputus) dan kembali kepada kitab kitabnya yang ia teliti, kembali kepada juz juz yang ia baca dengan tanpa Talaqqi (belajar kepada guru).
Dia pernah mendakwakan dirinya sebagai kholifah (penerus) Assyaikh Badruddin Al Hasani (salah satu guru Al Ghomari,pen) yang beliau adalah seorang ulama yang tidak pernah terlepas dari biji tasbih dari tangannya meskipun sedang mengajar,dan anehnya ia menganggap bid’ah kepada orang yang mengenakannya (biji tasbih).
Lalu dia (al Albani) mendakwakan dirinya telah mencapai derajat “penghafal hadits” dan mampu mentashhieh hadits sehingga pengikut pengikutnya menyangka bahwa dia adalah “muhadits” dunia seluruhnya. Apakah dengan sekedar ijazah dari sangkaan seseorang lantas dia boleh berbicara /koreksi atas hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam..??
Kemudian berdasarkan persaksian dari para ulama di zamannya dari para ulama Dimasyq menyatakan bahwa dia tidak hafal matan-matan hadits apalagi sanad-sanadnya. Bahkan keilmuannya tidak mencapai untuk menilai sebuah matan hadits kemudian meneliti rijal (para perowi)nya di kitab kitab “Al Jarh watta’diil”, sehingga berangkat dari  itu semua dia menghukumi sebuah hadits dengan menshahihkan dan mendha’ifkan nya dalam keadaan “tidak tahu” bahwa sebuah hadits mempunyai jalan riwayat, syawahid (hadits lain sebagai saksi penopang) dan mutaba’at (penelusuran susulan). Dia juga lupa bahwa seorang “Al Hafidz“ (penghafal 100 ribuan hadits sanad dan matannya) mempunyai “otoritas” menshahihkan dan mendha’ifkan sebuah hadits sebagaimana yang di katakan oleh Al Hafidz As Suyuthy dalam “Al Fiyah” nya(kitab nadzom ilmu hadits diroyah 1000 bait)
كَما قَال السُيوطِي فِي ألفيته:
وخذه حَيث حَافظ عليه نص ** أو من مصنَّف بِجمعه يخص
artinya:
Maka ambillah hadits ketika telah di” nash” oleh seorang Al Hafidz………atau dari kitab susunannya yang khushus untuk kodifikasi hadits tersebut.
Begitulah hukum sebenarnya dimana bahwa ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’ah” atas kitab-kitab ansich dengan mengesampingkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahuan khushush dan dapat dipercaya) dikarenakan terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupan” dan “pendustaan” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaimana mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaan “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumuskan kedalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Cara seperti itu adalah bukan cara “belajar” dan cara menuntut ilmu yang dilakukan ulama salaf dan kholaf sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al Hafidz Abu Bakar Al Khatibh Al Baghdady, “… ilmu tidak dapat diambil kecuali dari mulut para ulama
Maka jelaslah tidak diperbolehkan mempelajari ilmu agama kecuali dari orang yang “arif” dan tsiqoh yang mengambil ilmu dari tsiqoh………..dst sampai ke para Shahabat ra. Sehingga orang yang mengambil Al Qur’an dari Mushhaf dinamakan “Mushhafy” tidak dapat disebut “Qari” begitulah seperti yang dikatakan Al Hafidz Khathib Al Baghdady dalam kitabnya yang berjudul “alfaqih wal mutafaqqih” bersumber dari sebagian ulama salaf.
Cukuplah bagi kita sebagai anjuran untuk “talaqqi”(menerima ilmu dari guru) sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَن يُرد الله بهِ خَيراً يُفقّهه فِي الدِين, وفِي رِوَاية زيادة: “إنَما العِلم بالتعلُمِ, والفِقه بالتفقّه
Artinya: barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka ia diberi pemahaman dalam agama dalam sebuah riwayat ada tambahan…” bahwa ilmu hanya (didapat) dari Belajar….(HR Al Bukhory, Muslim, Ahmad di musnadnya dan lain lain)
Terdapat juga di al mu’jam al kabir imam thabrany 19/395 Al Hafidz di Al Fath mengatakan ”isnadnya baik” 131/1
ورَوى مُسلم فِي صحيحهِ عَن ابن سِيرين أنهُ قَال: ” إنّ هَذا العِلم دِين فانظرُواعمّن تأخذُون دينكُم”.
Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Sirin ia berkata: ”bahwa ilmu ini adalah agama maka lihatlah kepada siapa kalian mengambil agama kalian
أخرجهُ مُسلم فِي صَحيحهِ: المُقدمة: بَاب بَيان أن الإسنَاد مِن الدِين, وأنَ الرِوَاية لا تكُون إلاّ عَن الثقات, وان جرح الرواة بِما هُو فيهم جَائِز بَل وَاجِب وأنهُ ليسَ مِن الغِيبة المُحرّمة بَل مِن الذبّ عَن الشَريعة المُكرّمة
Hadits tadi diriwayatkan Imam Muslim di Muqaddimah shahihnya bab: menerangkan bahwa isnad itu bagian agama dan bahwa meriwayatkan hadits itu tidak boleh terjadi kecuali dari orang yang tsiqot(dipercaya) dan bahwa mencela “periwayatan” itu diperbolehkan asal sesuai dengan kenyataan bahkan wajib bukan termasuk “ghibah” yang diharamkan namun dengan tujuan “mempertahankan” syari’at yang dimuliakan.
Imam Abu Hayyan Al Andalusy berkata:
وقَال أبو حَيان الأندلسِي:
يظنّ الغُمْرُ أن الكُتْبَ تَهدي ** أخَا جَهلٍ لإدْراكِ العُلومِ
ومَا يَدري الجهولُ بأنّ فِيها ** غَوامِض حَيّرت عَقلَ الفهيمِ
إذا رُمت العُلومَ بغيرِ شيخٍ ** ضللتَ عَن الصِراط المُستقِيم
وتلتَبِسُ الأمُورُ عليكَ حَتى ** تصيرَ أضلَّ مِن تُوما الحَكيم
Artinya:
khalayak ramai menyangka bahwa kitab kitab itu dapat menuntun orang bodoh untuk menggapai ilmu……
padahal orang yang amat bodoh tidak tahu bahwa di dalam kitab kitab itu banyak masalah rumit yang membingungkan akal orang cerdas.
Apabila engkau mencari ilmu tanpa guru…..maka engkau dapat tersesat dari jalan yang lurus.
Maka segala hal yang berkaitan akan menjadi samar buatmu hingga engkau menjadi lebih sesat dibanding si Thomas (ahli filsafat). (Hasyiyah Al Thalib Ibnu Hamdun ala Lamiyat Al ‘Af’al hal 44)
Assyaikh Habiburrahaman Al A’dzhami Muhaddits daratan India berkata dalam Muqaddimah bantahan nya terhadap Al Albany dengan judul “mablagh ilm al Albany” (kapasitas keilmuan Al Albany) dengan teks sebagai berikut….
“Syekh Nashiruddin Al Albany adalah orang yang sangat menyukai untuk menyalahkan orang orang yang sangat brilian dari kalangan pembesar para ulama dan dia tidak memperdulikan siapapun orangnya. Maka dapat anda lihat terkadang dia melemahkan riwayat Imam Bukhary dan Imam Muslim dan ulama lainnya yang dibawah level ke dua imam tadi………dan hal itu terjadi di banyak tempat sehingga sebagian orang yang bodoh dan yang terbatas pemikirannya dari kalangan ulama menyangka bahwa Al Albani adalah orang yang profesional pada abad ini dan kemahirannya jarang ditemukan semacam dia di era sekarang. Semacam inilah hal yang dibanggakan olehnya di berbagai tempat dengan mengeluarkan kotorannya sehingga para pembaca melirikkan pandangan mereka dan terkadang dia mengatakan: ”aku mendapatkan tahqiq (pernyataan) semacam ini dan tidak akan kau temukan di lain tempat (maksudnya di kitab lain-yang menurut dia- tidak terdapat pernyataan semacam itu).
terkadang dia mendakwa bahwa dirinya “di istimewakan” oleh Allah di abad ini untuk meneliti atas hadits hadits tambahan dalam kondisi perbedaan riwayatnya yang tersebar di kitab kitab yang berserakan sehingga ia telah mencapai hal yang belum pernah diraih para Muhaqqiqqiin yang telah lampau maupun yang akan datang.
Namun orang yang “mengenal” al Albany dan orang yang meneliti biografinya ia pasti mengetahui bahwa dia tidak mendapatkan ilmu dari “mulut para ulama” dan dia belum pernah duduk bersimpuh di depan pengajian para ulama , padahal ilmu itu harus didapat dengan cara ta’allum (mengaji).
Ada berita sampai kepada saya bahwa hafalan kitabnya tidak melebihi “mukhtashor al qodury” dan profesi keahlian sebenarnya adalah “mereparasi jam” yang dirinya mengakui hal ini dan membanggakannya, padahal cara mendapatkan ilmu dengan ta’allum tersebut adalah hal yang telah lazim dikenal dikalangan pelajar hadits di seluruh madrasah kami(india).Begitulah apa yang telah dinyatakan oleh Assyaikh Muhaddits diyar al Hindiyah الألبَانِي أخطاؤه وشُذوذه 1/9
Inilah kapasitas keilmuan Al Albany,maka bila kau membaca kitab kitabnya akan kau temukan tanda yang jelas karena dia menyebut apa yang ia katakan shahieh akan berlawanan dengan apa yang dikatakan dengan dha’ief hingga kau temukan dia merubah hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang tidak boleh diakukan oleh Ahlul ilmi bil hadits. Pada akhirnya dia mendha’ifkan yang shahieh dan menshahiehkan yang dhai’ef. Ini adalah polah tingkah orang yang belum pernah menghirup aroma “ilmu” dan cara orang yang belum pernah mengenal para “guru” dan belum pernah sama’ (mendengar) dari teks teks lafadz mereka. Saya tidak melihat dia kecuali orang yang membaca kitab dan menganggap bahwa mencari ilmu itu tidak butuh terhadap bimbingan dan talaqqi para guru. Padahal kita sungguh mengetahui bahwa seorang penghafal hadits tidak hanya mencukupkan diri dengan muthala’ah tanpa berkeliling mencari ilmu dari para guru dari biografi mereka dan mereka sama’ (mendengar riwayat hadits) sebagaimana orang orang sebelum mereka ber sama’ kepada para guru ……begitulah adat kebiasaan “Ahli Isnad”.
Termasuk diantara “cacat” al Albany adalah dia berani mengkoreksi Imam Imam Besar,cukuplah sebagai celaan bahwa dia mengkoreksi dan berani terhadap hadits shahih Imam Bukhory dan shahieh Imam Muslim, oh….seandainya saja dia mendhaifkan hadits hadts tadi berdasarkan ilmu dan ma’rifah…..namun sayang dia mendhaifkannya karena kebodohan dan keculasan.
Siapapun orang yang mau melihat kitab kitabnya dengan pemahaman dan pengetahuan yang baik dan menjauhkan diri dari “ta’ashshub” (fanatisme) dan buang jauh jauh kebodohan yang berbahaya maka akan menjadi jelas bagi dia bahwa Al Albani adalah orang yang sangat lemah dalam ilmu hadits baik matannya maupun rijalnya.
Diantara cacat Al Albany yang fatal adalah dia menuduh orang yang mengingkarinya dengan si “pembuat bid’ah” dan dia sendiri lah yang sunny  (Ahlus Sunnah) dengan pengikutnya sehingga berhak masuk sorga dan penentangnya adalah ahlulbid’ah yang akan masuk neraka. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mencapai “kemasyhuran” dia ingin menjadi yang terhebat di zamannya dan mengungguli pendahulu pendahulunya.
Kesimpulannya Al Albany dan fatwa fatwa dan istinbat nya adalah merupakan bencana untuk kaum muslimin. Bisa anda lihat bagaimana dia membid’ahkan berdzikir dengan biji tasbih, membaca al Qur’an untuk mayyit….juga di kitab kitabnya banyak kesesatan yang nyata apalagi di syarah Al Thohawy. Maka sesuai dengan pernyataan di atas apa yang dikatakan oleh Assyaikh Muhammad Yasin Al Fadany yang masyhur bahwa Al Albany itu “Dhaallun mudhillun”(sesat dan menyesatkan).
Juga sesuai dengan pernyatan Syaikh Al Muhaddits Habiburrahman: ketika aku membaca karangan Al albani dalam pembahasan seperti ini dan yg lainnya, aku menjadi teringat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إن ممَا أدرَك النَاس مِن كلام النُبوة الأولى إذا لَم تستحِ فاصْنع مَا شِئت”.
“sungguh apa yang dapat di tangkap oleh manusia dari perkataan Nubuwwah yang pertama adalah “kalau kau tidak tahu malu maka berbuatlah sesukamu…”
Sekarang kami katakan kepada para pengikut Al Albani dan yang terbujuk rayu ucapan-ucapannya dan kepada orang orang yang tertipu dengan slogan slogannya,
“kembalilah kalian kedalam ajaran yang baik yang sudah ada, ikutilah jalan para Abror…..ikutilah jalan yang lurus campakkan jalan orang yang menyimpang dari “Annahj al mustaqiim”….
Takutlah kalian untuk memberanikan diri atas kalam Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tanpa didasari ilmu, jangan kalian terperdaya oleh orang yang sesat meskipun dia mempunyai puluhan karangan dan buku.
Oh…..betapa buruknya keberanian mengkoreksi dan berkecimpung tanpa ilmu atas hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ya Allah kami memohon kepada Mu keselamatan dan penjagaan …..
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَال الله تَعالى: (وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمُ إنَّ السَّمْعَ والبَصَرَ والفُؤَادَ كُلُ أوْلئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً) 36 [ سُورة الإسراء].”
janganlah kau ikuti apa yang kamu tidak mengetahui karena pendengaran, pengelihatan dan hati itu semuanya akan dipertanggung jawabkan” (QS Al Isra [17]:36)
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Senin, 14 November 2011

Terjemahan dan makna


Perbedaan terjemahan dengan makna
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/20/pemahaman-salafush-sholeh/ telah diuraikan bahwa pada hakikatnya yang dikatakan mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh sebenarnya adalah pemahaman ulama yang diikuti mereka terhadap lafaz atau tulisan Salafush Sholeh atau ulama Salaf yang Sholeh. Pemahaman ulama yang mereka ikuti seperti ulama Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah.
Ulama Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim Al Jauziah maupun Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Cuma karena ulah mereka yang mengatakan bahwa apa yang mereka pahami sebagai pemahaman Salafush Sholeh yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman-kesalahpahaman pada segelintir umat muslim.
Jika kita belum berkompentensi sebagai mujtahid atau belum berkompetensi merujuk langsung (berijtihad) dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka lebih baik mengikuti pemahaman para Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan Mereka yang melihat langsung bagaimana implementasi pemahaman Salafush Sholeh dalam beribadah. Para Imam Mazhab yang menuliskan pada kitab fiqih agar kita umat muslim belakangan yang tidak melihat langsung para Salafush Sholeh beribadah dapat “melihat” nya melalui kitab fiqih atau mengikutinya berdasarkan kitab fiqih.
Sedangkan mereka yang mengaku menisbatkan pada Salaf pada hakikatnya “melihat” pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman mereka terhadap lafaz atau tulisan ulama salaf yang sholeh yang mana pemahaman mereka bisa benar dan bisa pula salah. Terlebih mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah sebenarnya telah terkubur sejak lama karena pemahaman beliau menyelisihi pemahaman para Imam Mazhab. Namun beratus-ratus tahun kemudian pemahaman ulama Ibnu Taimiyah diangkat kembali oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan juga turut diangkat kembali oleh pusat-pusat kajian Islam yang didirikan kaum non muslim, orientalis,  yang dibelakang mereka adalah kaum Zionis Yahudi, kaum yang telah menyesatkan kaum Nasrani bahwa Tuhan mereka bertempat di surga. Kaum Zionis Yahudi berkepentingan untuk mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyah yang telah dibantah oleh banyak ulama untuk keperluan ghazwul fikri (perang pemahaman) sehingga terjadi perselisihan di antara umat muslim seperti yang kita ketahui telah terjadi pada masa kini.
Tentulah tidak seluruh pemahaman ulama Ibnu Taimiyah adalah kesalahpahaman namun kesalahpahaman beliau terjadi pada hal yang pokok (bukan furu atau cabang) yakni tentang i’tiqod atau akidah. Ulama-ulama terdahulu bahkan menyarankan untuk meninggalkan buku-buku karya ulama Ibnu Taimiyah khususnya dalam perkara i’tiqod sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://ashhabur-royi.blogspot.com/2011/02/upaya-menetralkan-suntikan-racun.html
Ulama-ulama terdahulu membantah pemahaman ulama Ibnu Taimiyah sebagaimana terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Salah satu dasar aqidah mereka adalah menerjemahkan hadits budak jariyah atas pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “di mana Allah” sebagai pertanyaan tentang tempat atau keberadaan bagiNya.
Pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai pertanyaan tentang tempat namun maknailah dengan hakikat keimanan.
Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Ketika itu orang-orang tidak beriman karena menyembah berhala sehingga dengan jawaban “di langit” maka dapat dipastikan bahwa budak Jariyah tidak menyembah tuhan berhala walaupun di langit itu ada matahari, bintang dan bulan. Jawaban budak jariyah dipertegas dengan jawaban atas pertanyaan Rasulullah shallallahu berikutnya yang artinya, “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
“Hadits budak Jariyah” seperti pada http://www.indoquran.com/index.php?surano=6&ayatno=29&action=display&option=com_muslim
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman” artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.  Inti dari hadits tersebut terletak pada perkataan Rasulullah yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”   dan salah satu perawinya adalah orang yang baru masuk Islam seperti kita ketahui pada awal hadits dengan pernyataan “ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku”.
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk menanyakan makanah (kedudukan/derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Al-hafidz al-Haitsami (w. 807 h) dalam kitabnya Majma’ az-Zawaid (Juz. 1, Hal. 23) maka yang diunggulkan adalah hadis riwayat Imam Malik rahimahullah (w. 179 h) dalam al-Muwatha’ dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud:  “A-tasyhadina an la ilaha illallah? Qalat “Na’am” (“Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah? jariyah menjawab: Ya”).  Karena riwayat Imam Malik (w. 179 h) sesuai dengan atau tidak menyalahi Ushulus Syariah (prinsip-prinsip ajaran Islam/Rukun Islam). Yakni diantara prinsip ajaran Islam adalah seseorang yang hendak masuk Islam, ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat bukan yang lain.
Adapun bagi ulama yang mendhaifkan seperti al-Imam Al-Baihaqi (W. 458 H) dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (Juz. 7, Hal. 378-388) dan al-Asma’ wa as-Shifat (Hal. 422, ditahqiq oleh al-Muhaddis Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi), al-Muhaddis Syekh Abdullah al-Ghumari (W. 1413 H/ 1993 M) dan al-Muhaddis Syekh Abdullah Al-Harori dan al-Muhaddis Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitabnya Takmilah ar-radd ‘ala nuniyah ibnil qayyim (hal. 94). Mereka berpendapat hadis riwayat Muslim di atas Mudhtharib baik sanad maupun matannya dan disebabkan hadisnya ma’lul (cacat) karena menyalahi Ushulus Syari’ah. Yaitu orang dikatakan Muslim (beriman) ketika ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat bukan dengan mengucapkan Allah fis Sama’ (Allah di langit).
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat.
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits.
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1.       Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi.  Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman”. Sama halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”.  Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain.
Dapat kita simpulkan dari pendapat para ahli hadits di atas bahwa hadits budak jariyah dalam sahih muslim tidak dapat dipergunakan sebagai landasan dalam i’tiqod atau akidah atau keimananan namun dipergunakan bagi pengetahuan kita bahwa terlarang berbicara di dalam shalat
Begitupula kesalahpahaman mereka ketika memahami atau memaknai firman Allah ta’ala
Firman Allah ta’ala
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
Allah, Tuhan yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arsy (QS. Thaha,  5)
“istawaa”  yang umumnya kita ketahui terjemahannya bersemayam bagi mereka maknanya adalah Allah ta’ala bertempat atau berada bahkan sebagian lagi berpendapat duduk di atas ‘Arsy
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.
Kita harus ingat bahwa terjemahan berbeda dengan makna atau pemahaman. Berikut contoh penjelasan ulama kita sendiri yang bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan makna dari bersemayam
Bersemayam maksudnya menguasai ‘Arasy, sebagaimana seorang raja duduk diatas kursi singgasananya mangandung makna menguasai atau penguasa. Karena ketika kata “bersemayam” diartikan mentah maka akan terbayang Allah sedang bersemayam dan ini membuat kufur, keluar dari agama Islam, menyerupakan sesuatu dengan Allah. Istawa yang artinya bersemayam disebutnya kalimat Majaz”. Sumber: http://arbabulhija.blogspot.com/2010/10/allah-swt-tidak-terhalang-untuk.html
Pendapat beliau sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII (“Tuhan yang menguasai arasy yang agung”) sebagaimana yang kita ketahui dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dia berkata; Abu Shalih pernah menganjurkan kami yaitu, apabila salah seorang dari kami hendak tidur, maka hendaknya ia berbaring dengan cara miring ke kanan seraya membaca doa; ALLOOHUMMA ROBBAS SAMAAWAATI WA ROBBAL ARDH, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII, ROBBANAA WAROBBA KULLI SYAI’IN, FAALIQOL HABBI WAN NAWAA, WAMUNZILAT TAUROOTI WAL INJIIL, WAL FURQOON, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI KULLI SYAI’IN ANTA AAKHIDZUN BINAASHIYATIHI, ALLOOHUMMA ANTAL AWWALU FALAISA QOBLAKA SYAI’UN, WA ANTAL AAKHIRU FALAISA BA’DAKA SYAIUN, WA ANTAZH ZHOOHIRU FALAISA FAUQOKA SYAI’UN, WA ANTAL BAATHINU FALAISA DUUNAKA SYAI’UN, IQDHI’ANNAA ADDAINA, WA AGHNINAA MINAL FAQRI ‘Ya Allah, Tuhan langit dan bumi, Tuhan yang menguasai arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, Tuhan yang membelah dan menumbuhkan biji-bijian, Tuhan yang menurunkan kitab Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu, karena segala sesuatu itu berada dalam genggaman-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada yang samar dari-Mu. Ya Allah, lunaskanlah hutang-hutang kami dan bebaskanlah kami dari kefakiran.’ (HR Muslim 4888) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=49&ayatno=57&action=display&option=com_muslim
Dalam hadits tersebut pada kalimat yang artinya “Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada yang samar dari-Mu” maka kita dapat simpulkan terjemahannya “tidak ada yang mentupi-Mu” maknanya adalah tidak ada apapun di atas Allah ta’ala sedangkan terjemahannya “tidak ada yang samar dari-Mu”  maknanya adalah tidak ada apapun di bawah, di kiri, di kanan, di depan, di belakang Allah ta’ala, tidak ada yang menghalangi manusia untuk melihat Rabb.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/12/melihat-rabb/     Manusia terhalang atau terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala  yang artinya,
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Seluruh perkataan/pendapat ulama Salaf atau seluruh lafadz-lafadz atau dalil naqli yang diterjemahkan sebagai Allah ta’ala “di langit” atau Allah ta’ala “di atas ArsyNya” atau “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 ) sebaiknyalah tidak dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla atau keberadaan bagi dzatNya.
Hakikat “di langit”, “di atas” bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai padanan pengagungan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Jadi jelaslah bahwa mereka masih bertanya-tanya “di mana Allah” atau mereka berkeyakinan bahwa Allah ta’ala bertempat di atas ‘Arsy, pada hakikatnya mereka menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat Rabb dengan hati mereka.
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Dirindukan Rasulullah

Mereka yang dirindukan oleh Rasulullah
Kami telah menyampaikan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/22/sebaik-baik-manusia/ tentang kesalahpahaman ulama Ibnu Taimiyah yang  memandang Sahabat Nabi sebagai orang beriman terbaik, disusul Tabi’un kemudian Tabi’u at-Tabi’in, tidak mungkin muncul seorang yang lebih utama dari generasi tersebut di waktu kemudian.
Mereka mengomentari sebagai berikut
Kenapa kita harus membenci Ibnu Taimiyah atau mengatakan paham beliau salah atau sesat. Itu hanya sebuah pemikiran bukan suatu yang prinsipil/mutlak.  Yang  mutlak adalah ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala  melalui sunnah-sunnah Rosul Shallallahu alaihi wasallam
Kami tidaklah membenci ulama Ibnu Taimiyah dan juga tidak mengatakan bahwa beliau sesat.
Kami hanya menyampaikan beberapa kesalahpahaman-kesalahpahaman yang terjadi selama ini karena Allah ta’ala dalam rangka Ukhuwah Islamiyah.
Kita sebaiknya tidak boleh menghiraukan sebuah pemikiran atau pemahaman apalagi pemahaman tersebut dikatakan sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh, yang boleh jadi akan menjadi fitnah bagi para Salafush Sholeh,  jika pemikiran atau pemahaman tersebut justru menyelisihi Al Qur’an dan Hadits.  Kita juga bisa menyaksikan bahaya pemikiran atau pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits yang dipahami oleh kaum Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme.
Permasalahannya adalah adanya segelintir saudara-saudara muslim kita, mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyah yang disangka mereka adalah pemahaman salafush sholeh sehingga mereka merasa paling benar dengan pendapat mereka.
Sebaik-baik manusia” tidak terkait dengan kapan waktu seseorang itu dilahirkan.  Kita harus membuang jauh-jauh periodisasi antara salaf (terdahulu) dan khalaf (kemudian).
Apalagi Allah ta’ala telah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS Hujurat [49]:13 )
Sebaik-baik manusia” terkait dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf dari Sufyan dari Maisarah dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu mengomentari ayat “Kalian adalah sebaik-baik umat yang diutus kepada seluruh manusia.” (QS.Ali Imran 110), kata Abu Hurairah; ‘Sebaik-baik manusia untuk manusia, adalah kalian membawa mereka dengan dirantai, hingga mereka masuk Islam.’ (HR Bukhari 4191). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=45&ayatno=78&action=display&option=com_bukhari
Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i berkata:
Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam
Begitu pula dengan Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Sahabat) maupun Tabi’ut Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Tabi’in adalah “sebaik-baik manusia” karena mereka termasuk manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan suatu ketika selepas shalat shubuh, seperti biasa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam duduk menghadap para sahabat.
Kemudian beliau bertanya, “Wahai manusia siapakah makhluk Tuhan yang imannya paling menakjubkan?”.
“Malikat, ya Rasul,” jawab sahabat.
“Bagaimana malaikat tidak beriman, sedangkan mereka pelaksana perintah Tuhan?” Tukas Rasulullah.
“Kalau begitu, para Nabi ya Rasulullah” para sahabat kembali menjawab
“Bagaimana nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka?” kembali ujar Rasul.
“Kalau begitu para sahabat-sahabatmu, ya Rasul”.
“Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan. Mereka bertemu langsung denganku, melihatku, mendengar kata-kataku, dan juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kerasulanku.” Ujar Rasulullah.
Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam terdiam sejenak, kemudian dengan lembut beliau bersabda, “Yang paling menakjubkan imannya,” ujar Rasul “adalah kaum yang datang sesudah kalian semua. Mereka beriman kepadaku, tanpa pernah melihatku.
Mereka membenarkanku tanpa pernah menyaksikanku. Mereka menemukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa-apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka mengamalkan apa-apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membela aku seperti kalian membelaku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku itu.”
Kemudian, Nabi Shallallahu alaihi wasallam meneruskan dengan membaca surat Al-Baqarah ayat 3,   “Mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakan sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka.”
Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berbahagialah orang yang pernah melihatku dan beriman kepadaku” Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan itu satu kali. “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku.” Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan kalimat kedua itu hingga tujuh kali.
Rasululullah merindukan orang-orang beriman kepadanya namun tidak pernah melihatnya.  Mereka yang tidak melihatnya adalah kaum muslim sampai akhir zaman.
Bahkan Rasulullah menyampaikan bahwa para Nabi dan para Syuhada merindukan orang-orang yang akan bermunculan  sampai akhir zaman nanti  karena kedudukan (maqom) mereka di sisi Allah Subhanhu wa ta’ala. Para Sahabatpun akan mencintai mereka. Mereka adalah para Wali Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:  “Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (maqom) mereka di sisi Allah Subahanahu wa ta’ala seorang dari Sahabatnya berkata,  “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah,  semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam  menjawab dengan sabdanya:  mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian Beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(QS Yunus [10]:62 )
Rasulullah telah menyampaikan bahwa akan selalu adanya kaum muslim sampai akhir zaman, di mana pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan Syuhada mereka adalah para Wali Allah atau kekasih Allah dengan berbagai tingkatan kedekatan hubungan dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kewalian atau al-walayah menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah kedekatan hubungan seseorang dengan Allah dan merasakan kehadiran dan karunia-Nya.
Al-walayah melahirkan relasi antara Allah dengan hamba dalam bentuk al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Al-walayah merupakan makramat al-ilahiyyah (kemuliaan dari Allah) yang dianugerahkan kepada orang-orang tertentu yang menjadi pilihan-Nya.[1]
Al-Hakim al-Tirmidzi membagi al-walayah kedalam dua bagian, al-walayah al-’ammahb (kewalian umum) dan al-walayah al-Khas (kewalian khusus).
Kewalian umum mencakup semua orang yang beriman, beramal saleh, dan membenarkan para Rasul.[2] Kewalian ini oleh Abd al-Fattah ‘Abdullah Barakah dinamakan walayah al-tawhid (kewalian tauhid), yaitu kewalian orang-orang yang memurnikan keyakinannya dari menyekutukan Allah dengan memperoleh anwâr al-mahabbah (cahaya cinta) yang disebabkan oleh ma’rifah kepada Allah; namun, jiwanya masih tetap dikuasai oleh dorongan rendah. Mereka yang berada pada tingkat kewalian umum ini disebut awliyâ` al-tawhid. Mereka masih jauh dari tingkat al-walayah al-Khasshah, kewalian khusus.[3]
Adapun kewalian khusus adalah ahbâb Allah (para kekasih Allah) dan ashfiyâ` Allâh (Manusia pilihan Allah), yaitu mereka yang dipilih oleh Allah untuk diri-Nya dan Allah pun membimbing mereka dengan karunia-Nya agar mereka lebih dekat kepada Allah.[4]
al-Walâyah al-Khâsshah dapat diraih oleh seorang hamba bila terpadu dua aspek, karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah. Aspek pertama merupakan hak prerogatif Allah; sedang aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam pengabdiaannya kepada Allah.
Para wali itu memiliki maqâmat al-walâyah, yakni posisi atau kedudukan mereka dihadapan Allah yang diperoleh berkat al-Ibadat (pengabdian kepada Allah), al-mujahadat (perjuangan dalam melawan dorongan rendah), al-riyadlat (latihan kerohanian), dan al-inqitha’ ila Allah (mengorientasikan diri lahir batin kepada Allah).[5]
al-Hakim al-Tirmidzi membagi maqamat al-walayah ke dalam lima maqamat. Kelima maqamat itu adalah: al-muwahhidin,al-shadiqin, al-shiddiqin, al-muqarrabin dan al-munfaridin.[6]
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali).[7]
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.[8] Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.[9] Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).[10]
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.[11] Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.[12]
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka.[13] Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.[14] Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).[15]
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka. hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.[16] Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal).[17]
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah. Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.[18]
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).[19]
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.[20]
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Al-Hakim al-Tirmidzi berpendapat bahwa al-walayah (kewalian) sama dengan al-Nubuwwah (kenabian), keduanya memiliki al-khatm, yakni penutupan. Sebab itu di dalam Islam selain ada khatm al-anbiya, pamungkas para nabi juga ada khatm al-awliya, pamungkas para wali. Jika khatm al-anbiya merupakan pamungkas para nabi dan nabi yang paling sempurna sehingga nabi Muhammad saw. Disebut Sayyid al-Anbiya wa al-Mursalin, pemimpin para nabi dan rasul; maka khatm al-awliya merupakan penutup para wali dan wali yang paling sempurna.
Semoga dengan penjelasan dari kami ini semakin jelas bahwa sebaik-baik manusia tidak terbatas pada generasi Salafush Sholeh saja atau tidak terkait dengan kapan seseorang itu dilahirkan. Sebaik-baik manusia adalah muslim dan sebaik-baik muslim adalah muslim yang ihsan serta sebaik-baik muslim yang ihsan adalah yang selalu melihat Rabb, mereka adalah para wali Allah atau kekasih Allah, mereka yang dirindukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi dan para Syuhada
Uraian tentang wali Allah dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/09/2011/01/14/siapakah-wali-allah/
Walaikumsalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Sumber tulisan yang bercatatan kaki berasal dari
http://asepusmanismail.wordpress.com/2009/10/28/kepercayan-masyarakat-kepada-wali-dari-fenomena-sosial/
Berikut keterangan catatan kakinya
[1]Osman Ismail Yahya, dalam pengantar editor, Hakim al-Tirmidzi,Kitab Khatm al-Awliya (Beirut: al-Matba’ah al-Katulikiyyah,1965), h.112
[2] Al-Tirmidzi, ibid.,h. 112
[3] Abd. Al-Fattah ‘Abdullah al-Barakah,Al-Hakim al-Tirmidzi wa Nadhoriyatuh fi al-walayah, jilid 2, (Cairo: Min Mathbu’at Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1971), h. 76-7
[4] Al-Tirmidzi, loc.it.
[5] Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi, al-Luma’, ‘Abd al-Hakim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960M/ 1380H), h. 65
[6] Abd al-Fattah ‘Abdullah Barakah tidak memasukan al-muwahhidin (penganut faham tauhid) dalam pembagian maqamat al-awliya;karena al-muwahhidin termasuk dalam kewalian umum; sedangkan pokok bahasan ini berkenaan dengan kewalian khusus. Lihat Barakah, op.cit.,h.253
[7] Abd al-Fattah ‘Abdullah Barakah tidak memasukan al-muwahhidin (penganut faham tauhid) dalam pembagian maqamat al-awliya;karena al-muwahhidin termasuk dalam kewalian umum; sedangkan pokok bahasan ini berkenaan dengan kewalian khusus. Lihat Barakah, op.cit.,h.253
[8] Barakah, op.cit.,h. 253
[9] Ibid., h. 82
[10] Ibid., h. 78
[11] Ibid., h. 80. Al-Tirmidzi, op.cit., h. 119-120.
[12] Ibid., h. 139
[13] Barakah, Ibid.,h. 120
[14] Al-Tirmidzi., op.cit.,h. 331
[15] Barakah, op.cit., h.78
[16] Al-Tirmidzi., op.cit h. 112
[17] Ibid.,h.331
[18] Barakah, op. cit.,h. 343
[19] al-Tirmidzi, op.cit.,h. 112
[20] Ibid.,h. 58-9

Sukarno dan harta


Pandangan Sukarno terhadap harta
TD Pardede , tokoh pengusaha asal Medan jaman dulu jika masih hidup tentu akan tercengang membaca berita majalah Tempo minggu:
Dari luar ruangan, sejumlah tokoh melihat pertemuan itu berlangsung dingin. Teh dalam cangkir berlogo Istana Presiden yang diangkut dari rumah Soeharto, tak disentuh. Hendarman – Jaksa Agung – kata sumber itu, lalu mengajukan konsep penyelesaian di luar pengadilan. Diantaranya, keluarga Soeharto harus membayar 4 trilyun kepada negara. Ini sepertiga dari tuntutan Pemerintah, yakni US $ 420 juta dan Rp 185 milyar plus ganti rugi immaterial Rp 10 trilyun atas Yayasan Supersemar . Mbak Tutut dan adik adiknya hanya terdiam mendengar angka yang diajukan Pemerintah “.
Si ompung yang dekat dengan Bung Karno pasti teringat saat suatu hari dia dipanggil mendadak ke Jakarta. Mengetahui betapa miskinnya sang Presidennya. Setelah ngobrol ngobrol bersama menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD Pardede ke pojok ruangan.
“ Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang ? “
Gelagapan karena langsung ditodong oleh penguasa negeri. TD Pardede merogoh saku saku jasnya dan memberikan seribu dollar dari kantongnya. Namun Bung Karno hanya mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya kepada Pardede.
Lain cerita salah satu ajudan terakhir,Putu Sugianitri seorang bekas Polisi wanita yang juga harus pensiun tanpa kejelasan. Suatu saat setelah tidak menjadi presiden, Bung Karno jalan jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan. ” Tri , beli rambutan “.
” Uangnya mana ? ” tanya si polwan asal Bali itu.
sing ngelah pis ” kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya ” saya tak punya uang “.
Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk mantan presiden yang tidak memiliki uang.
Ada juga cerita dari Bang Ali Sadikin.
Saat ia menjabat Menko Maritim. Ia ditanya oleh Bung karno apakah ia bisa membantu bisnis mertua Bung Karno yang berkaitan dengan perijinan pelabuhan. Setelah dipelajari Ali Sadikin mengatakan tidak bisa. Peraturan mengatakan demikian.
“ Ya sudah , kalau tidak bisa “ kata Bung Karno.
Bang Ali berpikir. Luar biasa ini manusia. Padahal sebagai Presiden ia bisa memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan Bung Karno selanjutnya tidak pernah dendam, bahkan kelak mengangkat May.Jend KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.
Dari cerita tersebut diatas, kita tahu Bung Karno tidak pernah peduli dengan uang atau harta. Ketika turun dari kekuasaan kita tak pernah tahu bahwa Bung Karno dan keluarganya meninggalkan kekayaan yang melimpah ruah.
Saat mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 16 Agustus 1967. Maka teman teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.
Semua anak anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa apa, kecuali buku buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang barang lain seperti radio , televisi dan lain lain tidak boleh dibawa ! “ Demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur – putera tertua – setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel antenna TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi. Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup. Tak berapa lama datang truk dari Polisi yang membawa 4 tempat tidur dari kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal. Juga beras 6 karung.
“ Anak anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal “ Konon Ibu Fat, marah marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.
Bung Karno keluar dari istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas Koran yang digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang dijahit oleh istrinya sendiri, ibu Fatmawati ketika masa proklamasi kemerdekaan dahulu.
Tak ada voor ridjer, pengawalan atau penghormatan seperti ketika Presiden Soeharto – yang diantar Jenderal Wiranto sampai ke mobil Mercedes – meninggalkan Istana Merdeka setelah menyerahkan jabatannya kepada Habibie.
Ia meninggalkan istana dengan mobil vw kodok yang dikendarai seorang supir asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk, air teh, air putih, kue kue serta obat obatan Bung Karno.
Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana. Selebihnya ditinggalkan.
Kelak harta kekayaan Soekarno yang ditinggal di Istana didata oleh pihak penguasa dengan dibuatkan berita acara. Barang barang itu mulai dari logam emas batangan, lukisan lukisan, buku buku, pakaian, minyak wangi, bolpen, uang dollar yang semuanya bernilai tidak sedikit. Dan semua itu tidak pernah diserahkan kepada Bung Karno atau keluarganya. Tidak jelas siapa yang mewarisi.
Pada akhirnya tidak penting juga mewarisi sebuah kekayaan. Karena dia bukan berhala harta. Hanya sebuah janji yang tersisa yang wajib kita jaga, untuk sebuah Indonesia yang bersatu dan bermartabat. Tidak ada juga deal deal khusus. Hanya sebuah persetujuan dalam segenggam bait puisi Chiril Anwar.
Janji itu terus melintas jaman. Sampai kapanpun.
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
( Persetujuan dengan Bung Karno – Chairil Anwar )